Jangan Bersikap seolah-olah Tidak Ada Anggota Masyarakat Kita yang Lebih Layak Dicalonkan dan menjadi Calon Anggota Legislatif maupun Kepala Daerah
Hanya Bangsa Korup yang Memilih Koruptor (Pendosa)
sebagai Pemimpin Terpilih
Bahaya dan Resiko Memilih Koruptor (Pendosa) sebagai
Pemimpin
Pemerintah maupun pembentuk peraturan perundang-undangan telah beritikad baik dengan mempersulit mantan narapidana tindak pidana korupsi (Tipikor) untuk mencalonkan dirinya paska / selepas menjalani hukuman pidana penjara (dengan dipotong masa hukuman dengan “bebas bersyarat” plus obral remisi, tentunya) dalam pemilihan umum (Pemilu) Kepala Daerah maupun Anggota Legisllatif baik daerah kabupaten, kota, provisi, maupun pusat. Namun Mahkamah Agung RI telah menerbitkan putusan terhadap gugatan uji materiil terkait calon Kepala Daerah eks-napi tindak pidana korupsi, dengan membolehkan sang koruptor (sekali melakukan Tipikor, maka selamanya ialah “koruptor”, bukan “eks-koruptor”, seorang pelaku extra-ordinary crime. Sama seperti Adolf Hitler, disebut sebagai diktator yang otoriter, alih-alih menyandang gelar sebagai “ex”) untuk kembali mengikuti Pemilu dan terpilih untuk menjabat sebagai Kepala Daerah, dimana untuk kali berikutnya kembali tertangkap karena aksi korupsi maupun kolusi yang sama untuk kedua kalinya—dan benar-benar pernah terjadi lebih dari satu kali peristiwa di republik bernama Indonesia ini, dimana masyarakat kita tampaknya tidak pernah mau belajar dari pengalaman dan belum benar-benar siap untuk sistem “demokrasi penuh”, mengingat masyarakat kita belum benar-benar dewasa dan “cerdas” secara politik.
Begitupula pada awal tahun
2023, Mahkamah Konstitusi RI mengabulkan sebagian permohonan uji materiil yang
diajukan oleh seorang mantan narapidana Tipikor, sehingga membuka peluang bagi
sang koruptor untuk mengikut-sertakan dirinya sebagai calon anggota legislatif
dan menjabat sebagai anggota legislatif alias “wakil rakyat”—wakil dari rakyat
yang mana? Itulah pertanyaannya. idealnya, mantan napi Tipikor hanya boleh
dipilih oleh “rakyat yang juga sesama eks-napi Tipikor”, bukan untuk konteks
“rakyat umum”. Artinya pula, semestinya secara konstitusi dimaknai bahwa berhak
memilih dan dipilih dengan koridor berupa dipilih oleh sesama mantan napi
Tipikor.
Tipologi masyarakat kita masih
belum benar-benar steril dari paparan “serangan fajar” alias “money politic”, para napi eks-koruptor
telah benar-benar paham serta mengenali betul watak, karakter, serta budaya masyarakat
kita tersebut, dimana masyarakat kita tidak ambil pusing siapa yang akan
dipilihnya, sekalipun sang calon notabene adalah mantan napi korupsi, selama
masih mampu membakar uang untuk menyewa “tim sukses” serta menggelontorkan dana
miliaran rupiah untuk kampanye dan bagi-bagi sembako atau apapun itu wujudnya, maka
sang mantan napi korupsi pun akan kembali duduk pada bangku jabatan kekuasaan
yang sama untuk kesekian kalinya. Akibat hidup dan berliang di atas menara
gading, para Hakim Konstitusi maupun para Hakim Agung kita tampaknya tidak
paham dan tidak kenal terhadap mentalitas atau watak masyarakat pemilih kita yang
gaya hidupnya tidak higienis dari “politik uang”. Ada satu hal unik dari
penuturan Jokowi Dodo dalam press release-nya
belum lama ini, menyatakan : “Saya pernah
ikut pemilihan umum sebagai calon, tahu betul adanya MONEY POLITIC! Hati-hati terhadap
MONEY POLITIC, saya sudah alami itu, memang betul ada itu MONEY POLITIC!”—saat
Jokowi Dodo menjadi calon presiden dalam pemilihan umum periode jabatan
keduanya, lawan politiknya ialah Prabowo Subianto seorang, yang artinya Jokowi
Dodo sedang menunjuk hidung Menteri Pertahanan-nya tersebut sebagai pelaku MONEY POLITIC!
Dengan demikian, baik Mahkamah
Agung maupun Mahkamah Konstitusi RI, secara absurd justru bersikap seolah-olah
rakyat kita di Indonesia yang berjumlah lebih dari dua ratus lima puluh juta
jiwa penduduk, tidak ada yang lebih cocok dan lebih layak untuk dicalonkan dan
mencalonkan diri, sehingga memaksakan diri untuk tetap mengikut-sertakan mantan
napi Tipikor untuk mencalonkan diri serta dipilih sebagai Kepala Daerah maupun
sebagai Anggota Legislatif. Apapun itu, tanpa bermaksud mengajak para pembaca
untuk bersikap pesimis, penulis hendak mengimbau masyarakat untuk tidak lagi
menjadikan Mahkamah Konstitusi RI maupun Mahkamah Agung RI sebagai benteng
terakhir pertahanan bangsa, namun ialah pikiran jernih berkesadaran dan
bernurani setiap dan segenap anggota masyarakat kita itu sendiri.
Sebelum memulai bahasan pokok, mari
kita mengenali lebih dekat alam pikir atau cara berpikir para kalangan mantan
napi korupsi. Seorang pengusaha yang mengumpulkan kapitalisasi modal lewat
usahanya selama puluhan tahun, akan cenderung berpikir ratusan kali sebelum
mencalonkan diri sebagai kepala daerah maupun anggota legislatif, karena tidak rela
membakar-bakari uang senilai miliaran rupiah yang ia kumpulkan dan hasilkan
selama ini lewat jirih-payah usahanya. Sebaliknya, seorang mantan napi koruptor,
tahu betul apa yang bisa ia pungut atau kutip secara “liar” selama masa
jabatannya sebagai penguasa daerah, karenanya dapat membuat kalkulasi
untung-rugi antara modal untuk mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah
maupun anggota legislatif dan apa yang bisa ia dapatkan selama masa jabatan ia
menjabat. Sang mantan napi korupsi juga tahu betul, bahwasannya “politik uang”
masih eksis hingga saat kini semata karena memang selama ini terbukti efektif “membeli
suara” dalam rangka menentukan seorang calon akan lolos menjadi terpilih dalam pemilihan
umum.
Kini, cobalah para pembaca
menjawab pertanyaan introspektif berikut ini, dalam rangka mengetahui seberapa
besar sang mantan napi koruptor dapat menghimpun dana “liar” maupun dana-dana “siluman”
lainnya selama ini menjabat : sekalipun telah pernah ditangkap oleh aparatur
penegak hukum serta dijatuhi vonis pidana penjara, mengapa sang mantan napi
koruptor masih juga rela memberi resiko dirinya sendiri dengan mencalonkan
dirinya kembali sebagai calon anggota legislatif maupun calon kepala daerah
sekalipun ancaman hukumnya (bila ter-endus oleh penegak hukum) telah pernah ia
cicipi secara langsung? Tentu saja sang mantan napi korupsi yang notabene seorang
penjahat “white collar” (kerah putih)
telah membuat kalkukasi “untung dan rugi”, dimana otak bisnis-nya penuh dengan
matematika “high risk, high gain”,
karenanya rela kembali menempatkan dirinya masuk dan menceburkan diri dalam
potensi resiko kembali ditangkap dan dijebloskan ke penjara untuk kesekian
kalinya.
Dalam kesempatan ini penulis
menyerukan gerakan reformis “pengawal konstitusi”, bukan dengan merombak
ataupun meniadakan eksistensi kedua lembaga peradilan (Lembaga Yudikatif)
sebagaimana dimaksud di atas, namun dengan menjadikan masyarakat kita itu
sendiri sebagai “the Guardian of
Constitution”, sebagai pengawal konstitusi. Bagaimana caranya? Yakni dengan
menjadi masyarakat pemilih yang cerdas secara politis, dengan tidak memilih
calon anggota ataupun peserta Pemilu yang telah pernah tersangkut kasus-kasus
Tipikor, entah itu korupsi, kolusi, maupun nepotisme—boikot, tanpa kompromi,
setidaknya memilih untuk menjelma seorang “Golput” (Golongan Putih).
Ataukah, memang tiada anggota
masyarakat kita yang berjumlah ratusan juta jiwa ini yang lebih layak untuk
dicalonkan selain sang eks-napi Tipikor? Dalam Buddhisme, terdapat postulat
berikut : sungguh merupakan penjahat malang, bilamana sang penjahat selalu
mendapatkan kesempatan dan berhasil melaksanakan niat jahatnya. Sebaliknya,
merupakan penjahat yang beruntung, bilamana dirinya selalu gagal dan
mendapatkan kesulitan melancarkan niat-niat jahatnya.
Terdapat bahaya dibalik memilih dan dipimpin oleh seorang pemimpin yang
tidak bermoral (seorang pendosa, hanya pendosa yang butuh “pengampunan dosa”),
sebagaimana dapat kita rujuk khotbah Sang Buddha dalam “Aṅguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”,
diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom
Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta
Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, dengan rincian yang relevan
sebagai berikut:
68 (8) Devadatta
Pada suatu ketika Sang Bhagavā
sedang menetap di Rājagaha di Gunung Puncak Hering tidak lama setelah Devadatta
pergi. Di sana Sang Bhagavā, dengan merujuk pada Devadatta, berkata kepada para
bhikkhu: “Para bhikkhu, perolehan, kehormatan, dan pujian pada Devadatta
mengarah pada keruntuhan dan kehancurannya.
(1) Seperti halnya pohon pisang
yang menghasilkan buah akan mengarah menuju keruntuhan dan kehancurannya,
demikian pula perolehan, kehormatan, dan pujian pada Devadatta mengarah pada
keruntuhan dan kehancurannya.
(2) Seperti halnya bambu yang menghasilkan
buah akan mengarah menuju keruntuhan dan kehancurannya, demikian pula
perolehan, kehormatan, dan pujian pada Devadatta mengarah pada keruntuhan dan
kehancurannya.
(3) Seperti halnya buluh yang
menghasilkan buah akan mengarah menuju keruntuhan dan kehancurannya, demikian
pula perolehan, kehormatan, dan pujian pada Devadatta mengarah pada keruntuhan
dan kehancurannya.
(4) Seperti halnya seekor bagal
yang menjadi hamil akan mengarah menuju keruntuhan dan kehancurannya, demikian
pula perolehan, kehormatan, dan pujian pada Devadatta mengarah pada keruntuhan
dan kehancurannya.”
Seperti halnya buahnya sendiri
menghancurkan pohon pisang, seperti halnya buahnya menghancurkan bambu dan
buluh, seperti halnya janin menghancurkan bagal, demikian pula kehormatan
menghancurkan orang jahat.
69 (9) Usaha
“Para bhikkhu, ada empat usaha
ini. Apakah empat ini? Usaha dengan mengendalikan, usaha dengan meninggalkan,
usaha dengan mengembangkan, dan usaha dengan melindungi.
(1) “Dan apakah, para bhikkhu,
usaha dengan mengendalikan? Di sini, seorang bhikkhu membangkitkan keinginan
untuk tidak memunculkan kualitas-kualitas buruk yang tidak bermanfaat yang
belum muncul; ia berusaha, membangkitkan kegigihan, mengerahkan pikirannya,
dan berupaya. Ini disebut usaha dengan mengendalikan.
(2) “Dan apakah usaha dengan
meninggalkan? Di sini, seorang bhikkhu membangkitkan keinginan untuk
meninggalkan kualitas-kualitas buruk yang tidak bermanfaat yang telah muncul;
ia berusaha, membangkitkan kegigihan, mengerahkan pikirannya, dan berupaya. Ini
disebut usaha dengan meninggalkan.
(3) “Dan apakah usaha dengan
mengembangkan? Di sini, seorang bhikkhu membangkitkan keinginan untuk
memunculkan kualitas-kualitas bermanfaat yang belum muncul; ia berusaha,
membangkitkan kegigihan, mengerahkan pikirannya, dan berupaya. Ini disebut
usaha dengan mengembangkan.
(4) “Dan apakah usaha dengan
melindungi? Di sini, seorang bhikkhu membangkitkan keinginan untuk
mempertahankan kualitas-kualitas bermanfaat yang telah muncul, untuk
ketidakmundurannya, meningkatkan, memperluas, dan memenuhinya melalui
pengembangan; ia berusaha, membangkitkan kegigihan, mengerahkan pikirannya,
dan berupaya. Ini disebut usaha dengan melindungi.
“Ini adalah keempat usaha itu.”
Mengendalikan dan meninggalkan,
mengembangkan dan melindungi: melalui keempat usaha ini yang diajarkan oleh
Sang Kerabat Matahari seorang bhikkhu yang tekun di sini dapat mencapai
hancurnya penderitaan.
70 (10) Tidak Baik
“Para bhikkhu, ketika
raja-raja tidak baik, maka para pejabat kerajaan menjadi tidak baik. Ketika
para pejabat kerajaan tidak baik, maka para brahmana dan perumah tangga menjadi
tidak baik.
[Kitab Komentar menerangkan : Tanpa
melakukan sepuluh pengorbanan yang ditetapkan oleh raja-raja masa lampau, dan
tanpa menjatuhkan hukuman yang sesuai atas tindak kriminal, mereka melakukan pengorbanan
yang berlebihan dan menjatuhkan hukuman yang berlebihan.]
Ketika para brahmana dan perumah tangga menjadi tidak
baik, maka para penduduk di pemukiman-pemukiman dan di pedalaman menjadi tidak
baik. Ketika para penduduk di pemukiman-pemukiman dan di pedalaman tidak baik,
maka matahari dan rembulan berputar di luar jalurnya. Ketika matahari dan
rembulan berputar di luar jalurnya, maka konstelasi dan bintang-bintang
berputar di luar jalurnya.
Ketika konstelasi dan bintang-bintang berputar di luar
jalurnya, maka siang dan malam berjalan di luar waktunya … bulan demi bulan dan
dwimingguan berjalan di luar waktunya … musim demi musim dan tahun-tahun
berjalan di luar waktunya. Ketika musim demi musim dan tahun-tahun berjalan di
luar waktunya, maka angin bertiup di luar jalurnya dan secara acak.
Ketika angin bertiup di luar jalurnya dan secara acak,
maka para dewata menjadi marah. Ketika para dewata menjadi marah, maka hujan
tidak turun dengan cukup.
Ketika hujan tidak turun dengan cukup, maka pertanian
menjadi masak dengan tidak teratur. Ketika orang-orang memakan hasil pertanian
yang masak dengan tidak teratur, mereka menjadi berumur pendek, berpenampilan
buruk, lemah, dan rentan terhadap penyakit.
“Para bhikkhu, ketika raja-raja
baik, maka para pejabat kerajaan menjadi baik. Ketika para pejabat kerajaan
baik, maka para brahmana dan perumah tangga menjadi baik. Ketika para brahmana
dan perumah tangga menjadi baik, maka para penduduk di pemukiman-pemukiman dan
di pedalaman menjadi baik.
Ketika para penduduk di
pemukiman-pemukiman dan di pedalaman baik, maka matahari dan rembulan berputar
sesuai jalurnya. Ketika matahari dan rembulan berputar sesuai jalurnya, maka
konstelasi dan bintang-bintang berputar sesuai jalurnya.
Ketika konstelasi dan
bintang-bintang berputar sesuai jalurnya, maka siang dan malam berjalan sesuai
waktunya … bulan demi bulan dan dwimingguan berjalan sesuai waktunya … musim
demi musim dan tahun-tahun berjalan sesuai waktunya. Ketika musim demi musim
dan tahun-tahun berjalan sesuai waktunya, maka angin bertiup sesuai jalurnya
dan dapat diandalkan.
Ketika angin bertiup sesuai
jalurnya dan dapat diandalkan, maka para dewata tidak menjadi marah. Ketika
para dewata tidak menjadi marah, maka hujan turun dengan cukup. Ketika hujan
turun dengan cukup, pertanian menjadi masak sesuai musimnya.
Ketika orang-orang memakan
hasil pertanian yang masak sesuai musimnya, mereka menjadi berumur panjang,
berpenampilan baik, kuat, dan sehat.”
Ketika ternak sedang menyeberangi [suatu penyeberangan],
jika sapi pemimpin berjalan berbelok-belok, maka semua lainnya berjalan
berbelok-belok karena pemimpin mereka berjalan berbelok-belok.
Demikian pula, di antara manusia, ketika seseorang yang
dianggap sebagai pemimpin berperilaku tidak baik, maka orang-orang lain juga
melakukan demikian. Seluruh kerajaan menjadi kecewa jika rajanya tidak baik.
Ketika ternak sedang menyeberangi [suatu penyeberangan]
jika sapi pemimpin berjalan lurus, maka semua yang lainnya berjalan lurus
karena pemimpin mereka berjalan lurus.
Demikian pula, di antara manusia, ketika seseorang yang
dianggap sebagai pemimpin berperilaku baik, maka orang-orang lain juga
melakukan demikian. Seluruh kerajaan bergembira jika rajanya baik.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.