Investasi Asing Masuk dengan Derasnya, namun Warga Indonesia justru Mengadu Nasib ke Negeri Asing
Selama ini pemerintah mendengungkan penting serta urgensinya untuk menggelar “karpet merah” bagi investor asing dan selama ini pula meng-klaim tingginya pencapaian atau tercapai serta terlampauinya realisasi pertumbuhan masuknya modal investasi asing ke dalam teritori Indonesia. Namun, suka atau tidak suka kita menjadi merasa miris sekaligus satiris, ironi pada negeri dimana berbagai investor asing kian bercokol, namun anak-anak bangsa lokal-domenstik Indonesia justru sepanjang tahun ini pula menjadi korban “human trafficking” alias “perdagangan orang” dengan modus rekruitmen tenaga kerja ke negeri asing—dimana ternyata mereka dikelabui, dijebak serta terjebak, sebelum kemudian disekap untuk dieksploitasi menjadi pekerja bisnis ilegal seperti “perjud!an online” dan kegiatan penipuan secara daring lainnya yang menjadikan warga di Indonesia sebagai target korban-korbannya.
Pemerintah, harus kita akui,
telah bersikap tidak jujur dan tidak transparan terhadap rakyatnya sendiri. Betapa
tidak, Kementerian Investasi / Badan Koordinasi Penanaman Modal mengklaim,
sekian triliun Rupiah investasi asing masuk ke wilayah Indonesia, maka
equivalen dengan dibukanya / bertambahnya sekian jumlah lapangan pekerjaan
baru. Itu adalah ilusi yang delusif bila tidak dapat kita sebut sebagai
menyesatkan dan membodohi rakyat sendiri. Ini zaman era robotik serta
digitalisasi, teori ekonomi usang dan ekonom “zadul” yang selama ini membisiki
pejabat pemerintahan dipersilahkan masuk “tong sampah”.
Ketika investasi asing yang
masuk justru berupa “padat modal” dalam makna artian bukan “padat karya”, maka
wujudnya ialah berupa mesin-mesin otomatisasi (machine) yang sifatnya menggantikan fungsi “tenaga kerja manusia”. Sekali
lagi, mesin-mesin canggih tersebut sifatnya ialah substitusi bukan komplomenter
tenaga “man power”—alhasil, lapangan
kerja yang semula ada justru menjadi tiada, dimana lebih tragis lagi bilamana
sang investor asing justru menawarkan dan memasarkan mesin-mesin otomatisasi
yang mereka produksi kepada pelaku usaha lokal-domestik, maka dapat dipastikan
investasi asing akan berbanding lurus dengan kian meningginya efisiensi usaha
yang bermuara pada pemutusan hubungan kerja. Bila Anda berpikir bahwa hal di
atas hanyalah sekadar wacana, sejatinya itu merupakan fakta yang telah berada
tepat di depan hidung kita. Menteri Keuangan bahkan pernah berseloroh pada
sejumlah media, program akunting akan menggantikan tenaga akunting (manusia).
Pada “nature” dasariahnya seorang manusia yang sejarah nenek-moyangnya
ialah lahir dan bertumbuh besar di Tanah Air, bila bukan karena faktor
keterpaksaan, maka tiada Warga Indonesia yang bersedia bekerja “mengadu nasib”
dengan merantau ke negeri asing—itu pun rata-rata bekerja pada sektor informal
seperti “asisten rumah tangga” (ART) alias “pembantu rumah tangga” (PRT)
sekalipun sudah sejak lama tercium kabar “miring” betapa majikan di
Timur-Tengah kerap menganiaya pembantunya, tidak memberi gaji setelah bekerja
belasan tahun, hingga mengalami kekerasan seksuil, paspor ditahan, dan lain
sebagainya. Butuh “nyali” (keberanian) besar untuk memberangkatkan diri ke
negeri “antah berantah” ini.
Ketika pulang ke Tanah Air,
para “pahlawan devisa” tersebut justru dijadikan objek “sapi perahan” oleh para
“oknum berjemaah” (sesama anak bangsa, bangsa mana konon sudah “merdeka” dari
penjajahan asing, namun tidak dari segi ekonomi) di terminal kedatangan khusus
bagi para TKI (Tenaga Kerja Indonesia) seakan-akan mereka “berhak” mendapatkan
perlakuan diskriminatif berupa dijadikan “sapi perahan” korban “pungutan liar”,
meski para “pahlawan devisa” kita tersebut membayar penuh harga tiket maskapai pesawat
pemberangkatan pulang mereka ke Bumi Pertiwi.
Untuk urusan olahraga sepak
bola, bangsa kita demikian “nasionalis” tulen tiada duanya yang bahkan dikenal
vandalisme ketika tim asing bertandang ke Indonesia—membuat manajer dan tim
pelatih kesebelasan asing (lawan Indonesia) memilih untuk “tidak menang” (setidaknya
berakhir dengan skor akhir “imbang”) secara diplomatis agar setidaknya dapat pulang
dalam kondisi selamat, keganasan suporter mana reputasinya sudah dikenal hingga
mancanegara, akan tetapi masyarakat kita merasa “bangga” alih-alih merasa
sedang mempermalukan diri sendiri, dan memandang aksi barbariknis ala “manusia
purba” demikian adalah simbol cerminan jiwa patriotik (sayangnya “salah alamat”)
serta nasionalis.
Namun untuk ukuran ekonomi, bangsa
kita bahkan lupa bahwa kendaraan yang mereka kendarai notabene diproduksi oleh
para penjajah yang pernah men-“jugun
ianfu” nenek buyut mereka, atau seperti menerima “uang sogokan” berupa upah
/ gaji ketika warganegara Indonesia bekerja pada pengusaha dari Jepang yang
membuka perusahaan di Indonesia, namun kemudian bersikap represif terhadap
sesama karyawan demi kepentingan sang “Japanese”. Penulis secara pribadi pernah
merasakan sendiri secara langsung “pahit”-nya pengalaman ketika masih seorang “fresh graduate”, sesama karyawan yang
notabene satu warganegara, sebagai penduduk lokal, justru saling merepresi satu
sama lainnya semata karena setiap bulannya menerima “uang sogokan” berupa upah
dari sang “Japanese”—karena itulah, secara falsafah sosiologi, tidak tepat jika
tenaga personalia suatu PT. PMA (penanam modal asing) dilarang untuk diduduki
Warga Negara Asing (WNA), justru faktanya jauh lebih menyedihkan bilamana
seorang karyawan justru direpresi oleh Divisi HRD yang notabene sesama WNI, jiwa
nasionalisme dipertaruhkan dan terkikis seiring berjalannya waktu. Bahkan
penulis menengarai, divisi pajak PT. PMA bersangkutan yang diduduki oleh
manajer seorang WNI, rela dan tega melakukan “mark down” kewajiban pajak perusahaan PT. PMA demi kepentinan sang
WNA yang menjadi pimpinan sekaligus pemilik perusahaan.
Itulah, harga mahal yang harus bangsa
kita bayarkan sebagai dampak deras masuknya investor asing. Sekadar untuk Anda ketahui,
hampir seluruh PT. PMA melakukan praktik “transfer
pricing” alias “profit shifting”,
dimana setiap tahunnya melaporkan pembukuan keuangan “merugi” sehingga tiada
pemegang saham lokal yang mendapatkan deviden untuk setiap tahun buku
beroperasionalnya perusahaan dimana negara pun tidak berhasil memungut pajak
penghasilan—lagi-lagi, kesemua ini bukanlah wacana ataupun tudingan tanpa dasar
bukti empirik, namun penulis yang selama ini berprofesi sebagai seorang Konsultan
Hukum pernah mendapatkan klien yang memang memiliki masalah hukum demikian
ketika berposisi sebagai pemegang saham lokal-domestik namun minoritas pada PT.
PMA yang menguasai pangsa pasar secara monopolistik dengan grub usahanya,
setelah penulis selidiki telah ternyata itulah akar “penyakit”-nya.
Tanpa kontribusi serta
sumbangsih para “pahlawan devisa” kita tersebut, maka nilai kurs Rupiah
berbanding “valas” (valuta asing) akan kian terdepresiasi, mengingat selama ini
dapat penulis katakan hampir seluruh pelaku usaha PT. PMA (penanam modal asing)
melakukan praktik “transfer pricing” berwujud
“profit shifting” dengan mengalihkan
hasil pendapatannya ke luar negeri (terutama negara-negara “tax heaven”), dengan dikonstuksikan
adanya suatu kerjasama dan beban kewajiban hutang dengan suatu “shell company” di negara asing tersebut—akan
tetapi dimiliki oleh “induk perusahaan” (“beneficial
owner”) yang sama—sehingga nilai tukar Rupiah menjadi terdepresiasi.
Lantas, apa yang membuat para warga lokal kita di Indonesia, nekat memutuskan
untuk bekerja dengan merantau ke luar negeri, sekalipun tiada kepastian ataupun
jaminan apapun bagi mereka untuk pulang dengan utuh-selamat serta membawa
sesuatu bagi keluaganya di kampung halaman?
Butuh tekad serta keberanian
yang besar bagi sang “pahlawan devisa” untuk sampai pada kebulatan hati bekerja
di negeri yang sama sekali asing bagi mereka, terdorong oleh faktor berupa keterpaksaan
(ekonomi) akibat minimnya lapangan pekerjaan yang tersedia bagi mereka di
negeri sendiri. Tingginya angka warga yang memilih bekerja di luar negeri,
menjadi indikasi yang mencerminkan dua hal. Pertama, pemerintah abai dan lalai
untuk memastikan kesejahteraan rakyatnya, setidaknya menggalakkan serta
memberdayakan ekonomi kerakyatan. Selama ini pemerintah hanya sibuk membangun
jargon serta mengurusi masalah pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah,
seolah-olah rakyat kita cukup diberi makan “pesta demokrasi” yang berbiaya
mahal itu, dan cukup terpuaskan karenanya.
Kedua, tingginya serapan
investasi asing telah ternyata tidak berbanding lurus dengan terciptanya
lapangan pekerjaan di negeri yang menampung investasi asing. Jangan lupakan
bahwa investasi asing yang bernilai besar, hampir selalu dipastikan akan membawa
serta teknologi canggih berupa “tenaga kerja ROBOT ASING”, sehingga warganegara
lokal kita di Indonesia tidak hanya harus bekerja dan berkompetisi dengan “tenaga
kerja robot” berupa mesin-mesin otomatisasi, namun “tenaga kerja ROBOT ASING”.
Semakin tinggi modal, maka semakin tinggi efisiensi—suatu teori ekonomi
kontemporer yang justru bertolak-belakang dengan teori ekonomi klasik yang
belum mengenal apa itu industrialisasi ala digital dan robotatisasi. Investor berpola
pikir modern manapun paham dan mafhum, investasi yang paling prospektif ialah
investasi pada mesin dan otomatisasi, karena disitulah letak keberadaan “efisiensi
usaha”, dimana “efisiensi usaha” bermakna konotasinya ialah perampingan “tenaga
kerja manusia”.
Pendekatan atau strategi
mengelola negeri kita ini ibarat “salah urus”, maunya serba “instan”, seperti
mengundang investor asing dengan mengobral murah sumber daya alam maupun sumber
daya manusia kita di Tanah Air. Indonesia begitu kaya ragam budaya serta sumber
daya alamnya, namun mengapa warga kita harus membanting-tulang mencari nafkah
ke luar negeri untuk pekerjaan-pekerjaan semacam sektor informal? Itulah
pertanyaan yang sejak lama menjadi momok sekaligus “pekerjaan rumah” pemerintah
kita yang tidak pernah tuntas, sekalipun Kepala Pemerintahnya silih-berganti,
sekalipun tim ahlinya bergelar akademik sederet, sekalipun para Kepala Daerah
kita mengakunya ialah sebagai “ahli”.
Apakah investasi, harus selalu
berbentuk modal uang? Itulah pertanda, betapa cara berpikir dan paradigma
berpikir pemerintah kita masih sangat kerdil serta terbelakang. Sekadar sebagai
contoh, secara kontras dengan yang terjadi di Indonesia, pemerintahan di
Republik Rakyat China (RRC—Tiongkok) menjadikan sektor pendidikan formal
sebagai tulang-punggung ekonomi kerakyatan. Maksudnya apa? Bagi pemerintahan
Tiongkok, sektor pendidikan merupakan “investasi” terbaik bagi generasi
mendatang, dan butuh waktu lama bagi pemerintahan di sana untuk menata serta
membangun kultur atau budaya “giat belajar” bagi para warganya, dimana hasilnya
baru akan dirasakan pada dua atau tiga generasi selanjutnya, budaya mana sudah
dirintis bibitnya sejak zaman kekaisaran lewat ujian kesarjaan para kaum pelajar
yang terpelajar, dinasti demi dinasti, dimana buahnya baru dirasakan saat kini.
Hal ini terlihat dari betapa
perpustakaan di sekolah-sekolah maupun di kampus-kampus mereka di Tiongkok,
tidak pernah sepi dari para pelajar, bahkan konon tiada kursi yang lowong
akibat setiap harinya selalu membludak oleh para siswa-siswi dan para mahasiswa
yang belajar dan membaca buku di perpustakaan selepas jam sekolah. Begitupula
para siswa di Sekolah Menengah mereka di sana, kadang diadakan “kelas malam”
oleh para guru mereka, sehingga praktis para siswa-siswi mereka tidak
mengandalkan “bimbingan belajar” seperti “les privat” untuk pendalaman materi
serta persiapan untuk menempuh ujian kelulusan. Kultur belajar demikian
tertanam demikian hebatnya di negeri Tirai Bambu tersebut, dimana tampaknya
bukan urusan satu atau dua dekade untuk menciptakan budaya “gemar belajar”
demikian.
Kini, kita bandingkan dengan
fenomena perpustakaan sekolah maupun perpustakaan universitas kita Indonesia,
selalu sepi dan “kering kerontang” oleh para siswa-siswi maupun mahasiswa,
belum lagi bicara kualitas dan kuantitas buku yang tersedia, kita patut merasa
prihatin. “Mind set” para pengelola
“bisnis pendidikan” kita belum menjadikan pendidikan dan edukasi yang “real” sebagai investasi, namun selalu
mereka maknai “investasi artinya membangun gedung atau ruang perpustakaan yang
mewah dan besar”. Kalaupun ada siswa atau mahasiswa yang datang dan duduk di
dalam perpustakaan, aktivitas mereka bukan belajar dan membaca buku, namun
“ngobrol ngolor-ngidul” yang tidak berfaedah dan seringkali isi pembicaraan
mereka sangat dangkal serta tidak ada relevansi dengan edukasi ataupun materi
pendidikan.
Penulis ambil contoh para
kampus almamater tempat penulis menempuh pendidikan tinggi hukum, yakni di
Fakultas Hukum UNTAR Jakarta akronim “Universitas Takut Rugi”—disebut demikian,
semata karena fakta yang penulis alami sendiri, ketika dinyatakan lulus ujian
skripsi dan akan mengambil izasah kesarjanaan, para mahasiswa diwajibkan
(dengan memakai bahasa diplomatis “sukarela”, namun sifatnya “diwajibkan”,
“sukarela namun wajib”) membayar harga dua buah buku baru untuk “disumbangkan”
ke perpustakaan Fakultas Hukum UNTAR. Bagaimana bila mahasiswa keberatan
“diwajibkan secara sukarela” demikian? Maka tidak bisa mengambil izasah, yang
artinya pemaksaan secara terselubung oleh sistem yang korup—lihat, fakultas
yang semestinya mengerti hukum, justru mengorupsi mahasiswanya sendiri.
Dalam satu angkatan, jumlah
mahasiswa dapat mencapai dua ratus orang, yang artinya dalam satu satu semester
secara hitungan kasar, ada dua ratus kelulusan yang mana mahasiswa “diwajibkan
secara sukarela” membayar dua buah harga buku baru untuk “disumbangkan” ke
perpustakaan fakultas, yang setara empat ratus buku baru. Untuk satu tahun,
terdiri dari dua semester, maka akan ada delapan ratus buku baru. Satu dekade,
terdiri dari sepuluh tahun, maka akan ada delapan ribu buku baru. Faktanya,
perpustakaan Fakultas Hukum UNTAR tergolong kecil ukurannya, dimana buku-buku
yang mengisi rak-nya dikategorikan buku-buku lama yang sudah “bulukan” karena bertahun-tahun
menghuni perpustakaan, dimana jumlahnya tidak sebanding dengan ribuan buku baru
yang “disumbangkan namun wajib” oleh setiap angkatan kelulusan mahasiswanya.
Dari fakta empirik yang penulis
alami sendiri sebagai “korban” korupnya sistem di kampus UNTAR tersebut,
penulis simpulkan, terdapat aksi korupsi tersistematis oleh pengelola fakultas (ke-dekan-an)
selama bertahun-tahun lamanya, baru di sektor penyediaan buku di perpustakaan,
belum lagi kabar miring dari informasi sesama alumni yang menyebutkan berbagai “project” kegiatan kemahasiaan pun
dijadikan “aji mumpung” aksi korupsi para pejabat ke-dekan-an pada Fakultas
Hukum UNTAR. Yang artinya pula, dapat diduga atau diasumsikan, tiada satupun
buku yang tersedia di Fakultas Hukum UNTAR yang sifatnya dibeli dengan anggaran
fakultas, sekalipun mahasiswa setiap semesternya membayar biaya perkuliahan
yang tidak sedikit, dimana kesemuanya adalah buku-buku hasil “sumbangan namun
diwajibkan” oleh para mahasiswa yang hendak mengambil izasah kelulusan.
Bila para mahasiswa diberi
pendidikan berupa teladan “arogansi” dan “korupsi terselubung” demikian (tidak
akuntabel), tidak mengherankan bila kemudian para lulusannya memiliki paradigma
berpikir yang senada—dan penulis mendengar kabar “tidak sedap” dari sejumlah
alumni, bahwa memang ada lulusan Fakultas Hukum UNTAR yang menjelma “mafia
kasus” yang pekerjaannya mondar-mandir ke Kejaksaan sesaat setelah kelulusan.
Belum lagi kabar-kabar “miring” dan banyak rumor lainnya berbagai kegiatan
politik-praktis para dosen dan pejabat di Fakultas Hukum UNTAR maupun politik
tingkat tinggi mengkriminalisasi para mahasiswa yang duduk di dalam forum Dewan
Perwakilan Mahasiswa atau Badan Eksekutif Mahasiswa yang salah satunya konon
menimpa junior penulis.
Dosen yang benar-benar
berkualitas, justru kemudian tersisih dan tersingkirkan oleh politik busuk
rektorat UNTAR, dimana kini dosen dimaksud justru menjadi dekan yang merintis
Fakultas Hukum pada Universitas Swasta top lainnya di kota besar, menyisakan
hanya dosen-dosen yang lebih pandai berpolitik daripada mengajar lewat ilmu
pedagogi keilmuan hukum terlebih teladan, sebagaimana faktanya penulis lebih
banyak belajar sendiri secara mandiri di kampus tersebut dan menjadi
satu-satunya mahasiswa yang lebih sering menyambangi perpustakaan untuk membaca
buku pada angkatan tahun tersebut.
Bila ada di antara pembaca yang
tidak percaya pada pamaparan lugas di atas, cobalah tanya para alumnus FH
UNTAR, mereka bisa menceritakan jauh lebih banyak, tidak terkecuali perihal dominasi
kegiatan penulis di kampus tersebut yang “lain sendiri” di perpustakaan. Justru
karena penulis adalah almamater, karenanya tahu betul “bobrok” di dalamnya
maupun betapa sistem pendidikan tinggi hukum di Indonesia sangat terbelakang. Percaya
atau tidak, lulusan FH UNTAR rata-rata telah pernah membaca kurang dari lima buah
putusan pengadilan, lulusan semacam apakah yang dipersiapkan secara “not well prepared” semacam itu? Dosen
yang sedang menyusun disertasi, namun bahan putusan-putusan yang akan digunakan
oleh sang dosen justru dibebankan kepada mahasiswa untuk mencarinya, ataupun
dosen-dosen yang menjadikan mahasiswa “sapi perahan” yang secara politis terpaksa
dan dipaksa membeli buku-buku “sampah” tulisan sang dosen yang isinya Undang-Undang
yang telah diubah dan diganti.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.