Putusan Hakim yang Tidak Lolos UJI MORIL, Putusan yang Tidak Akuntabel
Transparan namun Minus Akuntabilitas, PHP (Pemberi
Harapan Palsu)
Apakah menurut hemat para
pembaca, integritas lembaga peradilan ditentukan oleh transparansi produk
peradilan berupa putusan hakim baik itu perkara pidana maupun perkara perdata?
Tidak, bukan itu jawabannya. Selama ini, Lembaga Yudikatif berupa Mahkamah Agung
RI maupun jajaran peradilan dibawahnya ataupun Mahkamah Konstitusi RI, telah
mempublikasikan seluruh putusan pengadilan, baik yang diapresiasi publik maupun
putusan-putusan yang kontroversial dan mengundang cibiran masyarakat luas.
Namun, seganjil dan se-absurd apapun putusan-putusan yang sekalipun jelas-jelas
mengandung “moral hazard” serta tidak
sejalan dengan kampanye “patuh hukum” ataupun semangat penegakan pemberatasan
korupsi, kritik demi kritik mengalir ke lembaga peradilan di bawah atap kedua
Mahkamah tersebut, tetap saja mereka yang selama ini hidup di atas menara
gading sehingga “berjarak dari masyarakat konstituennya”, bergeming sembari
balik mencibir sinis:
“SO WHAT?! Tetap saja setiap tahunnya berbagai gugatan membanjiri institusi kami untuk diputus oleh hakim-hakim kami. Ini, masih banyak putusan ‘aneh bin ajaib’ lainnya, dan akan menyusul putusan-putusan ‘aneh bin ajaib’ lainnya akan kami publikasikan, ERGA OMNES! Para rakyat ‘menggonggong’, para hakim berlalu acuh tak acuh, business as usual.”
Selama ini kedua Mahkamah
tersebut kita akui memang telah bersikap transparan, dalam artian
mempublikasikan putusan-putusan hakim yang menjadi produk hukumnya. Namun patut
kita sayangkan, pihak-pihak yang selama ini berliang di lembaga “menara gading”
tersebut telah ternyata berkulit wajah tebal alias “tidak tahu malu”, dalam
artian seburuk apapun rekam-jejak putusan mereka, sekontroversi dan se-tercela
seperti apapun putusan-putusan mereka, tiada mekanisme ala “merit system” semacam “reward and punishment”, dimana kedua
lembaga tersebut terus dan tetap memonopoli hegemoni satu-satunya Lembaga
Yudikatif yang berwenang dan memutus sengketa hukum baik pidana maupun
perdata—terkecuali Anda memilih “choise
of forum” berupa arbitrase baik arbitrase lokal maupun asing, itupun masih
bisa digugat pembatalan ke Pengadilan Negeri—sementra itu perkara pidana
sepenuhnya dimonopoli oleh badan peradilan lokal, peradilan mana tidak sejalan
dengan prinsip egaliter.
Anda lihat, di dalam negara
yang notabene paling demokratis di dunia ini, telah ternyata lembaga
peradilannya tidak mengadopsi sistem egalitarian, dalam artian tiada diakomodir
mekanisme “check and balances” oleh
setiap anggota masyarakat selaku pihak yang bersentuhan langsung atau
berkepentingan atas produk hukum hakim berupa putusan-putusan lembaga
peradilan. Produk hukum Lembaga Legislatif, dapat di-“uji materiil” maupun “uji
formil” ke lembaga lainnya, yakni baik itu Mahkamah Agung maupun Mahkamah
Konstitusi sebagai pemutus “judicial
review”. Namun, terhadap produk hukum Lembaga Yudikatif berupa putusan
hakim di peradilan, yang mengujinya justru ialah Lembaga Yudikatif itu sendiri,
yakni Mahkamah Agung RI lewat mekanisme Kasasi maupun Peninjauan Kembali yang
ibarat “jeruk mengadili jeruk”, karenanya tiada mekanisme kontrol apapun dari
lembaga eksternal mengingat Komisi Yudisial telah di-sunat dan menjelma
“impoten” kewenangannya mengawasi serta menindak kedua Mahkamah tersebut—berkat
putusan Mahkamah Konstitusi yang kontroversial di era Mahfud MD sebagai Ketua
Mahkamah Konstitusi pada saat itu, dimana Mahkamah Konstitusi memutus secara “ultra vires” mengingat pemohon uji
materiil hanya memohon agar Komisi Yudisial dinyatakan tidak berhak mengontrol
Mahkamah Agung RI dan jajaran peradilan dibawahnya, namun demikian para Hakim
Konstitusi pada Mahkamah Konstitusi turut menyatakan pula bahwa Komisi Yudisial
“impoten” tidak terkecuali di hadapan Mahkamah Konstitusi (conflict of interest sebagai racun lembaga peradilan merupakan
masalah sekaligus momok klasik pada republik yang mengaku sebagai “negara
hukum” ini).
Tentu kita masih ingat dan
segar di ingatan kita, putusan Mahkamah Agung RI yang meng-korting vonis
hukuman Edhy Prabowo, Menteri Perikanan, yang terbukti menerima gratifikasi
dari importir benur (benih lobster) terkait jual-beli izin importasi, Majelis
Hakim Agung pemeriksa dan pemutus perkara pada Mahkamah Agung RI memangkas
vonis hukuman sang kolutor dengan alasan bahwa tindakan sang kolutor yang
menerima gratifikasi jual-beli izin impor sejatinya mensejahterakan dan
memakmurkan nelayan penangkap benih lobster. Kita masih ingat pula putusan
dengan vonis sangat-teramat lunak terhadap Julianto Batubara, Menteri Sosial,
yang meng-korupsi hak-hak rakyat yang jauh lebih miskin daripada sang menteri,
dengan alasan sang menteri telah di-“bully”
oleh masyarakat maupun netizen. Tidak lupa, kita singgung pula putusan Mahkamah
Konstitusi RI yang menyatakan bahwa mantan narapidana kasus korupsi dibolehkan
untuk kembali mencalonkan diri dalam pemilihan umum legislatif.
Transparansi, sayangnya, tidak
identik dengan akuntabilitas, dan transparansi bukanlah segala-galanya
sebagaimana fenomena “aksi tidak tahu malu berjemaah” secara vulgar oleh para
hakim kita lewat putusan-putusannya yang melukai nurani rakyat dan mencederai
keadilan masyarakat luas selaku stakeholders
atas putusan-putusan yang bersifat penting dan meluas dampaknya. Akuntabilitas,
bertopang pada mekanisme “uji moril”, karenanya suatu putusan hakim baru dapat
disebut sebagai akuntabel, bilamana mampu lolos “uji moril”—dimana berlaku
prinsip sebaliknya, bilamana telah ternyata tidak lolos “uji moril” maka patut
kita beri stigma sebagai putusan yang korup alias indikasi nyata telah terjadi “judicial corruption”.
Mari kita mulai eksaminasi
dengan memakai pilar akuntabilitas dalam menelaah dan menilai sebuah putusan
hakim di lembaga peradilan. Kita mulai dari ilustrasi berikut. Pemerintah
Republik Indonesia saat kini menerapkan kebijakan yang melarang importasi bahan
tambang mentah nikel maupun bauksit, dengan alasan importasi bahan mentah tidak
memberi “nilai tambah” apapun bagi negara dan tidak berkontribusi bagi
peningkatan angka lapangan kerja. Jika mau, para investor silahkan membangun
smelter di Indonesia. Namun, para pejabat eselon 1 di kementerian kemudian
melakukan korupsi dengan menjual-belikan izin impor kedua bahan tambang
tersebut. Ketika pejabat tersebut tertangkap-tangan oleh aparatur penegak
hukum, maka inilah yang akan dipakai sebagai alibi oleh pengacara sang koruptor
: merujuk putusan (preseden) Mahkamah Agung RI perkara Eddy Prabowo, maka izin
importasi nikel dan bauksit adalah dalam rangka mensejahterakan dan memakmurkan
para petambang nikel maupun bauksit, karenanya layak diberi vonis hukuman
seringan-ringannya.
Kasus yang senada dengan itu
juga dapat kita jumpai dalam kasus jual-beli izin impor Crude Palm Oil alias
Minyak Sawit, oleh pihak pejabat eselon 1 pada Kementerian Perdagangan. Namun,
mengapa hakim pemutus perkara tersebut tidak menyatakan bahwa sang pejabat
kolutor ini telah turut berkontribusi mensejahterakan dan memakmurkan petani
kelapa sawit? Itulah yang disebut sebagai “standar ganda”, sifatnya
berkebalikan dari semangat prinsip akuntabilitas yang mensyaratkan konsistensi
antar putusan. Kita beralih pada putusan terkait Juliari Batubara, sang Menteri
Sosial—hindari penggunaan istilah eks-Manteri, yang bersangkutan menerima
gratifikasi tatkala masih menjabat sebagai Menteri, bukan selaku mantan Menteri
sebagai “tempus delicti”-nya.
Bila yang melakukan korupsi,
ialah Menteri Koperasi, dan Anda sama sekali tidak memiliki atensi, perhatian,
ataupun kepentingan terhadap perkoperasian, semisal Anda bukan anggota-nasabah
pada Koperasi Simpan Pinjam, maka kasus korupsi oleh sang menteri tidaklah
berdampak pada Anda yang karenanya juga bisa jadi Anda tidak menaruh banyak
peduli terhadap kasus tersebut. Namun, jika kasusnya ialah seorang Menteri
sosial, meng-korupsi bantuan sosial bagi rakyat miskin dikala negara sedang
dalam keadaan pandemik Corona Virus Disease (Covid-19), dimana ekonomi
kerakyatan terpukul hebat, maka rakyat yang tidak mencari sang Menteri ke rumah
tahanan untuk dipatahkan lehernya, sudah tergolong sebagai sangat-amat
bersabar. Jika rakyat sekadar mengkritik, mengutuk, dan mencibir ataupun
mengolok-olok sang Menteri, itu sudah cukup santun dan bersabar sebagai respon
atau tanggapan publik yang wajar dan patut dimaklumi. Seperti kata pepatah,
semakin tinggi suatu pohon, semakin deras angin menderanya.
Kedua, itulah “resiko profesi”.
Resiko usaha menjabat sebagai seorang Menteri Kehutanan, tentu berbeda dengan
bobot beban tugas serta resiko profesi ataupun resiko jabatan seorang Menteri
Sosial, karenanya sang pejabat Menteri Sosial perlu menyadari status serta
posisinya ketika dimintakan kesediaannya menjabat pada jabatan strategis
tersebut. Ketika seorang Menteri Sosial justru meng-korupsi dana bantuan sosial
atau barang-barang bantuan sosial, itu sama artinya sang pejabat sedang “YOU ASKED FOR IT!” untuk diolok-olok dan
dicaci-maki oleh rakyat luas. Seperti kata pepatah klasik : Semakin tinggi
kekuasaan dan kekuatan seseorang, maka semakin tinggi dan besar pula
tanggung-jawabnya—setidaknya semakin berpotensi di-kutuk oleh rakyat. Bila
tidak ingin dikritik ataupun dicela, maka jangan menjadi pejabat pada posisi
bangku jabatan kenegaraan apapun, tiada yang memaksa yang bersangkutan untuk
menerima jabatan setinggi demikian.
Contoh terakhir, meski bukan
yang paling akhir, ialah putusan Mahkamah Konstitusi RI yang memberi “karpet
merah” bagi eks-napi koruptor untuk mencalonkan dirinya kembali dalam pemilihan
umum legislatif baik Dewan Perwakilan Rakyat maupun Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah. Mengapa putusan demikian, adalah jauh dari nafas akuntabilitas? Jawabannya
ialah karena Mahkamah Konstitusi RI telah bersikap seolah-olah tiada anggota
masyarakat lainnya yang lebih kompeten dan lebih berintegritas daripada sang
mantan koruptor untuk dipromosikan sebagai calon anggota legislatif. Apakah
masyarakat kita benar-benar telah cukup dewasa dan matang, dengan memilih calon
yang bersih rekam-jejaknya? Bukti berkata lain, dimana “money politic” masih mewarnai dan menguasai masyarakat pemilih
kita. Pemilihan umum secara demokratis secara “tanpa batasan” bukanlah segalanya,
terutama bilamana masyarakat kita belum benar-benar siap untuk demokrasi “tanpa
batasan”, dapat menjelma bumerang bagi kepentingan rakyat kita itu sendiri.
Seperti kata Bang Napi,
kejahatan terjadi bukan hanya karena ada niat, namun juga karena adanya
kesempatan—kesempatan mana dibuka lebar oleh Mahkamah Konstitusi RI itu sendiri
yang telah ternyata tidak pro terhadap semangat pemberantasan korupsi.
Indonesia terdiri dari lebih dari dua ratus juta penduduk, mengapa juga
Mahkamah Konstitusi RI memaksakan diri untuk membiarkan orang-orang yang
terbukti bermental “anti moralis” untuk kembali mengorbankan rakyat sekalipun
berbagai pemberitaan telah pernah membuktikan bahwa seorang mantan koruptor
ketika kembali menjabat, ditangkap untuk kali keduanya atas kasus korupsi
serupa, seolah-olah kita belum cukup bosan dan jijik mendapati fenomena sosial
demikian.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.