Larangan & Kebolehan Vs. Kepatutan dan Ketidakpantasan
KONTEKS merupakan Domain Etika, sementara TEKS
menjadi Domain Norma Hukum
Question: Apakah mungkin dan dimungkinkan, norma hukum mengandung etika dan juga sebaliknya, etika mengandung norma hukum?
Brief Answer: Secara singkat, norma yuridis yang kita kenal
dengan istilah “hukum” lewat pasal-pasal suatu peraturan perundang-undangan,
sifat karakternya ialah “membuta” antara larangan, perintah (keharusan), dan
kebolehan yang diberlakukan secara “pukul rata“. Ia menjadi sarat akan
“tekstual” berupa pasal-pasal dalam berbagai peraturan perundang-undangan lewat
ciri khasnya berupa “boleh” atau “tidak boleh”. Bisa menjadi berseberangan dengan
yang disinggung sebelumnya, sumber kearifan kita selaku umat manusia,
bersumberkan pada ranah gradasi etika, yang mana sarat akan “variabel bebas”
berupa kontektual masing-masing peristiwa yang bisa jadi masing-masingnya “unik”
antara satu peristiwa dan peristiwa-peristiwa lainnya, karenanya etika tidak
bisa bersifat “pukul rata” sebagaimana sifat “membuta” norma hukum yang
menghamba pada asas “erga omnes” (berlaku
bagi umum) yang selama ini dibangga-banggakan oleh kalangan Sarjana Hukum di
Tanah Air lewat semboyan “tegakkan hukum sekalipun langit runtuh”. Dewi Themis,
dewi simbol / lambang hukum, menutup matanya dengan kain semberi memegang
timbangan danp edang. Pertanyaannya, mengapa hukum harus “buta”?
Akibatnya, norma hukum tidak memiliki apa yang
disebut sebagai “variabel bebas” namun semata “variabel terikat” lewat
pasal-pasal yang kaku dan “beku”, secara “pukul rata” dengan menegasikan
konteks peristiwa yang bisa jadi sangat beragam serta bervariasi, atau bahkan
juga tidak pernah terpikirkan oleh para penyusun peraturan perundang-undangan.
Karena norma hukum hanya bertopang dan mengandalkan “variabel terikat”
(tekstual pasal-pasal ketika melakukan silogisme premis mayor, premis minor,
serta kesimpulannya) tanpa mengenal “variabel bebas”, pada gilirannya norma
hukum bertopang pada sebuah pilar bernama asumsi—semisal suatu Undang-Undang
disusun saat keadaan bangsa sedang “normal”, akan menjelma blunder ketika
kondisi negara sedang dilanda kondisi “darurat”, karenanya setiap pasal
peraturan perundang-undangan mengasumsikan fenomena sosial-kebangsaan bersifat
“beku” dan “kaku” sebagaimana potret kondisi bangsa saat suatu Undang-Undang
disusun dan diterbitkan oleh suatu negara. Faktanya, fenomena sosial maupun
fenomena kenegaraan dan berbangsa selalu dinamis dan cair, berubah serta
berevolusi seiring waktu berjalannya negara, rakyat, dan pemerintahannya.
PEMBAHASAN:
Sudut pandang norma hukum,
semata merujuk kepada pertanyaan antara “boleh” ataukah “tidak boleh” (preskriptif-imperatif),
titik, berhenti sampai disitu saja, tiada pertimbangan lainnya. Pengecualiannya
ialah semata dalam tataran praktik saat putusan pengadilan diketuk dan
dijatuhkan, dimana tidak sedikit dapat kita jumpai putusan pengadilan yang
sangat unik, mengingat Majelis Hakim memutuskan untuk menyimpangi ketentuan
peraturan perundang-undangan karena konteksnya tidak sesuai dengan teks
peraturan perundang-undangan yang ada. Dalam terminologi hukum, peristiwa
dimana hakim menyimpangi keberlakuan suatu pasal peraturan perundang-undangan,
dikenal dengan istilah “contra legem”.
Sehingga, ranah implementasinya di peradilan tidak murni sebagai lembaga
penegak hukum, namun “disusupi” agenda etika yang menyasar pada pertanyaan
filosofis (deskriptif-sosiologis) : layak atau tidak layak, patut atau tidak patut,
pantas atau tidak pantas dilakukan oleh seseorang warga yang didudukkan sebagai
pihak tergugat ataupun sebagai pihak terdakwa di hadapan persidangan?
Bila norma hukum mencoba
melepaskan diri dari konteks, maka etika bergerak sebaliknya, yakni mengakui
serta mengakomodir bergeraknya bandul peristiwa berupa konteks kejadian yang
masing-masingnya bisa jadi berbeda karakter dari kejadian-kejadian serupa
sebelumnya, alias “unik”. Yang tidak banyak disadari oleh kita, norma agama
juga tergolong sebagai tekstual. Sebagai contoh, anak yang membunuh orangtuanya
(konon) akan dijebloskan ke neraka. Namun, berikut pertanyaan etikanya :
bagaimana bila konteksnya ialah, sang orangtua berupaya mencoba melakukan
pemerkosaan terhadap puteri kandungnya sendiri, lalu sang puteri mencoba
membela martabat diri dengan membunuh sang ayah, apakah sang puteri akan dicap
sebagai “durhaka”?
Membunuh, adalah dosa. Apakah
membunuh, dengan demikian secara otomatis pelakunya akan masuk alam neraka?
Seorang algojo, mengeksekusi para terhukum vonis mati, seperti para pengedar
obat-obatan terlarang ataupun para pelaku kejahatan perang, maka apakah mereka
yang berprofesi sebagai algojo akan diberi vonis “masuk neraka” setelah mereka
tutup usia, sekalipun mereka melakukannya dalam rangka menolong banyak anggota masyarakat
agar tidak menjadi korban kejahatan serupa? Falsafah hukum secara tegas
melarang keberlakuan surut suatu peraturan perundang-undangan (asas non-retroaktif).
Namun, telah pernah terbit Undang-Undang khusus bagi para pelaku pelanggaran
berat terhadap hak asasi manusia seperti pelaku genosida maupun Undang-Undang
bagi para pelaku aksi teror!sme, diberlakukan secara surut (retroaktif) bagi
para pelakunya. Dari kacamata hukum, terutama kaum legalisme, asas
non-retroaktif tidak dapat ditawar-tawar, sama halnya dengan “hak untuk hidup”
merupakan “non-derogable right”
sehingga juga tidak dapat ditawar-tawar.
Namun dari kacamata etika,
pertanyaannya tidak berhenti sampai disitu, akan tetapi bergerak lebih jauh
(serta lebih dalam) dengan membuat pertimbangan-pertimbangan mendalam dengan
pikiran yang jernih serta akal sehat, berupa barometer pertanyaan berikut ini :
Apakah perbuatan demikian, diperlukan ataukah tidak diperlukan? Apakah patut
ataukah tidak patut? Apalkah lebih banyak manfaat ataukah mudarat? Apakah dapat
dibenarkan ataukah tidak dapat dibenarkan? Patut ataukah tidak patut? Pantas
ataukah tidak pantas? Harus ataukah tidak harus? Layak ataukah tidak layak? Undang-Undang
telah mengatur larangan disertai ancaman sanksi bagi pelanggarnya, namun ketika
masih juga (dengan sengaja) dilanggar, semisal mengedarkan obat-obatan terlarang
akan dihukum mati, bukankah itu sang terdakwa yang meminta dihukum mati (you asked for it)? Bagaimana dengan korban-korban
dari kejahatan sang pelaku pengedar, apakah korban-korban tersebut tidak berhak
menuntut hak asasi untuk hidup?
Demokrasi, apakah identik
dengan kebaikan bagi suatu negara untuk diadopsi serta diterapkan? Apapun itu,
tidak terkecuali sistem pemerintahan berdasarkan demokrasi, ibarat sebilah
pisau untuk memotong sayur, ia bisa bermanfaat bila dipakai secara memadai
sesuai peruntukannya akan tetapi juga dapat melukai tangan si pemakainya itu
sendiri ketika gegabah. Sekarang kita implementasikan kepada konteks bangsa
kita di Indonesia yang notabene masyarakat-nya belum cukup cerdas, sering
“mendadak lupa” sehingga kompromistis terhadap para mantan terpidana korupsi
dengan kembali terpilih sebagai pejabat negara, disalami ketika keluar dari
penjara, maka apakah demokrasi telah layak dan patut diterapkan pada saat kini
di Indonesia?
Membunuh, apakah selalu identik
dengan perbuatan salah dan tercela? Secara norma hukum, membunuh secara
disengaja adalah tindak pidana dan pelakunya dihukum penjara—jangan menyebut-nyebut
perihal “alasan pemaaf” akibat “overmacht”,
praktik peradilan seringkali tidak mengakui adanya “alasan pemaaf” semisal korban
membela diri sehingga pelakunya yang tewas terbunuh oleh senjata tajamnya
sendiri, sang korban tetap saja dihukum penjara oleh hakim di pengadilan.
Namun, dari perspektif etika, nilai intrinsik seorang manusia bisa sangat
beragam, tidak seragam “satu” (“1”) nilainya, akan tetapi dalam wujud gradasi
berupa : manusia-blis, manusia-setan, manusia-hewan, manusia-manusia,
manusia-dewa, manusia-brahma, Buddha. Menyakiti atau melukai seorang Buddha,
sang manusia-suci, mengakibatkan Devadatta ditelan hidup-hidup oleh Bumi dan
meluncur langsung ke alam neraka lapis terdalam. Bahkan, dalam Buddhisme, alam
neraka pun terdapat lapisan penggolongan sesuai berat-ringannya kejahatan sang
penghuni neraka, tidak terkecuali lapisan alam surgawi.
Itulah sebabnya, para bhikkhu
yang menapak jalan hidup displin diri kesucian penuh latihan “self control” sebagai profesi utamanya
berfokus, merupakan “ladang menanam jasa”—mengingat berdana kepada seorang
koruptor bisa dikata tidak ada buah Karma Baiknya, namun berdana kepada
orang-orang suci yang menapak di jalan kesucian, merupakan ladang subur, dimana
benih Karma Baik yang kita tanam bukan di ladang kering-tandus, namun di ladang
yang subur dan gembur. Menjadi seseorang yang baik, tidak berbuat kejahatan,
atau bahkan lebih tinggi lagi berlatih dalam disiplin jalan kesucian, merupakan
“pulau pelindung” yang terbaik bagi diri kita sendiri.
Penjahat yang cukup pandai
serta cerdik, secara selektif hanya akan mencuri dan menipu orang-orang jahat,
karena Karma Buruknya sangat kecil, kecuali yang dijadikan target mangsa
(korban) ialah orang-orang baik—hanya seorang pengecut, lebih tepatnya “penjahat
(yang) pengecut”, yang justru menjadikan orang-orang baik sebagai target “mangsa
empuk”-nya. Sebaliknya, si dungu akan menjadikan orang baik sebagai “mangsa
empuk”, sama artinya menggali lubang neraka sendiri. Jadilah orang yang suci,
maka dengan demikian mereka yang menyakiti orang-orang yang tidak pernah
menyakiti makhluk hidup lainnya akan menjadi “jaminan mutu” si pelaku akan tenggelam
ke jurang neraka. Sebaliknya, dengan menjadi orang jahat, sama artinya tiada
perlindungan apapun, dimana ketika sang jahat disakiti oleh orang jahat
lainnya, mengadu kepada Yama si Raja Neraka, inilah komentar Raja Neraka : “Anda menuntut keadilan, wahai manusia busuk?
Apakah Anda layak untuk itu? Itu terlampau istimewa untuk Anda dan Anda tidak
punya hak terlebih keistimewaan seperti itu! Go to HELL!”
Etika, bermain dalam ranah
“seni paradoks”. Contoh sederhananya, membunuh adalah buruk, tidak terkecuali
membunuh hewan. Namun apakah artinya kita hanya boleh berdiam diri, membiarkan
cacing-cacing parasit menggeliat bersarang dan bertelur dalam perut kita, tanpa
secara rutin meminum obat cacing? Anjing gila (rabies), lebih baik disuntik
mati, daripada membawa potensi melukai orang-orang yang tidak bersalah ataupun
menulari hewan berkaki empat lainnya. Sistem meritokrasi ala egalitarian,
berupa pendekatan “reward” dan “punishment”, tidak lain tidak bukan
merupakan kajian etika. Bila kajian agama seolah-olah hanya mengenal kata
“durhaka” bagi anak, namun kajian etika mengenal serta mengakui eksistensi para
“toxic parent” ala “egoistic and narcistic parent”, sehingga
kata “durhaka” bukan monopoli milik kalangan anak. Itulah sebabnya, kajian
etika bisa jauh lebih penting dan lebih menarik untuk dipelajari dan diajarkan
kepada generasi muda dan penerus kita.
Niat boleh baik, namun bila
caranya keliru, adalah tidak baik adanya (konteks). Niat dan caranya boleh
baik, namun apakah telah disalurkan kepada orang, waktu, serta tempat yang
tepat (konteks)? Ada sebuah pepatah yang tampak bijaksana di telinga, yakni “yang
sudah lampau, (maka) biarkanlah berlalu”. Namun, bagaimana bila yang mengatakan
itu ialah sang pelaku kejahatan terhadap korban dari sang pelaku, apakah pantas
dan patut? “Obat” bisa menjadi “racun” ketika diperlakukan secara tidak sesuai
proprosinya atau ketika ia disalah-gunakan. Sebaliknya, “racun” bisa menjelma “obat”
ketika ditangani secara mamadai. Karena itulah, dalam perspektif etika, segala
sesuatunya adalah netral saja adanya. Hanya saja wadah konteksnya yang
memberinya sebuah nilai, bisa dipandang menjadi buruk atau bisa juga sebaliknya
bila konteks yang melingkupi suatu peristiwa telah berubah ataupun
disalahgunakan.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.