3 Jenis Model Rumusan Identitas Tergugat (Alm.), bila Lawan Meninggal Sebelum Sempat Digugat

Redaksional Surat Gugatan ketika Tergugat telah Almarhum (Meninggal Dunia)

Question: JIka lawan yang mau kami gugat, telah ternyata sudah meninggal beberapa saat sebelum kami hendak mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri, apakah masih memungkinkan untuk digugat itu si almarhum? Bukankah secara hukum (perdata), tanggung-jawab atau kewajiban juga ikut beralih kepada ahli waris seorang warga termasuk pihak-pihak yang hendak kami gugat namun telah terlanjur meninggal dunia tersebut? Setahu kami, warisan itu isinya berupa harta kekayaan juga termasuk kewajiban-kewajiban seperti hutang almarhum tanpa terkecuali.

Brief Answer: Dalam “best practice” yang selama ini menjadi praktik peradilan, agar sebuah putusan dapat dieksekusi (executable) atau paling tidak menghindari potensi resiko perdebatan yang tidak perlu dikemudian hari sebagai langkah mitigasi / antisipasi kerancuan hukum acara perdata di Indonesia, dikenal setidaknya tiga jenis model penyusunan redaksional pihak-pihak yang didudukkan dengan status sebagai “Tergugat” maupun “ahli waris pengganti Alm. Tergugat”.

Model pertama ialah ketika pihak Tergugat (yang sudah almarhum, disingkat “Alm.”) hanya ada satu, tanpa adanya “Tergugat II”, “Tergugat III”, dan seterusnya. Jika konteksnya ialah demikian, maka redaksional identitas pihak Tergugatnya akan digantikan oleh rincian nama serta alamat domisili (kediaman de jure maupun de facto) masing-masing ahli waris dari “almarhum Tergugat”, dimana pada bagian “posita” alias kronologi peristiwa hukum dalam surat gugatan barulah diuraikan bahwa pihak Tergugat yang sebenarnya ialah “almarhum Tergugat”, hanya saja telah meninggal dunia sebelum gugatan diajukan terhadapnya, karenanya digantikan oleh para ahli warisnya, yakni dalam ini “Tergugat I”, “Tergugat II”, “Tergugat III”, dst—yang mana kesemuanya ialah ahli waris dari “almarhum Tergugat”.

Model jenis kedua ialah bilamana pihak Tergugatnya ialah “majemuk”, dalam artian ada terdapat lebih dari satu orang subjek hukum pihak Tergugat. Semisal terdapat dua orang pihak yang sejatinya hendak kita gugat, namun salah seorang diantaranya ternyata meninggal dunia sebelum sempat digugat, maka rumusan redaksionalnya akan tampak berjenjang atau hierarkhis dengan ilustrasi sebagai berikut:

1. Mr. A, sebagai Tergugat I; dan

2. Mr. B (Almarhum), dalam kapasitas hukumnya sebagai Tergugat II digantikan oleh para segenap ahli warisnya yang sah, yakni:

- Mr. C, sebagai Tergugat II-1;

- Mrs. D, sebagai Tergugat II-2;

- Ms. E, sebagai Tergugat II-3.

Model ketiga adalah jenis rumusan identitas Tergugat dimana terdapat lebih dari satu pihak subjek hukum Tergugat, dimana salah satu pihak Tergugat telah meninggal dunia, akan tetapi salah satu tergugat lainnya yang masih hidup merangkap dalam dua status disaat bersamaan, yakni sebagai “Tergugat” juga sebagai “ahli waris pengganti Tergugat (lainnya)”. Contoh, seorang ayah meminjam kredit pada suatu pihak kreditor, dengan objek agunan berupa hak atas tanah milik sang anak atau bilamana sang anak menjadi pihak penjamin (personal guarantee). Ketika terjadi wanprestasi pelunasan hutang, sang kreditor hendak menggugat debitor serta pihak pemilik agunan / penjamin, akan tetapi sang debitor telah meninggal dunia, maka rumusan redaksional identitas Tergugat dalam surat gugatan akan tampak seperti berikut:

1. Mr. A, selaku “pribadi” merangkap sebagai “ahli waris pengganti Tergugat Alm. Mr. X”, untuk selanjutnya disebut sebagai Tergugat I; [Note SHIETRA & PARTNERS : Karenanya, terdapat dua kapasitas dalam satu indiividu pihak Tergugat I.]

2. Mrs. B, selaku ahli waris ahli waris pengganti Tergugat Alm. Mr. X, sebagai Tergugat II;

2. Ms. C, selaku ahli waris ahli waris pengganti Tergugat Alm. Mr. X, sebagai Tergugat III; [dst.]

PEMBAHASAN:

Jikalau pun dalam tataran praktiknya masih dapat kita jumpai rumusan redaksional dengan model yang menyimpang, itu mungkin saja terjadi bila konteksnya ialah apa yang menjadi “petitum” alias pokok tuntutan dalam surat gugatan, tidak membutuhkan keterlibatan pihak pengadilan baik itu panitera maupun jurusita pengadilan untuk mengeksekusi amar putusan yang telah “inkracht” (berkekuatan hukum tetap). Salah satunya dapat SHIETRA & PARTNERS ilustrasikan putusan yang tidak perlu melibatkan aparatur peradilan untuk mengeksekusinya—disamping faktor kesulitan / kesukaran warga sipil untuk mengetahui siapa saja nama dan dimana domisili tempat tinggal keseluruhanan ahli waris pihak yang hendak digugat—sebagaimana putusan Pengadilan Negeri Samarinda Nomor 163/Pdt.G/2018/PN.Smr tanggal 26 Maret 2019, gugatan perdata dalam perkara antara:

- DARTONO, sebagai Penggugat; melawan

1. Alm. Haji Abdul Gani / Ahli Warisnya, yang dahulu beralamat di Jalan delima, Kelurahan Sidodadi, Kecamatan Samarinda Ulu, Kota Samarinda dan sekarang sudah tidak diketahui lagi alamatnya baik dalam wilayah Indonesia maupun di luar Negeri, selanjutnya dalam hal ini disebut sebagai Tergugat;

[Note SHIETRA & PARTNERS : Perhatikan redaksional pencantuman identitas pihak Tergugat dalam gugatan ini, sejatinya tidak taat asas kaedah hukum acara perdata yang selama ini menjadi “best practice” peradilan, karena disebut secara “sumir” tanpa merinci satu per satu seluruh nama maupun alamat kediaman para ahli waris dari almarhum.]

2. Badan Pertanahan Nasional Kota Samarinda, sebagai Turut Tergugat.

Sengketa atau persoalan dalam gugatan ini ialah persoalan Penggugat yang sebelumnya telah membeli sebuah rumah, akan tetapi tidak bisa “balik nama” di Kantor Pertanahan dan Penggugat kesukaran mencari Tergugat maupun ahli warisnya. Tidak dirinci siapa ahli warisnya ataupun alamatnya. Namun demikian, konteks sengketa ini memang bisa dieksekusi tanpa keterlibatan ahli waris Tergugat, sehingga tidak bijak untuk kita tiru bilaman konteks gugatan yang diajukan ialah butuh keterlibatan aparatur lembaga peradilan semisal jenis gugatan perdata sengketa “pengosongan rumah” yang tidak dapat dieksekusi secara sepihak tanpa keterlibatan pihak eksternal pihak Penggugat, dalam hal ini aparatur peradilan yang berwenang untuk itu.

Dimana terhadap gugatan demikian, Majelis Hakim Pengadilan Negeri membuat amar putusan sebagai berikut, jenis konteks putusan mana sifat karakter sengketa atau kepentingan perdatanya tidak butuh keterlibatan aparatur peradilan seperti Ketua Pengadilan Negeri, Panitera Perdata, maupun Jurusita untuk mengeksekusinya:

M E N G A D I L I :

1. Menyatakan Tergugat telah dipanggil dengan patut tidak hadir;

2. Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya dengan verstek;

3. Menyatakan Sah Kwitansi Jual Beli untuk Pembayaran 1 (Satu) buah rumah beserta tanahnya yang terletak di Jalan D1 Panjaitan, Perumahan Sejahtera Permai Blok D-46, RT. 19, Samarinda Utara dengan harga sebesar Rp. 80.000.000,- (Delapan puluh juta rupiah) antara Penggugat (DARTONO) dengan Tergugat (Alm. HAJI ABDUL GANI), pada tanggal 13 – 01 – 2010;

4. Menyatakan sah bahwa tanah dan bangunan yang ada diatasnya terletak di Jalan Kesejahteraan, Kelurahan Temindung Permai, Kecamatan Samarinda Ilir, Kota Samarinda, dengan luas 135 M2 (Seratus tiga puluh meter persegi) dan bangunan diatasnya sesuai sertifikat Hak Guna Bangunan No. 252 tanggal 14 Oktober 1996 atas nama Tergugat (Alm. HAJI ABDUL GANI) adalah Hak Milik Penggugat (DARTONO);

5. Menyatakan setidak tidaknya memberikan ijin kepada Penggugat untuk melakukan balik nama Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor : 252 tanggal 14 Oktober 1996 atas nama Tergugat (Alm. HAJI ABDUL GANI) menjadi Hak Milik atas nama YULAIKA (Isteri Penggugat) pada Kantor Badan Pertanahan Nasional Kota Samarinda;

6. Memerintahkan Turut Tergugat untuk melakukan balik nama Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor : 252 tanggal 14 Oktober 1996 Atas nama Tergugat (Alm. HAJI ABDUL GANI) menjadi Hak Milik atas nama YULAIKA (Isteri Penggugat);”

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.