Akal Buta Milik Orang Buta, Kacamata (Milik) Orang Buta

Akal Sehat Milik Orang Sehat Vs. Akal Sakit Milik Orang Sakit

Masyarakat yang sehat, adalah masyarakat yang berjiwa ksatria antar sesama warga / penduduk, dalam artian “berani berbuat, maka harus berani bertanggung-jawab”. Jangankan diharapkan bersikap ksatria, korban yang sekadar menjerit kesakitan pun masih pula dirudung sebagai “sudah gila” atau “tidak sopan”—seolah-olah perilaku sang pelaku yang telah menyakiti / merugikan / melukai sang korban adalah “sudah sopan”. Bahkan, maling pun berkeberatan disebut sebagai maling, jika perlu “maling teriak maling”. Bahkan pula, seakan tidak tabu, berbagai pemuka agama maupun tempat ibadah alih-alih mengumandangkan serta mengkampanyekan gaya hidup “higienis dosa”, justru mempromosikan “permohonan penghapusan / pengampunan / penebusan dosa”, namun disaat bersamaan berceramah perihal hidup suci, jujur, dan bersih.

Praktik dikeseharian masyarakat kita sungguh irasional, sekalipun kita mengetahui betul bahwa “hanya seorang pendosa yang butuh penghapusan dosa” serta lebih layak menyandang gelar “Agama DOSA” alih-alih “Agama SUCI”. Ibarat orang buta hendak menuntut orang-orang buta lainnya, maka “neraka” pun akan tampak sebagai “surga” di mata “buta” milik mereka (akal buta milik orang buta). Lihatlah bagaimana para pengendara kita tidak segan mengklaksoni pejalan kaki (makhluk hidup), namun ketika para pengendara tersebut berpapasan dengan kendaraan bermotor roda dua maupun roda empat (benda mati) yang parkir memakan hingga separuh badan jalan, mereka “mendadak alim dan penyabar” dengan menghentikan laju kendaraannya dan berjalan merayap secara perlahan bahkan berhenti. Menjadi jelas, bahwa “common practice” tidak selalu sejalan dengan “common sense”, dimana bahkan tidak jarang saling bertolak-belakang.

Sudah sedemikian banyak—bahkan dapat disebut sebagai vulgar nan seronok—dipertontonkan oleh sesama warga kita, masyarakat mana tidak pernah kekurangan orang-orang “agamais”, ketika bukti sudah jelas-jelas membuktikan bahwa yang bersangkutan adalah penipu, namun ketika sang korban menyebut sang pelakunya dengan umpatan julukan “penipu”, sang pelaku justru alih-alih merasa malu, justru “pasang badan”, siap “main kekerasan fisik untuk menyelesaikan setiap masalah”, serta “lebih galak yang ditegur ketimbang yang menegur”, serta “satu kejahatan seolah belum cukup”, disamping “korban hanya boleh bungkam diam membisu seperti mayat atau seperti seonggok kayu tebangan”. Jika perlu, sang pelaku akan melaporkan korbannya yang mencurahkan ekspresi kekecewaan ataupun rasa sakit mereka dengan makian berisi sitgma bagi sang pelaku sebagai “penipu”, dengan tuduhan telah mencemarkan nama baik sang pelaku, seolah-olah orang jahat punya “nama baik yang tidak tercemar noda” untuk dipertahankan dengan mengorbankan individu lainnya.

Berani menipu, maka seyogianya berani pula untuk disebut sebagai seorang penipu. Berani berbohong, maka sepatutnya pula berani untuk disebut sebagai seorang pembohong atau pembual penuh dusta. Berani berbuat, maka harus jentelmen bertanggung-jawab terhadap kerugian yang diderita korban-korban mereka, baik akibat kesengajaan ataupun kelalaian, alih-alih lari dari tanggung-jawab (ala “tabrak lari”, hit and run) dengan praktik “cuci dosa” ala iming-iming “too good to be true” semacam “penghapusan / pengampunan / penebusan dosa”. Kabar gembira bagi pendosa yang dihapus dosa-dosanya, selalu merupakan kabar buruk sekaligus kabar dukacita bagi nasib kalangan korban-korban sang pendosa—seolah-olah Tuhan lebih PRO terhadap para pendosa, alih-alih bersikap adil dan menyuguhkan keadilan bagi para korban-korban tersebut. Setiap harinya para “agamais” kita beribadah, yang diumbar ialah ceramah serta permohonan berisi doa “korup” semacam penghapusan dosa (abolition of sins), begitupula setiap hari raya keagamaan, maupun saat sang “pendosa penjilat penuh dosa” meninggal dunia mana sanak-saudaranya berdoa agar dosa-dosa sang almarhum dihapuskan, seolah-olah korban tidak punya hak untuk menuntut keadilan dari “Mahkamah Semesta”.

Terhadap dosa dan makiat, demikian kompromistik (rugi bila tidak mencicipi, menikmati, serta mereproduksi segudang dosa, menjadi mubazir iming-iming “penghapusan dosa). Namun terhadap pluralisme maupun kemajemukan ala “Kebhinekaan Tunggal Ika”, demikian intoleran. Mereka lupa, Indonesia merupakan negeri warisan para nenek-moyang kaum Buddhist (sejak era abad ke-5 Masehi hingga abad ke-15 Masehi), dimana kaum “agamais” menikmati toleransi beragama dari nenek-moyang para Buddhist-Nusantara pada era Kerajaan Majapahit, akan tetapi ketika menjelma menjadi mayoritas, mereka ingin membumi-hanguskan toleransi yang dahulu mereka nikmati (selengkapnya lihat Kitab Sastra Jawa kuno bernama “DHARMO GHANDUL” yang sudah terdapat versi terjemahannya). Pola yang sama tampak pada berbagai negara lainnya di seluruh penjuru dunia, ketika masih berupa minoritas menuntut diberi toleransi beribadah dan berkeyakinan, namun ketika menjelma mayoritas mereka justru ingin menghancurkan toleransi yang dahulu mereka nikmati. Secara berstandar ganda, kaum “agamais” ini selalu menggaungkan hak-hak kaum minoritas untuk beribadah, namun disaat bersamaan pada negara kawasan Timur Tengah justru toleransi sama sekali dilarang serta direpresi.

Kaum “agamais” kita pun bersikap seolah-olah agama yang mereka peluk dan yakini sebagai paling superior, begitu dibangga-banggakan, bahkan masih pula merasa berhak menghakimi kaum lainnya—kebanggaan mana bersifat korosif serta delusif yang ilusioner, alias bersumber dari “kekotoran serta kebodohan batin”, mengingat sejatinya agama yang bersangkutan justru merupakan agama yang paling terendah derajatnya, yang mana bila kita urai secara terperinci akan kita dapatkan tiga kategorisasi besar agama, yakni:

- Agama SUCI. Para pemeluknya ialah para suciwan, yang disebut demikian karena tidak kompromistik terhadap dosa ataupun keburukan apapun, senantiasa hidup dalam penuh kewaspadaan dan pengendalian diri, terlatih dalam disiplin “self control”, karena tiada suciwan manapun yang butuh terlebih menjadi pelanggan tetap iming-iming “penghapusan dosa” atau apapun itu namanya. Di mata kalangan suciwan, menjadi pecandu ideologi korup semacam “panghapusan dosa” sama kotor dan menjijikkannya dengan perbuatan-perbuatan buruk yang tercela dan jahat itu sendiri—dimana para pelanggannya membayar mahal dengan menggadaikan jiwa sebagai “budak ritual sembah sujud”;

- Agama KSATRIA. Sebagaimana namanya, para umatnya ialah kalangan ksatriawan, yang mana siap tampil untuk bertanggung-jawab terhadap para korbannya, baik akibat disengaja ataupun akibat kelalaiannya, sekalipun sang korban tidak menuntut pertanggung-jawaban atau bahkan tidak sadar telah pernah disakiti, dilukai, maupun dirugikan. Jiwa ksatria membuat kalangan ksatriawan tidak akan lari dari tanggung-jawab, terlebih terjebak masuk ke dalam perangkap gelap berupa iming-iming “penghapusan dosa” atau apapun itu sebutannya. Di mata para ksatriawan, hanya para pengecut dan pecundang kehidupan sejati, yang terperangkap dalam lembah hina nan nista bernama “penghapusan dosa”; dan

- Agama DOSA. Tentu saja, para umat pemeluknya ialah para pendosa alias para pendosa yang menjadi pemeluknya. Para dosawan ini terlampau pemalas untuk mau merepotkan diri menanam benih-benih Karma Baik (hanya terampil menjilat dan memohon bak pengemis yang mengemis-ngemis tanpa harga diri), dan terlampau pengecut untuk mau bertanggung-jawab atas setiap perbuatan buruk / jahat mereka yang telah pernah atau masih sedang menyakiti, merugikan, serta melukai individu-individu lainnya. Para dosawan hidup dari dosa, dan akan mati karena dosa yang sama. Pada dosawan ini meninbun dirinya dengan segunung dosa, mengubur dirinya dalam jurang dosa, berkubang dalam dosa, berlumuran dosa, serta terjerat dosa, dosa-dosa mana “too big to fall” sehingga tiada pilihan lain bagi para dosawan ini yang telah terperangkap atau terjerumus jatuh jauh ke dalam “point of no return” menjelma memeluk secara membuta serta menjadi pecandu yang telah kecanduan disamping ketergantungan. Mereka hidup dalam lembah paling hina dan paling gelap, para pecundang kehidupan.

Banyak kesenangan duniawi yang tampak menyenangkan di mata orang-orang yang masih diliputi kekotoran batin, namun lebih tampak merupakan siksaan dalam pandangan seorang Buddha. Sama halnya, ideologi korup semacam “penghapusan dosa” tampak seksi nan menggiurkan di mata para pendosa, namun adalah kotor dan berbau busuk menyengat di mata seorang suciwan. Salah satunya akan tampak dalam khotbah Sang Buddha dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID 1”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, dengan kutipan:

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Āavī di tumpukan dedaunan yang dihamparkan di atas jalan setapak sapi di hutan sisapā. Kemudian Hatthaka dari Āavī, sewaktu sedang berjalan-jalan untuk berolah-raga, melihat Sang Bhagavā duduk disana. Kemudian ia mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepadanya, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Sang Bhagavā:

“Bhante, apakah Sang Bhagavā tidur nyenyak?”

“Benar, Pangeran, Aku tidur nyenyak. Aku adalah salah satu diantara mereka di dunia ini yang tidur nyenyak.”

“Tetapi, Bhante, malam-malam musim dingin sangat dingin. Sekarang adalah interval delapan hari, waktunya turun salju. Tanah yang terinjak-injak oleh kaki sapi menjadi kasar, hamparan dedaunan ini tipis, dedaunan di pepohonan menjadi jarang, jubah kuning ini membiarkan seseorang kedinginan, dan angin kencang bertiup dingin. Namun Sang Bhagavā berkata: ‘Benar, Pangeran, Aku tidur nyenyak. Aku adalah salah satu di antara mereka di dunia ini yang tidur nyenyak.’”

“Baiklah, Pangeran, Aku akan mengajukan pertanyaan sehubungan dengan hal ini. Silakan engkau menjawab dengan apa yang menurutmu benar. Bagaimana menurutmu, Pangeran? Seorang perumah tangga atau putra perumah tangga mungkin memiliki sebuah rumah beratap lancip, yang diplester pada bagian dalam dan luarnya, tanpa lubang angin, dengan gerendel terkunci dan tirai tertutup. Di sana ia mungkin memiliki dipan berlapis permadani, selimut, dan penutup tempat tidur, dengan penutup yang baik terbuat dari kulit rusa, dengan kanopi di atas dan bantal guling merah di kedua sisi. Sebuah lampu minyak menyala dan keempat istrinya melayaninya dengan cara-cara yang sangat menyenangkan. Bagaimana menurutmu, apakah ia tidur nyenyak atau tidak, atau bagaimanakah menurutmu sehubungan dengan hal ini?”

“Ia akan tidur nyenyak, Bhante. Ia akan menjadi salah satu di antara mereka di dunia ini yang tidur nyenyak.”

(1) “Bagaimana menurutmu, Pangeran? Mungkinkah muncul pada perumah tangga atau putra perumah tangga itu demam jasmani dan batin yang muncul dari nafsu, yang akan menyiksanya sehingga ia tidak dapat tidur nyenyak?”

“Mungkin saja, Bhante.”

“Mungkin muncul pada perumah tangga atau putra perumah tangga itu demam jasmani dan batin yang muncul dari nafsu, yang akan menyiksanya sehingga ia tidak dapat tidur nyenyak; tetapi Sang Tathāgata telah meninggalkan nafsu demikian, memotongnya di akarnya, membuatnya bagaikan tunggul pohon palem, melenyapkannya sehingga tidak tumbuh lagi di masa depan. Oleh karena itu Aku tidur nyenyak.

(2) “Bagaimana menurutmu, Pangeran? Mungkinkah muncul pada perumah tangga atau putra perumah tangga itu demam jasmani dan batin yang muncul dari kebencian … (3) … demam jasmani dan batin yang muncul dari delusi, yang akan menyiksanya sehingga ia tidak dapat tidur nyenyak?”

“Mungkin saja, Bhante.”

“Mungkin muncul pada perumah tangga atau putra perumah-tangga itu demam jasmani dan batin yang muncul dari delusi, yang akan menyiksanya sehingga ia tidak dapat tidur nyenyak; tetapi Sang Tathāgata telah meninggalkan delusi demikian, memotongnyadi akarnya, membuatnya bagaikan tunggul pohon palem, melenyapkannya sehingga tidak tumbuh lagi di masa depan. Oleh karena itu Aku tidur nyenyak.”

Ia selalu tidur nyenyak, brahmana yang telah mencapai nibbāna, sejuk, tanpa perolehan, tidak ternoda oleh kenikmatan indria. Setelah memotong segala kemelekatan, setelah melenyapkan kesedihan dalam batin, yang damai tidur nyenyak, setelah mencapai kedamaian pikiran.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.