IQ Mungkin Bukan Segalanya, namun (yang Jelas) Segalanya Butuh IQ
IQ juga merupakan Pemberian dan Anugerah Terbesar
Tuhan, mengapa Terjadi Diskredit seolah SQ Lebih Tinggi Derajatnya daripada IQ?
Jika SQ dan EQ Tidak Bertopang pada Pilar Penopang
bernama IQ, maka Pada Apakah? Pada Otak Reptil yang Bersarang di Kepala Anda?
Setelah selama puluhan tahun mengamati masyarakat kita di Indonesia yang serba “agamais”—negeri kita tidak pernah kekurangan para “agamais” namun disaat bersamaan penjara selalu mengalami masalah klise, “overcapacity”—maka dapat penulis petakan pola tabiat atau watak para “agamais” yang membanjiri masyarakat kita, pola mana dapat para pembaca jumpai sendiri dalam kehidupan sehari-hari, antara lain: [DISCLAIMER : Silahkan bagi Anda bila hendak membantah atau mendebat, itu pun bila Anda sanggup, akibat terbiasa dan dibisakan meremehkan peran krusial IQ. Tuhan tidak pernah butuh seorang “penjilat”, dunia ini tidak pernah kekurangan “pendosa penjilat penuh dosa”]
- menyelesaikan setiap masalah
dengan kekerasan fisik (serta pembunuhan);
- misi misionaris dengan
pukulan tinju dan senjata tajam terhunus;
- alih-alih “look inward”, para “agamais” kita justru
lebih sibuk mengurusi, menghakimi, serta menyibukkan apa yang menjadi keyakinan
orang lain, dengan memberi cap stigma “kaf!r” bagi kaum yang berbeda keyakinan;
- lebih sibuk mengurusi urusan
keyakinan orang lain, alih-alih mengawasi dan mengontrol pikiran maupun perilaku
dirinya sendiri;
- meremehkan dosa dan maksiat,
yang artinya “look down on defilement”,
alias meremehkan kekotoran batin yang bersarang dalam pikiran dan hatinya
sendiri;
- Menuntut diberi toleransi
untuk beribadah dan berkeyakinan pada negara-negara dimana mereka adalah kaum
minoritas, namun ketika menjelma mayoritas, mereka hendak membumi-hanguskan
toleransi yang dahulu mereka tuntut dan nikmati (lihat sejarah Nusantara dalam
Kitab Sastra Jawa, berjudul “DHARMO GHANDUL”);
- terhadap dosa dan maksiat
demikian kompromistik, namun terhadap kaum yang berbeda keyakinan demikian
intoleran;
- miskin perspektif korban,
akibat setiap harinya mengumandangkan iming-iming “penghapusan / pengampunan
dosa” maupun “penebusan dosa”, setiap hari raya memohon serta mengharap “abolition of sins”, bahkan ketika
meninggal dunia pun yang menjadi doa sanak-keluarga sang almarhum ialah
“penghapusan dosa” bagi almarhum, atau apapun itu alasannya;
- alih-alih di-tabu-kan, malu
ataupun merasa takut, yang semestinya meng-kampanyekan gaya hidup higienis dari
dosa, justru lewat pengeras suara selalu mengumbar iming-iming delusif ideologi
korup bernama “penghapusan dosa” secara begitu percaya diri, membahana hingga
berkilo-kilo meter radiusnya (yang bahkan juga tembus hingga ke dalam toilet
kediaman warga), serta “putus urat malu”-nya;
- mereka, para “agamais”
tersebut, bersikap seolah-olah Tuhan lebih PRO terhadap “pendosa penjilat penuh
dosa” alih-alih bersikap adil selayaknya hakim manusia di ruang-ruang peradilan
ketika mengadili, dengan memberi hak-hak keadilan bagi para korban untuk
menyuarakan tuntutan serta aspirasinya;
- kabar gembira bagi para
pendosa (yang dihapus dosa-dosanya) selalu merupakan kabar buruk dan duka bagi
para korban maupun keluarganya;
- korban hanya boleh diam
bungkam seperti seonggok mayat yang beku terbujur kaku atau membatu seperti
sebongkah batu atau sepotong kayu tidak bersuara ketika disakiti—jika menjerit
kesakitan, maka akan dituding “sudah gila” atau “tidak sopan”, seolah-olah sang
pelaku kejahatan “sudah sopan” yang bahkan tidak dikritik ataupun setidaknya
dicela perilaku buruknya yang telah menyakiti, melukai, ataupun merugikan
korbannya;
- jadi korban, orang baik,
ksatria yang bertanggung-jawab, bahkan menjadi orang suci, artinya “RUGI” alias
“MERUGI” tidak dapat menikmati, berlangganan, serta mencandu ideologi korup
semacam “penghapusan dosa” atau apapun itu istilahnya;
- koruptor dicela dan dikutuk,
namun masyarakat kita itu sendiri setiap harinya bersikap korup dengan merampas
hak-hak keadilan bari para korban-korbannya lewat aksi “cuci dosa” (sins laundring) bernama “penghapusan
dosa” atau sekadar cukup berdonasi “recehan” (tidak sampai lima persen dari
penghasilan “kotor” untuk dibersihkan, alias “money laundring”);
- korban seakan dianaktirikan
oleh Tuhan, seolah dlepas begitu saja untuk mencari keadilannya sendiri;
- Tuhan dipersonifikasikan
seperti sesosok raja—namun figur raja yang tiran yang akan senang bila
dipuja-puji sembah-sujud lalu memberi hadiah, dan akan murka bila tidak
disembah dengan ancaman akan memberi siksaan—yang bisa menjadi senang, suka,
benci, marah, murka, dsb. Betapa mudahnya bagi manusia, yang ternyata mampu
mendikte Tuhan yang terbakar oleh nafsu dan kebenciannya sendiri;
- sang nabi digambarkan
memiliki hati penuh welas asih terpancar dari dadanya, namun disaat bersamaan
dapat demikian beringas, penuh ambisi, serta kejam, dengan melemparkan
manusia-manusia yang tidak sudi dan tidak rela menggadaikan jiwanya untuk
menjadi budak-hamba sembah-sujud sang nabi;
- seolah-olah memuliakan Tuhan
bukanlah dengan cara menjadi manusia yang mulia, namun menjadi seorang “pendosa
penjilat penuh dosa”;
- pendosa (pelanggan tetap
alias pecandu ideologi “penghapusan dosa”), namun sesumbar dengan berceramah
perihal hidup suci, lurus, jujur, benar, baik, serta mulia—ibarat orang buta
hendak menuntut orang buta lainnya, “neraka” pun dipandang sebagai “surga”.
Maklum, namanya juga “butawan”;
- mereka, para “agamais”
tersebut merasa bangga tampak “agamais”, semisal berdoa sebelum makan dalam
rangka berterimakasih atas pemberian Tuhan, sementara itu para umat Buddhist
lebih memilih untuk merepotkan diri dengan sibuk menanam benih-benih Karma Baik
untuk dipetik buah manisnya di masa mendatang tiba saatnya matang dan panen,
dimana makanan yang dimakan para umat Buddhist adalah hasil jirih-payahnya
sendiri rajin menanam di kehidupan lampau. Umat Buddhist tampak tidak “agamais”
, namun “tangan menengadah ke bawah selalu tetap lebih mulia daripada tangan
menengadah ke arah atas (meminta-minta dan mengemis-ngemis kepada Tuhan, betapa
malangnya Tuhan yang dengan demikian “tidak boleh tidur”, seolah Tuhan yang
butuh manusia bukan sebaliknya);
- para “agamais” tersebut
terlampau pemalas untuk menyingsingkan lengan bajunya untuk “menanam”, mereka
lebih sibuk menjadi “pengemis” yang meminta-minta, memohon-mohon,
merengek-rengek, alias menjadi “penjilat”. Disaat bersamaan, mereka terlampau
pengecut untuk bertanggung-jawab atas perbuatan-perbuatan buruk, jahat, dan
tercela mereka sendiri yang telah pernah menyakiti, melukai, ataupun merugikan
orang-orang lainnya (pendosa tidak bertanggung-jawab, jauh lebih derajatnya
daripada seseorang berjiwa ksatria yang penuh tanggung-jawab). Mereka, adalah
para pecundang kehidupan, tulen sifatnya;
- HANYA SEORANG PENDOSA, YANG
BUTUH “PENGHAPUSAN DOSA”;
Adapun secara representatifnya,
dapat kita simbolikkan dengan peristiwa nyata yang kerap penulis dengar dengan
mata-kepala sendiri dalam berbagai kesempatan (bahkan ada yang dibahanakan
lewat speaker eksternal rumah ibadah), untuk selanjutnya kita bandingkan dengan
sebuah anekdot lewat kisah kiasan, untuk selanjutnya Anda nilai sendiri dengan secara
lebih terbuka kepada hati nurani Anda sendiri:
- “Umat Buddhist orangnya baik-baik sih, namun karena mereka tidak percaya
nabi yang kita sembah, maka mereka masuk neraka!”
- “Ada yang bilang, orang-orang baik bisa masuk surga sekalipun ateis atau
NON. Saya tidak setuju, jika memang itu benar adanya, maka untuk apa kita
menyembah Tuhan kita ini beberapa kali dalam sehari setiap harinya?!”
- Seorang pemuda berseragam
safari memasuki sebuah hutan hujan tropis yang lebat. Terkagum-kagum
menyaksikan hutan yang masih alami dan penuh keliaran flora dan fauna,
menikmati pemandangan elok rimba belantara. Mendadak sang pemuda dikejutkan
oleh seekor singa yang menyergapnya, tanpa lagi dapat melarikan diri. Namun
sang pemuda lebih dikejutkan lagi oleh tingkah sang singa yang mendadak
berlutut-bersujud dengan kedua tangan tertangkup di depan dada dan dua kelopak
mata yang mulai terpejam. “Astaga, saya
berjumpa dengan singa yang soleh!” Tanpa mengubah postur tubuh, sembari
dengan mata yang masih terpejam, sang singa menanggapi, “Ya, sebagai singa yang baik, tidak lupa berdoa sebelum makan.”
Kelirutahu, tahu namun keliru,
mengira “Agama DOSA” sebagai “Agama SUCI”. Yang semestinya merasa malu, justru
merasa bangga (akibat delusi) bahkan meminta dihormati bak memeluk agama yang
paling superior yang berhak untuk menghakimi manusia-manusia lainnya. Untuk
itu, tanpa kenal bosan dan tanpa letih penulis akan menguraikan tiga kategori
besar agama yang dikenal sepanjang sejarah peradaban umat manusia, yakni:
- “Agama SUCI”, dimana
umatnya ialah para suciwan. Disebut sebagai suciwan, karena tidak
kompromistik terhadap kesalahan ataupun perilaku tercela dirinya sendiri,
terbiasa berlatih dalam disiplin “self
control” yang ketat, karenanya penuh keterampilan pengendalian diri
yang teruji, gaya hidup higienis dari dosa, karenanya tidak pernah
menyentuh hal kotor-menjijikkan semacam ideologi korup bernama “penghapusan
dosa”. Para suciwan, berjuang menaklukkan dirinya sendiri, dengan mengikis
kekotoran batin dalam dirinya sendiri alih-alih lebih sibuk menghakimi
keyakinan orang lain. Karenanya, para suciwan tidak terjebak memakan dan
termakan iming-iming “too good to true”
berupa perangkap yang dipasang oleh Tuhan, bernama “penghapusan dosa”. Bagi
para suciwan, “buah terlarang” yang terlarang untuk disentuh bukanlah “buah apel”,
namun ideologi korup bernama “penghapusan dosa” atau apapun itu istilahnya. Tiada
yang lebih beracun dan berbahaya daripada bahaya dibalik ideologi korup semacam
itu;
- “Agama KSATRIA”,
dimana umatnya ialah mereka yang berjiwa ksatria, alias jauh dari sifat
mentalitas pengecut. Disebut sebagai ksatriawan, dilatarbelakangi oleh
karakter khas seorang ksatria, yakni masih bisa dan telah pernah berbuat keliru
yang menyakiti, merugikan, ataupun melukai individu-individu lainnya, namun
para ksatria alih-alih lebih sibuk berkelit dan “cuci tangan”, “cuci dosa”,
maupun “tabrak lari”, mereka akan secara gagah-berani tampil lewat kesadaran
pribadi untuk bertanggung-jawab dan siap dimintakan pertanggung-jawaban apapun
konsekuensi yang harus ia bayarkan, sekalipun bisa jadi korbannya tidak sadar
telah dijadikan korban dan dikorbankan. Karenanya, para ksatriawan memandang
rendah dan menjijikan kaum pengecut yang “berani berbuat jahat, namun tidak
berani bertanggung-jawab dan melarikan diri dari pertanggung-jawaban”. Tanggung-jawab
dan bertanggung-jawab, itulah isi “Kitab KSATRIA” yang menjadi acuan komitmen
para ksatriawan;
- “Agama DOSA”, dimana
jelas umatnya ialah para dosawan, alias agama bagi para pendosa atau
para pendosa yang menjadi umatnya. Disebut sebagai “Agama DOSA” yang bersumber
dari “Kitab DOSA” (don’t judge the book
by the cover”), semata karena mengkampanyekan gaya hidup mencandu
“penghapusan dosa” alih-alih gaya hidup higienis dari dosa. Dahulu, sebelum
“Agama DOSA” lahir ke muka bumi, tiada pendosa yang yakin akan masuk surga
setelah kematian menjemputnya. Namun kini, para pendosa berkubang dalam dosa,
mengoleksi segunung dosa, bersimbah dosa, mereproduksi dosa, tertimbun dosa,
serta mengubur diri dengan dosa, akan tetapi disaat bersamaan masih juga yakin
karpet merah tergerai baginya untuk masuk ke alam “surgawi”—alias “alam manusia
jilid kedua”, dimana para pendosa kembali saling menyakiti, melukai, dan
merugikan satu sama lainnya sebagaimana ketika mereka di dunia manusia.
Sekalipun dengan akal sehat dan pikiran jernih kita mengetahui secara sadar,
HANYA SEORANG PENDOSA YANG BUTUH PENGHAPUSAN DOSA! Lalu, pertanyaan utamanya yang tidak pernah disinggung oleh
“Tuhan” versi “Agama DOSA”, dibagaimanakankah nasib kalangan korban dari
para pendosa tersebut? Bagaimana mungkin, Tuhan bersikap tidak akuntabel
semudah disuap oleh sembah-sujud? Semua orang sanggup menjadi “pendosa penjilat
penuh dosa”, namun tidak semua orang sanggup menjadi ksatriawan terlebih suciwan.
Kini, penulis akan mengajak
para pembaca untuk menelaah dari acuan perspektif, yakni Anda “berdiri di
mana”. Bila Anda adalah pelaku kejahatan, Anda akan merasa senang ketika
mendengar ceramah berisi iming-iming “penghapusan dosa”, lalu
berbondong-bondong dan berlomba-lomba mencetak / memproduksi dosa, agar tidak
“merugi”. Sebaliknya, kontras dengan pihak yang disebut pertama, bila Anda
justru adalah kalangan korban yang telah pernah serta masih akan dapat
disakiti, dilukai, maupun dirugikan oleh para pendosa tersebut, akan tampak
bahaya dibalik dogma-dogma “penghapusan dosa”, dimana sang korban berpotensi
kembali menjadi korban atau akan berjatuhan korban-korban baru lainnya. Dosa-dosa
para dosawan tersebut telah menjelma “too
big to fall”.
Jangankan malu dan takut
berbuat jahat (dosa mana yang tidak jahat?), iming-iming korup bernama
“penghapusan dosa” justru diumbar lewat speaker pengeras suara tempat ibadah
“Agama DOSA”, dimana dalam sekali berceramah sang pemuka agama setidaknya
tercatat menyebut-nyebut iming-iming “penghapusan dosa” secara berkali-kali,
untuk setiap harinya. Begitupula ketika tiba hari raya keagamaan sang “Agama
DOSA”, yang lagi-lagi diumbar dan dikumandangkan ialah iming-iming “too good to be true” bernama
“penghapusan dosa”. Tidak terkecuali setelah ajal menjelang, yang disebut-sebut
juga ialah “penghapusan dosa” bagi sang almarhum pendosa. Lantas, dimanakah dan
akan dikemanakankah posisi dari para korban dari kalangan pendosa bersangkutan?
Salah satu agama samawi
menceritakan, ketika nabinya tewas “bunuh diri” (menyerahkan nyawa untuk
dibunuh alih-alih melarikan diri) karena digantung, sang nabi justru menghapus
dosa-dosa kedua orang penjahat yang dihukum mati-gantung bersama sang nabi.
Begitu mudahnya mengumbar dan mengobral “pengampunan dosa”, dimana bahkan sang
nabi tidak pernah bertanya kepada kalangan korban dari para pendosa tersebut,
keadilan semacam apakah yang pantas bagi sang penjahat dan bagi para korban-korbannya
tersebut? Dalam persidangan ala hukum manusia, hakim wajib mendengarkan
keterangan korban pelapor, serta menjatuhkan vonis hukuman bagi pelaku penjahat,
demi memberi efek jera agar sang pelaku menjadi jera, alih-alih diberi “reward” berupa dihapus kejahatannya yang
akan menjadi “dis-insentif” bagi kepentingan korban.
Kita justru harus membunuh nabi-nabi
semacam itu, mereka memonopoli jembatan komunikasi dengan Tuhan, dimana kita
dan Tuhan tidak benar-benar butuh nabi, namun dari komunikasi “hati ke hati”.
Kini kita beralih pada dogma-dogma lainnya, dimana para pendosa menuntut
dihormati, mengklaim paling superior, bahkan merasa berhak menghakimi kaum
lainnya, namun untuk setiap hari, setiap tahunnya, juga seumur hidupnya menjadi
pelanggan tetap yang mencandu ideologi berikut:
- Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam
kitabnya Madarijus Salikin menjelaskan, lafaz “maghfirah” (ampunan) lebih sempurna daripada lafaz “takfir” (penghapusan). Karenanya,
ampunan berlaku untuk dosa-dosa besar dan penghapusan berlaku untuk dosa-dosa
kecil.
- “Agar Allah menghapus (mengampuni) perbuatan mereka yang paling buruk
yang pernah mereka kerjakan.” (QS. Az-Zumar: 35)
- “Barangsiapa ibadah (tarawih) di bulan Ramadan seraya beriman dan
ikhlas, maka diampuni baginya dosa yang telah lampau.” (HR Bukhari, Muslim,
dan lainnya).
- “Barangsiapa yang puasa Ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala,
akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari [38, 1901, 2014]
dan Muslim [760] dari sahabat Abu Hurairah.
- “Shalat lima waktu. Ibadah Jum’at yang satu dengan ibadah jum’at
berikutnya. Puasa Ramadhan yang satu dengan puasa Ramadhan berikutnya. Itu
semua merupakan penghapus dosa antara keduanya, selama dosa-dosa besar dijauhi.”
(HR. Muslim [233])
- “Bagaimana menurut kalian kalau seandainya ada sebuah sungai di depan
pintu rumah kalian dan dia mandi di sana sehari lima kali. Apakah masih ada
sisa kotoran yang ditinggalkan olehnya?” Para sahabat menjawab, “Tentu saja
tidak ada lagi kotoran yang masih ditingalkan olehnya.” Maka beliau bersabda,
“Demikian itulah perumpamaan shalat lima waktu dapat menghapuskan dosa-dosa.”
(HR. Bukhari [528] dan Muslim [667])
- “Aisyah bertanya kepada Rasulullah SAW, mengapa suaminya shalat malam
hingga kakinya bengkak. Bukankah Allah SWT telah mengampuni dosa Rasulullah
baik yang dulu maupun yang akan datang? Rasulullah menjawab, “Tidak
bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?” [HR
Bukhari Muslim].
- “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar telah menceritakan
kepada kami Ghundar telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Washil dari Al
Ma’rur berkata, “Aku mendengar Abu Dzar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
beliau bersabda: “Jibril menemuiku dan memberiku kabar gembira,
bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak menyekutukan Allah dengan
sesuatu apapun, maka dia masuk surga.” Maka saya bertanya, ‘Meskipun
dia mencuri dan berzina? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga
berzina’.” [Shahih Bukhari 6933]
- Umar bin al-Khattab, rekan Muhammad terusik dengan apa yang dilihatnya.
“Umar mendekati Batu Hitam dan menciumnya serta mengatakan, ‘Tidak diragukan
lagi, aku tahu kau hanyalah sebuah batu yang tidak berfaedah maupun
tidak dapat mencelakakan siapa pun. Jika saya tidak melihat Utusan Allah
mencium kau, aku tidak akan menciummu.” [Sahih al-Bukhari, Volume 2, Buku
26, Nomor 680]
- “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka
mengucapkan ‘TIDAK ADA TUHAN SELAIN ALLAH DAN BAHWA MUHAMMAD RASUL ALLAH’,
menghadap kiblat kami, memakan sembelihan kami, dan melakukan shalat dengan
kami. Apabila mereka melakukan hal tersebut, niscaya kami diharamkan MENUMPAHKAN
DARAH dan MERAMPAS HARTA mereka.” [Hadist Tirmidzi No. 2533]
Ketika bulan puasa tiba, kaum
mereka meminta dan menuntut dihormati, dimana sejumlah daerah berbagai rumah
makan dilarang dibuka serta terjadi “razia” oleh sejumlah masyarakat maupun Ormas.
Mengapa pula mereka harus dihormati, toh kami para Buddhist punya waktu puasa
kami sendiri—yakni “uposatha”—dimana
jadwal makan dan tidak makannya berkebalikan dengan puasa kaum tersebut, dimana
juga kaum Buddhist bahkan tidak pernah sesumbar kepada orang lain bahwa dirinya
sedang berpuasa, itu bukan urusan orang lain, dan tetap menghormati yang tidak
berpuasa terlebih merampas hak mereka yang tidak berpuasa untuk makan dan
minum—dimana juga mereka berpuasa justru konsumsi meningkat dua kali lipat dari
bulan-bulan selainnya (nafsu meningkat, perut membuncit), kerja malas-malasan,
menuntut diberi uang tunjangan hari raya, kebanyakan hari libur, masih pula
mengharapkan ideologi curang alias korup bernama “penghapusan dosa” yang sangat
melukai hati kalangan korban para pendosa tersebut.
Perut mereka berpuasa, namun
mereka tidak berpuasa dari pikiran-pikiran kotor dan korup (mengharap
penghapusan dosa, alias lari dari tanggung jawab), mabuk-kepayang oleh
iming-iming “penghapusan dosa”, sehingga puasa tertinggi bukanlah “tidak
makan”, namun tidak berbuat dosa sebesar ataupun sekecil apapun yang dapat
melukai, merugikan, ataupun menyakiti individu-individu lainnya, sepanjang
hayat masih dikandung badan. Pengorbanan terbesar bukanlah menyembelih
hewan kurban, namun hidup secara bertanggung-jawab, serta penuh disiplin
latihan “self control” yang ketat.
Sehingga, bagi mereka yang
menjalani ibadah puasa dengan motif untuk menghapus dosa-dosa yang
bersangkutan, maka mereka lebih patut serta lebih layak untuk dikutuk, dicela,
dihina, diremehkan, dipandang rendah dan direndahkan, alih-alih dihormati
ataupun dihargai—sebab mereka tidak menghargai korban-korban mereka, dimana
puasa dijadikan ajang pesta-pora “penghapusan dosa”, para munafik yang
berteriak munafik. Berkebalikan dari ajaran-ajaran penuh delusi yang permisif
terhadap dosa dan maksiat penuh kecurangan yang kotor demikian, Sang Buddha
mengajarkan sikap bertanggung-jawab bagi para umat dan siswa-siswi-Nya, inilah
baru puasa serta pengorbanan diri sejati:
“Para bhikkhu, ada empat jenis
orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? Orang yang mengikuti arus; orang
yang melawan arus; orang yang kokoh dalam pikiran; dan orang yang telah
menyeberang dan sampai di seberang, sang brahmana yang berdiri di atas daratan
yang tinggi.
(1) “Dan apakah orang yang mengikuti
arus? Di sini, seseorang menikmati kenikmatan indria dan melakukan
perbuatan-perbuatan buruk. Ini disebut orang yang mengikuti arus.
(2) “Dan apakah orang yang
melawan arus? Di sini, seseorang tidak menikmati kenikmatan indria atau
melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Bahkan dengan kesakitan dan
kesedihan, menangis dengan wajah basah oleh air mata, ia menjalani
kehidupan spiritual yang lengkap dan murni. Ini disebut orang yang melawan
arus.