Makna dan Contoh ETIKA SITUASIONAL

Relasi antara KORUPSI dan PEMERKOSAAN

Korupsi merupakan Pemerkosaan terhadap Ekonomi Kerakyatan

Apa yang menjadi faktor pembeda paling utama antara manusia dan robot? Kemampuan menimbang serta mencermati konteks suatu kondisi yang melingkupi suatu peristiwa, dimana itulah yang kita kenal sebagai “kebijaksanaan” (wise). Tanpa kemampuan dasar seorang manusia demikian, maka seseorang layak diberi gelar sebagai “manusia robot”, “hakim robot”, “polisi robot”, dan lain sebagainya. Terkadang, ketika situasi menuntut kita untuk memecah kebuntuan dan kebekuan, kita memang perlu “melawan arus” alias kecerdasan bersikap fleksibel dan tidak kaku. Prinsip hidup dan idealisme itu penting, namun perlu dibawakan secara cerdas dan bijaksana. Tahu kapan bersikap lunak, dan tahu kapan harus bersikap selayaknya diktator bilamana situasi menuntut untuk itu, merupakan salah satu “seni hidup”—karenanya sesuatu menjadi baik ataupun sebaliknya menjadi buruk, bilamana kita gagal memahami kondisi yang ada.

Pengalaman pribadi telah pengajarkan kepada penulis, betapa seseorang yang tidak memahami apa yang disebut sebagai “etika situasi”, lebih cenderung kerap menghakimi orang lain, seolah-olah dirinya adalah “polisi moral”—namun menghakimi secara tidak “wise”, hakim yang buruk alias “ignorant”. Salah satu contoh paling sederhananya ialah ketika penulis berada di stasiun kereta komuterline di Jakarta pada salah satu stasiun terpadat di pusat komersial kota. Apakah penumpang yang turun dari dalam gerbong kereta, selalu harus didahulukan (untuk turun)vdan menjadi “harga mati” untuk selamanya dan segala kondisi (membuta)? Orang buta hendak menuntun orang buta lainnya, itu adalah delusi.

Bila Anda adalah sebatas “Sarjana Etika” atau “Sarjana Moral”, maka jawabannya jelas, berikan kesempatan yang penumpang yang turun terlebih dahulu adalah “harga mati”, yang melanggarnya patut untuk dicela. Berhati-hatilah, Anda akan cenderung menghakimi secara arogan bilamana Anda tidak bijaksana melihat situasi yang ada di lapangan. Penting bagi kita untuk belajar dan berlatih untuk menjadi seorang “Sarjana Etika Situasional”, bukan sebatas atau berhenti pada “Sarjana Etika” (yang memandang dirinya paling superior, namun kelirutahu, tahu akan tetapi keliru). Tidaklah terlampau penting apa yang menjadi norma sosial ataupun norma hukumnya, yang terpenting ialah mengenali dan menganalisa apa situasi yang melingkupi suatu realita.

Mengapa diskresi itu penting? Yakni untuk memecah kebekuan dan kebentuan, sekalipun harus melanggar norma hukum sekalipun, dan itulah yang dalam praktik persidangan dikenal sebagai “contra legem”, bilamana diperlukan maka sifatnya dapat dipertanggung-jawabkan. Aturan untuk keadaan normal, tidak dapat diterapkan secara “harfiah” (leterlijk) untuk keadaan darurat, begitupula sebaliknya. Karenanya, norma hukum berdiri dan bertopang pada pilar rapuh bernama “asumsi”—dimana pemerintah dan regulator berasumsi bahwa kondisi dan keadaan bangsa akan “freeze” (beku menyerupai sebuah potret) ketika sebuah Undang-Undang disusun serta diterbitkan, sekalipun bisa jadi beberapa tahun kemudian keadaan telah berubah dan menuntut perlakuan berbeda.

Pernah terjadi dimana penulis alami sendiri, sebagai salah seorang penumpang yang berdiri di peron stasiun telah penuh padat, sesak tanpa ada ruang yang tersisa bagi penumpang di dalam gerbong kereta untuk turun. Akibatnya terjadi “bottleneck”, dan “deadlock”. Selama bermenit-menit penumpang di dalam gerbong hanya “melongo” berjejeran di mulut pintu gerbong, sementara itu penumpang yang hendak naik hanya menjadi “penonton” di peron. Harus ada yang berani mengambil inisiatif untuk memecah kebekuan agar terurai, dengan resiko dihakimi oleh mereka yang menganggap dirinya “polisi moral”. Penulis seketika memegang pegangan di pinggir mulut pintu gerbong, lalu ketika hendak naik, seseeorang penumpang lain di peron lalu menghakimi penulis, “YANG TURUN DULUAN, JANGAN NAIK DULUAN!” Penulis tampak seperti seorang kriminil pada saat itu. Beruntung ada penumpang lain di peron yang menyemangati penulis untuk tetap naik ke dalam gerbong, dan saat penulis hendak memanjat masuk ke dalam gerbong, terdapat seorang bule yang bahkan secara sengaja menghalangi ruang celah di pintu gerbong yang berjejeran penumpang yang hendak turun (namun tidak turun-turun juga selama bermenit-menit lamanya penulis menunggu) sehingga penulis sukar untuk naik karena sengaja dihalangi oleh sang bule. Dasar bule tidak berotak, juga tidak memiliki apa yang dinamakan “etika situasional” di negeri Timur milik Bangsa Indonesia.

Ketika penulis pada akhirnya berhasil meringsek masuk, barulah ada terbuka ruang di lantai peron bagi penumpang di dalam gerbong untuk turun, sehingga kebekuan pun cair seketika itu pula, penumpang bisa naik dan turun secara leluasa. Idealnya, ketika kondisi demikian terjadi, separuh lebar pintu gerbong biarkan menjadi ruang bagi penumpang di peron untuk naik, sehingga ada ruang di peron bagi penumpang di dalam gerbong untuk turun, karena situasi menuntut untuk menyimpangi norma tidak tertulis “dahulukan yang turun”. Dari pengalaman tersebut penulis menjadi belajar untuk membuat deklarasi ketika kebekuan semacam itu terjadi selama bermenit-menit lamanya tanpa ada pemecahan, yang tidak dapat dibiarkan berlarut-larut, namun juga tanpa membiarkan adanya “polisi moral” untuk menghakimi kita yang mengambil inisiatif (resiko) untuk memecah kebekuan dan kebuntuan situasi, yakni deklarasikan kalimat berikut ini : “JIKA KALIAN (YANG ADA DI DALAM GERBONG) TIDAK MAU TURUN JUGA, MAKA KAMI (YANG DI PERON) YANG AKAN NAIK!

Kini kita beralih pada isu sosial lainnya, perihal korupsi. Bila lawan kata dari “aksi berdasarkan konsensus” (suka sama suka) ialah “pemerkosaan”, maka segala bentuk tindakan sepihak yang bersifat “tidak berdasarkan konsensus” adalah sebuah “pemerkosaan”, baik yang terang-benderang maupun yang terselubung sifat karakter modus kejahatannya. Lantas, apa kaitannya hal tersebut di atas dengan tindak pidana “korupsi”? “Korupsi”, pada dasarnya juga “tidak berdasarkan konsensus”, sekalipun antar pelakunya yang melakukan secara “turut-serta” saling berjemaah melakukan aksi “korupsi”—makna “tiada konsensual” disini ialah antara si pelaku dan korban maupun korban-korbannya.

Dengan demikian, kita mulai memahami bahwasannya karakter dibalik tindak pidana “korupsi” adalah sama jahatnya dengan tindak pidana “pemerkosaan”—hanya saja dalam kasus-kasus semacam tindak pidana “korupsi”, korbannya bukanlah satu orang warga, namun seluruh penduduk dalam satu negara atau setidaknya penduduk pada satu wilayah bilamana yang di-“korupsi” oleh sang pelaku ialah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Tidak ada orang yang suka menjadi korban “pemerkosaan”, siapa juga yang rela “diperkosa” dan menjadi “korban perkosaan”? Karenanya, (semestinya) tidak ada diantara masyarakat kita yang rela “dikorupsi” dan menjadi “korban korupsi”, terlebih permisif maupun kompromistik terhadap para pelakunya.

Terdapat kesamaan kedua antara “pemerkosaan” dan “korupsi”, yakni merampas hak-hak para korbannya, berupa perampasan terhadap hak atas pilihan bebas, hak atas ekonomi, hak atas harkat dan martabat, hak atas tubuh fisiknya, tidak terkecuali merampas kebahagiaan serta hak atas masa depan yang baik. Adapun kesamaan ketiga diantara keduanya, ialah “mau instan” alias “tidak mau repot-repot”. Seorang pemerkosa, “memerkosa” korbannya karena tidak mau repot-repot “PDKT” dengan membelikan bunga bagi seorang gadis yang dilamarnya untuk menjadi pacar maupun tunangan, tidak mau keluar modal untuk membelikan hadiah maupun makan siang bersama, tidak mau keluar modal untuk membelikan cincin atau kalung emas, juga tidak mau repot-repot untuk menikahinya serta mengadakan resepsi pernikahan, tidak mau repot-repot berkomitmen dalam ikatan tanggung-jawab atas konsekuensinya yakni lahir seorang anak dari hubungan rumah-tangga, tidak mau repot-repot menafkahi istri dan merawat anak, dan lain sebagainya.

Koruptor maupun pemerkosa, maunya “hit and run”, setelah merampas lantas melarikan diri dan lepas tanggung-jawab secara begitu saja terhadap korban. Tidak ada koruptor yang meminta izin kepada para korbannya ketika hendak melakukan aksi “korupsi”, semisal lewat pengumuman di koran bahwa dirinya akan mengorupsi hak-hak rakyat luas pada tanggal sekian dan sebesar berapa rupiah. Sama seperti tiada pemerkosa manapun yang mau repot-repot meminta izin kepada korbannya ketika hendak “memerkosa”. Sudah jelas, siapa yang rela dan bersedia di-“korupsi” maupun di-“perkosa”. Sang pelakunya itu sendiri tidak bersedia diperlakukan demikian, namun sang pelaku melakukan demikian terhadap pihak lain.

Singkat kata, kedua jenis tipihal penjahat demikian bersikap curang dan penuh kecurangan, tipu-muslihat, ketidak-jujuran, ego-sentris, pemalas, serta maunya serba “instan”. Satu-satunya perbedaan antara “pemerkosaan” dan “korupsi”, bila korban “perkosaan” menyadari bahwa dirinya telah dijadikan korban yang demikian eksplisit, maka dalam kasus “korupsi” meski jumlah korbannya bersifat masif namun amat terselubung dan implisit karena dampaknya tidak dirasakan secara langsung oleh masyarakat yang menjadi korban kecuali korupsi pengadaan barang semisal konstruksi jembatan ataupun jalan—dalam artian para korbannya sukar mengidentifikasi kerugian yang telah mereka derita bahkan tidak memahami bahwa diri mereka sejatinya telah ditumbalkan oleh sang pelaku “korupsi” (koruptor), serta kendala hendak menuntut siapa ataupun mengadu ke manakah.

Di lapangan, warga yang berpendidikan sekalipun tidak memahami letak kerugian yang mereka derita akibat keuangan negara maupun keuangan daerah dikorupsi oleh para pelaku aksi “koruptif”. Faktor penyulit kedua, budaya masyarakat kita di Indonesia masih sangat kompromistik serta permisif terhadap aksi “korupsi”—betapa tidak, para mantan napi “korupsi” ketika bebas dari masa penahanan di penjara, disambut oleh para warga pengunjung serta masih pula bersalam-salaman dengan sang “selibritis” yang figurnya sempat mengisi kolom-kolom pemberitaan sebagai terdakwa kasus “korupsi”, bahkan masih pula dipilih sebagai kepala daerah maupun anggota legislatif.

Faktor penyulit ketiga, seringkali para koruptor bermain dalam tataran “persona” alias topeng artifisial. Seorang koruptor, selicik seorang penipu. Sebagaimana kita ketahui dan pernah alami sendiri berhadapan dengan seorang penipu, seorang penipu untuk menutupi niat jahat dan motif buruknya, menyelubunginya dirinya dengan sikap-sikap seolah penuh perhatian, baik, pemurah, dermawan, dan mulia, bahkan berakting selayaknya seorang malaikat (acting like an angel), namun kesemua itu hanyalah “cover” atau selubung untuk membuat calon korbannya menjadi lengah pertahanan dirinya, menaruh kepercayaan, dan bahkan tidak percaya bahwa dirinya telah dicelakai dan dijadikan korban penipuan oleh sang penipu.

Fenomena sosial unik di Indonesia, para warga merasa tidak percaya seorang tokoh setempat ditangkap oleh aparatur penegak hukum karena melakukan aksi “korupsi”, mengingat sang tokoh selama ini dikenal “agamais” serta “dermawan”, semisal kerap berdonasi dengan nominal besar bagi tempat ibadah, membangun dan merenovasi tempat ibadah, menyumbang pembangunan jalan, menyumbang sembako, membiayai kegiatan masyarakat setempat, dan lain sebagainya. Sebaliknya, seorang “pemerkosa” sukar mendapatkan simpatik semacam itu dari masyarakat, dan tampaknya memang hanya menjadi hal istimewa bagi kalangan koruptor yang mungkin baginya hanya berdonasi “recehan” (kurang dari 5%, dalam rangka “cuci uang” dan “cuci dosa”)—bila dibanding nilai nominal yang “dikorupsi” oleh sang koruptor—namun bagi masyarakat setempat dipandang sebagai donasi yang lumayan besar (untuk ukuran standar ekonomi sang masyarakat setempat).

Relasi demikian merupakan tipikal ikatan “patronase”, antara sang “patron” dan sang “klien”. Wujudnya bisa bervariasi, seperti halnya bagi istri dan anak sang koruptor, suami dan ayah mereka adalah “pahlawan keluarga”, karena berani menantang maut (konsekuensi hukum dan neraka) dengan melakukan aksi “korupsi” dalam rangka “membahagiakan” keluarganya agar bisa hidup mewah tidak berkekurangan. Tidak terkecuali antara warga lokal setempat yang menikmati pembangunan jalan atau tempat ibadah dan sang koruptor yang mendanai pembangunan jalan umum maupun tempat ibadah, maka sang koruptor akan dipandang sebagai “malaikat” serta orang “mulia”.

Mencari nafkah bagi keluarga serta berdonasi bagi masyarakat umum, apakah selalu merupakan hal yang positif serta luhur? Tampaknya, masyarakat kita yang rata-rata telah mengenyam pengalaman proses ajar-mengajar di bangku pendidikan formil, perlu mendapatkan edukasi perihal “etika situasional”. Nafkah serta donasi, adalah hal yang buruk bilamana konteks atau kejadian yang melatar-belakanginya adalah patut untuk dicela. Salah telahlah salah, yang keliru tetaplah keliru, dan yang tercela tetaplah tercela bilamana situasi tidak dapat membenarkan perilaku tersebut—namun “alasan pembenar” seolah hendak membenarkan apa yang keliru. Contoh, menurut para pembaca, apakah beribadah selalu berkonotasi positif?

Pernah terjadi, para pengendara datang dan memarkir kendaraan mereka berjejeran di depan pagar kediaman rumah penulis, dengan alasan “hendak melayat” dan lebih galak daripada penulis selaku pemilik rumah yang dirampas kemerdekaannya (untuk keluar dan masuk rumah sendiri) ketika ditegur, bahkan menantang berkelahi. Mereka bersikap seolah tidak ada tempat lain yang lebih patut dan lebih pantas untuk parkir tanpa merugikan warga setempat penghuni rumah. Mereka mengatas-namakan ibadah “melayat”, sebagai “alasan pembenar”—mungkin mereka akan menggunakan alasan serupa untuk merampok dan membunuh. Ketika mereka sedang beribadah dan mengenakan busana agamais saja demikian tercela dan tidak patut (merampas kemerdekaan pemilik rumah, bahkan tanpa meminta izin pemilik rumah, betapa sopan dan arogannya mereka “memerkosa” hak-hak pemilik rumah), maka bagaimana ketika mereka tidak sedang dalam rangka beribadah?

Tidak ada yang melarang mereka untuk beribadah, namun mengapa beribadah dengan cara merugikan orang lain? Kemampuan untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk, merupakan modal kemanusiaan paling mendasar bagi seorang manusia beradab. Membuta, atau sikap-sikap “pukul rata” lainnya, tanpa mau mengakui dan melihat latar-belakang maupun konteks yang melingkupi suatu peristiwa (situasi), merupakan cerminan sikap yang kurang matang, kurang dewasa, serta kurang bijaksana—meski rambut telah memutih dan menyandang sederet gelar akademik. Seseorang disebut sebagai arogan, karena sikapnya yang tidak pernah mau mempertimbangkan “etika situasional”, dan itulah tepatnya yang disebut sebagai “sampah masyarakat”. Kabar buruknya, negeri kita tidak pernah kekurangan “sampah-sampah” semacam itu.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.