Preseden : Bermula dari Kontrak / Perjanjian, Bermuara pada PMH
Perjanjian yang Disikapi ataupun Dipungkiri dalam
Derajat yang Ekstrem, Menjelma PMH, Bukan lagi Sekadar Wanprestasi
Question: Ada sebagian kalangan sarjana hukum semisal akademisi maupun praktisi hukum seperti hakim ataupun pengacara, berpandangan bahwa jika berhulu dari adanya suatu perikatan perdata seperti surat perjanjian, maka tidak bisa pihak yang satu menggugat pihak yang satu lainnya dengan dalil telah terjadi “PMH” (perbuatan melawan hukum), namun hanya dimungkinkan untuk menggugat dengan dalil telah terjadi “wanprestasi” alias “ingkar janji”. Apakah betul demikian, sekalipun bisa jadi dalam praktik perjalanannya dan seringkali terjadi seperti banyak pengalaman yang sudah-sudah, dengan dilandasi itikad tidak baik alias niat buruk, salah satu pihak dalam relasi perjanjian ini (secara) sengaja mengingkari atau bahkan menyimpang sama sekali?
Brief Answer: Ketika suatu hubungan hukum yang berhulu pada
adanya suatu Surat Perjanjian / Kesepakatan, disikapi atau bahkan dipungkiri
oleh salah satu pihak dalam derajat yang paling ekstrem (diluar kewajaran
maupun kepatutan), maka yang bersangkutan bukan lagi sekadar telah melakukan “wanprestasi”,
namun “perbuatan melawan hukum” (PMH)—karena itulah, ketika terbit suatu “PMH”
yang bersumber dari relasi hubungan kontraktual, maka “PMH” adalah “wanprestasi”
dengan derajat ketidakpatutan yang paling ekstrem. Dalam konteks demikian, “PMH”
merupakan “wanprestasi” juga, akan tetapi sifat karakternya lebih berat dan
lebih buruk landasan batin pihak yang menciderai kesepakatan yang terjadi
sebelumnya.
Sebagai contoh, dalam suatu relasi Perjanjian
Jasa Medik, telah ternyata dalam perjalanannya pihak lembaga layanan kesehatan
melakukan “mal-praktik” terhadap sang pasien, maka sang pasien atau keluarga
pasien dapat mengajukan gugatan dengan kualifikasi “PMH” disertai tuntutan
ganti-kerugian materiil maupun immateriil (moril) terhadap lembaga layanan
medis dimaksud. Contoh nyata lainnya ialah pernah terjadi suatu preseden dimana
keluarga nasabah debitor menggugat lembaga keuangan perbankan, karena telah
menagih piutang kepada anggota keluarga penggugat, dimana “debt collector” melakukan intimidasi sehingga sang debitor
meninggal dunia secara seketika di kantor milik sang kreditor akibat mengalami
tekanan mental yang hebat, maka pihak lembaga keuangan selaku Tergugat
dinyatakan oleh pengadilan sebagai telah melakukan “PMH”.
Bermula dari Perjanjian Permodalan Usaha, dimana
dalam perjalanannya telah ternyata pihak debitor peminjam modal usaha justru
menggelapkan dana modal usaha milik investornya, yang dipakai untuk kepentingan
pribadi secara menyimpang dari tujuan semula oleh sang debitor, maka pihak kreditor
dapat menggugat debitornya dengan kualifikasi sebagai telah melakukan “PMH”. Begitupula
ketika bermula debitor meminjam sejumlah uang dari “pinjaman online” (fintecht “pinjol”),
pihak operator “pinjol” justru menyalah-gunakan data-data pribadi yang sensitif
yang merampas kedamaian privasi dari sang debitor ketika melakukan penagihan,
sehingga mengakibatkan kerugian materiil maupun moril bagi kehidupan keluarga
maupun pekerjaan sang debitor, maka dapat digugat “PMH”.
Begitupula ketika didahului oleh Perjanjian
Kerja, namun sang pekerja justru terjebak oleh modus “Tindak Pidana Penjualan Orang”
(TPPO, perdagangan manusia alias “human
trafficking”) dengan disekap di suatu tempat sebelum kemudian dijual kepada
majikan di luar negeri secara tidak manusiawi. Begitu pun ketika dimulai dengan
Perjanjian Pendidikan, orangtua murid membayar uang sekolah, namun sang guru
kemudian telah ternyata melakukan tindak pidana asusila terhadap peserta
didiknya sendiri.
Memang terdapat relasi kontraktual pada
pendahuluannya diantara contoh-contoh kasus tersebut, namun perikatan perdata
bukan hanya dapat tercipta oleh adanya perjanjian, namun juga oleh eksistensi Undang-Undang
yang mengatur relasi antar warga—karenanya warga yang menjadi korban perbuatan
melanggar hukum oleh sesama warga lainnya dapat menggugat sang pelaku secara
perdata dengan kriteria “PMH”, alih-alih sekadar “wanprestasi” semata.
PEMBAHASAN:
Ilustrasi konkret berikut bahkan
mencerminkan bahwasannya memungkiri perjanjian secara tidak patut, bermuara
pada gugatan “PMH”, sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS cerminkan
lewat putusan Mahkamah Agung RI sengketa perdata register Nomor tanggal 14
November 2019, perkara antara:
1. NIKO UJI; dan 2. MATEUS
MALUR, sebagai Para Pemohon Kasasi; melawan
- MATIAS TAMPUR, selaku Termohon
Kasasi.
Sengketa berawal ketika telah
terjadi transaksi jual-beli tanah antara Nober Nantju (ayah Penggugat) dengan
Mateus Malur (Tergugat II), dimana Penggugat merupakan salah satu ahli waris
pihak pembeli. Namun beberapa waktu kemudian, pihak Tergugat I membangun rumah /
pondok di atas objek tanah yang telah dimaksud tanpa seizin Penggugat, dimana Tergugat
II tidak mau mengakui surat jual beli objek tanah antara Tergugat II dan Nober
Nantju (ayah Penggugat). Karenanya, untuk itu pihak Penggugat mengajukan gugatan
ini agar Tergugat I dihukum untuk membongkar rumah tinggalnya dan mengosongkan objek
tanah, serta agar pengadilan menghukum Tergugat I dan Tergugat II dan atau
siapa saja yang mendapat hak dari padanya untuk menyerahkan objek tanah kepada
Penggugat dalam keadaan kosong.
Terhadap gugatan tersebut
Pengadilan Negeri Ruteng kemudian menjatuhkan putusan sebagaimana register
perkara Nomor 13/Pdt.G/2018/PN.Rtg tanggal 28 Nopember 2018, dengan amar
sebagai berikut:
“MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara:
1. Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya;”
Dalam tingkat banding,
Pengadilan Tinggi Kupang untuk selanjutnya menerbitkan Putusan Nomor
07/PDT/2019/PT KPG tanggal 8 April 2019, dengan amar sebagai berikut:
“MENGADILI :
– Menerima permohonan banding dari Kuasa Pembanding semula Kuasa Penggugat;
– Membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Ruteng Nomor 13/Pdt.G/2018/PN.Rtg
tanggal 25 Juni 2018 yang dimohonkan banding tersebut;
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan bahwa perbuatan Terbanding I semula Tergugat I menguasai
tanah objek sengketa tanpa sepengetahuan dan seizin pihak Pembanding semula
Penggugat adalah suatu perbuatan yang main hakim sendiri yang
bertentangan dengan hukum;
3. Menghukum Terbanding I semula Tergugat I atau siapa saja yang mendapat
hak daripadanya untuk menyerahkan tanah objek sengketa kepada Pembanding semula
Penggugat dalam keadaan kosong dan tanpa syarat yang dalam pelaksanaanya bila
perlu dengan bantuan aparat keamanan;
4. Menghukum Terbanding I semula Tergugat I untuk membayar seluruh biaya
perkara yang timbul dalam kedua tingkat peradilan, yang untuk tingkat banding
ditetapkan sebesar Rp150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah);
5. Menolak gugatan Pembanding semula Penggugat untuk selebihnya;”
Para pihak mengajukan upaya
hukum kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung RI membuat pertimbangan serta
amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, setelah meneliti
memori kasasi tertanggal 22 Mei 2019 dan kontra memori kasasi tanggal 17 Juni
2019 dihubungkan dengan pertimbangan judex facti dalam hal ini Pengadilan
Tinggi Kupang tidak salah menerapkan hukum, dengan pertimbangan sebagai
berikut:
“Bahwa walaupun bukti P-2
berupa surat pernyataan jual beli tanpa ditandatangani oleh Nober Nantju
sebagai pembeli karena yang penting surat tersebut ditandatangani oleh Tergugat
II sebagai penjual dan surat pernyataan jual beli bersesuaian dengan bukti P-3
berupa kuitansi, maka telah terjadi jual beli tanah objek sengketa antara
ayah Penggugat dengan Tergugat II;
“Bahwa setelah dilakukan jual
beli, Nober Nantju (ayah Penggugat) telah menguasai tanah objek sengketa
sejak tahun 1962 dan tidak ada gangguan dari pihak lain, maka Penggugat
dapat membuktikan bahwa tanah objek sengketa adalah milik Nober Nantju yang
telah dibeli dari Tergugat II, sehingga penguasaan tanah objek sengketa oleh
Tergugat I tanpa persetujuan Penggugat merupakan perbuatan melawan hukum;
“Menimbang, bahwa terlepas dari
pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah Agung berpendapat bahwa amar putusan
judex facti/Pengadilan Tinggi Kupang yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri
harus diperbaiki sepanjang mengenai ahli waris dan jual beli dengan
pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa oleh karena Pengugat dan
saudara-saudara lainnya sebagai ahli waris tidak dibantah oleh Para Tergugat
sehingga dianggap diakui oleh Para Tergugat bahwa Penggugat sebagai ahli waris
dari Nober Nantju sehingga petitum kedua dari gugatan Penggugat sangat
beralasan untuk dikabulkan, begitu pula dengan petitum ketiga dikarenakan jual
beli tanah objek sengketa antara ayah Penggugat dengan Tergugat II adalah sah
maka petitum ketiga dari gugatan sangatlah beralasan untuk dikabulkan, oleh
karena itu putusan judex facti/Pengadilan Tinggi Kupang diperbaiki dengan
menambah bunyi amar petitum gugatan kedua dan ketiga;
“Menimbang, bahwa berdasarkan
pertimbangan di atas, ternyata putusan judex facti/Pengadilan Tinggi Kupang
dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka
permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi 1. NIKO UJI, 2. MATEUS
MALUR tersebut harus ditolak;
“M E N G A D I L I :
1. Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi I. NIKO UJI, dan Pemohon
Kasasi II. MATEUS MALUR tersebut;
2. Memperbaiki amar Putusan Pengadilan Tinggi Kupang Nomor 07/PDT/2019/PT
KPG tanggal 8 April 2019 yang membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Ruteng
Nomor 13/Pdt.G/2018/PN Rtg tanggal 28 Nopember 2018 sehingga amar selengkapnya
sebagai berikut:
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan Penggugat dan saudara-saudaranya yang bernama: Gaspar
Jegau, Sovia Nanut, Regina Nganur, Erita Maria Pamus dan Eva Bangur adalah ahli
waris yang sah dari Nober Natju dan Yustina Wanul;
3. Menyatakan bahwa transaksi jual beli tanah obyek sengketa antara
Nober Nantju (ayah Penggugat) dengan Mateus Malur (Tergugat II) adalah sah
menurut hukum;
4. Menyatakan bahwa perbuatan Terbanding I semula Tergugat I menguasai
tanah objek sengketa tanpa sepengetahuan dan seizin pihak Pembanding semula
Penggugat adalah suatu perbuatan yang main hakim sendiri yang bertentangan
dengan hukum;
5. Menghukum Terbanding I semula Tergugat I atau siapa saja yang mendapat
hak daripadanya untuk menyerahkan tanah objek sengketa kepada Pembanding semula
Penggugat dalam keadaan kosong dan tanpa syarat yang dalam pelaksanaannya bila
perlu dengan bantuan aparat keamanan;
6. Menghukum Terbanding I semula Tergugat I untuk membayar seluruh biaya
perkara yang timbul dalam kedua tingkat peradilan, yang untuk tingkat banding
ditetapkan sebesar Rp150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah);
7. Menolak gugatan Penggugat untuk selebihnya;
8. Menghukum Pemohon Kasasi untuk membayar biaya perkara dalam tingkat
kasasi ini sejumlah Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah rupiah);”
CATATAN PENUTUP DARI PENULIS:
Sebagaimana dapat kita saksikan
sendiri di atas, sekalipun “petitum” (pokok tuntutan dalam surat gugatan)
maupun amar putusan pada tingkat kasasi, ada menyebutkan “3. Menyatakan bahwa transaksi jual beli tanah obyek sengketa
antara Nober Nantju (ayah Penggugat) dengan Mateus Malur (Tergugat II) adalah sah
menurut hukum”, namun tidak secara serta-merta gugatan ini harus berbentuk
gugatan dengan kualifikasi “wanprestasi”. Aplikasi dari perjanjian itulah yang
bermasalah, dan bertentangan dengan hukum, karenanya patut dinyatakan sebagai “melawan
hukum”, sebagaimana telah ternyata disetujui dan dikabulkan oleh Majelis Hakim
Agung dalam amar butir selanjutnya : “4.
Menyatakan bahwa perbuatan Terbanding I semula Tergugat I menguasai tanah objek
sengketa tanpa sepengetahuan dan seizin pihak Pembanding semula Penggugat
adalah suatu perbuatan yang main hakim sendiri yang bertentangan dengan
hukum”.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.