Ketika Seseorang Tidak Menghargai dan Bersikap Tidak
Adil terhadap Orang Lain, Sejatinya si Pelakunya sedang Mengutuk (Curse) Dirinya Sendiri
Menghargai Orang Lain dan Lawan Bicara, artinya Anda Menghargai Diri Anda Sendiri
Ketika seseorang tidak menghargai martabat ataupun eksistensi orang / warga lain yang hidup pada satu “global village” habitat maupun ekosistem bersama dirinya, maka sejatinya diri yang bersangkutan sedang tidak menaruh hormat terhadap dirinya sendiri. Begitupula, ketika kita gagal menghargai pribadi atau individu lainnya maupun lawan bicara, sejatinya kita sedang tidak menghargai diri kita sendiri. Terdengar klise, namun berapa banyak diantara kita yang benar-benar memahami makna dibaliknya, sehingga penulis merasa perlu untuk mengangkat topik ini secara khusus.
Sebagai contoh sederhana (namun
“mengena” pada keseharian para pembaca), ketika seseorang gemar
“sedikit-sedikit” mengkritik, mencela, mengejek, ataupun menghakimi orang lain,
maka yang bersangkutan tidak akan dapat benar-benar hidup tentang dan damai sepanjang
hidupnya tanpa dihantui akan mendapat kritik, cercaan, ejekan, hinaan, hingga
dihakimi, yang karenanya dirinya sepanjang hayat tersandera untuk pasang pose
“jaga image” agar tidak diejek,
menjadi orang yang selalu “menyenangkan setiap orang” yang ia jumpai agar tidak
dikritik, menjadi seorang “yes man”
agar tidak dicela, maupun menjelma sebagai seorang penakut alias pecundang agar
tidak dihakimi oleh orang-orang lainnya.
Sebaliknya, ketika kita tidak
pernah mengejek ataupun mempersekusi warga lainnya, tetap bersikap hormat dan
menghargai apapun pilihan hidup mereka, maka kita berhak serta menjadi seorang
pemberani yang tidak gentar terhadap ejekan maupun sikap-sikap “setanis” serta
hewanis” ala “premanis” semacam “kekerasan fisik”, semata karena kita tidak
pernah melakukan hal-hal tercela atau buruk demikian terhadap individu lainnya
(paling tidak secara moril kita tidaklah tercela)—sungguh jahat, mereka yang
menyakiti ataupun melukai perasaan terlebih jiwa dan fisik orang-orang yang
tidak menyakiti individu lainnya—oleh sebab alam bawah sadar kita sejatinya
menyadari betul bahwa kita tidak pernah menghakimi pribadi lainnya. Itulah juga
sebabnya, orang-orang baik tidak pernah takut akan kematian, sebab mereka tahu
dan sadar bahwa diri mereka bukanlah orang jahat, dimana orang-orang yang selama
ini menyakiti orang baik akan masuk neraka. Dengan menjadi orang baik dan tetap
melanjutkan hidup, itulah cara membalas dendam yang terbaik.
Pernah atau bahkan kerap
terjadi dimana fenomena sosial “mendadak miskin” berikut sungguh membuat
traumatik kejiwaan penulis yang setiap harinya menjalani profesi sebagai
konsultan hukum—dimana jelas-jelas seorang konsultan mencari nafkah dari
menjual jasa tanya-jawab maupun konseling seputar hukum—tanpa izin dan tanpa
malu secara arogan menyalah-gunakan nomor kontak kerja penulis semata untuk
“memperkosa” profesi penulis tanpa kesediaan membayar tarif jasa seperak atau
sepeser pun—sekalipun konstitusi Republik Indonesia telah tegas menyatakan hak
untuk menuntut dan memperoleh imbalan merupakan hak asasi manusia—bertanya
tarif jasa tidak, menyatakan bersedia membayar tarif jasa pun tidak, bertanya “term and condition” layanan jasa pun
tidak, namun sekonyong-konyong “memperkosa” sekalipun mengganggu orang bekerja
saja sudah begitu jahatnya, dimana kita tahu bahwa “bekerja adalah ibadah” yang
artinya mereka mengganggu “ibadah” penulis, dimana sekalipun juga nafkah adalah
perihal hidup dan mati sehingga adalah sangat tercela bermain-main dengan nyawa
alias nafkah profesi orang lain secara tidak bertanggung-jawab.
Ketika penulis tegur
perilakunya, dengan memberi ceramah singkat bahwasannya penulis bisa berkuliah
hukum berkat orangtua yang membiayai perkuliahan lewat jirih-payah
peras-keringat banting-tulang, sehingga adalah tidak menghargai profesi penulis
ketika sang “mendadak miskin” (gembel, punya masalah hukum perihal pertanahan,
sengketa upah, sengketa kredit, kepailitan, dan sebagainya?), Anda tahu apa
yang menjadi respon sang “pemerkosa”? Si pelaku mengklaim atau mengaku-ngaku
bahwa dirinya juga berkuliah pada suatu fakultas kedokteran namun kemudian bila
ada orang mau berobat pada dirinya maka dirinya tidak menuntut ataupun memungut
tarif jasa sepeser pun. Mereka yang tidak menaruh hormat ataupun penghargaan
terhadap profesi orang lain, sama artinya mematikan profesinya sendiri.
Mengapa? Itu sama artinya yang bersangkutan mengutuk keluarganya sendiri dengan
secara tidak langsung berkata seperti berikut:
“Buat apa kita mahal-mahal dan
susah payah cari uang untuk membiayai anak kita sekolah ataupun kuliah di
universitas bagus ternama, buat apa juga anak kita merepotkan diri letih-lelah untuk
belajar, toh ia hanya boleh menjadi ‘babu tanpa bayaran’ bagi kepentingan orang
lain?”
Anda lihat, mereka yang telah
memperkosa profesi orang lain sejatinya telah meng-“curse” profesi diri ataupun keluarganya sendiri. Yang tidak kalah
parahnya, masih oleh pelaku yang sama, ia kemudian melecehkan penulis ketika
menyatakan “ada tarif, ada jasa” sebagai “mata duitan”—itu sama artinya dirinya
akan dihantui oleh ketakutan akan dihardik sebagai “mata duitan” ketika ia menuntut
upah ataupun pesangon saat di-pemutusan hubungan kerja, serta akan dihardik
sebagai “mata duitan” ketika meminta harga atas barang ataupun jasa yang ia
jual sebagai sumber nafkah untuk menghidupi keluarganya.
Contoh berikut ini lebih mudah
untuk dicerna oleh para pembaca. Seseorang yang dengan mudahnya melecehkan,
memaksa, maupun mengintimidasi (secara verbal maupun lewat bahasa tubuh,
aroganisme) orang lain atas sikap diam mereka, bahkan memaksa mereka untuk
berbicara ataupun untuk tidak berbicara—sekalipun “hak untuk diam” dan “hak
untuk tidak menjawab” (the right to
remain silent, Miranda Rule) merupakan hak asasi manusia, prinsip mana
sayangnya hanya dipahami oleh bangsa yang telah betul-betul beradab—ataupun
ketika seseorang dianiaya karena sikap diamnya yang tidak bersedia diperbudak
ataupun didikte, maka para pelakunya tersebut akan tersandera secara mental
untuk seumur hidupnya, dimana mereka harus menjawab setiap pertanyaan yang
diajukan oleh orang lain, sekalipun ia suka maupun tidak suka menjawabnya,
sekalipun itu pertanyaan-pertanyaan terkait ranah privasi hidup yang
bersangkutan.
Yang hidup dari pedang, (sudah
selayaknya dan sepatutnya akan) mati karena pedang yang sama. Sayangnya pula,
masyarakat kita di Indonesia masih sangat jauh dari kata rasional dan realistis—alias
makhluk irasonal, sehingga pendekatan terhadap mereka pun harus secara
irasional pula, tidak bisa memakai standar pola berpikir rasional semacam
mengajak mereka untuk memakai “akal sehat milik orang sehat”, rasio mereka
“sakit”—dimana dapat dengan mudah kita jumpai masyarakat di tengah-tengah kita
yang mana menolak dan keberatan ditipu dan terkena tipu-muslihat, akan tetapi
dalam kesehariannya (justru) gemar tipu-menipu orang lain. “Akal sakit milik
orang sakit” mereka memiliki hukum berikut : Saya boleh memperlakukan orang
lain seperti itu, namun orang lain tidak boleh memperlakukan saya seperti itu.
Saya boleh menilai orang lain, namun orang lain tidak boleh membuat penilaian
terhadap perbuatan ataupun cacat-karakter diri saya. Pejabat tidak boleh
korupsi dan harus dihukum mati tanpa ampun, namun saya boleh korupsi setiap
harinya di kantor dan boleh minta dikompromikan.
Contoh sederhana berikut akan
lebih mudah dipahami meski sedikit ekstrem. Seorang preman pelaku aksi
premanisme, memeras seseorang dengan ancaman akan dilukai ataupun disakiti
bilamana keinginannya tidak dituruti oleh korbannya. Anda keliru ketika
berpikir hidup sebagai seorang preman adalah berbahagia (dalam jangka pendek
mungkin iya benar, namun belum tentu untuk jangka panjang), ia senantiasa
dikungkung rasa takut ketika bilamana ia berhadapan dengan preman yang lebih
besar dan lebih kuat dari segi postur tubuh ataupun jumlah anak buah, maka ia
harus menuruti semua aksi pemerasan yang ia hadapi, dimana bila tidak maka ia
memang sudah selayaknya dianiaya hingga terluka dan menderita sakit. Berlaku “golden principle” yang sebetulnya sudah
tidak asing lagi di telinga kita : perlakukan orang lain sebagaimana kita
ingin diperlakukan, dan jangan perlakukan orang lain sebagaimana kita tidak
ingin diperlakukan. Klise, namun minim diantara kita yang menjiwai terlebih
menghayatinya.
Ketika seseorang dianiaya hanya
karena berbeda pendapat, atau bahkan semata karena berbeda etnik ataupun
keyakinan, maka hidupnya akan senantiasa terkungkung dalam penjara ketakutan
dari segi batiniah, mengingat bilamana dirinya kelak berbeda pendapat dengan
orang yang lebih kuat darinya dari segi ekonomi maupun fisik, maka ia akan
“di-gilas” sebagaimana dirinya selama ini secara alam bawah sadar menyadari
telah banyak dan telah sering hidup dengan gaya hidup tidak sehat berikut yang
sangat khas “Made in Indonesia” : menyelesaikan
setiap masalah dengan kekerasan fisik ataupun semacam pola “lebih galak
yang ditegur daripada korban yang menegur”. Ketika ia menjadi warga pada sebuah
negeri dimana ia menjadi kaum minoritas, maka sudah selayaknya ia ditindas dan
tertindas sebagaimana ia selama ini menampilkan sikap hidup berikut : terhadap
dosa dan maksiat demikian kompromistis, namun terhadap kaum yang berbeda
demikian intoleran. Ketika masih sebagai minoritas, menuntut (dengan rewelnya
tanpa kemauan untuk beradabtasi dan mengadabtasikan diri dengan budaya setempat)
diberi kebebasan berkeyakinan serta beribadah, namun ketika menjelma menjadi
mayoritas di negara tersebut maka toleransi yang dahulu mereka tuntut dan
nikmati justru ingin mereka berangus dan musnahkan (lihat Kitab Sastra Jawa
berjudul “DHARMO GHANDUL” yang
bernilai sejarah serta telah terdapat versi terjemahannya). Mereka dengan sikap
“mau menang sendiri”, senantiasa menerapkan pola “standar ganda”.
Ketika seseorang menghakimi
korban yang menjerit kesakitan, seolah-olah kalangan korban hanya boleh “dam
membisu” dan harus “berakting” seperti sebongkah batu tanpa emosi ataupun
perasaan ataupun seonggok mayat yang terbujur kaku, dengan menambah banyak luka
sayatan hati / perasaan sang korban dengan kembali membungkam sang korban
ataupun menghardiknya sebagai “tidak sopan”—penghakiman yang salah alamat
(masyarakat kita sungguh kerap menjadi hakim yang buruk, lebih pandai
menghakimi alih-alih mengadili), korban dilecehkan sementara itu pelaku
kejahatan yang telah menyakiti sang korban tidak dikritik—maka ketika giliran
sang pelaku yang menjadi korban akibat kejahatan ataupun perilaku tidak patut orang
lain, alam bawah sadarnya akan memberikan “warning”,
bahwasannya dirinya selama ini menghardik dan menghakimi kalangan korban secara
tidak adil, karena itu dirinya tidak boleh menjerit kesakitan ketika disakiti
atau akan dikritik dan dihardik sebagai “tidak sopan”, “orang stress”, atau
“sudah tidak waras”.
Anda kini dapat melihat, ketika
kita berlaku adil terhadap orang lain, maka kita berhak dan layak diperlakukan
secara adil—serta menuntut keadilan tanpa terkecuali, jika tidak pada
pengadilan di dunia manusia maka di alam baka—sebaliknya, ketika kita merampas
keadilan yang menjadi hak orang lain, maka siap-siaplah hak akses menuju
keadilan yang Anda miliki akan dirampas oleh orang-orang lainnya lagi. Ketika
kita bersikap hormat dan menghargai lawan bicara, semisal dengan tidak bersikap
seolah-olah hendak berkata (secara implisit) bahwa lawan bicara kita adalah
“buta”—sebagai contoh ketika sudah jelas-jelas dan terang-benderang lawan
bicara menemukan kebodohan yang kita lakukan, namun masih juga berkelit,
sekalipun bukti berada tepat di depan hidung kita—sama artinya ia sedang
merendahkan derajat dan martabatnya sendiri. Ketika seseorang tidak mau
menghargai waktu orang lain, maka ia sedang tidak menghargai waktunya sendiri.
Menurut para pembaca, apakah
surga benar-benar adalah surga semata karena diberi papan nama “surga”? Bagaimana
bila agen-marketing dari neraka sedang melakukan promosi, dengan menukar papan
nama pintu masuk neraka dengan papan nama bertuliskan “surga” lengkap dengan
segala polesan pemanis penuh hingar-bingar ala diskotik yang meriah dan
riang-gembira? Menurut para pembaca, bilamana sebuah “Kitab DOSA” diberi merek
sebagai “Kitab SUCI”, maka apakah kitab agama tersebut benar-benar merupakan
“Kitab SUCI” dalam arti sesungguhnya? Apakah Anda sudah lupa, pepatah klasik
yang masih relevan hingga saat kini, “don’t
judge the book by the cover” ala “hyper-reality”
yang penuh jebakan delusi-diri. Anda bahkan lupa, bahwa Anda memiliki pikiran
dan otak untuk berpikir serta menilainya sendiri, alih-alih mengambil-alih dan
memakan (serta termakan) oleh apa yang disebut sebagai “konvensi sosial
kemasyarakatan”.
Berikut postulat yang tidak
akan mampu dibantah oleh para “agamais” manapun : hanya seorang pendosa,
yang butuh iming-iming korup “too good to
be true” bernama “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebsuan dosa”.
Berangkat dari postulat tersebut, mari kita ber-retorika dengan menjadikannya
sebagai alat bedah untuk menganalisa fenomena sosial masyarakat kita yang mana
setiap harinya pemuka agama mereka berceramah perihal dogma penghapusan dosa,
berdoa memohon dihapus segala dosa-dosanya (abolition
of sins), setiap hari raya keagamaan mengumbar dan mengobral penghapusan
dosa, bahkan ketika meninggal dunia maka sanak-keluarga almarhum masih juga
memohon serta berdoa meminta penghapusan dosa-dosa almarhum—lewat pengeras
suara, tanpa di-tabu-kan juga tanpa rasa malu sekecil apapun, bahkan
dipromosikan alih-alih meng-kampanyekan gaya hidup higienis dari dosa.
Lantas, bagaimana dengan nasib
kalangan korban? Janganlah bersikap seolah-olah Tuhan lebih PRO terhadap
kalangan pendosa—dunia ini bahkan tidak pernah kekurangan pendosa, dunia ini
kekurangan orang-orang baik—bahkan sekaliber seorang presiden pun lebih memilih
membentuk “kabinet kerja” alih-alih “kabinet penjilat”. Semua orang sanggup
menjadi “pendosa penjilat penuh dosa”, namun tidak semua orang sanggup
menjalankan ibadah Buddhisme yang bernama “Ovada
Patimokkha” yang dikenal luas dengan syair dalam Dhammapada sebagai
berikut: “Tidak melakukan segala
bentuk kejahatan, senantiasa mengembangkan kebajikan, dan membersihkan batin;
inilah Ajaran Para Buddha.”
Semua orang sanggup menjadi
seorang “pendosa penjilat penuh dosa”, namun tidak semua orang sanggup
menjalankan ibadah Buddhisme sebagaimana syair di atas. Mereka terlampau gagal
serta “impoten” disamping tidak terlatih dalam hal “self-control”, juga terlampau pemalas untuk menyingsingkan lengan
baju untuk melakukan / menanam banyak kebajikan, terlebih “pendosa hendak
berceramah perihal hidup suci dan lurus?!”—ibarat
orang buta hendak menuntun orang-orang buta lainnya. Adaslah wajar bila
orang buta salah mengenali “neraka” sebagai “surga”, dan “Agama DOSA yang
bersumber dari Kitab DOSA” sebagai “Agama SUCI dari Kitab SUCI”.
Buddhisme mengenal dua prinsip
paling mendasar, yakng apa yang dikenal dengan istilah “hiri” dan “ottapa”—yang
bermakna “malu berbuat kejahatan” dan “takut akan akibat dari perbuatan jahat (mapu
dan mau berempati terhadap orang lain yang akan menderita akibat diperlakukan
secara jahat alias memiliki “perspektif korban”, maupun buah kejahatan bagi
diri si pelaku kejahatan itu sendiri)”—prinsip mana justru bertolak-belakang
alias bertentangan seratus delapan puluh derajat dengan ideologi tidak
bertanggung-jawab yang penuh iming-iming semacam “penghapusan dosa” atau apapun
itu istilah kotornya, dimana bagi kalangan pecandu “penghapusan dosa” menjadi
suciwan artinya “kaum yang rugi-merugi” dan “dosawan” artinya menjadi umat
manusia yang beruntung serta bersyukur, akibat menuruti arus cara berpikir “otak
reptil” dimana “tabrak lari”, “cuci dosa”, tidak terkecuali “cuci uang” (pakai
recehan yang hanya 2,5%) dipandang sebagai keberuntungan yang sayang untuk
disia-siakan ataupun dilewatkan kesempatannya.
Bilamana kita memiliki apa yang
disebut sebagai “pikiran jernih” (clear
conscience and sober)—alias lawan kata dari “mabuk”, delusi-diri, ataupun
“pikiran yang keruh”—maka dengan mudah kita mampu membuat pemetaan mengenai tiga
buah kategorisasi besar “kingdom” agama yang dikenal oleh peradaban umat
manusia selama ini, yang dengan begitu singkat dan sederhananya mampu
meruntuhkan agama-agama “samawi” yang kini menjadi raksasa meng-hegemoni dunia,
yakni terdiri dari:
- Agama SUCI, dimana
jelas umatnya ialah sebatas para kalangan “suciwan” dan diberi nama sebagai
“kaum suciwan”. Para suciwan, benar-benar higienis alias menjauhkan diri dari dosa
maupun maksiat sekecil apapun tanpa kenal kompromi, penuh latihan “self control” yang ketat sehingga
terlatih untuk sepanjang hayatnya, karena itu mereka penuh pengendalian diri
dan mampu dengan terampil mengawasi perbuatan maupun pikirannya sendiri.
Suciwan manakah juga yang membutuhkan terlebih mencandu ideologi korup semacam
“penghapsuan dosa”? Sebaliknya, mereka tidak bersekutu dengan segala bentuk dosa
maupun maksiat, juga tidak memandang remeh kekotoran batin (don’t look down on our own defilement)
yang bersarang dalam diri kita sendiri (look
inside) alih-alih lebih sibuk menghakimi dan menilai orang lain;
- Agama KSATRIA, dimana
para pemeluknya jelas ialah kalangan terbatas berupa para manusia berjiwa atau
bermentalkan ksatria yang penuh tanggung-jawab, dimana untuk itu mereka patut mendapatkan
gelar ataupun julukan terhormat sebagai “kaum ksatriawan”. Siap sedia untuk
bertanggung-jawab serta dimintakan pertanggung-jawaban, adalah agama para kalangan
berjiwa ksatria, menjadi arga mati yang tidak dapat ditawar-tawar. Jika
perlu, tanpa menunggu korbannya menggugat ataupun melaporkan—dimana para
ksatria masih dapat berbuat keliru terhadap orang lain, baik karena senagaja (kenakalan)
maupun kelalaiannya, namun tidak pernah menyibukkan diri untuk
kelit-berkelit—sudah tampil untuk bertanggung-jawab sekalipun korbannya tidak
jarang tidak sadar telah dijadikan korban yang menderita kerugian;
- Agama DOSA, dimana
tentu saja para umat pemeluknya tidak lain tidak bukan diberi gelar sebagai
para “dosawan”—dimana ironisnya, mereka merasa “bangga” alih-alih merasa malu
mengonsumsi serta menjadi pelanggan tetap ideologi “penghapusan dosa”. Disebut
sebagai “Agama DOSA”, semata karena mengajarkan bahkan mengkampanyekan (tanpa
rasa malu terlebih ditabukan) “penghapsuan dosa” serta disaat bersamaan
mempromosikan gaya hidup tidak bertanggung-jawab seperti memohon ampun kepada
Tuhan alih-alih memohon pengampunan dari para korbannya (terlebih
kesiap-sediaan untuk dituntut pertanggung-jawaban). Mereka inilah, para
dosawan, yang selama ini menjadi pecandu terang-terangan baik pada pagi, siang,
maupun malam hari, bahkan di tempat umum maupun di depan umum lewat pengeras
suara. Yang memalukan serta tercela di mata para bijaksanawan, dianggap sebagai
layak untuk dikampanyekan sebagai gaya hidup yang membanggakan alih-alih memalukan
bagi para “dunguwan” ini.
Sebelum agama samawi dilahirkan
ke dunia ini, tiada kalangan penjahat (baca : dosawan) yang merasa yakin akan
masuk alam surgawi setelah dewa pencabut nyawa menghampiri mereka. Kini, sejak
agama samawi menjelma hegemoni yang menyandera dan menguasai otak banyak umat
manusia kontemporer, para pendosa berlomba-lomba serta berbondong-bondong
mencetak dosa, mereproduksi dosa, menimbun diri dengan gunungan dosa, bersimbah
dosa, berkubang dalam dosa, serta mengoleksi dosa-dosa akan tetapi disaat
bersamaan menjadi pecandu ideologi “too good to be true” (kabar gembira bagi
kalangan penjahat = kabar buruk bagi para korban) bernama “penghapusan /
pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa” serta masih pula mengharap atau
bahkan yakin seyakin-yakinnya akan masuk surga setelah para pendosa yang
hina-tercela nan busuk-kotor itu mati akibat “pedang”-nya sendiri.
Tanpa rasa malu ataupun rasa
takut berbuat jahat yang dapat dicela oleh para bijaksanawan, maka itulah yang
disebut sebagai “hewanis” ataupun “setanis” ala “premanis”—alih-alih “Tuhanis”,
“humanis” pun tidak—sebagaimana dapat kita rujuk khotbah Sang Buddha
dalam “Aṅguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID 1”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”,
diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom
Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta
Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, dengan kutipan sebagai berikut:
XVII. Rangkaian-Rangkaian
Pengulangan Tidak Bermanfaat
230 (1) – 234 (5) 334
“Para bhikkhu, ada dua kualitas
tidak bermanfaat ini. Apakah dua ini? Kemarahan dan permusuhan … Sikap
merendahkan dan kurang ajar … Iri dan kikir … Kecurangan dan muslihat … Tanpa
rasa malu dan tanpa rasa takut. Ini adalah kedua kualitas tidak bermanfaat
itu.”
235 (6) – 239 (10)
“Para bhikkhu, ada dua kualitas
bermanfaat ini. Apakah dua ini? Ketidak-marahan dan tanpa-permusuhan … Sikap
tidak merendahkan dan tidak kurang ajar … Ketidak-irian dan ketidak-kikiran … Ketidak-curangan
dan tanpa-muslihat … Rasa malu dan rasa takut. Ini adalah kedua kualitas
bermanfaat itu.”
240 (11) – 244 (15)
“Para bhikkhu, ada dua kualitas
tercela ini. Apakah dua ini? Kemarahan dan permusuhan … Sikap merendahkan dan
kurang ajar … Iri dan kikir … Kecurangan dan muslihat … Tanpa rasa malu dan
tanpa rasa takut. Ini adalah kedua kualitas tercela itu.”
245(16) – 249 (20)
Para bhikkhu, ada dua kualitas
tanpa cela ini. Apakah dua ini? Ketidak-marahan dan tanpa-permusuhan … Sikap
tidak merendahkan dan tidak kurang ajar … Ketidak-irian dan ketidak-kikiran … Ketidak-curangan
dan tanpa-muslihat … Rasa malu dan rasa takut. Ini adalah kedua kualitas tanpa
cela itu.”
250 (21) – 254 (25)
“Para bhikkhu, ada dua kualitas
ini yang memiliki penderitaan sebagai akibatnya. Apakah dua ini? Kemarahan dan
permusuhan … Sikap merendahkan dan kurang ajar … Iri dan kikir … Kecurangan dan
muslihat … Tanpa rasa malu dan tanpa rasa takut Ini adalah kedua kualitas yang
memiliki penderitaan sebagai akibatnya itu.”
255 (26) – 259 (30)
Para bhikkhu, ada dua kualitas
ini yang memiliki kebahagiaan sebagai akibatnya. Apakah dua ini? Ketidak-marahan
dan tanpa-permusuhan … Sikap tidak merendahkan dan tidak kurang ajar … Ketidak-irian
dan ketidak-kikiran … Ketidak-curangan dan tanpa-muslihat … Rasa malu dan rasa
takut. Ini adalah kedua kualitas yang memiliki kebahagiaan sebagai akibatnya
itu.”
260 (31) – 264 (35)
“Para bhikkhu, ada dua kualitas
ini yang berakibat dalam penderitaan. Apakah dua ini? Kemarahan dan permusuhan
… Sikap merendahkan dan kurang ajar … Iri dan kikir … Kecurangan dan muslihat …
Tanpa rasa malu dan tanpa rasa takut. Ini adalah kedua kualitas yang berakibat
dalam penderitaan itu.”
265 (36) – 269 (40)
Para bhikkhu, ada dua kualitas
ini yang berakibat dalam kebahagiaan. Apakah dua ini? Ketidak-marahan dan tanpa
permusuhan … Sikap tidak merendahkan dan tidak kurang ajar … Ketidak-irian dan
ketidak-kikiran … Ketidak-curangan dan tanpa-muslihat … Rasa malu dan rasa
takut. Ini adalah kedua kualitas yang berakibat dalam kebahagiaan itu.”
270 (41) – 274 (45)
“Para bhikkhu, ada dua kualitas
menyakitkan ini. Apakah dua ini? Kemarahan dan permusuhan … Sikap merendahkan
dan kurang ajar … Iri dan kikir … Kecurangan dan muslihat … Tanpa rasa malu dan
tanpa rasa takut. Ini adalah kedua kualitas yang menyakitkan itu.”
275 (46) – 279 (50)
“Para bhikkhu, ada dua kualitas
tidak-menyakitkan ini. Apakah dua ini? Ketidak-marahan dan tanpa-permusuhan … Sikap
tidak merendahkan dan tidak kurang ajar … Ketidak-irian dan ketidak-kikiran … Ketidak-curangan
dan tanpa-muslihat … Rasa malu dan rasa takut. Ini adalah kedua kualitas yang
tidak-menyakitkan itu.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.