Tes Level SQ Anda Disini : Pendosa yang Minta untuk Dihormati, Salah Alamat, HANYA PENDOSA YANG BUTUH PENGHAPUSAN DOSA

IQ Mungkin Bukan Segalanya, namun (yang Jelas) Segalanya Butuh IQ

IQ juga merupakan Pemberian dan Anugerah Terbesar Tuhan, mengapa Terjadi Diskredit seolah SQ Lebih Tinggi Derajatnya daripada IQ?

Jika SQ dan EQ Tidak Bertopang pada Pilar Penopang bernama IQ, maka Pada Apakah? Pada Otak Reptil yang Bersarang di Kepala Anda?

Setelah selama puluhan tahun mengamati masyarakat kita di Indonesia yang serba “agamais”—negeri kita tidak pernah kekurangan para “agamais” namun disaat bersamaan penjara selalu mengalami masalah klise, “overcapacity”—maka dapat penulis petakan pola tabiat atau watak para “agamais” yang membanjiri masyarakat kita, pola mana dapat para pembaca jumpai sendiri dalam kehidupan sehari-hari, antara lain: [DISCLAIMER : Silahkan bagi Anda bila hendak membantah atau mendebat, itu pun bila Anda sanggup, akibat terbiasa dan dibisakan meremehkan peran krusial IQ. Tuhan tidak pernah butuh seorang “penjilat”, dunia ini tidak pernah kekurangan “pendosa penjilat penuh dosa”]

- menyelesaikan setiap masalah dengan kekerasan fisik (serta pembunuhan);

- misi misionaris dengan pukulan tinju dan senjata tajam terhunus;

- alih-alih “look inward”, para “agamais” kita justru lebih sibuk mengurusi, menghakimi, serta menyibukkan apa yang menjadi keyakinan orang lain, dengan memberi cap stigma “kaf!r” bagi kaum yang berbeda keyakinan;

- lebih sibuk mengurusi urusan keyakinan orang lain, alih-alih mengawasi dan mengontrol pikiran maupun perilaku dirinya sendiri;

- meremehkan dosa dan maksiat, yang artinya “look down on defilement”, alias meremehkan kekotoran batin yang bersarang dalam pikiran dan hatinya sendiri;

- Menuntut diberi toleransi untuk beribadah dan berkeyakinan pada negara-negara dimana mereka adalah kaum minoritas, namun ketika menjelma mayoritas, mereka hendak membumi-hanguskan toleransi yang dahulu mereka tuntut dan nikmati (lihat sejarah Nusantara dalam Kitab Sastra Jawa, berjudul “DHARMO GHANDUL”);

- terhadap dosa dan maksiat demikian kompromistik, namun terhadap kaum yang berbeda keyakinan demikian intoleran;

- miskin perspektif korban, akibat setiap harinya mengumandangkan iming-iming “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”, setiap hari raya memohon serta mengharap “abolition of sins”, bahkan ketika meninggal dunia pun yang menjadi doa sanak-keluarga sang almarhum ialah “penghapusan dosa” bagi almarhum, atau apapun itu alasannya;

- alih-alih di-tabu-kan, malu ataupun merasa takut, yang semestinya meng-kampanyekan gaya hidup higienis dari dosa, justru lewat pengeras suara selalu mengumbar iming-iming delusif ideologi korup bernama “penghapusan dosa” secara begitu percaya diri, membahana hingga berkilo-kilo meter radiusnya (yang bahkan juga tembus hingga ke dalam toilet kediaman warga), serta “putus urat malu”-nya;

- mereka, para “agamais” tersebut, bersikap seolah-olah Tuhan lebih PRO terhadap “pendosa penjilat penuh dosa” alih-alih bersikap adil selayaknya hakim manusia di ruang-ruang peradilan ketika mengadili, dengan memberi hak-hak keadilan bagi para korban untuk menyuarakan tuntutan serta aspirasinya;

- kabar gembira bagi para pendosa (yang dihapus dosa-dosanya) selalu merupakan kabar buruk dan duka bagi para korban maupun keluarganya;

- korban hanya boleh diam bungkam seperti seonggok mayat yang beku terbujur kaku atau membatu seperti sebongkah batu atau sepotong kayu tidak bersuara ketika disakiti—jika menjerit kesakitan, maka akan dituding “sudah gila” atau “tidak sopan”, seolah-olah sang pelaku kejahatan “sudah sopan” yang bahkan tidak dikritik ataupun setidaknya dicela perilaku buruknya yang telah menyakiti, melukai, ataupun merugikan korbannya;

- jadi korban, orang baik, ksatria yang bertanggung-jawab, bahkan menjadi orang suci, artinya “RUGI” alias “MERUGI” tidak dapat menikmati, berlangganan, serta mencandu ideologi korup semacam “penghapusan dosa” atau apapun itu istilahnya;

- koruptor dicela dan dikutuk, namun masyarakat kita itu sendiri setiap harinya bersikap korup dengan merampas hak-hak keadilan bari para korban-korbannya lewat aksi “cuci dosa” (sins laundring) bernama “penghapusan dosa” atau sekadar cukup berdonasi “recehan” (tidak sampai lima persen dari penghasilan “kotor” untuk dibersihkan, alias “money laundring”);

- korban seakan dianaktirikan oleh Tuhan, seolah dlepas begitu saja untuk mencari keadilannya sendiri;

- Tuhan dipersonifikasikan seperti sesosok raja—namun figur raja yang tiran yang akan senang bila dipuja-puji sembah-sujud lalu memberi hadiah, dan akan murka bila tidak disembah dengan ancaman akan memberi siksaan—yang bisa menjadi senang, suka, benci, marah, murka, dsb. Betapa mudahnya bagi manusia, yang ternyata mampu mendikte Tuhan yang terbakar oleh nafsu dan kebenciannya sendiri;

- sang nabi digambarkan memiliki hati penuh welas asih terpancar dari dadanya, namun disaat bersamaan dapat demikian beringas, penuh ambisi, serta kejam, dengan melemparkan manusia-manusia yang tidak sudi dan tidak rela menggadaikan jiwanya untuk menjadi budak-hamba sembah-sujud sang nabi;

- seolah-olah memuliakan Tuhan bukanlah dengan cara menjadi manusia yang mulia, namun menjadi seorang “pendosa penjilat penuh dosa”;

- pendosa (pelanggan tetap alias pecandu ideologi “penghapusan dosa”), namun sesumbar dengan berceramah perihal hidup suci, lurus, jujur, benar, baik, serta mulia—ibarat orang buta hendak menuntut orang buta lainnya, “neraka” pun dipandang sebagai “surga”. Maklum, namanya juga “butawan”;

- mereka, para “agamais” tersebut merasa bangga tampak “agamais”, semisal berdoa sebelum makan dalam rangka berterimakasih atas pemberian Tuhan, sementara itu para umat Buddhist lebih memilih untuk merepotkan diri dengan sibuk menanam benih-benih Karma Baik untuk dipetik buah manisnya di masa mendatang tiba saatnya matang dan panen, dimana makanan yang dimakan para umat Buddhist adalah hasil jirih-payahnya sendiri rajin menanam di kehidupan lampau. Umat Buddhist tampak tidak “agamais” , namun “tangan menengadah ke bawah selalu tetap lebih mulia daripada tangan menengadah ke arah atas (meminta-minta dan mengemis-ngemis kepada Tuhan, betapa malangnya Tuhan yang dengan demikian “tidak boleh tidur”, seolah Tuhan yang butuh manusia bukan sebaliknya);

- para “agamais” tersebut terlampau pemalas untuk menyingsingkan lengan bajunya untuk “menanam”, mereka lebih sibuk menjadi “pengemis” yang meminta-minta, memohon-mohon, merengek-rengek, alias menjadi “penjilat”. Disaat bersamaan, mereka terlampau pengecut untuk bertanggung-jawab atas perbuatan-perbuatan buruk, jahat, dan tercela mereka sendiri yang telah pernah menyakiti, melukai, ataupun merugikan orang-orang lainnya (pendosa tidak bertanggung-jawab, jauh lebih derajatnya daripada seseorang berjiwa ksatria yang penuh tanggung-jawab). Mereka, adalah para pecundang kehidupan, tulen sifatnya;

- HANYA SEORANG PENDOSA, YANG BUTUH “PENGHAPUSAN DOSA”;

Adapun secara representatifnya, dapat kita simbolikkan dengan peristiwa nyata yang kerap penulis dengar dengan mata-kepala sendiri dalam berbagai kesempatan (bahkan ada yang dibahanakan lewat speaker eksternal rumah ibadah), untuk selanjutnya kita bandingkan dengan sebuah anekdot lewat kisah kiasan, untuk selanjutnya Anda nilai sendiri dengan secara lebih terbuka kepada hati nurani Anda sendiri:

- “Umat Buddhist orangnya baik-baik sih, namun karena mereka tidak percaya nabi yang kita sembah, maka mereka masuk neraka!

- “Ada yang bilang, orang-orang baik bisa masuk surga sekalipun ateis atau NON. Saya tidak setuju, jika memang itu benar adanya, maka untuk apa kita menyembah Tuhan kita ini beberapa kali dalam sehari setiap harinya?!

- Seorang pemuda berseragam safari memasuki sebuah hutan hujan tropis yang lebat. Terkagum-kagum menyaksikan hutan yang masih alami dan penuh keliaran flora dan fauna, menikmati pemandangan elok rimba belantara. Mendadak sang pemuda dikejutkan oleh seekor singa yang menyergapnya, tanpa lagi dapat melarikan diri. Namun sang pemuda lebih dikejutkan lagi oleh tingkah sang singa yang mendadak berlutut-bersujud dengan kedua tangan tertangkup di depan dada dan dua kelopak mata yang mulai terpejam. “Astaga, saya berjumpa dengan singa yang soleh!” Tanpa mengubah postur tubuh, sembari dengan mata yang masih terpejam, sang singa menanggapi, “Ya, sebagai singa yang baik, tidak lupa berdoa sebelum makan.

Kelirutahu, tahu namun keliru, mengira “Agama DOSA” sebagai “Agama SUCI”. Yang semestinya merasa malu, justru merasa bangga (akibat delusi) bahkan meminta dihormati bak memeluk agama yang paling superior yang berhak untuk menghakimi manusia-manusia lainnya. Untuk itu, tanpa kenal bosan dan tanpa letih penulis akan menguraikan tiga kategori besar agama yang dikenal sepanjang sejarah peradaban umat manusia, yakni:

- “Agama SUCI”, dimana umatnya ialah para suciwan. Disebut sebagai suciwan, karena tidak kompromistik terhadap kesalahan ataupun perilaku tercela dirinya sendiri, terbiasa berlatih dalam disiplin “self control” yang ketat, karenanya penuh keterampilan pengendalian diri yang teruji, gaya hidup higienis dari dosa, karenanya tidak pernah menyentuh hal kotor-menjijikkan semacam ideologi korup bernama “penghapusan dosa”. Para suciwan, berjuang menaklukkan dirinya sendiri, dengan mengikis kekotoran batin dalam dirinya sendiri alih-alih lebih sibuk menghakimi keyakinan orang lain. Karenanya, para suciwan tidak terjebak memakan dan termakan iming-iming “too good to true” berupa perangkap yang dipasang oleh Tuhan, bernama “penghapusan dosa”. Bagi para suciwan, “buah terlarang” yang terlarang untuk disentuh bukanlah “buah apel”, namun ideologi korup bernama “penghapusan dosa” atau apapun itu istilahnya. Tiada yang lebih beracun dan berbahaya daripada bahaya dibalik ideologi korup semacam itu;

- “Agama KSATRIA”, dimana umatnya ialah mereka yang berjiwa ksatria, alias jauh dari sifat mentalitas pengecut. Disebut sebagai ksatriawan, dilatarbelakangi oleh karakter khas seorang ksatria, yakni masih bisa dan telah pernah berbuat keliru yang menyakiti, merugikan, ataupun melukai individu-individu lainnya, namun para ksatria alih-alih lebih sibuk berkelit dan “cuci tangan”, “cuci dosa”, maupun “tabrak lari”, mereka akan secara gagah-berani tampil lewat kesadaran pribadi untuk bertanggung-jawab dan siap dimintakan pertanggung-jawaban apapun konsekuensi yang harus ia bayarkan, sekalipun bisa jadi korbannya tidak sadar telah dijadikan korban dan dikorbankan. Karenanya, para ksatriawan memandang rendah dan menjijikan kaum pengecut yang “berani berbuat jahat, namun tidak berani bertanggung-jawab dan melarikan diri dari pertanggung-jawaban”. Tanggung-jawab dan bertanggung-jawab, itulah isi “Kitab KSATRIA” yang menjadi acuan komitmen para ksatriawan;

- “Agama DOSA”, dimana jelas umatnya ialah para dosawan, alias agama bagi para pendosa atau para pendosa yang menjadi umatnya. Disebut sebagai “Agama DOSA” yang bersumber dari “Kitab DOSA” (don’t judge the book by the cover”), semata karena mengkampanyekan gaya hidup mencandu “penghapusan dosa” alih-alih gaya hidup higienis dari dosa. Dahulu, sebelum “Agama DOSA” lahir ke muka bumi, tiada pendosa yang yakin akan masuk surga setelah kematian menjemputnya. Namun kini, para pendosa berkubang dalam dosa, mengoleksi segunung dosa, bersimbah dosa, mereproduksi dosa, tertimbun dosa, serta mengubur diri dengan dosa, akan tetapi disaat bersamaan masih juga yakin karpet merah tergerai baginya untuk masuk ke alam “surgawi”—alias “alam manusia jilid kedua”, dimana para pendosa kembali saling menyakiti, melukai, dan merugikan satu sama lainnya sebagaimana ketika mereka di dunia manusia. Sekalipun dengan akal sehat dan pikiran jernih kita mengetahui secara sadar, HANYA SEORANG PENDOSA YANG BUTUH PENGHAPUSAN DOSA! Lalu, pertanyaan utamanya yang tidak pernah disinggung oleh “Tuhan” versi “Agama DOSA”, dibagaimanakankah nasib kalangan korban dari para pendosa tersebut? Bagaimana mungkin, Tuhan bersikap tidak akuntabel semudah disuap oleh sembah-sujud? Semua orang sanggup menjadi “pendosa penjilat penuh dosa”, namun tidak semua orang sanggup menjadi ksatriawan terlebih suciwan.

Kini, penulis akan mengajak para pembaca untuk menelaah dari acuan perspektif, yakni Anda “berdiri di mana”. Bila Anda adalah pelaku kejahatan, Anda akan merasa senang ketika mendengar ceramah berisi iming-iming “penghapusan dosa”, lalu berbondong-bondong dan berlomba-lomba mencetak / memproduksi dosa, agar tidak “merugi”. Sebaliknya, kontras dengan pihak yang disebut pertama, bila Anda justru adalah kalangan korban yang telah pernah serta masih akan dapat disakiti, dilukai, maupun dirugikan oleh para pendosa tersebut, akan tampak bahaya dibalik dogma-dogma “penghapusan dosa”, dimana sang korban berpotensi kembali menjadi korban atau akan berjatuhan korban-korban baru lainnya. Dosa-dosa para dosawan tersebut telah menjelma “too big to fall”.

Jangankan malu dan takut berbuat jahat (dosa mana yang tidak jahat?), iming-iming korup bernama “penghapusan dosa” justru diumbar lewat speaker pengeras suara tempat ibadah “Agama DOSA”, dimana dalam sekali berceramah sang pemuka agama setidaknya tercatat menyebut-nyebut iming-iming “penghapusan dosa” secara berkali-kali, untuk setiap harinya. Begitupula ketika tiba hari raya keagamaan sang “Agama DOSA”, yang lagi-lagi diumbar dan dikumandangkan ialah iming-iming “too good to be true” bernama “penghapusan dosa”. Tidak terkecuali setelah ajal menjelang, yang disebut-sebut juga ialah “penghapusan dosa” bagi sang almarhum pendosa. Lantas, dimanakah dan akan dikemanakankah posisi dari para korban dari kalangan pendosa bersangkutan?

Salah satu agama samawi menceritakan, ketika nabinya tewas “bunuh diri” (menyerahkan nyawa untuk dibunuh alih-alih melarikan diri) karena digantung, sang nabi justru menghapus dosa-dosa kedua orang penjahat yang dihukum mati-gantung bersama sang nabi. Begitu mudahnya mengumbar dan mengobral “pengampunan dosa”, dimana bahkan sang nabi tidak pernah bertanya kepada kalangan korban dari para pendosa tersebut, keadilan semacam apakah yang pantas bagi sang penjahat dan bagi para korban-korbannya tersebut? Dalam persidangan ala hukum manusia, hakim wajib mendengarkan keterangan korban pelapor, serta menjatuhkan vonis hukuman bagi pelaku penjahat, demi memberi efek jera agar sang pelaku menjadi jera, alih-alih diberi “reward” berupa dihapus kejahatannya yang akan menjadi “dis-insentif” bagi kepentingan korban.

Kita justru harus membunuh nabi-nabi semacam itu, mereka memonopoli jembatan komunikasi dengan Tuhan, dimana kita dan Tuhan tidak benar-benar butuh nabi, namun dari komunikasi “hati ke hati”. Kini kita beralih pada dogma-dogma lainnya, dimana para pendosa menuntut dihormati, mengklaim paling superior, bahkan merasa berhak menghakimi kaum lainnya, namun untuk setiap hari, setiap tahunnya, juga seumur hidupnya menjadi pelanggan tetap yang mencandu ideologi berikut:

- Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam kitabnya Madarijus Salikin menjelaskan, lafaz “maghfirah” (ampunan) lebih sempurna daripada lafaz “takfir” (penghapusan). Karenanya, ampunan berlaku untuk dosa-dosa besar dan penghapusan berlaku untuk dosa-dosa kecil.

- “Agar Allah menghapus (mengampuni) perbuatan mereka yang paling buruk yang pernah mereka kerjakan.” (QS. Az-Zumar: 35)

- “Barangsiapa ibadah (tarawih) di bulan Ramadan seraya beriman dan ikhlas, maka diampuni baginya dosa yang telah lampau.” (HR Bukhari, Muslim, dan lainnya).

- “Barangsiapa yang puasa Ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari [38, 1901, 2014] dan Muslim [760] dari sahabat Abu Hurairah.

- “Shalat lima waktu. Ibadah Jum’at yang satu dengan ibadah jum’at berikutnya. Puasa Ramadhan yang satu dengan puasa Ramadhan berikutnya. Itu semua merupakan penghapus dosa antara keduanya, selama dosa-dosa besar dijauhi.” (HR. Muslim [233])

- “Bagaimana menurut kalian kalau seandainya ada sebuah sungai di depan pintu rumah kalian dan dia mandi di sana sehari lima kali. Apakah masih ada sisa kotoran yang ditinggalkan olehnya?” Para sahabat menjawab, “Tentu saja tidak ada lagi kotoran yang masih ditingalkan olehnya.” Maka beliau bersabda, “Demikian itulah perumpamaan shalat lima waktu dapat menghapuskan dosa-dosa.” (HR. Bukhari [528] dan Muslim [667])

- “Aisyah bertanya kepada Rasulullah SAW, mengapa suaminya shalat malam hingga kakinya bengkak. Bukankah Allah SWT telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang dulu maupun yang akan datang? Rasulullah menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?” [HR Bukhari Muslim].

- “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar telah menceritakan kepada kami Ghundar telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Washil dari Al Ma’rur berkata, “Aku mendengar Abu Dzar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Jibril menemuiku dan memberiku kabar gembira, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga.” Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzina? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzina’.” [Shahih Bukhari 6933]

- Umar bin al-Khattab, rekan Muhammad terusik dengan apa yang dilihatnya. “Umar mendekati Batu Hitam dan menciumnya serta mengatakan, ‘Tidak diragukan lagi, aku tahu kau hanyalah sebuah batu yang tidak berfaedah maupun tidak dapat mencelakakan siapa pun. Jika saya tidak melihat Utusan Allah mencium kau, aku tidak akan menciummu.” [Sahih al-Bukhari, Volume 2, Buku 26, Nomor 680]

- “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan ‘TIDAK ADA TUHAN SELAIN ALLAH DAN BAHWA MUHAMMAD RASUL ALLAH’, menghadap kiblat kami, memakan sembelihan kami, dan melakukan shalat dengan kami. Apabila mereka melakukan hal tersebut, niscaya kami diharamkan MENUMPAHKAN DARAH dan MERAMPAS HARTA mereka.” [Hadist Tirmidzi No. 2533]

Ketika bulan puasa tiba, kaum mereka meminta dan menuntut dihormati, dimana sejumlah daerah berbagai rumah makan dilarang dibuka serta terjadi “razia” oleh sejumlah masyarakat maupun Ormas. Mengapa pula mereka harus dihormati, toh kami para Buddhist punya waktu puasa kami sendiri—yakni “uposatha”—dimana jadwal makan dan tidak makannya berkebalikan dengan puasa kaum tersebut, dimana juga kaum Buddhist bahkan tidak pernah sesumbar kepada orang lain bahwa dirinya sedang berpuasa, itu bukan urusan orang lain, dan tetap menghormati yang tidak berpuasa terlebih merampas hak mereka yang tidak berpuasa untuk makan dan minum—dimana juga mereka berpuasa justru konsumsi meningkat dua kali lipat dari bulan-bulan selainnya (nafsu meningkat, perut membuncit), kerja malas-malasan, menuntut diberi uang tunjangan hari raya, kebanyakan hari libur, masih pula mengharapkan ideologi curang alias korup bernama “penghapusan dosa” yang sangat melukai hati kalangan korban para pendosa tersebut.

Perut mereka berpuasa, namun mereka tidak berpuasa dari pikiran-pikiran kotor dan korup (mengharap penghapusan dosa, alias lari dari tanggung jawab), mabuk-kepayang oleh iming-iming “penghapusan dosa”, sehingga puasa tertinggi bukanlah “tidak makan”, namun tidak berbuat dosa sebesar ataupun sekecil apapun yang dapat melukai, merugikan, ataupun menyakiti individu-individu lainnya, sepanjang hayat masih dikandung badan. Pengorbanan terbesar bukanlah menyembelih hewan kurban, namun hidup secara bertanggung-jawab, serta penuh disiplin latihan “self control” yang ketat.

Sehingga, bagi mereka yang menjalani ibadah puasa dengan motif untuk menghapus dosa-dosa yang bersangkutan, maka mereka lebih patut serta lebih layak untuk dikutuk, dicela, dihina, diremehkan, dipandang rendah dan direndahkan, alih-alih dihormati ataupun dihargai—sebab mereka tidak menghargai korban-korban mereka, dimana puasa dijadikan ajang pesta-pora “penghapusan dosa”, para munafik yang berteriak munafik. Berkebalikan dari ajaran-ajaran penuh delusi yang permisif terhadap dosa dan maksiat penuh kecurangan yang kotor demikian, Sang Buddha mengajarkan sikap bertanggung-jawab bagi para umat dan siswa-siswi-Nya, inilah baru puasa serta pengorbanan diri sejati:

“Para bhikkhu, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? Orang yang mengikuti arus; orang yang melawan arus; orang yang kokoh dalam pikiran; dan orang yang telah menyeberang dan sampai di seberang, sang brahmana yang berdiri di atas daratan yang tinggi.

(1) “Dan apakah orang yang mengikuti arus? Di sini, seseorang menikmati kenikmatan indria dan melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Ini disebut orang yang mengikuti arus.

(2) “Dan apakah orang yang melawan arus? Di sini, seseorang tidak menikmati kenikmatan indria atau melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Bahkan dengan kesakitan dan kesedihan, menangis dengan wajah basah oleh air mata, ia menjalani kehidupan spiritual yang lengkap dan murni. Ini disebut orang yang melawan arus.