Semua Perjanjian Investasi Modal Usaha (Pasti) Diperjanjikan
dan Menyepekati bahwa Peminjam Modal Investasi akan Mengembalikan dan Melunasi
Pinjaman Modal Usahanya
Tidak Ada Investor Pemilik Modal Usaha yang Membuat
Perjanjian bahwa Penerima Modal Investasinya akan MENGGELAPKAN Modal
Pinjamannya
Menggelapkan artinya Menyimpang dari Itikad Baik serta juga Menyimpangi Perjanjian dengan Itikad Buruk = PERBUATAN MELAWAN HUKUM
Question: Apakah suatu hubungan hukum keperdataan kontraktual, yang maksudnya bermula dari suatu perikatan perdata berupa perjanjian kerjasama, bisnis, jual-beli, investasi, atau apapun itu, dapat bermuara pada gugatan “perbuatan melawan hukum” (PMH) tidak lagi murni sebagai “wanprestasi”, ketika salah satu pihak yang bersepakat dalam perjanjian tersebut memiliki itikad tidak baik terhadap pihak lainnya dalam perjanjian demikian? Apa betul, ada teori ataupun pandangan akademisi dibidang hukum, yang mengatakan bahwa suatu “perbuatan melawan hukum” terjadi tanpa adanya kesepakatan ataupun perjanjian antara kedua belah pihak yang saling bersengketa ini?
Brief Answer: Sudah menjadi hal lumrah dewasa ini, dimana
bahkan berbagai preseden (best practice)
peradilan hingga Mahkamah Agung di Indonesia secara kontemporer tidak lagi
membuat garis pemisah yang tegas antara “wanprestasi” maupun “perbuatan melawan
hukum” ketika salah satu pihak dalam hubungan hukum kontraktual demikian telah
ternyata dapat dibuktikan memiliki itikad buruk (berupa kesengajaan maupun
penyalahgunaan kepercayaan) yang mana jelas-jelas akan dapat merugikan pihak
lainnya.
Perihal ada atau tidaknya perjanjian yang
mendahului dan “perbuatan melawan hukum” yang menyusul kemudian, dapat
dikatakan bahwa bilamana dalam peristiwa hukum “perbuatan melawan hukum”
didahului oleh adanya suatu relasi atau hubungan hukum kontraktual semisal
perjanjian antara kedua belah pihak yang saling bersepakat untuk sewa-menyewa
kendaraan, pinjam-meminjam modal investasi, jasa ekspedisi, sewa-menyewa
gudang, dan sebagainya, maka dapat dikatakan bahwa salah satu pihak dengan
itikad buruk telah melakukan penyimpangan atau menyimpangi perjanjian dimaksud,
karenanya sifat pelanggarannya bukan lagi derajat “wanprestasi” (sekadar cidera
janji alias gagal berprestasi), namun derajat pelanggaran yang sifatnya lebih
tinggi yakni “perbuatan melawan hukum” (adanya niat buruk untuk mengingkari
janji) dimana pihak yang dirugikan (Penggugat) berhak menuntut bukan hanya
ganti-kerugian materiil, namun juga ganti-kerugian immateriil alias kerugian
moril.
Secara singkat, “akal sehat milik orang sehat” (common sense) telah mampu menjawabnya
sehingga sejatinya tidak lagi perlu diperdebatkan. Sebagai contoh, dalam relasi
atau hubungan hukum sewa-menyewa kendaraan rental antara pihak rental (pemilik
mobil sewaan) dan pihak penyewa mobil rental, pastilah disepakati atau
diperjanjikan bahwa pihak penyewa mobil rental akan mengembalikan kendaraan
sewaan yang ia sewa kepada pihak rental pada tanggal sekian. Tidak akan pernah
ada suatu perjanjian sewa kendaraan rental dimana pihak pemilik mobil rental
dan pihak penyewa mobil rental bersepakat bahwa sang penyewa akan MENGGELAPKAN
objek kendaraan rental pada tanggal sekian, sehingga perbuatan penyewa
kendaraan yang menyimpangi kesepakatan dengan itikad buruk demikian digolongkan
sebagai “perbuatan melawan hukum”, bukan lagi sekadar “wanprestasi”
belaka—derajat kesalahan atau pelanggarannya jauh lebih berat dari sekadar
ingkar janji atau ketidak-mampuan belaka.
Contoh lainnya, dalam suatu perjanjian lisensi
paten yang notabene hanya memberikan izin penggunaan teknologi yang dipatenkan
kepada penerima lisensi, sementara itu pemegang paten masih menjadi pemilik
paten, baik itu eksklusif—dimana pemberi lisensi hanya dapat memberikan lisensi
kepada satu penerima lisensi dan atau dalam wilayah tertentu—maupun “non-eksklusif”—dimana
pemberi lisensi dapat memberikan lisensinya kepada beberapa penerima lisensi
dan atau dalam beberapa wilayah—ternyata dalam perjalanannya, sekalipun
Undang-Undang tentang Paten telah mengatur bahwa “hak moral” tetap melekat pada
pihak inventor, pihak penerima lisensi kemudian melanggar ketentuan perihal
“hak moral” sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Paten, maka perbuatan semacam
demikian masuk dalam kriteria “perbuatan melawan hukum” sekalipun pihak pemberi
paten selaku inventor memiliki hubungan hukum perjanjian lisensi dengan sang
penerima lisensi.
Begitupula ketika lisensi paten yang berupa perjanjian
tertulis menyepakati bahwa penerima lisensi berhak menggunakan paten dalam jangka
waktu dan syarat tertentu, akan tetapi selewat berakhirnya perjanjian lisensi
paten, pihak mantan penerima lisensi tetap menggunakannya secara melawan hukum,
maka perbuatan demikian tergolong sebagai “perbuatan melawan hukum”, mengingat
bukan hanya perjanjian yang telah dilanggar akan tetapi juga norma hukum
peraturan perundang-undangan (hukum positif)—mengingat pula secara doktrin text-book ilmu hukum diuraikan
bahwasannya perikatan perdata dapat terjadi baik karena undang-undang
keperdataan yang mengatur relasi antar manusia, karena perjanjian yang
disepakati oleh kedua belah pihak atau lebih, maupun perpaduan antara keduanya
seperti contoh perjanjian lisensi paten di atas.
PEMBAHASAN:
Jawaban paling sederhananya
ialah dengan menjawab pertanyaan singkat berikut : Bilamana seorang penerima
modal investasi, berbekal dengan dikantunginya perjanjian investasi yang telah
ditanda-tangani oleh sang investor dan sang penerima modal investasi, maka
apakah artinya sang penerima modal investasi menjadi bebas sebebas-bebasnya
untuk dikemudian hari menggelapkan dana investasi yang ditanamkan serta dipercayakan
oleh sang investor untuk dikelola secara baik sebagaimana iming-iming / janji-janji
pihak penerima modal usaha? Itulah yang disebut sebagai menyalahgunakan
perjanjian dan menjadikannya sebagai alibi (contract
as a tool of crime) untuk
melakukan “kejahatan secara perdata”—kejahatan dalam ruang lingkup perdata
inilah, yang tepatnya, disebut atau dikenal dengan istilah “perbuatan melawan
hukum”.
Betul bahwa, sebagai ilustrasi
dalam hubungan hukum sewa-menyewa kendaraan, pihak pemberi sewa dan pihak
penyewa ada terikat pada suatu perjanjian kontraktual. Namun, tidak menurut
sifatnya pihak pemberi sewa atau pemilik objek kendaraan sewa akan menyetujui
ataupun saling bersepakat bahwasannya sang penerima sewa atau penyewa akan
menggelapkan objek sewa. Merupakan “nature”
kepentingan dari suatu perjanjian pinjam-meminjam ataupun sewa-menyewa, bahwa
pihak penerima pinjaman baik itu berwujud dana ataupun berupa barang, untuk
mengembalikan objek pinjaman. Karenanya, adalah “ada diperjanjikan”
pengembalian barang oleh pihak peminjam, namun disaat bersamaan “tidak ada
diperjanjikan” bahwa sang peminjam akan menggelapkan objek sewa ataupun dana pinjaman
tersebut.
Suatu hubungan hukum
kontraktual tidak selalu linear dengan “wanperstasi”, namun juga dapat berjalan
secara paralel menjurus terjadinya “perbuatan melawan hukum” bilamana hubungan
hukum antara para pihak kemudian “dikotori” oleh anasir perbuatan yang sifatnya
melawan hukum (adanya itikad tidak baik dari salah satu pihak yang terlibat
dalam kesepakatan / perjanjian dimaksud). Lantas, kapankah suatu relasi atau
hubungan hukum perdata kontraktual yang murni perjanjian (prestasi dan
wanprestasi) dapat secara atau “demi hukum” (by law) menjelma “perbuatan melawan hukum”? Bila seorang debitor
peminjam modal usaha mengalami kerugian pada usaha yang dimodali, sekalipun
modal digunakan sesuai maksud dan tujuannya semula, maka gagal bayar sang
debitor adalah murni “wanprestasi”—tidak ada niat jahat, murni gagal
berprestasi.
Akan tetapi ketika skenario
kejadian yang terjadi ialah, sang debitor menyalahgunakan kepercayaan serta menyalahgunakan
modal usaha yang dipinjamkan oleh investor ataupun kreditornya, semisal dipakai
untuk hal-hal lain yang tidak terkait bidang usaha yang dimodali oleh sang
investor, konstruksi perbuatan hukum oleh sang debitor demikian merupakan
“perbuatan melawan hukum”. Terdapat beberapa kemungkinan dengan rincian
kombinasi sebagai berikut, dimana pada prinsipnya itikad baik dalam relasi
kontraktual harus ada (serta harus dapat dibuktikan) pada kedua belah pihak
sebelum, saat, maupun sesudah suatu perjanjian disepakati:
- itikad buruk sudah ada
sebelum perjanjian ditanda-tangani atau sebelum kesepakatan dibuat.
Biasanya, kejadian demikian terjadi akibat faktor niat jahat berupa
tipu-muslihat. Sebagai contoh, seseorang mengaku-ngaku memiliki lahan tambang produktif
yang butuh suntikan modal usaha, lalu yang bersangkutan mencari calon investor
yang menjadi tertarik minatnya untuk berinvestasi pada tambang yang diklaim
milik sang pemberi tawaran investasi. Telah ternyata, dikemudian hari ketika
dana investasi telah dikucurkan, barulah diketahui bahwa tambang tersebut
bukanlah milik sang penerima dana investasi, namun milik pihak ketiga. Setelah
sang investor mempidana “penipuan” sang debitor, maka sang investor dapat
menggugat ganti-kerugian berupa tuntutan pengembalian modal usaha lengkap
dengan bagi hasil usaha yang sebelumnya diiming-imingi / dijanjikan oleh sang
debitor berdasarkan perjanjian investasi dimaksud, disertai potensi tuntutan
ganti-kerugian immateriil, dalam kemasan gugatan “perbuatan melawan hukum”.
- itikad buruk muncul saat
perjanjian disepakati. Semisal niat jahat belum muncul pada salah satu
pihak saat kerjasama bisnis akan disepakati dan baru sebatas penjajakan. Akan
tetapi saat perjanjian akan ditanda-tangani, ia sadar bahwa dirinya akan
terjerumus dalam cidera janji melunasi mengingat izin usaha pabriknya akan
habis dan tidak dapat diperpanjang sehingga dapat diprediksi akan merugikan
pihak investor, sekalipun saat penjajakan kerjasama izin operasional pabriknya
masih berlaku. Maka, mengingat dari sejak sedari awal pihak investor mengatahui
bahwa debitornya dapat dipastikan akan cidera janji melunasi akibat pabrik yang
diberi suntikan modal usaha tidak dapat beroperasi, ia tidak akan menyerahkan
sejumlah modal usaha, maka cidera janji melunasi pada muaranya naik derajat
menjelma “perbuatan melawan hukum” akibat faktor ketidakjujuran /
ketidakterbukaan pihak penerima modal usaha. Contoh lainnya ialah tidak
diberikannya laporan keuangan secara rutin sebagaimana diperjanjikan sang
debitor, maka faktor tiadanya akuntabilitas maupun transparansi juga merupakan
indikator konkret telah terjadinya suatu “perbuatan melawan hukum”.
- itikad tidak baik muncul /
terbit saat berlangsungnya perjanjian, dan inilah yang paling kerap terjadi
dalam praktik. Semisal salah satu pihak beritikad buruk membatalkan kontrak
secara sepihak, menurut preseden / yurisprudensi tetap Mahkamah Agung RI
perbuatan demikian dinyatakan sebagai “perbuatan melawan hukum” alih-alih
“wanprestasi”. Begitupula ketika modal usaha pinjaman milik investor telah
ternyata digelapkan oleh debitornya untuk keperluan pribadi, maka kerugian
investornya yang gagal mendapatkan kembali modal usaha lengkap dengan bagi
hasil usaha yang sejak semula diiming-imingi oleh debitornya tersebut dapat
dituntut pemenuhannya lewat gugatan dengan kriteria “perbuatan melawan hukum”.
- itikad tidak baik terjadi
setelah perjanjian berakhir, entah berakhir karena lewatnya masa berlaku
perjanjian maupun saat jatuh tempo hutang terlampaui. Sebagai contoh, setelah
masa sewa berakhir, penyewa rumah ataupun peminjam kendaraan rental tidak
kunjung mengembalikannya kepada pihak pemilik objek sewa. Begitupula ketika
seorang penerima lisensi kekayaan intelektual, telah ternyata masih menggunakan
kekayaan intelektual untuk keuntungan pribadi sekalipun perjanjian lisensi
telah berakhir sehingga jelas-jelas menerbitkan kerugian bagi pihak pemilik
kekayaan intelektual. Jika sang penyewa mengembalikan objek sewa sesuai masa
berlakunya perjanjian, namun cidera janji membayar biaya sewa, itu menjadi
domain gugatan “wanprestasi”. Namun bila ternyata sang penyewa menggelapkan
objek sewa, dalam artian membawa kabur objek kendaraan, maka itu jelas menjadi
domain “perbuatan melawan hukum”.
Lantas, dalam pokok tuntutan
pada surat gugatan (petitum), apakah
menjadi tampak kontradiktif ketika pihak Penggugat dalam salah satu butir petitum-nya meminta hakim selain
menyatakan bahwa pihak Tergugat telah melakukan “perbuatan melawan hukum”,
perintah dihukum untuk membayar ganti-rugi, juga agar pengadilan menyatakan
bahwa perjanjian pinjam-meminjam atau investasi yang mengatur pihak Penggugat
dan Tergugat adalah sah serta mengikat? Jawabannya ialah tidak terdapat
kontradiksi, mengingat relasi atau hubungan hukum keperdataan kontraktual dapat
menjelma “perbuatan melawan hukum”, adanya tuntutan berupa ganti-kerugian
berupa pengembalian modal / dana pinjaman lengkap dengan bunga / bagi hasil
usaha yang diperjanjikan, disamping menunjukkan kepada Majelis Hakim pemeriksa
serta pemutus perkara perihal adanya “alas hak” (dasar keberadaan) yang
mendahului sengketa gugat-menggugat ini.
Semisal pada konstruksi kasus
tindak pidana penggelapan yang berbuntut gugatan “perbuatan melawan hukum”
terhadap pihak yang menggelapkan, pertanyaannya ialah “apa yang telah
digelapkan”? Jika yang digelapkan ialah objek kendaraan sewa, maka perlu
dinyatakan sah dan mengikat perjanjian sewa-menyewa kendaraan rental. Jika
objek yang digelapkan ialah berupa dana modal usaha, maka perlu dinyatakan sah
dan mengingat perjanjian modal usaha antara pihak yang saling bersengketa ini.
Tidak mungkin kasus semacam tindak pidana penggelapan, dapat terjadi suatu aksi
kejahatan berupa penggelapan tanpa adanya relasi hukum yang mendahuluinya—yakni
berupa relasi hukum sewa-menyewa ataupun pinjam-meminjam. Terkait apa yang
telah digelapkan, itulah yang tepatnya disebut sebagai “konsekuensi logis”
serta “konsekuensi yuridis” yang menyertainya.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.