5 Alasan mengapa Kriminalitas dan Korupsi Kekal Abadi

Bukan si Penjahat yang Paling Menakutkan, namun Sifat Jahat dan Kejahatan-Kejahatan Mereka yang Paling Menakutkan

Question: Mengapa masih ada saja, pejabat tinggi negara seperti koruptor maupun penjahat-penjahat lainnya (para kriminil) yang tertangkap oleh penegak hukum, sekalipun sudah sedemikian banyak diberitakan oleh jurnalis media mainstream, tentang tertangkap, diadili (disidangkan), serta dijebloskannya mereka ke tahanan maupun penjara sebagai hukumannya? Padahal, sudah sedemikian “gemuk” serta menggunung regulasi atau aturan hukum diterbitkan oleh negara kita, namun seolah tidak sanggup membendung aksi kejahatan. Bukankah Indonesia mengaku sebagai negara agamais, dimana setiap agama sudah mengajarkan adanya alam neraka bagi mereka yang berdosa?

Brief Answer: Tampaknya masih akan terus ada, sepanjang umat manusia masih dibelenggu dan melekat pada “kekotoran batin” yang membuat batin mereka “bodoh” serta “buta” (ignorant), para narapidana-narapidana baru sekalipun media massa juga memberitakan perihal “over-capacity” berbagai lembaga pemasyaratakan (Lapas alias penjara) kita di Indonesia. Betul bahwa negeri kita tidak pernah kekurangan para agamais, namun yang setiap harinya dipromosikan justru ialah iming-iming “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa” alih-alih mengkampanyekan gaya hidup bertanggung-jawab maupun cara hidup higienis dari dosa (disiplin diri “self control” yang ketat secara terlatih), sehingga terhadap dosa dan maksiat mereka demikian kompromistik namun disaat bersamaan terhadap kaum yang berbeda keyakinan mereka bersikap demikian intoleran—lebih sibuk mengurusi serta menghakimi keyakinan orang lain alih-alih menaklukkan dan mewaspadai kekotoran batin yang bersarang dalam pikiran dan hati mereka sendiri.

Ada yang sifat derajatnya lebih tinggi daripada teks-teks norma hukum perihal keharusan maupun larangan (do and don’t), yakni etika. Etika, sifatnya berangkat dari kesadaran pribadi, kematangan mental serta kedewasaan berpikir, dan banyak diantara “Kode Etik Manusia” yang sifatnya tidak tertulis—semisal etika berkendara, etika bertetangga, etika berorganisasi, etika profesi, etika mengajar, etika mengadili, etika menegakkan hukum, etika berumah-tangga, etika para “civil servants”, dan lain sebagainya. Setebal apapun peraturan perundang-undangan disusun dan diterbitkan oleh suatu negara, bilamana etika masyarakatnya yang menjadi warga penduduk, maka dapat dikatakan percuma, mengingat kejahatan senantiasa “lebih maju satu langkah ketimbang Undang-Undang yang selalu tertinggal satu langkah dibelakangnya”.

Sebaliknya, penulis menemukan fakta empirik bahwasannya dengan etika yang memadai, maka masyarakat kita tidak perlu diatur oleh sedemikian tebal norma hukum. Sungguh malang negara yang membutuhkan / mengandalkan tebal serta menggunungnya peraturan perundang-undangan untuk mengatur para warganya—suatu bentuk salah “investasi”, dimana semestinya para pembuat kebijakan lebih tepat guna bila ber-“investasi” membangun moralitas, karakter, serta etika seperti pendidikan “budi pekerti” lewat teladan nyata bagi para peserta didik maupun para warganya, dimana kesemua ini adalah tugas / peran segenap profesi guru maupun pemuka agama, bukan domain para Sarjana Hukum.

Dengan kata lain, kegagalan sistem hukum kita di Indonesia dalam mengerem laju peningkatan / pertumbuhan angka kejahatan, kriminalitas, korupsi, dan kejahatan-kejahatan modern “kerah putih” maupun kejahatan-kejahatan primitif lainnya, merupakan cerminan kegagalan bangsa kita dalam memastikan tingkat kualitas serta efektivitas para pengemban profesi keguruan maupun para pemuka agama kita, bukan para pembentuk Undang-Undang maupun para aparatur penegak hukum sebagai “fronliner” (garda terdepan)-nya.

PEMBAHASAN:

Dalam kesempatan ini, dapat penulis petakan secara lebih gamblang, terdapat setidaknya lima buah penyebab yang paling umum penulis jumpai dalam observasi mendalam mengamati fenomena sosial-kemasyarakatan kita secara sosiologi, sebagai penjelasan paling logis serta paling rasional, untuk menggambarkan betapa penegakan hukum serta pemberantasan korupsi maupun kejahatan lain pada umumnya tampak tidak melahirkan apa yang kerap diistilahkan sebagai “efek jera” maupun “shock teraphy”—mengingat selalu berulangnya kejahatan serupa, modus serupa, motif serupa, kriminalitas serupa, keburukan serupa, disamping penuntutan serupa, vonis amar putusan serupa, serta penghukuman serupa.

Kesemua ini ibarat “never ending stories” atau dalam bahasa diplomatisnya ialah “a series of unfortunate events, but TO BE CONTINUE...”. Bukankah kesemua ini tidak lucu, namun begitulah adanya dan masih akan terus terjadi sepanjang masa, seolah “kutukan” bagi para umat manusia yang “mengikuti arus” alih-alih diarahkan untuk berjuang secara gigih “melawan arus”. Disebutkan, segala sesuatu terjadi atas rencana, kuasa, serta seizin (dari) Tuhan. Artinya, berhasil melakukan korupsi, penggelapan, penipuan, ataupun kejahatan yang merugikan keuangan negara maupun rakyat sesama sipil, merupakan nikmat pemberian dari Tuhan, dan terjadi memang karena seizin Tuhan. Model berpikir pada lazim umumnya demikian disebut sebagai “mengikuti arus” dan mengalir bersama arus air—meski air secara dasariahnya (by nature) selalu bergerak ke arah bawah, bukan ke arah atas—sebagaimana merujuk sabda Sang Buddha dengan kutipan sebagai berikut menyitir para “penikmat penghapusan dosa”:

“Para bhikkhu, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? Orang yang mengikuti arus; orang yang melawan arus; orang yang kokoh dalam pikiran; dan orang yang telah menyeberang dan sampai di seberang, sang brahmana yang berdiri di atas daratan yang tinggi.

(1) “Dan apakah orang yang mengikuti arus? Di sini, seseorang menikmati kenikmatan indria dan melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Ini disebut orang yang mengikuti arus.

(2) “Dan apakah orang yang melawan arus? Di sini, seseorang tidak menikmati kenikmatan indria atau melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Bahkan dengan kesakitan dan kesedihan, menangis dengan wajah basah oleh air mata, ia menjalani kehidupan spiritual yang lengkap dan murni. Ini disebut orang yang melawan arus.

Alasan pertama, mengapa kejahatan masih akan “to be continue” dan “bad news” akan terus mengisi media massa kita, yakni banyak diantara orang-orang dewasa yang memiliki delusi kekanak-kanakan (childish), bahwasannya jika orang lain tidak melihat dan tidak mengetahui perbuatan-perbuatan jahatnya, maka itu sama artinya ia sama sekali tidak melakukan, atau jika sang pelaku yang bersangkutan tidak mengakuinya (alias berdusta dan memungkirinya) maka itu bermakna yang bersangkutan tidak pernah membuat kejahatan apapun. Ataupun ketika sang pendosa melakukan ritual “penghapusan dosa” agama “deterjen”, maka yang kotor-tercela akan kembali putih-suci-bersih. Penulis menyebutnya sebagai “kecerdasan kedewasaan” (kematangan berpikir) yang tergolong “dangkal” alias “tiarap” (masih primitif) bila tidak dapat disebut sebagai “si tua beramput putih namun kosong” sebagaimana dikutip dari sabda Sang Buddha merujuk seseorang yang tergolong dewasa secara fisik namun tidak memiliki kebijaksanaan selayaknya seorang dewasa berakal sehat. Mereka memelihara “akal sakit milik orang sakit”, sehingga cara berpikirnya didominasi oleh gaya berpikir yang irasional.

Alasan kedua, (sayangnya) Tuhan sudah lama tertidur atau bahkan sudah “pensiun”. Untuk membuktikannya sangat sederhana, yakni fenomena kesenjangan ekonomi, kesenjangan mana kian senjang dan kian berdisparitas. Yang miskin semakin miskin dan tersingkirkan, yang bermodal kian terkapitalisasi pemusatan modal dan ekonomi serta menguasai sendi-sendi ekonomi maupun sumber daya alam dan permukaan tanah suatu negara. Karenanya, bila ada diantara Anda yang berpikir “percuma lapor (kepada) polisi”, maka “lebih percuma lagi lapor (kepada) Tuhan”—mengingat Tuhan selama ini lebih PRO terhadap “pendosa penjilat penuh dosa”.

Cobalah perhatikan ritual dan gaya beribadah / beriman para agamais kita di Tanah Air, setiap harinya mengumbar doa maupun pengharapan “penghapusan dosa”, setiap hari raya para pemuka agama mereka berceramah (lewat pengeras suara eksternal tempat ibadah kita) dengan penuh kebanggaan (rasa bangga plus rasa superioritas) alih-alih di-tabu-kan (terlebih merasa malu ataupun takut) mengobral iming-iming berupa ideologi korup “too good to be true” bernama “penghapusan dosa”. Bahkan, ketika sang agamais meninggal dunia, sanak keluarga almarhum berdoa memohon “penghapusan dosa” (abolition of sins) bagi sang almarhum pendosa—seolah-olah korban sama sekali tidak punya hak untuk menuntut, memperjuangkan, dan mendapatkan keadilan, sehingga menjadi korban ialah “RUGI” alias “MERUGI”.

Terlebih ekstrem, hendak menyembelih anak sendiri dipandang sebagai “bisikan Tuhan” alih-alih “bisikan Iblis”, bahkan dirayakan oleh umat agama bersangkutan. Orangtua yang baik, akan lebih memilih menyembelih lehernya sendiri daripada menumbalkan hidup anak kandung demi memuaskan obsesi (egoisme) sang ayah yang hendak menggauli bidadari di surga. Berkebalikan dari itu, Sang Buddha telah pernah bersabda, “Berbuat baik artinya, tidak merugikan orang lain juga tidak merugikan diri sendiri, serta tidak juga menjelekkan diri kita sendiri.” Yang dikorbankan selalu hidup hewan maupun hidup orang lain sebagai tumbal “pertumpahan darah”, tidak pernah mereka diajarkan untuk mengorbankan hidup mereka sendiri dengan cara “pengorbanan tanpa darah” sebagaimana sabda Sang Buddha.

Mereka tidak diajarkan terlebih diberikan teladan gaya hidup suci (namun memberi merek Kitab agama mereka sebagai “Kitab SUCI” dan mengklaim sebagai “Agama SUCI”), bahwa untuk memuliakan Tuhan bukanlah dengan cara menjadi seorang “pendosa penjilat penuh dosa”, namun dengan cara menjadi seorang manusia yang mulia, atau setidaknya berjiwa ksatria yang siap-sedia bertanggung-jawab terhadap para korban-korbannya. Karenanya, penulis memberi julukan para agamais-pendosa tersebut sebagai umat dari “Agama DOSA”, alih-alih “Agama KSATRIA” terlebih “Agama SUCI”, semata karena mempromosikan penghapusan dosa alih-alih gaya hidup higienis dari dosa ataupun sikap-sikap penuh tanggung jawab. Para agamais-pendosa kita berdelusi bahwa memohon ampun cukup kepada Tuhan, bukan kepada para korban-korban mereka, sekalipun kita ketahui bahwa “hanya seorang pendosa yang butuh penghapusan dosa”.

Mereka, para agamais tersebut, terlampau pemalas untuk merepotkan diri menanam benih Karma Baik. Mereka lebih menyibukkan diri memohon dan “menjilat” ketika diberi makan. Karenanya, mereka lebih tampak agamais, penuh rituil bahkan untuk urusan hendak makan, mereka akan berdoa penuh puja-puji kepada Tuhan dengan tujuan membuat Tuhan merasa tersanjung. Umat Buddhist sebaliknya, tidak kental nuansa agamais, makan langsung makan, karena umat Buddhist berterimakasih kepada dirinya sendiri yang pada masa lampau menanam benih Karma Baik yang dipetiknya olehnya sendiri saat kini, dan tidak lupa untuk menanam benih Karma Baik yang baru dalam rangka “investasi”, para investor sejati yang ulung. Para agamais tersebut juga terlampau pengecut untuk mempertanggung-jawabkan perbuatan-perbuatan buruknya, mereka “cuci tangan” dan “cuci dosa” lewat memohon “pengampunan dosa”, bahkan “cuci uang” (membersihkan uang) cukup berdonasi recehan yang tidak sampai 5 persen dari penghasilan “uang kotor” yang mereka peroleh. Berani berbuat, maka harus berani bertanggung-jawab. Tidak berani bertanggung-jawab maka jangan berani-beraninya berbuat. Pendosa, hendak berceramah perihal hidup jujur, lurus, bersih, serta mulia? Bandingkan dengan apa yang telah digariskan oleh Sang Buddha:

316. Barangsiapa malu terhadap hal tak memalukan, tidak malu terhadap hal memalukan; mereka yang memegang pandangan keliru itu akan menuju ke alam sengsara.

317. Juga, barangsiapa takut terhadap hal tak menakutkan, tidak takut terhadap hal menakutkan; mereka yang memegang pandangan keliru itu akan menuju ke alam sengsara.

318. Barangsiapa menganggap tercela terhadap hal tak tercela, menganggap tak tercela terhadap hal tercela; mereka yang memegang pandangan keliru itu akan menuju ke alam sengsara.

319. Sebaliknya, barangsiapa menyadari hal tercela sebagai yang tercela, menyadari hal tak tercela sebagai yang tak tercela; mereka yang memegang pandangan benar itu akan menuju ke alam bahagia.

Alasan ketiga, jangankan perihal alam surgawi maupun alam neraka yang sifatnya abstrak dan sukar dibuktikan secara empirik, terhadap gedung-gedung bangunan penjara dan ruang persidangan yang dapat kita saksikan eksistensinya dengan mata-kepala sendiri, menjejakkan kaki ke dalamnya, menyentuhnya dengan jemari sendiri, serta merabai eksistensinya secara konkret, masih juga para kriminal dan para koruptor kita memungkirinya—sehingga ibarat ciri khas watak orang-orang bertipikal “dungu”, mereka (justru) seolah-olah menunggu mereka secara pribadi benar-benar dijebloskan ke dalamnya sebagai narapidana barulah mereka menyadari dan mau mengakuinya, “Oh, ternyata penjara memang ada adanya.”

Alasan keempat, yakni alasan yang cukup politis disamping puitis, yakni disebutkan oleh salah satu agama samawi bahwasannya api neraka sumbernya ialah dibahan-bakari oleh minyak atau lemak tubuh para manusia yang dijebloskan ke alam neraka—alam dimana Tuhan telah gagal menciptakan manusia yang sempurna dan ideal, bahkan sengaja menciptakan manusia dengan banyak / penuh kekurangan, yang salah satunya genetik kriminal ataupun penyakit mental suka “mengutil”, lalu hendak cuci tangan dengan membuang manusia ciptaannya ke “tong sampah” raksasa ini, maupun ketika sang “Profesor Ling-Lung” masih juga bereksperimen mencobai umat manusia yang umurnya sudah setua usia Planet Bumi ini, sehingga seolah Tuhan tidak mau belajar dari kegagalan-kegagalannya dalam eksperimen-eksperimen sebelumnya, sekalipun lagu jingle iklan pariwara sebuah merek obat cacing pernah menyindir “Untuk anak sendiri kok, dicoba-coba?!”—karenanya Tuhan tampaknya memang sengaja menciptakan para manusia berandal-brengsek sejak semula sesuai rencana “by design” untuk diperuntukkan (dikorbankan) untuk menjadi penghuni alam neraka semata agar api neraka dapat dijaga untuk tetap menyala, ibarat mengisi bahan bakar minyak ke dalam kendaraan Anda. Neraka, merupakan monumen kegagalan Tuhan. Karenanya, semakin banyak manusia dijebloskan ke neraka, sama artinya semakin tinggi-besar monumen kegagalan Tuhan, sang “Maha Gagal”.

Alasan kelima, apalagi jika bukan ideologi “toxic” yang merusak dan mendegradasi “standar moralitas” umat manusia, sebagaimana menjadi maskot ajaran banyak “Agama DOSA”, dimana para pendosa menjadi umatnya dan umat pemeluknya ialah para pendosa, yakni iming-iming “korup” bernama “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”. Dahulu kala, sebelum “Agama DOSA” diperkenalkan ke dunia ini beberapa ribu tahun yang lampau, tidak ada penjahat (pendosa) manapun yang yakin akan masuk surga setelah ajal menjemputnya. Kini, para pendosa berduyun dan berlomba-lomba serta berbondong-bondong mencetak dosa, mengoleksi dosa, menimbun dosa, memproduksi dosa, memelihara dosa, mabuk dosa, bercinda dengan dosa, berkubang dalam dosa, bersimbah dosa, mandi dosa, makan dosa, mengimpikan dosa, menikmati dosa—dimana tidak menjadi pendosa “kelas kakap” artinya “RUGI” dan “MERUGI”, sama meruginya seperti orang-orang berjiwa ksatria yang penuh tanggung-jawab, para suciwan yang tidak membutuhkan “penghapusan dosa”, dimana lebih merugi lagi kalangan korban yang dijadikan korban untuk dikorbankan pun bahkan dianaktirikan oleh Tuhan.

Melawan arus, seperti hidup secara selibat, mereka pandang sebagai “merugi” serta melanggar “kodrat”. Namun, di mata seorang Buddha, apa yang menurut atau di mata orang-orang yang tebal “kekotoran batin” (kebodohan batin)-nya dipandang sebagai kegembiraan dan kesenangan, adalah kesengsaraan terbakar derita di mata Tuhan. Mengutip pendapat bhikkhu bernama Ajahn Brahm, musik terindah ialah keheningan (melawan arus), dimana yang tertinggi ialah “freedom from wanting” (bebas dari keinginan) bukan “freedom to wanting” (bebas untuk menginginkan). Siapa pun senang dan ingin menikmati menggauili empat orang istri bahkan memelihara budak-budak seksuil (perbudakan), bila punya dana lebih untuk itu—namun tidak semua orang sanggup dan mau untuk “fang shen” alias “ber-kurban diri” dengan hidup penuh disiplin “self control” yang terlatih secara ketat. Siapa pun sanggup menjadi seorang “pendosa penjilat penuh dosa”, namun tidak semua orang sanggup dan mau menjadi seorang ksatriawan maupun seorang suciwan.

Itulah buah dari ajaran “Agama DOSA”, yang menggambarkan bahwa kenikmatan tertinggi ada di alam surgawi, (justru) berupa “kenikmatan duniawi” berupa bersetubuh dan bersenggama dengan puluhan bidadari berdada “montok” alih-alih “kenikmatan surgawi” seperti kenikmatan meditatif. Sadarkah kita, ketika para pendosa justru dimasukkan ke alam surgawi hingga penuh sesak diisi oleh para pendosa (dosawan), maka apalah bedanya dengan “dunia manusia jilid kedua”, dimana si pendosa satu sama lainnya kembali saling menyakiti dan mencelakai maupun melukai serta merugikan para pendosa lainnya, dimana bahkan kondisinya mungkin lebih parah daripada dunia manusia di Bumi, mengingat tiada penjara ataupun polisi di alam surgawi, dimana para pendosa tersebut telah memegang tiket “penghapusan dosa”, alias imun dari penghukuman sekalipun berdosa, sehingga pendosa merajalela tidak terkendalikan serta tidak terbendung.

Mungkin, adalah lebih damai kehidupan di alam neraka. Seperti kata pepatah, “don’t judge the door by the cover”. Alam tidak penting apa namanya, neraka ataukah surga, yang terpenting ialah siapa yang menjadi atau dominasi watak karakter dan moralitas para penghuninya. Para agamais menyebutkan, negara harus diurus oleh ahli-nya. Namun, sang nabi membuat pengakuan, bahwa dirinya menikmati “penghapusan dosa”, dosa-dosa yang telah lampau maupun dosa-dosa yang akan datang, sehingga sang nabi merasa bersyukur lalu mengekspresikan rasa syukurnya (telah dihapus dosa-dosa yang lampau maupun yang akan datang) dengan menyembah-sujud kepada Tuhan hingga sang nabi kakinya bengkak.

Tidak terkecuali ketika sesosok nabi lainnya menghapus dosa dua orang penjahat yang digantung mati bersama sang nabi. Bagaimana dengan nasib para korban? Mereka adalah hakim yang buruk, bahkan lebih buruk daripada hakim manusia di ruang peradilan Pengadilan Negeri yang setidaknya masih membolehkan korban pelapor didengar keterangannya di persidangan perkara pidana. Pendosa, hendak berceramah perihal hidup suci, lurus, dan bersih, dimana para umatnya (para sesama pendosa dengan sang nabi yang mereka junjung) menjadikan suri-tauladan dan mendengarkan ceramah serta ajaran-ajaran sang nabi? Sang Buddha menyebutnya sebagai “ibarat orang buta hendak menuntun orang-orang buta lainnya”. Ahli, ahli dalam ihwal hapus-menghapus dosa, pakar “Agama DOSA”, bahkan menyebutnya sebagai “ilmu”, maka rusaklah negeri ini.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.