Tarik-Menarik Keadilan bagi KORBAN Vs. Kepentingan PELAKU KEJAHATAN (TERDAKWA)
Tentu kita publik di Indonesia masih ingat kejadian yang menimpa seorang mantan penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi bernama Novel Baswedan, yang satu bola mata sebagai indera penglihatannya rusak permanen untuk sepenuhnya sementara itu satu bola mata lainnya mengalami kerusakan permanan untuk separuhnya, akibat secara jahat dan disengaja yang tentunya juga direncanakan oleh pelakunya menggunakan “air keras” yang disiram ke arah wajah sang pemberantas korupsi. Sekalipun Novel Baswedan menderita untuk seumur hidupnya akibat kebutaan permanen, pada saat ulasan ini disusun bisa jadi para pelakunya telah dibebaskan dari penjara mengingat hanya dijatuhi vonis pidana penjara dua tahun sekian bulan oleh Majelis Hakim di pengadilan—belum lagi mendapat pembebasan bersyarat, obral remisi, cuti masa hukuman, diskon masa hukuman pada hari raya negara maupun hari raya keagamaan, dan lain sebagainya.
Menurut para pembaca, telah
divonis pidananya para pelaku penyiraman “air keras” ke wajah Novel Baswedan,
selama kurang dari tiga tahun penjara sekalipun korbannya menderita kebutaan
serta trauma untuk seumur hidupnya (permanen), menjadi keadilan bagi korban
kejahatan dan juga memberikan “efek jera” atau penjeraan bagi sang pelaku
kejahatan maupun bagi kalangan para calon kriminil lainnya? Dalam pandangan
pribadi penulis, pemidanaan terhadap para pelaku kejahatan yang merusak “jendela
dunia” (indera penglihatan) Novel Baswedan dan mengancam keselamatan beliau
lewat penyiraman “air keras” secara disengaja ke arah wajah, namun hanya
diganjar hukuman berupa vonis pidana penjara dua tahun beberapa bulan, merupakan
bentuk penjeraan bagi KORBAN, bukan penjeraan bagi sang pelaku kejahatan.
Kita juga mengetahui atau
bahkan telah pernah dan kerap mengalami sendiri, pihak aparatur penegak hukum lebih
banyak melakoni “PHP” (alias “Pemberi Harapan Palsu”) dalam artian memonopoli
penegakan hukum pidana serta memonopoli akses keadilan menuju peradilan pidana,
namun lebih kerap mengabaikan serta menelantarkan aduan ataupun laporan korban
pelapor sekalipun itu merupakan kewajiban dan tanggung-jawab profesinya. Fenomena
abai serta penelantaran aparatur penegak hukum terhadap aduan / laporan warga,
bukan lagi sekadar “justice delay is justice denied”, namun merampas
hak-hak korban pelapor—seakan-akan negara memelihara serta melestarikan para
kriminil untuk berkeliaran di jalan-jalan umum lewat pembiaran—sama artinya aparatur
penegak hukum selama ini memberikan “efek jera” serta penjeraan bagi masyarakat
umum sehingga jera menjadi korban kejahatan alih-alih membuat jera dan
menjerakan para kalangan kriminil.
Banyak kalangan pemerhati hukum
maupun sosial, yang apatis bahkan mencibir vonis berat bagi pelaku kejahatan
korupsi seperti vonis hukuman mati, sebagai tidak efektif membuat jera para
koruptor di negara-negara yang menerapkan hukuman mati bagi koruptor. Bukanlah itu
sasaran utama dibalik vonis pemidanaan bila kita memandangnya secara falsafah
pemidanaan, mengingat bilamana vonis hukuman bagi pelaku korupsi diterapkan
secara rendah, ringan, dan lemah, sebagaimana slogan klise “tumpul ke atas dan
tajam ke bawah”, maka yang menjadi jera dan dijerakan ialah rakyat luas (jera
menjadi rakyat sipil yang tidak berkuasa) sementara itu disaat bersamaan
tidak membuat jera para pelaku korupsi—bahkan mempromosikan aksi korupsi bagi
para penyelenggara negara sebagai “harga” dibalik vonis yang ringan bagi
kalangan koruptor. Karenanya, hakim saat memutus perkara pidana, sejatinya
sedang mengkampanyekan suatu idealisme : penjeraan bagi korban ataukah
penjeraan bagi pelaku kejahatan.
Pemidanaan dapat menyerupai
perumpamaan sebuah pedang bermata dua, ketika sisi mata pedang bagian depan ternyata
tumpul adanya, maka mata pedang di sisi belakang dapat demikian tajam dan
melukai korban, sehingga korban menjadi menderita luka serta dirugikan untuk kali
keduanya atau untuk kesekian kalinya. Karenanya, kebijakan terkait penalisasi (penal policy), perlu mengingat serta
mempetimbangkan faktor “bumerang efek” bagi kepentingan kalangan korban itu
sendiri sebagai salah satu stakeholder
yang berkepentingan atas tegaknya hukum pidana, tidak melulu berbicara perihal “ultimum remedium” ataupun “keadilan
restoratif” maupun kebijakan “obral remisi” serta “umbar pembebasan bersyarat”
dalam rangka mengatasi isu klasik “over
capacity” tingkat penghunian lembaga pemasyarakatan kita—negara “agamais”
yang tidak pernah kekurangan penjahat ataupun kalangan penipu dan penganiaya.
Praktik pada berbagai lembaga
penegakan hukum maupun peradilan kita di Indonesia, masih menggunakan “perspektif
pelaku” alih-alih menggunakan pendekatan “perspektif korban”. Sebagai contoh,
seorang Terdakwa dalam proses persidangan di pengadilan pidana, dapat dan boleh
didampingi penasehat hukum untuk melakukan pembelaan diri. Sementara itu,
korban hanya tampil satu kali di depan persidangan selaku “saksi korban” tanpa
diberi hak untuk menuntut ataupun menyewa penasehat hukum dalam rangka
memastikan dakwaan, tuntutan, serta vonis yang patut dan layak bagi sang pelaku
kejahatan—contoh paling sederhananya ialah perihal tuntutan, selama ini menjadi
monopolistik-sepihak lembaga Kejaksaan untuk menetapkan berapakah vonis hukuman
penjara yang dimohonkan kepada hakim untuk diputuskan sebagai “punishment” bagi sang pelaku, tanpa mengakomodir
keterlibatan ataupun partisipasi yang substansial dari pihak korban.
Kepentingan pelaku kejahatan
maupun Terdakwa, ialah dihukum seringan-ringannya, jika perlu dibebaskan dari hukuman.
Adapun kepentingan kalangan korban, selalu bertolak-belakang dari kepentingan
sang pelaku kejahatan, yakni vonis seberat-beratnya bagi sang pelaku. Karenanya,
tarik-menarik kepentingan demikian, mengingat kepentingan Terdakwa telah
didampingi pengacara untuk melakukan pembelaan, maka korban pun sejatinya
memiliki hak yang sama untuk melakukan penuntutan atau setidaknya
kepentingannya diakomodir oleh Jaksa Penuntut Umum selayaknya “pengacara bagi
sang korban”.
Singkatnya, tidak bisa tidak, Jaksa
Penuntut Umum harus berpihak pada kepentingan korban, sementara itu perihal
berat atau ringannya atau besarnya vonis hukuman bagi sang pelaku, menjadi
domain kewenangan hakim pemeriksa dan pemutus perkara. Namun setidaknya,
tarik-menarik kepentingan perlu mengakomodir aspirasi serta tuntutan keadilan
pihak korban, agar peradilan pidana tidak menjadi sebentuk “penjeraan bagi
korban” alih-alih menjerakan sang pelaku kejahatan. Karena itulah, Jaksa
Penuntut Umum memiliki kewajiban hukum maupun kewajiban moral untuk menuntut seberat-beratnya
sang Terdakwa yang didakwa serta dituntut di depan persidangan.
Secara normatif, fenomena keganjilan
tuntutan yang ringan oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap Terdakwa, bukanlah kejadian
baru, dimana sekalipun Majelis Hakim pada Pengadilan Negeri dikemudian hari
telah ternyata menjatuhkan vonis sedikit lebih tinggi daripada tuntutan Jaksa
Penuntut Umum, maka apakah dapat dibenarkan baik menurut logika maupun hukum, bilamana
pihak lembaga Kejaksaan masih juga mengajukan upaya hukum Banding ataupun Kasasi,
sekalipun besaran vonis hukuman hakim pada Pengadilan Negeri sudah mengakomodir
bahkan lebih besar atau melampaui daripada apa yang dituntut oleh Jaksa
Penuntut Umum?
Pernah terjadi, seorang Klien selaku
korban pelapor kasus penipuan, dalam sesi konsultasi hukum yang penulis bawakan,
mengeluhkan praktik di Kejaksaan Negeri dimana pelaku kejahatan yang ia
laporkan, dituntut “lepas demi hukum” (onslag)
oleh pihak Jaksa Penuntut Umum, dimana Majelis Hakim pada Pengadilan Negeri
memvonis pidana penjara sekian tahun bagi sang Terdakwa karena terbukti telah melakukan
tindak pidana penipuan, sementara itu dalam tingkat banding Pengadilan Tinggi menganulir
putusan Pengadilan Negeri dan membuat putusan yang sesuai dengan tuntutan Jaksa
Penuntut Umum, yakni “lepas demi hukum”. Pertanyaan sang Klien ialah, bagaimana
mungkin Kejaksaan akan mengajukan upaya hukum kasasi, sementara itu Jaksa
Penuntut Umum menuntut “lepas demi hukum” dimana sudah dikabulkan sepenuhnya
oleh Pengadilan Tinggi? Itulah pertanyaan salah satu Klien, yang tidak sanggup
penulis jawab, bahkan hingga saat kini.
Baru-baru ini detikNews merilis
berita dengan tajuk “Jaksa Agung, Perintahkan Banding Vonis 10 Bulan Pemerkosa
di Lahat”, 08 Jan 2023, yang mengangkat viralnya vonis kasus pemerkosaan
terhadap anak di bawah umur di Lahat, Sumatera Selatan, yaitu 10 bulan penjara,
dimana dua pelaku berinisial OH (17) dan MAP (17) divonis 10 bulan penjara karena
telah memperkosa pelajar SMA AAP di Lahat, Sumsel. Sementara satu tersangka
lainnya, berinisial GA (18), masih dalam tahap penyidikan oleh Polres Lahat.
Yang unik dalam kasus tersebut,
pihak Jaksa Penuntut Umum menuntut tersangka dengan hukuman 7 bulan, dimana
terhadapnya hakim Pengadilan Negeri Lahat divonis lebih tinggi dari tuntutan
jaksa, yaitu 10 bulan penjara. Pihak keluarga korban mempertanyakan, meski
vonis tersebut lebih tinggi dari apa yang menjadi tuntutan jaksa, namun apakah hukuman
tersebut dinilai masih belum memberikan keadilan bagi keluarga korban? Pihak keluarga
mendorong dimajukannya upaya hukum Banding untuk diajukan Kejaksaan, meskipun tampak
“ganjil” mengingat tuntutan 7 bulan telah dikabulkan hakim, bahkan vonisnya
lebih tinggi dari tuntutan hakim.
Terdapat disparitas yang
demikian senjang antara tuntutan 7 bulan yang diajukan jaksa berbanding ancaman
hukuman yang diatur dalam Undang-Undang Peradilan Anak berupa sanksi maksimal
ancaman hukuman 15 tahun, dimana kedua pelaku divonis 10 bulan oleh Pengadilan
Negeri Lahat. Adapun para pelakunya, sudah berusia 17 tahun dimana secara fisik
sudah sebesar orang dewasa—meski menurut sudut pandang hukum seseorang dengan
usia dibawah 18 tahun masih dianggap “dibawah umur”. “Saya orang tua korban pemerkosaan dan tindak kekerasan, hukuman ini tidak
sebanding dengan penderitaan dan akibatnya terhadap anak saya, trauma seumur
hidup,” tutur ayah korban, Wantok (5/1/2023).
A (17), siswi SMA di Lahat,
Sumatera Selatan, yang menjadi korban pemerkosaan tiga siswa SMA dan SMP
mengalami trauma berat. Terlebih ia mendengar dua pelaku di antaranya
mendapat vonis hanya 10 bulan penjara. Seorang pejabat dari Kepala Dinas
Perlindungan Anak, Henny, menilai vonis yang rendah terhadap pelaku kejahatan
seksuil dikhawatirkan akan meningkatkan kasus serupa, terutama ancaman nyata bagi
kalangan anak-anak. Meski putusan hakim mempertimbangkan usia pelaku yang dibawah
umur, tapi mereka tetap bisa melanjutkan pendidikan di lembaga pemasyarakatan
dan bisa meneruskan hidupnya dengan normal setelah keluar penjara. “Sementara bagi korban, mereka akan
menderita seumur hidupnya, jangan kan untuk sekolah, keluar rumah saja
takut. Itu mesti jadi pertimbangan utama hakim,” menurutnya.
Perkosaan tersebut dialami
korban di sebuah indekos di Lahat pada 29 Oktober 2022. Korban dikurung oleh
tiga pelaku dan diperkosa secara bergantian. Ketiganya pun melakukan kekerasan
fisik terhadap korban karena melawan dan menangis saat diperkosa. Adapun yang
menjadi komentar para netizen, dapat penulis himpun dengan kutipan sebagai
berikut:
Negara yang beritanya hanya
bisa mengelus dada setiap hari.
===
Palingan itu Kejari dan
anggotanya bagian dr komunitas pemerkosaan makanya seenaknya aja bikin tuntutan
7 bulan. Dan biar terkesan adil, si hakim ngasih vonis 10 bln, diatas tuntutan
jaksa. Indonesia negara hukum??? Bukan.... INDONESIA ITU NEGARA PENJAHAT.
===
Itulah namanya ketololan hqq
pendidikan tinggi tp pikiran pendek.
===
Coba klo ga viral paling ya
kipas² kajarinya.
===
Harusnya kasus pemerkosaan ini
hukumannya berat, setingkat dibawah pembunuhan, karena dampak psikisnya berat
sekali, bukan cuma 10 bulan penjara seperti kasus penipuan atau maling ayam aja
nih hakim dan jaksanya.
Perihal “efek jera”, juga dibahas oleh Sang Buddha dalam “Aṅguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”,
diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom
Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta
Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, dimana penghukuman / penjeraan
yang efektif bagi pelakunya dapat menjadi penjeraan bagi para calon kriminil
lainnya, dengan kutipan khotbah sebagai berikut:
244 (2) Pelanggaran
“Para bhikkhu, ada empat bahaya
dari pelanggaran-pelanggaran ini. Apakah empat ini?
(1) “Misalkan, para bhikkhu,
mereka menangkap seorang pencuri, seorang kriminal, dan membawanya ke hadapan
raja, dengan berkata: ‘Baginda, orang ini adalah seorang pencuri, seorang
kriminal. Silakan Baginda menjatuhkan hukuman padanya.’ Sang raja akan berkata
kepada mereka: ‘Pergilah, kalian, dan ikat lengan orang ini erat-erat di
punggungnya dengan tali yang kuat, cukur rambutnya, dan bawa dia berkeliling
dari jalan ke jalan, dari lapangan ke lapangan, dengan tabuhan genderang yang
menakutkan. Kemudian bawa ia melalui gerbang selatan dan penggal kepalanya di
selatan kota.’ Orang-orang sang raja melakukan sesuai apa yang diperintahkan
dan memenggal kepala orang itu di selatan kota. Seseorang yang berdiri di
pinggir akan berpikir: ‘Sungguh, orang ini pasti telah melakukan perbuatan
jahat, yang tercela, yang patut dihukum dengan penggalan kepala, karena
orang-orang sang raja mengikat lengannya erat-erat di punggungnya dengan tali
yang kuat … dan memenggal kepalanya di selatan kota. Sungguh, aku tidak akan
melakukan perbuatan jahat demikian, yang tercela, yang patut dihukum dengan
penggalan kepala.’
“Demikian pula, ketika seorang
bhikkhu atau bhikkhunī telah menegakkan persepsi mendalam pada bahaya
sehubungan dengan pelanggaran-pelanggaran pārājika, maka dapat
diharapkan bahwa seseorang yang belum pernah melakukan suatu pelanggaran
pārājika tidak akan melakukannya; dan seorang yang telah melakukan
pelanggaran demikian akan melakukan perbaikan sesuai Dhamma.
[Keterangan : Pārājika adalah kelompok pelanggaran
yang paling berat. Untuk para bhikkhu, kelompok ini terdiri dari empat
pelanggaran yang mengakibatkan pengusiran dari Saṅgha: hubungan seksual, pencurian (pada tingkat yang dapat dihukum oleh
hukum), pembunuhan manusia, dan pengakuan palsu telah mencapai kondisi melampaui
manusia dan keluhuran spiritual. Untuk para bhikkhunī terdapat empat tambahan
pārājika. Satu-satunya cara bagi seseorang yang telah melakukan salah satu dari
pelanggaran-pelanggaran ini untuk “memperbaikinya sesuai Dhamma” adalah
mengakuinya dan melepaskan status kebhikkhuannya.]
(2) “Misalkan, para bhikkhu,
seseorang membungkus dirinya dengan kain hitam, mengurai rambutnya, membawa
sebuah tongkat pemukul di bahunya, dan berkata kepada kerumunan orang:
‘Tuan-tuan, aku telah melakukan perbuatan jahat, yang tercela, layak dihukum
dengan pemukulan. Biarlah aku melakukan apa pun yang akan membuat kalian senang
padaku.’ Seseorang yang berdiri di pinggir akan berpikir: ‘Sungguh, orang ini
pasti telah melakukan perbuatan jahat, yang tercela, yang patut dihukum dengan
pemukulan, karena ia membungkus dirinya dengan kain hitam, mengurai rambutnya,
membawa sebuah tongkat pemukul di bahunya, dan berkata kepada kerumunan orang:
“Tuan-tuan, aku telah melakukan perbuatan jahat, yang tercela, layak dihukum
dengan pemukulan. Biarlah aku melakukan apa pun yang akan membuat kalian senang
padaku.” Sungguh, aku tidak akan melakukan perbuatan jahat demikian, yang
tercela, yang patut dihukum dengan pemukulan.’
“Demikian pula, ketika seorang
bhikkhu atau bhikkhunī telah menegakkan persepsi mendalam pada bahaya
sehubungan dengan pelanggaran-pelanggaran saṅghādisesa, maka dapat diharapkan bahwa seseorang yang belum pernah
melakukan suatu pelanggaran saṅghādisesa tidak akan melakukannya; dan seorang yang telah
melakukan pelanggaran demikian akan melakukan perbaikan sesuai Dhamma.
[Saṅghādisesa adalah kelompok pelanggaran terberat ke dua.
Untuk para bhikkhu, kelompok ini termasuk dengan sengaja mengeluarkan mani,
menyentuh perempuan dengan pikiran bernafsu, berbicara cabul dengan perempuan,
dan memfitnah seorang bhikkhu bermoral telah melakukan pelanggaran pārājika,
dan sebagainya. Rehabilitasinya melibatkan suatu proses yang rumit yang
memerlukan sidang resmi Saṅgha.]
(3) “Misalkan, para bhikkhu,
seseorang membungkus dirinya dengan kain hitam, mengurai rambutnya, membawa
sekarung abu di bahunya, dan berkata kepada kerumunan orang: ‘Tuan-tuan, aku
telah melakukan perbuatan jahat, yang tercela, layak dihukum dengan sekarung
abu [(perbuatannya) layak dihukum dengan karung abu yang tercela di kepalanya].
Biarlah aku melakukan apa pun yang akan membuat kalian senang padaku.’
Seseorang yang berdiri di pinggir akan berpikir: ‘Sungguh, orang ini pasti
telah melakukan perbuatan jahat, yang tercela, yang patut dihukum dengan
sekarung abu, karena ia membungkus dirinya dengan kain hitam, mengurai
rambutnya, membawa sekarung abu di bahunya, dan berkata kepada kerumunan orang:
“Tuan-tuan, aku telah melakukan perbuatan jahat, yang tercela, layak dihukum
dengan sekarung abu. Biarlah aku melakukan apa pun yang akan membuat kalian
senang padaku.” Sungguh, aku tidak akan melakukan perbuatan jahat demikian,
yang tercela, [untuk dihukum dengan] sekarung abu.’
“Demikian pula, ketika seorang
bhikkhu atau bhikkhunī telah menegakkan persepsi mendalam pada bahaya
sehubungan dengan pelanggaran-pelanggaran pācittiya, maka dapat
diharapkan bahwa seseorang yang belum pernah melakukan suatu pelanggaran pācittiya
tidak akan melakukannya; dan seorang yang telah melakukan pelanggaran
demikian akan melakukan perbaikan sesuai Dhamma.
[Pācittiya adalah kelompok pelanggaran yang dapat dimurnikan
melalui pengakuan kepada sesama bhikkhu. Diduga pelanggaran
nissaggiya-pācittiya yang juga menuntut dilepaskannya benda-benda yang tidak
selayaknya, juga termasuk dalam kategori ini.]
(4) “Misalkan, para bhikkhu,
seseorang membungkus dirinya dengan kain hitam, mengurai rambutnya, dan berkata
kepada kerumunan orang: ‘Tuan-tuan, aku telah melakukan perbuatan jahat, yang
tercela, patut dikecam. Biarlah aku melakukan apa pun yang akan membuat kalian
senang padaku.’ Seseorang yang berdiri di pinggir akan berpikir: ‘Sungguh,
orang ini pasti telah melakukan perbuatan jahat, yang tercela, patut dikecam,
karena ia membungkus dirinya dengan kain hitam, mengurai rambutnya, dan berkata
kepada kerumunan orang: “Tuan-tuan, aku telah melakukan perbuatan jahat yang
tercela, patut dikecam. Biarlah aku melakukan apa pun yang akan membuat kalian
senang padaku.” Sungguh, aku tidak akan melakukan perbuatan jahat demikian,
yang tercela, patut dikecam.’
“Demikian pula, ketika seorang
bhikkhu atau bhikkhunī telah menegakkan persepsi mendalam pada bahaya
sehubungan dengan pelanggaran-pelanggaran pāṭidesanīya, maka dapat diharapkan bahwa seseorang yang belum pernah
melakukan suatu pelanggaran pāṭidesanīya tidak akan melakukannya; dan seorang yang telah
melakukan pelanggaran demikian akan melakukan perbaikan sesuai Dhamma.
[Ini adalah kelompok
pelanggaran yang lebih ringan yang dapat dimurnikan dengan cara mengakui.]
“Ini, para bhikkhu, adalah
keempat bahaya dari pelanggaran-pelanggaran itu.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.