LAW IN CONCRETO Syarat Pailit & PKPU “Made in Pengadilan Niaga”

Syarat Minimum Pembuktian Adanya Kreditor Lain dalam Memohon Kepailitan / PKPU

Dikehendaki oleh Minimum Dua Kreditor, dan Kedua Tagihannya telah Jatuh Tempo serta Tidak Tertagihkan

Question: Apakah benar bahwa kini informasi keberadaan atau adanya “kreditor lain” sebagaimana dalam print-out SLIK (Sistem Layanan Informasi Keuangan) tidak lagi laku ataupun berharga di mata hakim Pengadilan Niaga ketika seorang kreditor hendak memohon pailit ataupun PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang) terhadap debitor yang berdasarkan NIK (Nomor Induk Kependudukan) data informasi hutangnya tercantum dalam SLIK tersebut? Bukankah SLIK merupakan bukti otentik dari Otoritas Jasa Keuangan?

Brief Answer: Tampaknya informasi yang tercantum dalam SLIK untuk saat kini tidak lagi memiliki nilai sebagai data yang valid oleh lembaga peradilan, dimana reputasi SLIK telah ternyata dirusak sendiri oleh kalangan lembaga keuangan / pembiayaan itu sendiri, sebagaimana dapat kita jumpai kasus-kasus dimana debitor menggugat kreditornya karena mencantumkan data yang tidak benar atau tidak akurat dalam SLIK sebagaimana register perkara perdata gugat-menggugat Nomor 1638 K/Pdt/2020, 9/Pdt.G/2020/PN.Mna, 73 K/PDT/2020 maupun tertuang dalam register 220/Pdt.G/2020/PN.Pbr, dimana pengadilan terhadap gugatan debitornya menyatakan bahwa pihak lembaga keuangan telah melakukan “perbuatan melawan hukum” karena mencantumkan data yang tidak benar dalam SLIK sehingga merugikan kepentingan pihak Penggugat selaku debitor.

PEMBAHASAN:

Betul bahwa SLIK dikelola oleh otoritas—dalam hal ini Otoritas Jasa Keuangan—namun pihak-pihak yang meng-input ataupun meng-“up date” data di dalamnya ialah para “users” berupa lembaga keuangan maupun lembaga pembiayaan, sehingga menjadi sangat bergantung pada akurasi, itikad, akuntabilitas, transparansi, serta ketelitian para pengguna yang mengakses dan meng-input data di dalamnya termasuk tanggung-jawab etik untuk meng-“up date” data di dalamnya sesuai kondisi yang aktual posisi kolektabilitas nasabah debitornya.

Adapun “law in abstracto” dalam Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, untuk dapat dimohonkan pailit suatu kalangan debitor, berlaku norma hukum : Termohon pailit / PKPU mempunyai lebih dari satu kreditor, serta salah satu utangnya telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Rujukan otentiknya sebagaimana Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang : “Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.

Penjelasan Resmi Pasal 2 Ayat (1) UU Kepailitan : “Yang dimaksud dengan ‘Kreditor’ dalam ayat ini adalah baik kreditor konkuren, kreditor separatis maupun kreditor preferen. Khusus mengenai kreditor separatis dan kreditor preferen, mereka dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit tanpa kehilangan hak agunan atas kebendaan yang mereka miliki terhadap harta Debitor dan haknya untuk didahulukan. Bilamana terdapat sindikasi kreditor maka masing-masing Kreditor adalah Kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2. Yang dimaksud dengan ‘utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih’ adalah kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktu penagihannya sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang, maupun karena putusan pengadilan, arbiter, atau majelis arbitrase.

Dimana norma “law in abstractoPKPU, dapat merujuk Pasal 222 UU Kepailitan dan PKPU:

(1) Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang diajukan oleh Debitor yang mempunyai lebih dari 1 (satu) Kreditor atau oleh Kreditor.

(2) Debitor yang tidak dapat atau memperkirakan tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran utang, dengan maksud untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada Kreditor. [Penjelasan Resmi : “Yang dimaksud dengan ‘Kreditor’ adalah setiap Kreditor baik Kreditor konkuren maupun Kreditor yang didahulukan.”]

(3) Kreditor yang memperkirakan bahwa Debitor tidak dapat melanjutkan membayar utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon agar kepada Debitor diberi penundaan kewajiban pembayaran utang, untuk memungkinkan Debitor mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada Kreditornya.

Sementara itu yang menjadi “law in concreto”-nya, ialah norma lapangan sebagai berikut : Termohon pailit / PKPU mempunyai setidaknya dua kreditor yang berniat mempailitkan / mem-PKPU-kan sang debitor Termohon—meski cukup salah satu kreditor saja yang memohon pailit / PKPU—dimana kedua utangnya tersebut telah jatuh tempo dan dapat ditagih, dengan pertimbangan sebagai berikut:

1.) tiada kreditor lainnya manapun yang akan secara senang hati dan sukarela membiarkan debitornya jatuh pailit maupun PKPU, karena artinya piutangnya terancam akan gagal bayar bilamana itu benar-benar sampai terjadi—kecuali, kreditornya tersebut memang berminat dan berniat untuk sama-sama mempailitkan / mem-PKPU-kan sang debitor bersama-sama pihak pemohon pailit / PKPU; dan

2.) bilamana status kolektabilitas pada “kreditor lainnya” tersebut telah ternyata lancar, maka untuk apa juga “kreditor lainnya” menghendaki agar debitornya pailit / PKPU? Justru terdapat “conflict of interest” ketika salah satu kreditor (pemohon pailit / PKPU) menghendaki debitornya pailit / PKPU, sementara itu kreditor lainnya yang mana status tagihannya tidak “macet” akan berkeberatan bilamana debitornya sampai jatuh ke dalam keadaan pailit / PKPU, karenanya tidak akan kooperatif ketika dimintakan keterangannya sebagai “kreditor lainnya”.

Salah satu ilustrasi konkretnya dapat SHIETRA & PARTNERS cerminkan lewat putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat perkara permohonan PKPU register Nomor 252/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN.Niaga.Jkt.Pst. tanggal 22 Juli 2021, antara:

- PT. BANK CTBC INDONESIA, sebagai Pemohon PKPU; terhadap

- PT. FIRGA UTAMA MANDIRI, selaku Termohon PKPU.

Termohon PKPU menggunakan Fasilitas Kredit dari Pemohon PKPU yang digunakan untuk mendukung kebutuhan modal kerja usaha Termohon PKPU. Total utang Termohon PKPU kepada Pemohon PKPU sebesar Rp. 2,000,000,000.00 dimana keganjilan tampak dari Pemohon PKPU memiliki agunan yang diikat dengan Hak Tanggungan senilai Rp.2.280.000.000 serta Hak Tanggungan senilai Rp.540.000.000 yang seketika dapat di-“parate eksekusi “ ketika debitornya ingkar janji melunasi. Termohon PKPU baru membayarkan pinjaman uang total sebesar Rp. 80,000,000,- sejak 30 September 2020 sampai dengan 24 Mei 2021.

Atas tunggakan sang debitor, total tagihan sang debitor membengkak menjadi berjumlah Rp. 2,533,233,702.92 akibat pembebanan komponen bunga maupun denda (“bunga terselubung”), dimana nilai agunan masih kurang dari total tagihan sang kreditor, namun pihak kreditor pemohon PKPU masih juga ingin mendapatkan bunga 12,5% per tahun ditambah 3% per bulan—alias denda 36% per tahun, yang bila ditambah bunga 12,5% per tahun = 48,5% bunga terselubung per tahun)—keterlambatan melunasi dengan mem-PKPU-kan debitornya ini.

Sekalipun telah diberikan surat teguran / somasi oleh Pemohon PKPU, Termohon PKPU menolak membayar “bunga terselubung” yang membuat total hutangnya membengkak demikian. Masuk kepada pemaparan Pemohon PKPU perihal “Tentang Adanya Kreditor Lain”. Yang unik dari perkara ini, selain terhadap Pemohon PKPU selaku Kreditor, Termohon PKPU pada saat itu juga mempunyai utang kepada banyak Kreditor Lain (posisi akhir 30 April 2021) yaitu:

1. Bank Rakyat Indonesia, dengan total utang sebesar Rp. 3,199,879,637.00.

2. Arthasia Finance, dengan total utang sebesar Rp. 454,688,697.00.

3. Arthasia Finance, dengan total utang sebesar Rp. 247,657,331.00.

4. Bank Mandiri, dengan total utang sebesar Rp. 2,000,000,00.00.

5. Mandiri Tunas Finance, dengan total utang sebesar Rp.251,687,819.00.

6. Shinhan Indo Finance, dengan total utang sebesar Rp. 552,832,790.00.

Hal unik lainnya dalam perkara ini, pihak Pemohon PKPU mencantumkan permohonan berikut ini dalam permohonan PKPU yang diajukan, dengan kutipan : “dengan ini kami mohon agar Pengadilan Niaga Jakarta pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk memanggil para Kreditur lain tersebut untuk menghadiri sidang Permohonan PKPU ini.”—akan tetapi telah ternyata tiada satupun kreditor lainnya yang bersedia hadir / tampil, atau pihak Pengadilan Niaga sama sekali tidak memanggil kreditor-kreditor lainnya tersebut untuk dimintakan keterangannya, atau kemungkinan keduanya. Dengan demikian “terbukti” (secara sumir) bahwa Termohon PKPU mempunyai lebih dari satu kreditor, serta salah satu utangnya telah jatuh tempo dan dapat ditagih.

Pemohon PKPU hadir kuasa hukumnya, sedangkan Termohon PKPU tidak pernah datang menghadap, meskipun telah dipanggil secara sah dan patut sebanyak 3 (tiga) kali dengan panggilan surat tercatat maupun panggilan melalui media koran, maka pemeriksaan perkara ini dilanjutkan dengan tanpa dihadiri oleh Termohon PKPU. Untuk itu, Pemohon PKPU menghadirkan bukti berupa SILK Bank Rakyat Indonesia dengan total utang sebesar Rp. 3,199,879,637; SILK Arthasia Finance dengan total utang sebesar Rp. 454,688,697; SILK Arthasia Finance dengan total utang sebesar Rp. 247,657,331; SILK Bank Mandiri dengan total utang sebesar Rp. 2,000,000; SILK Mandiri Tunas Finance dengan total utang sebesar Rp. 251,687,819; SILK Shinhan Indo Finance dengan total utang sebesar Rp. 552,832,790—kesemuanya “fotocopy dari print out”.

Terhadap permohonan demikian, hakim pada Pengadilan Niaga untuk itu membuat pertimbangan sebagai berikut:

“Menimbang, bahwa untuk dapat dikabulkannya suatu permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mensyaratkan permohonan tersebut harus memenuhi ketentuan Pasal 222 ayat (1), ayat (3) dan Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yang syarat-syaratnya sebagai berikut:

1. Debitor memiliki dua kreditor atau lebih;

2. Debitor tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih;

3. Kreditor memperkirakan bahwa Debitor tidak dapat melanjutkan pembayaran utangnya;

4. Terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana;

“Menimbang, bahwa selanjutnya Majelis Hakim akan mempertimbangkan satu persatu ketentuan tersebut sebagai berikut :

Ad. 1. Debitor memiliki dua kreditor atau lebih;

“Menimbang, bahwa Pemohon dalam permohonannya telah mendalilkan bahwa Termohon mempunyai kreditor lain yaitu:

1. Bank Rakyat Indonesia, ...;

2. Arthasia Finance, ...;

3. Arthasia Finance, ...;

4. Bank Mandiri, ...;

5. Mandiri Tunas Finance,...;

6. Shinhan Indo Finance, ...,

“Menimbang, bahwa terhadap kreditor lain tersebut pemohon dipersidangan mengajukan bukti P-23 sampai dengan P-28 yaitu printout Sistem Layanan Informasi Keuangan dari website Otoritas Jasa Keuangan yang berisi data-data para Kreditor dari Termohon;

“Menimbang, bahwa sebagaimana Hasil Rapat Kamar Perdata Khusus Tahun 2012 menentukan bahwa ‘kreditor kedua harus dibuktikan dengan bukti surat (loan agreement) atau saksi (Kreditor kedua hadir), kecuali diakui oleh Debitor’;

“Menimbang, bahwa dengan demikian untuk membuktikan adanya kreditor lain Pemohon harus membuktikan dengan bukti surat yaitu Loan Agreement (perjanjian hutang) atau menghadirkan Kreditor lain tersebut di persidangan sebagai saksi;

“Menimbang, bahwa oleh karena pemohon hanya mengajukan bukti surat berupa printout Sistem Layanan Informasi Keuangan dari website Otoritas Jasa Keuangan yang berisi data-data para Kreditor dari Termohon bukan akta perjanjian utang / kredit antara termohon dan kreditor lain maka bukti surat tersebut tidak memenuhi tentang adanya kreditor lain dari termohon;

Ad. 2. Debitor tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih;

“Menimbang, bahwa berdasarkan bukti-bukti sebagaimana tersebut di atas, terkait dalil adanya utang Termohon PKPU kepada Pemohon PKPU sebesar Rp. 2,533,233,702.92 Majelis Hakim menilai ketentuan Debitor tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih telah terpenuhi;

Ad. 3. Kreditor memperkirakan bahwa Debitor tidak dapat melanjutkan pembayaran utangnya;

“Menimbang, bahwa pemohon dalam permohonannya pada pada angka 11 (sebelas) menyatakan sebagai berikut :

- PEMOHON PKPU telah memberikan Teguran Hukum (Somasi) yaitu melalui Surat- Surat Peringatan sebagai berikut: ... . Bahwa atas tegoran / somasi tersebut Termohon PKPU sama sekali tidak ada itikad baik untuk membayar kewajibannya, sehingga telah terbukti bahwa Termohon PKPU sudah tidak dapat lagi melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih;

“Menimbang, bahwa ketidakmampuan seorang debitor dapat dinilai dari kondisi keuangan suatu perusahaan atau seseorang apakah lebih kecil dari nilai utang yang dimilikinya atau bagaimana kondisi bisnis yang dimilikinya apakah berjalan dengan baik atau tidak, sehingga hakim akan menilai apakah kondisi bisnis yang baik masih bisa dipertahankan untuk membayar utang yang belum lunas. Ketidakmampuan dalam pembayaran utang juga dapat dinilai oleh debitor sebagai pemilik harta benda, jadi jika kreditor menilai dibitor sudah tidak mampu untuk membayar utangnya, maka penilaian kreditor haruslah berdasarkan pada financial audit dan bukan atas pertimbangan subyektif semata berupa somasi / tegoran yang telah dilakukan oleh Pemohon. [NOTE Penulis : Bagaimana caranya, bilamana debitor tidak beritikad baik untuk secara sukarela dibiarkan “dapur”-nya diudit oleh pihak eksternal? Bagaimana bila debitor ingkar janji untuk menyerahkan laporan keuangan secara rutin kepada kreditornya? Itu sama artinya bergantung kepada itikad debitor.]

“Menimbang, bahwa oleh karena selama persidangan pemohon tidak membuktikan adanya financial audit yang menunjukkan adanya data-data keuangan yang mendukung perkiraan bahwa Debitor tidak dapat melanjutkan pembayaran utangnya sebagaimana tersebut diatas yang merupakan penilaian subyektif dari pemohon sehingga pemohon belum bisa memperkirakan apakah debitor tidak dapat melanjutkan pembayaran utangnya;

Ad. 4. Terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana;

“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan diatas bahwa ternyata pemohon tidak dapat membuktikan adanya Kreditor Lain yang juga mempunyai tagihan sebagaimana yang didalilkan oleh pemohon tidak terpenuhi, maka “fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana” tidak terpenuhi pula;

“Menimbang, bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum sebagaimana tersebut di atas, Majelis Hakim berpendapat permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang dari Pemohon tidak memenuhi ketentuan Pasal 222 ayat (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, sehingga berdasarkan Pasal 225 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, sehingga permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang sementara dari Pemohon harus ditolak;

MENGADI L I :

 M E N G A D I L I :

1. Menolak permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dari Pemohon tersebut;

2. Menghukum Pemohon untuk membayar biaya perkara;”

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.