Negara yang Tidak Kompeten, ketika Rakyat Dibiarkan
Seorang Diri mencari Perlindungan dan Jalan Keluar, Tidak Solutif
Ketika Tugas dan Tanggung Jawab Negara justru Dibebankan kepada Rakyat Sipil yang Tidak Memiliki Kewenangan, Republik (Serba) Salah Kaprah
Rakyat Harus Belajar Keterampilan Bergerilya Ditengah
Republik yang Tidak Pernah Eksis Pemerintahnya bagi Warga Sipil
Question: Ketika pihak tergugat atau salah satu pihak tergugat
secara mendadak meninggal dunia tanpa diduga-duga ataupun diharapkan, maka
penggugat diharuskan pengadilan untuk menyerahkan daftar rincian berisi nama-nama
serta alamat ahli waris “almarhum tergugat” untuk dipanggil oleh jurusita
pengadilan dalam rangka menggantikan posisi atau kedudukan hukum “almarhum
tergugat” dalam gugat-menggugat ini. Tampaknya majelis hakim telah cukup
akomodatif, karena tidak secara serta merta menyatakan gugatan sebagai “gugur” akibat
meninggal dunianya pihak tergugat atau salah satu pihak tergugat.
Namun yang menjadi masalah bagi kami selaku warga sipil pencari keadilan ialah, bagaimana mungkin kami dapat mengetahui siapa saja nama dan berapa orang maupun alamat-alamat anak-anak atau ahli waris tergugat yang meninggal dunia ini? Jika membuat aturan yang mewajibkan seperti itu, mengapa tidak memberikan juga akses solusinya? Jelas pihak keluarga “almarhum tergugat” tidak akan terbuka dan transparan tentang informasi ini, apakah artinya ini yang disebut sebagai “justice denied”, dimana hukum acara perdata begitu formalistis namun warga sipil yang terbatas kewenangannya dibiarkan berjuang seorang diri, seolah-olah negara tidak pernah hadir untuk menawarkan solusi bagi kami selaku rakyat kecil. Mengapa di republik ini, akses terhadap keadilan dan hukum begitu sukar, terbendung oleh tembok tebal bernama birokrasi dan prosedural yang kaku?
Brief Answer: Jika bisa dipermudah, mengapa dipersukar? Itulah
paradigma yang semestinya menjadi agenda pembaharuan sistem peradilan maupun
hukum acara di Indonesia, tidak terkecuali bagi program semacam “reformasi
birokrasi” yang hingga saat kini berjalan “separuh hati” dalam artian minim
ketegasan dan keseriusan yang tampaknya memang diakibatkan adanya “konflik
kepentingan” bilamana “sistem merit” benar-benar diberlakukan pada setiap sendi
dinamika aparatur yang bergerak di dalam institusi pemerintahan (para civil servants) terhadap kalangan publik
sipil terutama.
Pemerintahan di Indonesia juga belum sepenuhnya
memandang dan mengakui bahwasannya rakyat sipil yang menjadi penduduk mereka
adalah “stakeholders” yang
berkepentingan atas gerak roda pemerintahan bangsa, seolah terdapat garis
dikotomi pemisah antara keduanya, dimana rakyat sipil ditempatkan sebagai “outsiders” dimana pemerintah bersikap “top to down” secara sepihak tanpa adanya
dibuka ruang “feedback” yang memadai
yang melandasi semangat demokrasi (dari dan untuk rakyat). Alhasil, tidak
terbentuk yang namanya harmonisasi, kolaborasi, ataupun kohesi antara rakyat
dan pemeritahnya, masing-masing seolah dibiarkan berjalan seorang diri untuk mengurusi
ususannya masing-masing, sehingga falsafah pendirian suatu negara lewat
otoritas pemeritahannya tidak berjalan sebagaimana tujuan awal pembentukannya
di Republik Indonesia.
Dapat SHIETRA & PARTNERS petakan,
setidaknya terdapat tiga buah kendala besar yang akan dihadapi oleh kalangan
pencari keadilan yang hendak mengajukan upaya hukum berupa gugatan perdata ke Pengadilan
Negeri, terutama ketika pihak tergugat meninggal dunia saat proses
gugat-menggugat sedang berlangsung maupun saat akan menjelang putusan. Pertama,
hakim yang secara tidak arif dan tidak bijaksana akan seketika menyatakan bahwa
gugatan harus dan wajib “dicabut”, dengan disertai ancaman oleh sang hakim
bahwasannya bilamana penggugat tetap melanjutkan gugatan maka hakim akan
menjatuhkan putusan “gugatan tidak dapat
diterima”. Dalam praktik, hakim berjenis “duri dalam daging” dalam
institusi kehakiman demikian memang eksis adanya, dan menjadi mimpi buruk bagi
para pencari keadilan, hingga saat kini.
Potensi kemungkinan kedua ialah, hakim yang separuh
bijaksana akan memerintahkan pihak Penggugat agar menyerahkan daftar secara
terperinci siapa saja “ahli waris pengganti” dari pihak tergugat yang meninggal
dunia sebagai syarat formil untuk dipanggil menghadap ke persidangan bilamana
gugatan hendak dilanjutkan prosesnya hingga putusan—dimana ahli warisnya bisa
berupa ahli waris golongan pertama seperti istri dan anak-anak, ahli waris
golongan dua seperti orangtua, ahli waris golongan tiga seperti saudara
kandung, atau bahkan “ahli waris pengganti ahli waris” semisal cucu,
kakek-nenek, paman-bibi, dan lain sebagainya—tuntutan mana hampir tidak
niscaya, mengingat warga sipil tidak memiliki kewenangan selayaknya penyidik
kepolisian yang berhak mengakses data kependudukan di Dinas Kependudukan dan
Cataan Sipil Pusat se-Indonesia.
Bilamana pihak penggugat berlatar-belakang
negara, dalam hal ini diwakili oleh Jaksa Pengacara Negara, seperti kasus
Negara Vs. Suharto dan Yayasan Supersemar, dimana Mantan Presiden Suharto
meninggal dunia saat proses gugatan masih berlangsung, maka bukanlah perkara
sukar bagi Jaksa Pengacara Negara melacak serta menghimpun informasi
kependudukan siapa sajakah ahli waris almarhum. Namun tidak demikian dengan problema
yang dihadapi oleh rakyat sipil, dimana terkesan pihak aparatur kehakiman tidak
memahami dan tidak sensitif terhadap “perspektif sipil” yang serba terbatas lingkup
kewenangannya—alias menyepelekan masalah yang tidak sepele.
Idealnya, adalah tugas lembaga peradilan selaku
institusi negara untuk hadir secara proaktif dalam rangka berkoordinasi dengan institusi
negara lainnya seperti Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil untuk melacak serta
memanggil informasi seputar seluruh ahli waris pihak tergugat, namun telah
ternyata diabaikan dan rakyat dibiarkan berjalan seorang diri mencari keadilan
tanpa diberikan akses yang berarti dan bermakna. Semisal, sekadar sebagai
contoh lainnya, warga mengadukan atau membuat laporan adanya Tindak Pidana
Pencucian Uang, maka bukanlah niscaya bagi rakyat sipil untuk berkoordinasi
dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), akan tetapi
merupakan kewenangan penyidik Kepolisian untuk berkoordinasi dengan PPATK
mengingat rakyat sipil tidak diberi akses oleh negara untuk itu, dmana PPATK selama
ini beraktivitas di atas “menara gading” yang tidak terjamah dan berjarak dari
publik.
Kendala ketiga ialah, bilamana tergugat meninggal
dunia sementara itu putusan masih mencantumkan nama almarhum sebagai pihak
tergugat ialah, putusan berpotensi dinyatakan “tidak dapat dieksekusi” (non-executable)—sementara itu, tidak ada
yang bisa menjamin, pihak tergugat maupun seluruh pihak “para tergugat” akan tetap
hidup hingga putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht) maupun saat putusan yang telah “inkracht” ini hendak dieksekusi oleh panitera peradata serta jurusita
pengadilan. Setidaknya itulah tiga buah kendala terbesar yang selama ini dihadapi
para pencari keadilan pada berbagai Pengadilan Negeri di Indonesia, terutama
ketika pihak tergugat meninggal dunia sebelum putusan maupun tergugat-tereksekusi
meninggal sebelum putusan “inkracht” benar-benar
sudah selesai dieksekusi secara tuntas.
PEMBAHASAN:
Ancaman demikian bukanlah
hisapan-jempol belaka, korban-korbannya sudah sangat banyak bertumbangan akibat
prosedural yang tidak “user friendly”
demikian, sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS cerminkan lewat
keberadaan ilustrasi konkret norma preseden yang bersumber dari putusan
Mahkamah Agung RI Nomor 317 PK/Pdt/2018 tanggal 30 Mei 2018, dimana pihak
tergugat telah meninggal dunia dalam suatu gugatan perdata, Majelis Hakim Agung
dalam tingkat Peninjauan Kembali memuat pertimbangan serta amar putusan sebagai
berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap
alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Alasan Peninjauan Kembali
dapat dibenarkan, dengan pertimbangan bahwa setelah membaca dan meneliti memori
peninjauan kembali dan kontra memori peninjauan kembali para pihak dihubungkan
dengan pertimbangan hukum putusan kasasi Judex Juris, ternyata telah terdapat
suatu kekhilafan hakim ataupun kekeliruan yang nyata dalam pertimbangan hukum
putusan kasasi Judex Juris yang membatalkan putusan Judex Facti dengan
menyatakan “dalam hal salah seorang pihak Tergugat meninggal dunia pada saat
sedang berjalan persidangan maka gugatan Penggugat tidak perlu dicabut
apalagi ...... dan seterusnya” dengan pertimbangan sebagai berikut:
- Bahwa jauh sebelum putusan Judex Facti / Pengadilan Negeri Surakarta
tanggal 13 Maret 2014, Tergugat IV (Muljono Hartono) berdasarkan Kutipan Akta
Kematian tanggal 13 Juli 2013 telah meninggal dunia pada tanggal 4 Juli
2013 (bukti T IV. V-17); [Note Penulis : Pertanyaan yang lebih relevan ialah, kapan gugatan
didaftarkan ke kepaniteraan Pengadilan Negeri? Dalam kasus yang dialami klien,
persidangan berjalan telah selama 13 bulan belum juga kunjung tiba pada agenda
acara “surat kesimpulan”, terlebih agenda pembacaan putusan yang tentunya dapat
mencapai satu setengah tahun total masa persidangan gugatan meski klien selaku
penggugat selalu berupaya hadir setiap kali persidangan digelar.]
- Bahwa berdasarkan Surat Keterangan Hak Waris tanggal 26 September 2013
Alm. Muljono Hartono mempunyai Ahli Waris disamping Tergugat V (Indah
Susilowati Sutrisno) selaku istri juga 3 (tiga) orang anak: Vonny Susanti,
Ervin dan Roedy Setyawan (bukti T IV.V-18);
- Bahwa membaca dan meneliti Putusan Judex Facti (Pengadilan Negeri
Surakarta dan Pengadilan Tinggi Semarang) serta Putusan Kasasi Judex Juris
ternyata nama Tergugat IV (Muljono Hartono) masih tetap tercantum pada
masing-masing putusan tersebut; [Note Penulis : sang Hakim Agung “robot”
berpikir bahwa dengan dicantumkannya nama almarhum sebagai tergugat, maka
putusan menjadi “non-executable”.]
- Berdasarkan fakta-fakta di atas, dengan berpedoman kepada:
1. Buku II Tentang Pedoman
Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata Khusus
Mahkamah Agung Edisi Tahun 2007, halaman 70 menjelaskan:
“Jika dalam proses pemeriksaan
perkara, Tergugat meninggal dunia, maka perkara harus dicabut terlebih dahulu
oleh Penggugat, selanjutnya Penggugat dapat mengajukan gugatan kembali kepada
Ahli Waris Tergugat”;
2. Putusan Mahkamah Agung RI
Nomor : 459 K/Sip/1973 tanggal 29 Desember 1975 menyatakan:
“Karena Tergugat I telah
meninggal dunia sebelum perkara di putus oleh Pengadilan Negeri, adalah tidak
tepat jika nama Tergugat I masih saja dicantumkan dalam Putusan Pengadilan
Negeri, karena seandainya Penggugat menginginkan Tergugat I diikutsertakan
sebagai pihak dalam perkara ini, yang harus digugat adalah Ahli Warisnya”;
Dengan demikian subjek hukum
gugatan Penggugat dalam perkara a quo tidak lengkap dan tidak jelas yang dapat
berakibat pada pelaksanaan putusan yang tidak bisa di jalankan (non
executable), sehingga gugatan Penggugat cacat formil dan harus dinyatakan
tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard), untuk itu Putusan Kasasi
Judex Juris tidak dapat dipertahankan lagi dan harus dibatalkan;
“M E N G A D I L I:
- Mengabulkan permohonan peninjauan kembali dari Para Pemohon Peninjauan
Kembali tersebut;
- Membatalkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 80K/Pdt/2015 tanggal 27
Agustus 2015 yang membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Semarang Nomor
220/Pdt/2014/PT.Smg tanggal 4 Agustus 2014 yang menguatkan Putusan Pengadilan
Negeri Surakarta Nomor 86/Pdt.G/2012/PN.Ska tanggal 13 Maret 2014;
“MENGADILI KEMBALI:
Dalam Pokok Perkara:
- Menyatakan gugatan Penggugat tidak
dapat diterima.”
PENUTUP dari Penulis:
Senada dengan fenomena sosial
yang dapat dijumpai langsung oleh para pembaca di keseharian, sebagai ilustrasi
sederhana ialah petugas keamanan pada kompleks perumahan pemukiman penulis bertempat-tinggal,
sekalipun setiap bulannya kami selaku warga pemukim membayar iuran keamanan yang
menjadi sumber gaji petugas keamanan dimaksud, namun sang petugas keamanan
merasa tidak memiliki kepentingan untuk memperkenalkan dirinya kepada masing-masing
warga pemukim yang membayar iuran yang dipungut Ketua Rukun Tetangga setiap
bulannya, sehingga bila bukan warga yang mencoba berkenalan dengan sang petugas
keamanan, maka antara warga pemukim dan petugas keamanannya tidak saling mengenal—saling
“berjarak”—dimana juga sang petugas tidak pernah eksis terlebih hadir saat benar-benar
dibutuhkan dalam keadaan darurat semisal terjadi tindak kejahatan di lingkungan
atau di pemukiman sang warga.
Akibatnya, daya tawar warga
pemukim menjadi lemah di hadapan sang petugas, seolah-olah warga pemukim yang
butuh sang petugas keamanan, bukan sebaliknya—suatu “putar-balik logika moril”.
Begitupula pihak Rukun Tetangga dan Rukun Warga (RT dan RW) tidak menerapkan “sistem
merit”, dimana sekalipun pihak petugas keamanan lalai atas tugas pokok dan
fungsinya (tupoksinya) selaku petugas yang bertanggung-jawab atas keamanan,
hanya berliang dalam sangkar pos-nya tanpa pernah meronda ataupun bersentuhan
langsung dengan warga, tetap saja sang petugas keamanan digaji dan menjabat
sebagai petugas keamanan selama berpuluh-puluh tahun lamanya, dimana bahkan
warga selama puluhan tahun itu pula tidak pernah tahu nama sang petugas, nomor
handphone darurat yang sewaktu-waktu bisa dihubungi, ataupun saling mengenal
satu sama lainnya.
Alhasil, sang petugas keamanan,
menjadi “besar kepala” dan sok jual-mahal kepada para warga pemukim sebagai
akibatnya—seolah-olah warga yang membutuhkan dirinya, bukan sebaliknya. Tidak berbeda
dengan fenomena petugas Babinkamtibmas (Bhayangkara Pembina Keamanan dan
Ketertiban Masyarakat) yang tidak pernah memperkenalkan dirinya kepada masing-masing
warga tempat ia bertugas dan bertanggung-jawab, akibatnya seolah-olah warga
yang lebih membutuhkan yang bersangkutan, alhasil daya tawar masyarakat menjadi
lemah, yang karenanya pula sistem meritokrasi tidak dapat berjalan sebagaimana
mestinya, dimana sang petugas Babinkamtibmas berkerja secara “makan gaji buta”
dan warga seolah-olah dibiarkan seorang diri mecari perlindungan dan melindungi
dirinya sendiri pun tetap saja sang petugas digaji dari dana yang bersumber
dari pungutan terhadap para wajib pajak.
Idealnya, antara negara /
otoritas / pemerintah dan warga negaranya merasa saling membutuhkan, begitupula
antara setiap elemen aparatur penyelenggara negara ataupun aparatur sipil saling
merasa membutuhkan dengan warga sipil yang menjadi warganegara republik
bersangkutan. Relasi yang sehat bersifat jauh dari arogansi ego sektoral
terlebih membiarkan diri status quo
dalam “zona nyaman”, dan bersikap secara lebih rasional memahami posisi serta
tanggung-jawab dibalik kewenangan—terlebih kewenangan monopolistik—nya. Negeri yang
tidak sehat dicerminkan dari dibiarkannya rakyat sipil berjalan seorang diri untuk
menemukan solusi jalan keluarnya, bahkan secara polisis-birokratis dipaksa
untuk menyuap aparatur sekadar demi mendapatkan akses terhadap apa yang memang
sudah menjadi hak-hak sang warga sipil. Bukan itu sebentuk ironi secara kasar
bila tidak dapat disebut sebagai sarkastik secara terselubung?
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.