Tenaga Kerja MANUSIA Vs. Tenaga Kerja ROBOTIK Asing

Mesin Robot Lebih Produktif, Tidak Menuntut Upah, Pesangon, Cuti, Lembur, Uang Makan, Uang Transport, Cukup Diberi Listrik dan Oli Pelumas

Idealisme Vs. Efisiensi Usaha, Pilih yang Mana? Mengikuti Perkembangan Zaman atau Menentang (Memungkiri) Zaman?

Tidak dapat dipungkiri—alias menjadi aneh bilamana masih juga dipungkiri—bahwa Undang-Undang maupun Perpu mengenai “Cipta Kerja” bersifat mendegradasi hak-hak perburuhan kaum pekerja ataupun buruh di Tanah Air. Namun, tanpa bermaksud mengecilkan peran dan kontribusi ataupun hak-hak konstitusional para kaum buruh / pekerja di Indonesia, tulisan singkat ini sekadar menjadi refleksi sekaligus medium komunikasi-persuasif agar kalangan buruh / pekerja mulai bangun dari mimpi euforia era kejayaan “tenaga kerja MANUSIA”, euforia mana sudah tidak lagi relevan dengan perkembangan dunia teknologi terutama disrupsi “mesin” (machine) baik itu humanioid, tenaga robotik otomatisasi, proses otomatisasi, kecerdasan buatan (artificial intelligence), digitalisasi, mesin produksi, atau apapun itu nama maupun istilahnya, yang menjurus pada digantikannya peran-peran “tenaga kerja manusia” dengan “tenaga kerja ROBOTIK”.

Jauh sebelum ini, tidak ada yang dapat membayangkan bahwasannya sebagian besar fungsi pekerjaan umat manusia akan tergantikan oleh tenaga robotik, termasuk koki pada berbagai restoran di negara-negara maju seperti di China dan Jepang, dimana bahkan masyarakat di sana lebih memilih sushi buatan robot (produksi mesin) karena dinilai lebih higienis. Begitupula jamu-jamu modern berlabel “jamu tradisional” di Indonesia, diproduksi serta dikemas secara modernisasi alias memakai proses produksi serta pengemasan yang hampir seluruhnya tidak lagi menggunakan sentuhan “tenaga kerja MANUSIA”, alias serba otomatisasi dan tidak membutuhkan keterlibatan tangan-tangan manusia selain sekadar untuk menyortir bahan bakunya sebelum kemudian diolah oleh mesin. Dengan kata lain, proses produksi lebih banyak ditangani (di-handle) oleh mesin.

Zaman telah berubah, era ketenagakerjaan telah bergeser bandulnya. Tenaga-tenaga kerja yang semata mengandalkan “kerja keras (oleh fisik)”, akan punah seiring berjalannya waktu. Pilihannya hanya dua, tergerus oleh waktu atau beradabtasi menuju “kerja cerdas (oleh otak)”. Pada era zaman batu prasejarah yang juga kita kenal sebagai zaman purbakala, yang eksis semata ialah para “pekerja keras”, begitupula kaum wanita purba lebih menyukai pria-pria purba berotot yang mampu menaklukkan gajah raksasa sebagai hewan buruan mereka, para nomaden sang nenek-moyang umat manusia. Kini, mereka yang bertubuh fisik kekar hanya mampu meraih fungsi pekerjaan sebagai tenaga keamanan, dan para kaum wanita lebih tertarik para pria yang makmur dan sukses dalam bisnis. Bahkan sempat dibuat sinema yang berkisah ajang kompetisi oleh para “petinju robot”, yang menggantikan atlet “petinju manusia”.

Kini, modal investasi asing yang masuk ke Indonesia dalam rangka digelarnya “karpet merah” bagi para investor asing, lebih banyak berupa “padat modal” alih-alih “padat karya”—fakta mana diakui secara eksplisit oleh Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal atau yang kini dikenal sebagai Menteri Investasi—sehingga tingkat pertumbuhan investasi modal asing yang masuk ke Indonesia tidak berbanding lurus dengan peningkatan pertumbuhan angka lapangan pekerjaan. Yang kerap dilupakan dan diabaikan oleh pemerintah maupun oleh para kalangan buruh / pekerja di Indonesia ialah, selain membawa serta modal investasi dari luar negeri, para investor asing tersebut juga membawa serta “tenaga kerja ROBOT asing” untuk dipekerjakan di Indonesia disamping “tenaga kerja MANUSIA asing”.

Mimpi buruk bergulir, para investor asing tersebut menawarkan dan menjajakan pula produk-produk berupa “tenaga robotik asing” kepada para pelaku usaha lokal di Indonesia, dalam rangka hematisasi alias efisiensi usaha dengan menggantikan “tenaga kerja MANUSIA lokal” dengan “tenaga kerja ROBOT asing”. Kalkulasi bisnis dan perhitungan untung-rugi bekerja di sini, hukum pasar pun berlaku tanpa dapat dibendung. Tiada semangat nasionalisme dalam dunia bisnis dan industri, yang ada ialah semata orientasi mengejar profit dan laba usaha yang ditingkatkan dengan menekan biaya produksi serendah mungkin. Ada “demand” demikian, maka ada “supply” berupa tenaga-tenaga yang jauh lebih murah dan lebih efisien, dimana pilihannya jatuh pada “tenaga kerja ROBOT” yang tidak pernah menuntut hal-hal semacam jaminan sosial tenaga kerja, mereka hanya butuh sparepart.

Kini, penulis hendak mengajak para pembaca terutama yang berlatar-belakang buruh / pekerja untuk mulai memahami antara TEKS dan KONTEKS. Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan dibentuk dua dekade yang lampau, tepatnya pada tahun 2003, pada era dimana konteks yang melingkupi dunia industri ialah masih bersifat “padat karya” dimana juga “tenaga kerja ROBOT” belum dikenal secara meluas dan masih sangat terbatas sifatnya dalam proses produksi. Karenanya, daya tawar buruh / pekerja menjadi cukup memadai, sebagai daya “pressure” terhadap pemerintah untuk menetapkan pesangon bagi buruh yang diberhentikan karena mencapai usia pensiun adalah dua kali ketentuan pesangon nornal pada lazimnya.

Kini, apakah ketentuan normatif di atas, yakni Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan tahun 2003, masih relevan untuk diterapkan secara membuta? Sadar dan bangunlah dari euforia masa lampau, dan mulailah untuk lebih realistis dengan bersikap “membumi” dalam artian tidak memungkiri kenyataan yang ada di depan mata lengkap dengan segenap ancaman laten yang berpotensi meledak sewaktu-waktu, yakni disrupsi “teknologi robotik” yang kian hari kian deras dan pesat perkembangannya tanpa lagi dapat ditolak, mengubah budaya maupun kontur dunia perindustrian kita, dari yang sebelumnya pabrik “padat karya” menjelma “padat modal” secara penuh (fully machine) dalam rangka modernisasi, dimana proses output produksi meningkat dari segi kuantitas maupun kualitas, namun jumlah “tenaga kerja MANUSIA” justru merosot dalam jumlah yang dramatis serta berdampak psikologis.

Keadaan penuh ironi yang dilematis ini perlu disikapi secara arif dan bijaksana oleh kalangan buruh / pekerja di Tanah Air. Bilamana pemerintah bersikap konservatif, dalam artian menolak “padat modal” investor asing, maka dapat dipastikan produk-produk “Made in Indonesia” akan kalah bersaing dari segi harga jual maupun kualitas daripada produk-produk importasi negara-negara luar maupun pada kompetisi pasar global, dimana negara-negara tersebut menggunakan teknologi robotik untuk proses produksiknya, dimana juga negara-negara sumber barang impor tersebut berlomba-lomba memperebutkan investor asing untuk menanamkan modalnya di negeri mereka—sekalipun artinya harus “menggadaikan” nasib para “tenaga kerja MANUSIA lokal” mereka.

Singkat kata, “tenaga kerja ROBOT” adalah hal yang niscaya akan menggantikan hampir seluruh fungsi pekerjaan “kerja keras (oleh fisik)” para “tenaga kerja MANUSIA lokal”, hanya perihal waktu disrupsi hebat itu terjadi dimana kini riak-riak dan letupan-letupannya mulai menujukkan gejala revolusi tenaga kerja demikian, baik oleh investor lokal maupun investor asing, mereka berbondong-bondong menggantikan dan menyisihkan “tenaga manusia” dari faktor produksi mereka yang mereka nilai tidak efisien disamping tidak efektif. Dari semula revolusi industri oleh teknologi dibangunnya lokomotif uap, berujung pada “mimpi buruk” bernama revolusi robotik.

Tenaga mesin, jauh lebih produktif, lebih presisi, serta lebih tidak “rewel” karena tuntutan mereka hanyalah konsumsi listrik serta minyak pelumas, tanpa perlu menuntut diberikan upah lembur, cuti bersalin, cuti tahunan, cuti hari raya, cuti nikah / menikahkan, tunjangan hari raya, tunjangan makan, tunjangan rumah dinas, tunjangan transport, dan lain sebagainya. Satu mesin mampu menggantikan seratus atau bahkan lebih “tenaga kerja MANUSIA”. Pebisnis mana yang tidak tertarik pada kalkulasi yang ditawarkan dalam proporal para marketer “tenaga kerja ROBOTIK asing” tersebut? Sudah bukan rahasia lagi, bahwasannya berbagai mesin yang canggih dan modern, sangat efisien dan produktif, rata-rata diimpor dari negara-negara maju yang pesat perkembangan teknologinya.

Mari kita sedikit luangkan waktu memahami sudut pandang atau perspektif seorang pengusaha. Ketika tiada tenaga robotik yang tersedia, maka pengusaha butuh buruh. Ketika tenaga robotik tersedia, buruh yang butuh pengusaha. Ketika akses menuju tenaga robotik telah terbuka lebar serta membanjiri pasaran dunia industri kita, namun sang buruh masih juga menuntut pesangon atau lain sebagainya, inilah yang ada di benak sang pengusaha : “Anda pikir siapa diri Anda? Yang saya butuhkan ialah ROBOT, bukan tenaga Anda, wahai MANUSIA!” Otak bisnis bersifat kalkulatif, dimana kita tahu bahwa otak kalkulatif merupakan otak-nya kalkulator, dan otak kalkulator ialah otak-nya para kaum robotik. Para pengusaha, karenanya, berjiwa robotik, sehingga tidak akan “nyambung” ketika para “buruh manusia” menuntut apa yang menjadi hak-hak manusia serta mengharap diperlakukan secara manusiawi. Para pengusaha, lebih suka memperlakukan pekerjanya secara robotikiawi. Bagi para pebisnis, yang ada ialah kewajiban-kewajiban robot, bukan hak-hak buruh manusia.

Pengusaha, bukanlah malaikat terlebih sinterklas, itu yang perlu kita catat. Sehingga, janganlah kita bersikap seolah-olah kita mampu mendikte perkembangan zaman dimana era robotik sudah tumbuh sedemikian pesat, terlebih berdelusi bahwa perkembangan zaman akan kembali mundur sebagaimana era dimana Undang-Undang Ketenagakerjaan dibentuk pada mulanya di tahun 2003. Yang perlu kita lakukan sedini mungkin—sedia payung sebelum hujan, belajar berenang sebelum tercebur dan tenggelam—ialah dengan mempersiapkan diri menuju “robotasisasi diri” dalam artian mampu bertempur selayaknya “sekaleng robot”, sehingga mampu bersaing dengan tenaga-tenaga robotik lokal maupun asing tersebut. Tangan Anda yang akan sakit ketika mencoba memukul robot-robot mesin terbuat dari besi tersebut, maka berkompetisi-lah secara cerdas, alih-alih secara keras. Play smart, not play hard.

Dahulu, para era kejayaan “tenaga kerja MANUSIA”, para angkatan kerja manusia saling bersaing dengan sesama mereka, para manusia. Kini, para Sarjana Akuntansi berkompetisi dengan program-program akuntansi yang bersifat otomatisasi oleh para user mereka. Kini, para pekerja fisik dalam proses produksi perusahaan-perusahaan bermodal besar yang mampu berinvestasi dalam mesin-mesin produksi, telah menggantikan para pekerja manusia mereka dengan para tenaga robotik. Robotik, karenanya, menjadi identik dengan produktivitas, efisiensi, serta efektivitas dalam memutar roda usaha, kesemuanya bertumbuh secara eksponensial, pencapaian mana tidak mungkin terkejar jika masih memakai tenaga konvensional, pekerja manusia. Kalkulasi bisnis dengan berinvestasi pada robot pun lebih mudah, modal investasi mesin senilai sekian mampu menghasilkan sekian, kalkulatif mana sangat presisi serta prediktif, bandingkan dengan “dealing with human employee” yang banyak faktor tidak prediktifnya. Bila “tenaga kerja MANUSIA” dipandang sebagai beban biaya dalam proses produksi, maka “tenaga kerja ROBOTIK” dipandang sebagai investasi.

Kini, cobalah tanya kepada diri Anda sendiri, bila Anda adalah seorang pelaku usaha, sekalipun kini diberlakukan Undang-Undang maupun Perpu “Cipta Kerja” yang memasung hampir separuh hak pesangon buruh yang memasuki usia pensiun dibanding ketentuan dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan, manakah yang akan Anda pilih sebagai pekerja Anda, “tenaga kerja ROBOTIK” yang hanya menuntut diberikan listrik dan oli pelumas namun dapat bekerja “non-stop”, ataukah “tenaga kerja MANUSIA” selayaknya industrialisasi konvensional non-teknologi robotik? Jika memang ada pelaku usaha yang begitu idealis, hendak membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya kepada “pekerja manusia”, maka dapat penulis pastikan bisnis sang pelaku usaha akan “mati suri” serta berangsur-angsur “tenggelam”, jika tidak dapat disebut tidak dapat bersaing dengan kompetitornya yang diperlengkapi jajaran personel robot-robot canggih terkomputerisasi, terlebih diharap berkembang maju kapasitas produksinya.

Saat kini, bahkan tidak ada mainan untuk anak yang dijajakan di pasaran namun sifatnya dikerjakan secara “padat karya”, semua pabrik mainan anak sudah bersifat “produksi massal oleh mesin”, serta lebih canggih tentunya dari segi kualitas. Industrialisasi sejak dikenalnya era robotik, tidak lagi identik dengan “tenaga kerja MANUSIA”, namun “tenaga kerja ROBOTIK”. Suka atau tidak suka, itulah kenyataannya dan sudah tepat berada di depan mata kita. Namun masih banyak juga kalangan buruh yang berdelusi serta masih mengimpikan euforia era kejayaan masa lampau dimana mereka belum berkompetisi dengan para robot.

Dinosaurus musnah dan punah karena gagal beradaptasi, hanya menyisakan kaum buaya yang mengecil ukuran tubuhnya. Itulah ketika kita, perlu mulai sensitif terhadap apa yang dinamakan “survival of the fittest”, ada harga mahal yang harus kita bayar dibalik segala kecanggihan teknologi yang memanjakan ini, sama seperti fungsi kendaraan bermotor menggantikan para pekerja penarik becak. Akan tiba saat dimana “tenaga kerja MANUSIA” akan diberi label sebagai “fosil”. Bukankah itu tampak menggiurkan, bilamana seribu “tenaga kerja MANUSIA” cukup digantikan dengan hanya beberapa “tenaga kerja ROBOTIK asing”? Itulah harga mahal yang harus kita bayarkan dibalik investasi asing, mereka membawa serta ancaman nyata berupa pekerja-pekerja robot asing sebagai modal utama mereka untuk menjajah (merampas) dunia perburuhan di Indonesia. Itulah juga sebabnya, hukum ketenagakerjaan tidak lagi menarik untuk dijadikan spesialisasi bagi seorang penyedia jasa hukum, robot tidak pernah menuntut upah ataupun pesangon, terlebih semacam “hukum ketenaga-robotan”.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.