RESIKO PROFESI Penjahat, Dibunuh dan Terbunuh oleh Korban yang Melawan atau Membela Diri

Serba Salah Posisi Korban saat Mengalami Kejahatan atau Berhadapan dengan Penjahat

Penjahat Dilukai dan Dibunuh oleh Korban yang Melawan, YOU ASKED FOR IT!

Resiko menjadi Orang Baik-Baik, Dijadikan Korban Kejahatan bahkan Dikriminalisasi ketika Membela Diri, Pilihan yang Serba Sulit dan Serba Salah

Pelaku usaha yang mengeluh letih atas usahanya kepada konsumen, merupakan pelaku usaha yang tidak profesional. Mengapa pengusaha semacam demikian, disebut sebagai pelaku usaha yang tidak profesional? Karena ia tidak mau menyadari, bahwasannya konsumennya pun selama ini harus “banting tulang” mencari nafkah agar dapat membayar produk / jasa yang dibeli olehnya dari sang pelaku usaha, juga menghadapi segala kesukaran dan kerepotan disamping resiko usahanya sendiri masing-masing. Alasan kedua, sang pelaku usaha bersikap kekanakan, seolah-olah hanya diri ia seorang yang selama ini merasakan letihnya sebuah pekerjaan.

Dalam bahasa yang lebih sederhana, yang menjadi “derita pelaku usaha” ialah mengalami keletihan lengkap dengan segala kerepotannya (tentu saja, no pain no gain!), sementara itu “derita konsumen” ialah harus meronggoh sakunya untuk membayar harga barang / jasa yang dibeli olehnya dari sang pelaku usaha. Menjadi tidak adil, ketika salah satu pihak mengeluhkan pihak lainnya secara tidak profesional juga tidak proporsional. Sang pelaku usaha merasa letih dan lelah, itu bukan urusan konsumen, pun sebaliknya betapa sukarnya mencari uang untuk membayar bukanlah urusan pelaku usaha.

Yang membedakan individu satu dengan individu lainnya, memang ialah perihal kepribadian—pribadi yang satu mengeluhkan kesukaran hidup, lantas merampas kebahagiaan hidup orang lain. Tipe kepribadian kedua, secara bijaksana mampu menyadari bahwa setiap individu diliputi masalah pribadinya masing-masing (yang sedikit atau banyaknya tidak diketahui oleh warga lainnya), namun tidak semua orang akan hidup bergelung dalam keluh-kesah di kesehariannya, juga tidak merampas kebahagiaan hidup milik orang lain. Setiap profesi dan setiap usaha, punya resikonya masing-masing. Mengapa juga, lembaga peradilan kita di Indonesia secara timpang sebelah, seakan hanya memberikan resiko menjadi orang baik—yakni menjadi korban alias “mangsa empuk” modus-modus kejahatan, baik korban harta benda maupun korban keselamatan jiwa—sementara itu profesi penjahat alias pelaku kejahatannya (kalangan penjahat) seolah tidak memiliki resiko usaha sebesar resiko yang selama ini dihadapi kalangan korban?

Tidak sedikit kita jumpai pemberitaan di berbagai media massa, pemberitaan mana melukai perasaan rakyat luas, bahwasannya seseorang yang sekadar membela diri menghadapi seseorang yang menyancam keselamatan jiwa dengan memakai senjata tajam, dimana dalam pergumulan sengit terjadi perlawanan dari pihak korban, senjata tajam milik sang pelaku berbalik “memakan tuannya sendiri” (menjadi bumerang) sehingga mengakibatkan sang pemilik senjata tajam meninggal dunia di tempat, direspon oleh lembaga peradilan dengan mendakwa dan divonisnya sang korban sebagai pelaku pembunuhan sekalipun sejatinya sekadar “bela diri” dalam keadaan dilematis “membunuh atau dibunuh”.

Sudah sejak lama penulis mencermati serta mendapati sendiri, posisi korban selalu dilematis dalam artian “serba salah” di republik yang aturan hukum maupun praktik hukumnya di kepolisian, kejaksaan, maupun peradilan, tidak pernah memakai perspektif seorang korban dan tidak juga memiliki semangat keberpihakan kepada posisi seorang korban yang sejatinya berhak dan merupakan “hak asasi korban” untuk melakukan perlawanan dalam rangka pembelaan diri. Katakanlah, ada perampok atau kawanan pencuri memasuki pekarangan rumah Anda tanpa izin, lalu Anda mengambil senjata tajam untuk bela diri, untuk selanjutnya dalam pergumulan antara Anda selaku tuan rumah yang hendak menjaga rumah Anda baik-baik dan pihak para pencuri atau perampok tidak diundang, berbuntut pada tewasnya para pencuri atau perampok tersebut. Bila Anda didakwa sebagai pelaku pembunuhan, dan sang pencuri / perampok diposisikan oleh Penyidik Kepolisian ataupun Jaksa Penuntut Umum sebagai “korban” (bukankah itu terdengar ironis? Suatu putar-balik logika moral yang benar-benar terjadi dalam praktik berhukum kita selama ini di Indonesia), sementara itu penulis duduk di bangku hakim pemeriksa dan pemutus perkara, maka sang tuan ruan yang dijadikan terdakwa akan penulis putus perkara pidananya dengan vonis amar “BEBAS MURNI”.

Mengapa? Alasannya ialah “akal sehat milik orang sehat” serta “akal sehat sebagai hukum tertinggi”, bahwasannya itulah resiko usaha atau resiko profesi menjadi orang jahat (penjahat) yang menyatroni rumah warga dengan niat jahat, dimana sang penjahat telah sadar betul dan mafhum bilamana dirinya dipergoki oleh tuan rumah, lalu terjadi perlawanan dari tuan rumah, mengakibatkan tewasnya sang penjahat, maka berlaku prinsip “YOU ASKED FOR IT!” Sayangnya, lembaga peradilan maupun praktik pada lembaga aparatur penegak hukum kita masih mengedepankan apa yang disebut sebagai “common practice”, sekalipun tidak selalu sejalan dengan “common sense”.

Kita perlu memberi dis-insentif tegas dan keras terhadap siapapun yang memiliki niat jahat dengan menjadi penjahat, sehingga setiap warga akan berpikir seribu kali bila hendak mencuri ataupun merampok, dalam rangka memberi perlindungan hukum bagi warga yang baik-baik agar tidak menjelma menjadi korban kejahatan. Kita tidak perlu membuat serta menerapkan saksi hukuman “potong tangan” bagi pelaku aksi kejahatan seperti pencurian, kita cukup beri ruang kebebasan bagi korban untuk melawan dan jika perlu membunuh sang pelaku kejahatan bila terjadi duel, dalam rangka melahirkan “shock teraphy” bagi kalangan penjahat lainnya. Sekali lagi, kita tidak dapat membenturkan pendirian penulis dengan asas “larangan main hakim sendiri”, mengingat sang penjahat itu sendiri yang “YOU ASKED FOR IT!” ketika menyatroni rumah seorang warga dengan niat buruk, terlebih negara tidak pernah benar-benar hadir di tengah-tengah masyarakat sehingga banyak kriminil seolah dipelihara dan tumbuh subur merajalela di berbagai ruas jalan berkeliaran mengintai mangsanya.

Namun baiklah, kita perlu bersikap rasional hidup di tengah negeri dengan sistem penegakan hukum pidana maupun peradilan yang jauh dari nafas “common sense”, maka kita perlu membuat pendekatan yang lebih rasional. Apakah itu? Setelah lama penulis merenungkan fenomena sosial maupun fenomena yuridis demikian di Indonesia, yang tidak pernah pro terhadap kesulitan posisi kalangan korban, pada akhirnya penulis mendapatkan inspirasi lewat video yang ditayangkan mengisahkan seorang wanita melakukan pembelaan diri dengan menyemprotkan “semprotan merica” ke mata seorang kriminil dan melakukan “bite back” berupa alat dengan sengatan listrik yang mampu membuat pingsan sang pelaku kejahatan. Mari kita bahas satu per satu, yang mana akan cukup bermanfaat bagi kalangan pria maupun wanita untuk mempersenjatai diri dan membela diri, tanpa resiko dijatuhi vonis pidana sebagai pelaku pembunuhan—jika perlu, setelah sang kriminil tumbang dan pingsan, Anda kembali setrum dirinya hingga puas, agar benar-benar jera. Jika ada perasaan sungkan, semisal serasa seperti “jahat” bila kita menyetrum kembali sang penjahat, maka inilah kontra suara batin yang terlampau baik dalam diri kita : “YOU ASKED FOR IT, PENJAHAT!

Kabar baiknya, tidak pernah ada kasus dimana seseorang kriminil tewas akibat disemprot merica pada mata indera penglihatannya juga karena disengat setrum listrik oleh korbannya. Kedua senjata bagi kalangan wanita tersebut sangat efektif membuat pelaku kejahatan lumpuh seketika, sehingga sejatinya kalangan pria tidak perlu lagi mempersenjai diri dengan belati ataupun pedang ketika dikejutkan dengan berhadapan kalangan kriminil di tengah jalan maupun di kediaman pribadi. Penting untuk siapapun, kalangan manapun dan dari segi umur maupun gender apapun, baik pria maupun wanita, ketika berada di tempat umum, baik di keramaian maupun di tempat sepi—mengingat polisi tidak pernah benar-benar hadir melindungi kita dan juga tidak akan hadir ketika kita hubungi—di pusat kota maupun di pemukiman penduduk, siapkan bekal P3K (Pertolongan Pertama pada Korban) berupa semprotan merica serta alat penyengat listrik. Anda boleh membawa alat setrum di ransel Anda bila Anda merasa tidak nyaman menggenggamnya kemana pun Anda berjalan kaki, sementara itu semprotan merica perlu Anda genggam terutama ketika melintas di atas jembatan penyeberangan orang maupun trotoar yang sangat rawan kawanan pencuri mengintai dan mengikuti Anda dari arah belakang.

Kini Anda dapat dengan mudahnya memperoleh kedua alat pelindung diri bagi kalangan wanita—sekali lagi, juga dapat digunakan oleh kalangan pria—tersebut baik semprotan merica maupun alat penyetrum listrik, cukup memesan lewat marketplace, lalu bekali diri Anda dalam rangka “sedia payung sebelum hujan”. Hindari cara lawas seperti mempersiapkan belati, karena Anda selaku korban yang dapat dikriminalisasi sebagai pembawa senjata tajam di muka umum. itu adalah kiat atau tips bagi Anda untuk melindungi diri ketika berada di luar rumah, kini bagaimana dengan kiat “mempersenjatai diri” di kediakan kita sendiri? Apakah aman, menghadapi kawanan perampok / pencuri dengan memakai pisau dapur ataupun golok?

Bisa terjadi, peluang mana tetap terbuka potensinya, sekali Anda menebas maka para kriminil tersebut akan tewas seketika di tempat dalam kondisi bersimbah darah. Karenanya, Anda berpotensi mengalami kriminalisasi di kediaman milik Anda sendiri, korban menjelma pelaku kejahatan menurut kacamata sistem pemidanaan di Indonesia. Kini, cobalah Anda ketikkan kata kunci berikut ini di marketplace apapun itu, yakni : “pedang samurai X”. Tipe atau jenis pedang satu ini, adalah samurai asli, namun proses produksinya terinspirasi dari kisah fiktif dalam anime / manga asal Jepang berjudul Rurouni Kenshin yang sempat populer beberapa dekade lampau, dimana mata pedangnya “terbalik”, sisi tajam di dalam dan sisi tumpul di luar.

Mengingat fakta empiriknya mata pedang dari “pedang samurai X” adalah “terbalik”, maka sisi mata pedang yang lazimnya tajam, yang ini tumpul adanya, sehingga tergolong sebagai “benda tumpul”, mengingat ketika Anda tebas “tamu tidak diundang” yang menjadi ancaman bagi keselamatan jiwa Anda maupun keluarga Anda, tidak akan sampai terjadi kondisi tersayat maupun berdarah-darah—paling jauh lebab maupun patah tulang yang dialami para perampok maupun para pencuri tersebut. Bagaimana bila telah ternyata, perampok tersebut mempersenjatai dirinya dengan senapan api? Tetap saja “pedang samurai X” memiliki sisi tajam pada bagian ujung pedangnya, yang dapat Anda gunakan untuk menghunus atau menikam bagian tengah tubuh sang pengancam hingga tewas seketika.

Silahkan saja pengadilan memvonis Anda sebagai kriminil pelaku pembunuhan—sekalipun Anda telah mengajukan “pledooi” bahwa telah terjadi “overmacht” alias keadaan memaksa—namun setidaknya kita memilih “menewaskan penjahat (melenyapkan satu ekor ‘sampah masyarakat’) daripada mati konyol ditewaskan kriminil”. Lain ladang lain belalang, bila kita membuat penilaian dengan kacamata Hukum Karma, Karma Buruk yang kita buat dengan menewaskan seorang penjahat adalah sangat kecil—berbeda halnya bilamana yang kita lukai atau bahkan tewaskan adalah orang yang tergolong suci dan baik hati, barulah fatal akibatnya, dimana melukai seorang Buddha dapat mengakibatkan Anda jatuh dalam neraka lapis terdalam.

Akan tetapi, dan yang selama ini menjadi momok praktik peradilan pidana kita di Indonesia, hukum negara tidak pernah membuat distingsi pembeda dari segi sosok pribadi yang Anda buat tewas, apakah orang baik ataukah orang jahat, vonis pidana bersifat “pukul rata” secara membuta, sebagaimana para aparatur penegak hukum kita yang memang “buta”, yang besar kemungkinan tidak pernah mengalami kesulitan hidup berhadapan dengan orang-orang jahat alias kriminil, suatu kondisi “serba salah” di hadapi korban, mengingat para aparatur penegak hukum tersebut selama ini berliang di atas “menara gading”.

Orang-orang selama hidupnya bermukim dalam lingkungan elit, telah terlindungi dari segi tenaga keamanan 24 jam atau bahkan memiliki petuas security-nya tersendiri di kediamannya, karenanya jarang mengetahui suka-duka hidup kalangan rakyat jelata yang harus bertansportasi menggunakan transporasi umum, bermukim pada pemukiman padat penduduk, dan lain sebagainya. Hakim yang baik, selalu tumbuh dari akar rumput, bukan dari “menara gading”. Banyak penulis mendengar atau membaca kisah ataupun bersumber dari penuturan pihak lain, tidak jarang yang menghuni dibalik jeruji sel pada tahanan bermerek generik “penjara”, ialah orang-orang baik dan orang baik-baik, dimana penulis percaya betul “kabar burung” demikian.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.