Bukan si Penjahat yang Paling Menakutkan, namun Sifat Jahat dan Kejahatan-Kejahatan Mereka yang Paling Menakutkan
Question: Mengapa masih ada saja, pejabat tinggi negara seperti koruptor maupun penjahat-penjahat lainnya (para kriminil) yang tertangkap oleh penegak hukum, sekalipun sudah sedemikian banyak diberitakan oleh jurnalis media mainstream, tentang tertangkap, diadili (disidangkan), serta dijebloskannya mereka ke tahanan maupun penjara sebagai hukumannya? Padahal, sudah sedemikian “gemuk” serta menggunung regulasi atau aturan hukum diterbitkan oleh negara kita, namun seolah tidak sanggup membendung aksi kejahatan. Bukankah Indonesia mengaku sebagai negara agamais, dimana setiap agama sudah mengajarkan adanya alam neraka bagi mereka yang berdosa?
Brief Answer: Tampaknya masih akan terus ada, sepanjang umat
manusia masih dibelenggu dan melekat pada “kekotoran batin” yang membuat batin
mereka “bodoh” serta “buta” (ignorant),
para narapidana-narapidana baru sekalipun media massa juga memberitakan perihal
“over-capacity” berbagai lembaga
pemasyaratakan (Lapas alias penjara) kita di Indonesia. Betul bahwa negeri kita
tidak pernah kekurangan para agamais, namun yang setiap harinya dipromosikan
justru ialah iming-iming “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan
dosa” alih-alih mengkampanyekan gaya hidup bertanggung-jawab maupun cara hidup higienis
dari dosa (disiplin diri “self control”
yang ketat secara terlatih), sehingga terhadap dosa dan maksiat mereka demikian
kompromistik namun disaat bersamaan terhadap kaum yang berbeda keyakinan mereka
bersikap demikian intoleran—lebih sibuk mengurusi serta menghakimi keyakinan
orang lain alih-alih menaklukkan dan mewaspadai kekotoran batin yang bersarang
dalam pikiran dan hati mereka sendiri.
Ada yang sifat derajatnya lebih tinggi daripada
teks-teks norma hukum perihal keharusan maupun larangan (do and don’t), yakni etika. Etika, sifatnya berangkat dari kesadaran
pribadi, kematangan mental serta kedewasaan berpikir, dan banyak diantara “Kode
Etik Manusia” yang sifatnya tidak tertulis—semisal etika berkendara, etika
bertetangga, etika berorganisasi, etika profesi, etika mengajar, etika
mengadili, etika menegakkan hukum, etika berumah-tangga, etika para “civil servants”, dan lain sebagainya.
Setebal apapun peraturan perundang-undangan disusun dan diterbitkan oleh suatu
negara, bilamana etika masyarakatnya yang menjadi warga penduduk, maka dapat
dikatakan percuma, mengingat kejahatan senantiasa “lebih maju satu langkah
ketimbang Undang-Undang yang selalu tertinggal satu langkah dibelakangnya”.
Sebaliknya, penulis menemukan fakta empirik
bahwasannya dengan etika yang memadai, maka masyarakat kita tidak perlu diatur
oleh sedemikian tebal norma hukum. Sungguh malang negara yang membutuhkan /
mengandalkan tebal serta menggunungnya peraturan perundang-undangan untuk
mengatur para warganya—suatu bentuk salah “investasi”, dimana semestinya para
pembuat kebijakan lebih tepat guna bila ber-“investasi” membangun moralitas,
karakter, serta etika seperti pendidikan “budi pekerti” lewat teladan nyata
bagi para peserta didik maupun para warganya, dimana kesemua ini adalah tugas /
peran segenap profesi guru maupun pemuka agama, bukan domain para Sarjana
Hukum.
Dengan kata lain, kegagalan sistem hukum kita di
Indonesia dalam mengerem laju peningkatan / pertumbuhan angka kejahatan,
kriminalitas, korupsi, dan kejahatan-kejahatan modern “kerah putih” maupun
kejahatan-kejahatan primitif lainnya, merupakan cerminan kegagalan bangsa kita
dalam memastikan tingkat kualitas serta efektivitas para pengemban profesi
keguruan maupun para pemuka agama kita, bukan para pembentuk Undang-Undang
maupun para aparatur penegak hukum sebagai “fronliner”
(garda terdepan)-nya.
PEMBAHASAN:
Dalam kesempatan ini, dapat
penulis petakan secara lebih gamblang, terdapat setidaknya lima buah penyebab
yang paling umum penulis jumpai dalam observasi mendalam mengamati fenomena
sosial-kemasyarakatan kita secara sosiologi, sebagai penjelasan paling logis
serta paling rasional, untuk menggambarkan betapa penegakan hukum serta
pemberantasan korupsi maupun kejahatan lain pada umumnya tampak tidak
melahirkan apa yang kerap diistilahkan sebagai “efek jera” maupun “shock teraphy”—mengingat selalu
berulangnya kejahatan serupa, modus serupa, motif serupa, kriminalitas serupa,
keburukan serupa, disamping penuntutan serupa, vonis amar putusan serupa, serta
penghukuman serupa.
Kesemua ini ibarat “never ending stories” atau dalam bahasa
diplomatisnya ialah “a series of
unfortunate events, but TO BE CONTINUE...”. Bukankah kesemua ini tidak
lucu, namun begitulah adanya dan masih akan terus terjadi sepanjang masa,
seolah “kutukan” bagi para umat manusia yang “mengikuti arus” alih-alih diarahkan
untuk berjuang secara gigih “melawan arus”. Disebutkan, segala sesuatu terjadi
atas rencana, kuasa, serta seizin (dari) Tuhan. Artinya, berhasil melakukan
korupsi, penggelapan, penipuan, ataupun kejahatan yang merugikan keuangan
negara maupun rakyat sesama sipil, merupakan nikmat pemberian dari Tuhan, dan
terjadi memang karena seizin Tuhan. Model berpikir pada lazim umumnya demikian
disebut sebagai “mengikuti arus” dan mengalir bersama arus air—meski air secara
dasariahnya (by nature) selalu
bergerak ke arah bawah, bukan ke arah atas—sebagaimana merujuk sabda Sang
Buddha dengan kutipan sebagai berikut menyitir para “penikmat penghapusan
dosa”:
“Para bhikkhu, ada empat jenis
orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? Orang yang mengikuti arus; orang
yang melawan arus; orang yang kokoh dalam pikiran; dan orang yang telah
menyeberang dan sampai di seberang, sang brahmana yang berdiri di atas daratan
yang tinggi.
(1) “Dan apakah orang yang
mengikuti arus? Di sini, seseorang menikmati kenikmatan indria dan melakukan
perbuatan-perbuatan buruk. Ini disebut orang yang mengikuti arus.
(2) “Dan apakah orang yang
melawan arus? Di sini, seseorang tidak menikmati kenikmatan indria atau
melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Bahkan dengan kesakitan dan
kesedihan, menangis dengan wajah basah oleh air mata, ia menjalani
kehidupan spiritual yang lengkap dan murni. Ini disebut orang yang melawan
arus.
Alasan pertama, mengapa
kejahatan masih akan “to be continue” dan “bad
news” akan terus mengisi media massa kita, yakni banyak diantara
orang-orang dewasa yang memiliki delusi kekanak-kanakan (childish), bahwasannya jika orang lain tidak melihat dan tidak mengetahui
perbuatan-perbuatan jahatnya, maka itu sama artinya ia sama sekali tidak
melakukan, atau jika sang pelaku yang bersangkutan tidak mengakuinya (alias berdusta
dan memungkirinya) maka itu bermakna yang bersangkutan tidak pernah membuat
kejahatan apapun. Ataupun ketika sang pendosa melakukan ritual “penghapusan
dosa” agama “deterjen”, maka yang kotor-tercela akan kembali putih-suci-bersih.
Penulis menyebutnya sebagai “kecerdasan kedewasaan” (kematangan berpikir) yang
tergolong “dangkal” alias “tiarap” (masih primitif) bila tidak dapat disebut
sebagai “si tua beramput putih namun kosong” sebagaimana dikutip dari sabda Sang
Buddha merujuk seseorang yang tergolong dewasa secara fisik namun tidak
memiliki kebijaksanaan selayaknya seorang dewasa berakal sehat. Mereka
memelihara “akal sakit milik orang sakit”, sehingga cara berpikirnya didominasi
oleh gaya berpikir yang irasional.
Alasan kedua, (sayangnya) Tuhan
sudah lama tertidur atau bahkan sudah “pensiun”. Untuk membuktikannya sangat
sederhana, yakni fenomena kesenjangan ekonomi, kesenjangan mana kian senjang
dan kian berdisparitas. Yang miskin semakin miskin dan tersingkirkan, yang
bermodal kian terkapitalisasi pemusatan modal dan ekonomi serta menguasai sendi-sendi
ekonomi maupun sumber daya alam dan permukaan tanah suatu negara. Karenanya,
bila ada diantara Anda yang berpikir “percuma lapor (kepada) polisi”, maka
“lebih percuma lagi lapor (kepada) Tuhan”—mengingat Tuhan selama ini lebih PRO
terhadap “pendosa penjilat penuh dosa”.
Cobalah perhatikan ritual dan
gaya beribadah / beriman para agamais kita di Tanah Air, setiap harinya
mengumbar doa maupun pengharapan “penghapusan dosa”, setiap hari raya para
pemuka agama mereka berceramah (lewat pengeras suara eksternal tempat ibadah
kita) dengan penuh kebanggaan (rasa bangga plus rasa superioritas) alih-alih
di-tabu-kan (terlebih merasa malu ataupun takut) mengobral iming-iming berupa
ideologi korup “too good to be true”
bernama “penghapusan dosa”. Bahkan, ketika sang agamais meninggal dunia, sanak
keluarga almarhum berdoa memohon “penghapusan dosa” (abolition of sins) bagi sang almarhum pendosa—seolah-olah korban sama
sekali tidak punya hak untuk menuntut, memperjuangkan, dan mendapatkan
keadilan, sehingga menjadi korban ialah “RUGI” alias “MERUGI”.
Terlebih ekstrem, hendak
menyembelih anak sendiri dipandang sebagai “bisikan Tuhan” alih-alih “bisikan
Iblis”, bahkan dirayakan oleh umat agama bersangkutan. Orangtua yang baik, akan
lebih memilih menyembelih lehernya sendiri daripada menumbalkan hidup anak
kandung demi memuaskan obsesi (egoisme) sang ayah yang hendak menggauli
bidadari di surga. Berkebalikan dari itu, Sang Buddha telah pernah bersabda,
“Berbuat baik artinya, tidak merugikan orang
lain juga tidak merugikan diri sendiri, serta tidak juga menjelekkan diri kita sendiri.”
Yang dikorbankan selalu hidup hewan maupun hidup orang lain sebagai tumbal “pertumpahan
darah”, tidak pernah mereka diajarkan untuk mengorbankan hidup mereka sendiri dengan
cara “pengorbanan tanpa darah” sebagaimana sabda Sang Buddha.
Mereka tidak diajarkan terlebih
diberikan teladan gaya hidup suci (namun memberi merek Kitab agama mereka
sebagai “Kitab SUCI” dan mengklaim sebagai “Agama SUCI”), bahwa untuk
memuliakan Tuhan bukanlah dengan cara menjadi seorang “pendosa penjilat penuh
dosa”, namun dengan cara menjadi seorang manusia yang mulia, atau setidaknya
berjiwa ksatria yang siap-sedia bertanggung-jawab terhadap para
korban-korbannya. Karenanya, penulis memberi julukan para agamais-pendosa
tersebut sebagai umat dari “Agama DOSA”, alih-alih “Agama KSATRIA” terlebih
“Agama SUCI”, semata karena mempromosikan penghapusan dosa alih-alih gaya hidup
higienis dari dosa ataupun sikap-sikap penuh tanggung jawab. Para
agamais-pendosa kita berdelusi bahwa memohon ampun cukup kepada Tuhan, bukan
kepada para korban-korban mereka, sekalipun kita ketahui bahwa “hanya
seorang pendosa yang butuh penghapusan dosa”.
Mereka, para agamais tersebut,
terlampau pemalas untuk merepotkan diri menanam benih Karma Baik. Mereka lebih menyibukkan
diri memohon dan “menjilat” ketika diberi makan. Karenanya, mereka lebih tampak
agamais, penuh rituil bahkan untuk urusan hendak makan, mereka akan berdoa
penuh puja-puji kepada Tuhan dengan tujuan membuat Tuhan merasa tersanjung.
Umat Buddhist sebaliknya, tidak kental nuansa agamais, makan langsung makan,
karena umat Buddhist berterimakasih kepada dirinya sendiri yang pada masa
lampau menanam benih Karma Baik yang dipetiknya olehnya sendiri saat kini, dan
tidak lupa untuk menanam benih Karma Baik yang baru dalam rangka “investasi”,
para investor sejati yang ulung. Para agamais tersebut juga terlampau pengecut
untuk mempertanggung-jawabkan perbuatan-perbuatan buruknya, mereka “cuci tangan”
dan “cuci dosa” lewat memohon “pengampunan dosa”, bahkan “cuci uang”
(membersihkan uang) cukup berdonasi recehan yang tidak sampai 5 persen dari
penghasilan “uang kotor” yang mereka peroleh. Berani berbuat, maka harus berani
bertanggung-jawab. Tidak berani bertanggung-jawab maka jangan berani-beraninya berbuat.
Pendosa, hendak berceramah perihal hidup jujur, lurus, bersih, serta mulia?
Bandingkan dengan apa yang telah digariskan oleh Sang Buddha:
316. Barangsiapa malu terhadap
hal tak memalukan, tidak malu terhadap hal memalukan; mereka yang memegang
pandangan keliru itu akan menuju ke alam sengsara.
317. Juga, barangsiapa takut
terhadap hal tak menakutkan, tidak takut terhadap hal menakutkan; mereka yang
memegang pandangan keliru itu akan menuju ke alam sengsara.
318. Barangsiapa menganggap
tercela terhadap hal tak tercela, menganggap tak tercela terhadap hal tercela;
mereka yang memegang pandangan keliru itu akan menuju ke alam sengsara.
319. Sebaliknya, barangsiapa
menyadari hal tercela sebagai yang tercela, menyadari hal tak tercela sebagai
yang tak tercela; mereka yang memegang pandangan benar itu akan menuju ke alam
bahagia.
Alasan ketiga, jangankan
perihal alam surgawi maupun alam neraka yang sifatnya abstrak dan sukar
dibuktikan secara empirik, terhadap gedung-gedung bangunan penjara dan ruang
persidangan yang dapat kita saksikan eksistensinya dengan mata-kepala sendiri,
menjejakkan kaki ke dalamnya, menyentuhnya dengan jemari sendiri, serta merabai
eksistensinya secara konkret, masih juga para kriminal dan para koruptor kita
memungkirinya—sehingga ibarat ciri khas watak orang-orang bertipikal “dungu”,
mereka (justru) seolah-olah menunggu mereka secara pribadi benar-benar
dijebloskan ke dalamnya sebagai narapidana barulah mereka menyadari dan mau
mengakuinya, “Oh, ternyata penjara memang
ada adanya.”
Alasan keempat, yakni alasan
yang cukup politis disamping puitis, yakni disebutkan oleh salah satu agama
samawi bahwasannya api neraka sumbernya ialah dibahan-bakari oleh minyak atau
lemak tubuh para manusia yang dijebloskan ke alam neraka—alam dimana Tuhan
telah gagal menciptakan manusia yang sempurna dan ideal, bahkan sengaja menciptakan
manusia dengan banyak / penuh kekurangan, yang salah satunya genetik kriminal
ataupun penyakit mental suka “mengutil”, lalu hendak cuci tangan dengan
membuang manusia ciptaannya ke “tong sampah” raksasa ini, maupun ketika sang “Profesor
Ling-Lung” masih juga bereksperimen mencobai umat manusia yang umurnya sudah
setua usia Planet Bumi ini, sehingga seolah Tuhan tidak mau belajar dari
kegagalan-kegagalannya dalam eksperimen-eksperimen sebelumnya, sekalipun lagu jingle iklan pariwara sebuah merek obat
cacing pernah menyindir “Untuk anak
sendiri kok, dicoba-coba?!”—karenanya Tuhan tampaknya memang sengaja
menciptakan para manusia berandal-brengsek sejak semula sesuai rencana “by design” untuk diperuntukkan
(dikorbankan) untuk menjadi penghuni alam neraka semata agar api neraka dapat
dijaga untuk tetap menyala, ibarat mengisi bahan bakar minyak ke dalam
kendaraan Anda. Neraka, merupakan monumen kegagalan Tuhan. Karenanya, semakin
banyak manusia dijebloskan ke neraka, sama artinya semakin tinggi-besar monumen
kegagalan Tuhan, sang “Maha Gagal”.
Alasan kelima, apalagi jika
bukan ideologi “toxic” yang merusak
dan mendegradasi “standar moralitas” umat manusia, sebagaimana menjadi maskot
ajaran banyak “Agama DOSA”, dimana para pendosa menjadi umatnya dan umat
pemeluknya ialah para pendosa, yakni iming-iming “korup” bernama “penghapusan /
pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”. Dahulu kala, sebelum “Agama DOSA”
diperkenalkan ke dunia ini beberapa ribu tahun yang lampau, tidak ada penjahat
(pendosa) manapun yang yakin akan masuk surga setelah ajal menjemputnya. Kini,
para pendosa berduyun dan berlomba-lomba serta berbondong-bondong mencetak
dosa, mengoleksi dosa, menimbun dosa, memproduksi dosa, memelihara dosa, mabuk
dosa, bercinda dengan dosa, berkubang dalam dosa, bersimbah dosa, mandi dosa,
makan dosa, mengimpikan dosa, menikmati dosa—dimana tidak menjadi pendosa
“kelas kakap” artinya “RUGI” dan “MERUGI”, sama meruginya seperti orang-orang
berjiwa ksatria yang penuh tanggung-jawab, para suciwan yang tidak membutuhkan
“penghapusan dosa”, dimana lebih merugi lagi kalangan korban yang dijadikan
korban untuk dikorbankan pun bahkan dianaktirikan oleh Tuhan.
Melawan arus, seperti hidup
secara selibat, mereka pandang sebagai “merugi” serta melanggar “kodrat”.
Namun, di mata seorang Buddha, apa yang menurut atau di mata orang-orang
yang tebal “kekotoran batin” (kebodohan batin)-nya dipandang sebagai
kegembiraan dan kesenangan, adalah kesengsaraan terbakar derita di mata Tuhan.
Mengutip pendapat bhikkhu bernama Ajahn Brahm, musik terindah ialah keheningan
(melawan arus), dimana yang tertinggi ialah “freedom from wanting” (bebas dari keinginan) bukan “freedom to wanting” (bebas untuk
menginginkan). Siapa pun senang dan ingin menikmati menggauili empat orang istri
bahkan memelihara budak-budak seksuil (perbudakan), bila punya dana lebih untuk
itu—namun tidak semua orang sanggup dan mau untuk “fang shen” alias “ber-kurban diri” dengan hidup penuh disiplin “self control” yang terlatih secara
ketat. Siapa pun sanggup menjadi seorang “pendosa penjilat penuh dosa”, namun
tidak semua orang sanggup dan mau menjadi seorang ksatriawan maupun seorang
suciwan.
Itulah buah dari ajaran “Agama
DOSA”, yang menggambarkan bahwa kenikmatan tertinggi ada di alam surgawi,
(justru) berupa “kenikmatan duniawi” berupa bersetubuh dan bersenggama dengan
puluhan bidadari berdada “montok” alih-alih “kenikmatan surgawi” seperti
kenikmatan meditatif. Sadarkah kita, ketika para pendosa justru dimasukkan ke
alam surgawi hingga penuh sesak diisi oleh para pendosa (dosawan), maka apalah
bedanya dengan “dunia manusia jilid kedua”, dimana si pendosa satu sama lainnya
kembali saling menyakiti dan mencelakai maupun melukai serta merugikan para
pendosa lainnya, dimana bahkan kondisinya mungkin lebih parah daripada dunia
manusia di Bumi, mengingat tiada penjara ataupun polisi di alam surgawi, dimana
para pendosa tersebut telah memegang tiket “penghapusan dosa”, alias imun dari
penghukuman sekalipun berdosa, sehingga pendosa merajalela tidak terkendalikan
serta tidak terbendung.
Mungkin, adalah lebih damai
kehidupan di alam neraka. Seperti kata pepatah, “don’t judge the door by the cover”. Alam tidak penting apa namanya,
neraka ataukah surga, yang terpenting ialah siapa yang menjadi atau dominasi watak
karakter dan moralitas para penghuninya. Para agamais menyebutkan, negara harus
diurus oleh ahli-nya. Namun, sang nabi membuat pengakuan, bahwa dirinya
menikmati “penghapusan dosa”, dosa-dosa yang telah lampau maupun dosa-dosa yang
akan datang, sehingga sang nabi merasa bersyukur lalu mengekspresikan rasa
syukurnya (telah dihapus dosa-dosa yang lampau maupun yang akan datang) dengan
menyembah-sujud kepada Tuhan hingga sang nabi kakinya bengkak.
Tidak terkecuali ketika sesosok
nabi lainnya menghapus dosa dua orang penjahat yang digantung mati bersama sang
nabi. Bagaimana dengan nasib para korban? Mereka adalah hakim yang buruk,
bahkan lebih buruk daripada hakim manusia di ruang peradilan Pengadilan Negeri
yang setidaknya masih membolehkan korban pelapor didengar keterangannya di persidangan
perkara pidana. Pendosa, hendak berceramah perihal hidup suci, lurus, dan
bersih, dimana para umatnya (para sesama pendosa dengan sang nabi yang mereka
junjung) menjadikan suri-tauladan dan mendengarkan ceramah serta ajaran-ajaran sang
nabi? Sang Buddha menyebutnya sebagai “ibarat orang buta hendak
menuntun orang-orang buta lainnya”. Ahli, ahli dalam ihwal hapus-menghapus
dosa, pakar “Agama DOSA”, bahkan menyebutnya sebagai “ilmu”, maka rusaklah
negeri ini.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.