Resiko Dibalik Omnibus Law, Hukum menjadi Terlampau Teknokratik

OMNIBUS LAW, Model Norma Hukum yang TEKNOKRATIK, Kontra Kepentingan Rakyat

Undang-Undang OMNIBUS LAW Vs. Undang-Undang TEMATIK, manakah yang Lebih “Reader Friendly”?

Setelah penulis mencoba bersentuhan dengan membaca apa isi Undang-Undang yang disusun dan diterbitkan oleh negara secara “omnibus law”, kesan pertama serta kesan yang paling kentara penulis—dan yang juga akan masyarakat luas pada umumnya—jumpai serta temui ialah : betapa rumit dan kompleksnya norma hukum peraturan perundang-undangan yang diterbitkan pemerintah dewasa ini. Betapa tidak, Undang-Undang yang disusun dan diterbitkan secara “omnibus law” demikian adalah sarat nuasa teknokratik, seolah-olah pemerintah (bersama parlemen) membentuk serta menerbitkan “omnibus law” untuk mereka baca sendiri, bukan untuk dibaca oleh masyarakat umum meski rakyat notabene adalah subjek hukum pengemban hak dan kewajiban berdasarkan norma hukum (erga omnes).

Jujur, penulis selaku Sarjana Hukum serta praktisi hukum, merasa sangat tidak nyaman dan tidak “user friendly” mendapati Undang-Undang model penyajian ala “omnibus law”—yang mana tren saat kini di Indonesia tampaknya berbagai peraturan perundang-undangan dibentuk oleh pemerintah dengan metode demikian, mulai dari perpajakan, sektor keuangan, hingga niaga—alias tidak dilandasi semangat keberpihakan terhadap rakyat umum selaku pengemban hukum yang dibebani aturan-aturan demikian secara “top to down”. Betapa tidak, kesan teknokratik Undang-Undang model “omnibus law” dicirikan oleh ciri khas berikut ini : Pertama, tebal serta “gemuk”, dimana satu Undang-Undang dapat berisi ratusan hingga ribuan halaman, ratusan hingga ribuan pasal dan ayat. Kedua, “gado-gado”, dalam artian dalam satu Undang-Undang dapat memuat begitu banyak bidang aspek hukum yang diaturnya ala “kodifikasi parsial tertutup”. Ketiga, pemerintah bersikap seolah-olah masyarakat kita “kurang kerjaan”. Keempat, tiada tema yang jelas, seolah-olah masyarakat punya banyak waktu untuk membaca dan memahaminya.

Sebelum diperkenalkannya Undang-Undang ala “ombibus law”, bila kita hendak mencari tahu aturan hukum perihal kehutanan, cukup merujuk pada Undang-Undang tentang Kehutanan. Mencari tahu perihal perikanan, dapat merujuk langsung pada Undang-Undang Perikanan. Peternakan, ada Undang-Undang Peternakan. Perkebunan, ada Undang-Undang Perkebunan. Kontraktor, ada Undang-Undang Jasa Konstruksi, dan lain sebagainya. Model peraturan perundang-undangan yang bersifat “tematik”, dalam hal ini Undang-Undang ala “kodifikasi parsial terbuka”, yang disusun dan dibentuk untuk sebatas satu tema tertentu, adalah lebih efektif dan lebih efisien, mengingat bila seseorang warga selaku subjek pengemban hukum hendak mencari tahu, mengetahui, dan mendalami suatu peraturan yang mengatur terkait perkoperasian, sebagai contoh, maka cukup mencari payung hukum induknya pada Undang-Undang tentang Koperasi.

Namun siapa yang tahu, bahwa telah ternyata dalam Undang-Undang Cipta Kerja yang dibentuk dengan metode “omnibus law” juga mengatur sebagian kecil pasal terkait koperasi? Untuk apa juga seorang warga harus menghabiskan waktu demikian banyak, membaca halaman per halaman Undang-Undang “omnibus law” berisi seribu halaman, hanya untuk mencari tahu apakah ada diatur tentang koperasi didalamnya? Jangankan orang awam hukum, Sarjana Hukum sekalipun, tidak terkecuali penulis secara pribadi, malas dan enggan membaca Undang-Undang yang disusun secara “omnibus law”.

Bagaimana pula pemerintah hendak berdelusi, bahwa masyarakat umum akan meningkat kepatuhannya terhadap hukum, bilamana membaca Undang-Undang saja kini demikian menjelma merepotkan, menjenuhkan, meletihkan, merumitkan, alias siksaan itu sendiri, seolah-olah masyarakat kita punya begitu banyak waktu tidak berharga untuk dibuang-buang dengan membaca Undang-Undang model “omnibus law” demikian? Pemerintah seolah hendak bermain teka-teki dengan rakyatnya, sebagai contoh apakah ada diatur perihal badan usaha firma dalam Undang-Undang Cipta Kerja? Bila ternyata setelah dibaca secara keseluruhannya dengan meluangkan tidak sedikit waktu, telah ternyata tidak diatur perihal badan usaha berbentuk firma, maka itu adalah wujud “korupsi waktu” oleh pemerintah terhadap rakyat luas, alias pemborosan itu sendiri. Jangankan pelaku usaha kita hendak berkompetisi dengan investor asing, mereka akan “wasting time” membaca Undang-Undang ala “omnibus law” untuk kemudian mendapati kesia-siaan.

Karena masyarakat enggan dan tidak menjadi berminat membaca Undang-Undang ala “omnibus law”, maka yang kemudian terjadi ialah pemerintah harus membayar mahal dengan minimnya kepatuhan masyarakat ataupun aparatur penegak hukum untuk menegakkan dan mendukung terselenggaranya hukum yang diatur oleh suatu Undang-Undang ala “omnibus law”. Akibat selanjutnya sebagai efek berantai, reputasi atau wibawa hukum dalam hal ini dipertaruhkan, namun tidak sebanding dengan resiko yang dihadapi oleh negara. Ketika masyarakat tidak turut merasa “memiliki” atas Undang-Undang ala “omnibus law”, bahkan merasa dibebani dan antipati-sinisme terhadap Undang-Undang ala “omnibus law”, maka negara ini hendak dibawa kemana oleh pemerintah kita?

Tidaklah salah bilamana Undang-Undang ala “omnibus law” disebut atau dijuluki sebagai Undang-Undang “Sapu Jagat”, karena memang isi atau substansi pengaturan di dalamnya begitu kompleks dan merumitkan, tidak jelas apa yang sebetulnya hendak diatur dan dituju oleh Undang-Undang model “omnibus law” demikian. Hukum yang ideal ialah hukum yang sederhana dan mudah dipahami oleh masyarakat awam hukum sekalipun, hal mana hanya dapat ditawarkan oleh Undang-Undang model TEMATIK yang sifatnya spesifik pada suatu bidang hukum tertentu. Pra dibentuknya Undang-Undang ala “omnibus law”, norma-norma hukum peraturan perundang-undangan sudah demikian kompleks dan masif menyerupai “hutan rimba belantara”. Namun saat kini, paska diterbitkannya berbagai Undang-Undang ala “omnibus law”, norma-norma hukum benar-benar menjelma menyerupai “mencari jarum diantara tumpukan jerami”, sangat teknokratik—akibatnya, seakan terbentuk jarak atau tembok tebal yang memisahkan antara warga yang diatur olehnya dan Undang-Undang yang mengaturnya.

Absurd-nya, pemerintah masih juga memberlakukan asas fiksi, bahwasannya “semua orang dianggap tahu hukum”, asas mana dibentuk ratusan tahun lampau saat peraturan perundang-undangan masih sangat minim pengaturannya, tidak semasif seperti dewasa ini, sehingga sejatinya telah tidak lagi relevan dterapkan secara absolut. Sungguh, tuntutan peran seorang Sarjana Hukum serta praktisi hukum dewasa ini demikian bertambah berat, disamping harus meng-update dan membaca serta “meng-hafal” berbagai Surat Edaran Mahkamah Agung yang “tambal-sulam” serta tidak konsisten, membaca ribuan halaman dan ribuan pasal serta ayat berbagai Undang-Undang yang dalam beberapa periode diubah ataupun diganti oleh pemerintah, ditambah Undang-Undang yang demikian teknokratik ala “omnibus law”, Peraturan Menteri yang transparan hingga peraturan menteri yang menyerupai “peraturan siluman” (ada diatur serta mengatur publik, namun sukar diakses publik), masih juga harus membaca dan meriset ribuan Peraturan Daerah yang tersebar tanpa kejelasan efektivitasnya.

Singkat kata, sangat tidak efisien, dimana pemerintah seolah “tidak mau tahu” dan “tidak mau memusingkan” kesukaran yang selama ini dihadapi oleh masyarakat luas, terutama masyarakat awam hukum, dalam mengakses dan memahami peraturan perundang-undangan yang kian tidak ramah terhadap “user experience”. Pemerintah pada kecenderungannya dewasa ini semata berpaku pada pola berpikir yang kian diktator, “terbitkan peraturan, warga harus patuh”, namun tidak mempertimbangkan faktor kesukaran bagi warga selaku subjek pengemban hukum dalam membaca dan memahami Undang-Undang ala “omnibus law”.

Penulis berani bertaruh, tiada masyarakat awam hukum yang tertarik, berminat, ataupun bersedia membuang waktu berharganya (time is money) untuk membaca dan mendalami Undang-Undang ala “omnibus law”, bilamana tidak sangat terpaksa—misalnya seorang Konsultan Pajak, mau tidak mau akan membaca dan mendalami Undang-Undang Harmoninasi Perpajakan yang notabene disusun secara “omnibus law”—sehingga memang pada satu sisi tampak (seakan) menguntungkan kalangan profesi Konsultan Hukum, profesi penjualan jasa hukum yang selama ini penulis lakoni sebagai sumber pencarian nafkah, mengingat Undang-Undang ala “omnibus law” tidaklah ramah terhadap “reader experience” terutama di mata kalangan masyarakat awam hukum, berhubung sifatnya demikian teknokratik.

Namun demikian, Undang-Undang ala “omnibus law” tetaplah menjadi suatu beban tersendiri bagi kalangan profesi hukum. Betapa tidak, sebagai contoh pengalaman penulis pribadi, sekalipun telah berulang-kali membaca Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas yang hanya terdiri dari beberapa puluh halaman dan beberapa ratus pasal, kerap kali mendapati kondisi dimana penulis lupa atau bahkan keliru-ingat terhadap pengaturan-pengaturan di dalamnya. Kini, kesemua itu harus ditambah-bebani oleh norma-norma hukum dalam Undang-Undang ala “omnibus law”, sehingga harus tercipta suatu jejaring raksasa di dalam benak abstrak pada otak di kepala seseorang yang berprofesi hukum. Apakah terbentuk jalinan yang rapih dan utuh? Tidak, yang tercipta kemudian “benang kusut”. Pemerintah menyusun Undang-Undang ala dengan gaya berpikir “benang kusut”, sehingga bagaimana mungkin masyarakat umum pembacanya mampu memiliki pemahaman hukum yang komprehensif serta holistik? Itu delusi, bukan dilandasi cara berpikir penyusun Undang-Undang yang rasional.

Ingat, kepatuhan warga selaku subjek pengemban hukum, kata kuncinya terletak pada pertanyaan berikut : bagaimana caranya, agar hukum tampak demikian sederhana dan mudah untuk dipahami oleh segenap masyarakat yang diatur olehnya? Alih-alih pro terhadap kepentingan rakyat, Undang-Undang ala “omnibus law” justru bergerak secara berkebalikan dari postulat pembuka pada paragraf ini. Pemerintah (mungkin) akan menerapkan Undang-Undang ala “omnibus law” secara efektif dan keras-tegas dalam tataran implementasi di lapangan, tanpa kompromi, namun tidak akan sejalan dengan tingkat kepatuhan masyarakat yang diatur olehnya. Ini sama nasib-nya dengan berbagai Peraturan Daerah yang masif diterbitkan oleh berbagai daerah, benar-benar masif dibentuk dan diterbitkan, namun hampir nihil ditegakkan mengingat tiadanya kesadaran maupun kepatuhan masyarakat-warga yang diatur olehnya.

Cobalah Anda membuka dan mencermati sendiri substansi norma-norma hukum dalam Undang-Undang ala “omnibus law”, apakah mudah dan sederhana untuk dipahami? Pasal Undang-Undang “anu” dicabut, pasal Undang-Undang “anu” diganti sehingga menjadi berbunyi, pasal Undang-Undang “anu” ditambahkan satu pasal dengan bunyi sebagai berikut, dan lain sebagainya. Hal demikian menyerupai “gado-gado” dengan ramuan yang tidak jelas, sehingga citarasanya juga menjadi tidak jelas. Secara klise, menyerupai seseorang yang membuat tanggapan sinis berikut, “Kamu itu mau ngomong apaan, sih?” Persis seperti itulah kesan yang penulis dapatkan, apa yang sebetulnya dikehendaki oleh pemerintah? Undang-Undang ala “omnibus law” juga cenderung berpeluang membuka berbagai penafsiran dan perdebatan yang tidak produktif, suatu pemborosan waktu, energi, serta pikiran yang sama sekali tidak perlu terjadi.

Undang-Undang ala “tematik”, masih lebih efektif menciptakan kepastian hukum, ketimbang Undang-Undang ala “omnibus law” yang mustahil dapat mendekati kepastian hukum bagi warga masyarakat yang diatur olehnya. Profesi hukum tidak punya pilihan lain selain menaikkan harga jual jasa layanan hukumnya, yang pada gilirannya akan terbentuk “ekonomi biaya tinggi” bagi masyarakat pengguna jasa hukum. Jika pemerintah merubah Undang-Undang “tematik” semisal Undang-Undang Ketenagakerjaan, maka partisipasi publik akan optimal menyerap dan diskursus serta “feed back” dari para pemangku kepentingan (public as stakeholders).

Namun, demi menutup peluang terjadinya demonstrasi serta memungkiri semangat demokrasi (pembungkaman publik), pemerintah saat kini telah ternyata lebih memilih untuk menerbitkan Undang-Undang “sapu jagat” dengan model “omnibus law” seperti Undang-Undang Cipta Kerja yang telah ternyata merubah tidak sedikit pasal-pasal esensial dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan—sehingga adanya itikad tidak baik dibalik niat pemerintah yang memilih menerbitkan Undang-Undang ala “omnibus law” alih-alih secara “tematik” yang lebih spesifik dan lebih terfokus—tidak salah bila disebutkan, kental nuansa ketertutupan alias tidak akuntabel serta tidak transparannya pihak pemerintah, kesan-kesan mana tidak dapat kita pungkiri bercermin dari tendensi-tendensi pemerintah dewasa ini yang kurang demokratis dalam penyusunan peraturan perundang-undangan. itulah, modus pemerintah dewasa ini, dimana model “omnibus law” sebagai alatnya (law as a tool of crime), hukum adalah alat itu sendiri, tepatnya untuk membungkam partisipasi publik.

Katakanlah ada ruang untuk uji publik saat masih berupa rancangan Undang-Undang “omnibus law”, namun siapakah diantara kita yang bersedia membuang waktu membaca ratusan hingga ribuan halaman draf Undang-Undang demikian, yang belum tentu ada diatur hal yang menjadi konsen kita selama ini, sehingga lebih banyak yang tidak relevan terhadap kepentingan seorang warga, semisal untuk apa juga membaca draf aturan terkait koperasi bilamana itu tidak memiliki relevansi terhadap keseharian kita? Berbeda konteks bilamana pemerintah mempublikasikan draf rancangan Undang-Undang Ketenagakerjaan, maka para stakeholders dibidang ketenagakerjaan akan bersedia meluangkan waktu untuk memberi perhatian, mengkritisi, serta menyampaikan masukan.

Tidak dapat dibenarkan pula pemerintah “mempermainkan” rakyat dengan menerbitkan Undang-Undang ala “omnibus law” yang memakan serta menyita tidak sedikit waktu bagi warga untuk membacanya, lalu secara seenaknya pemerintah membuat Undang-Undang ala “omnibus law” yang baru, sehingga warga masyarakat perlu atau dipaksa harus membuang-buang waktu kembali mengulang membaca dari awal—seperti kasus yang terjadi pada Undang-Undang tentang Cipta Kerja, dua tahun kemudian pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) yang sama tebalnya dengan Undang-Undang Cipta Kerja. Please, don’t wasting our time!

Singkat kata, itikad pemerintah dapat dicerminkan dari produk legislatif yang diterbitkan olehnya, dimana dapat penulis sarikan konklusi berikut : Tidak ada yang memaksa pemerintah untuk menerbitkan Undang-Undang dalam model kemasan “omnibus law”. Jika pemerintah dapat menerbitkan Undang-Undang baru ataupun Undang-Undang revisi secara “tematik”, namun tetap memaksakan diri menerbitkan Undang-Undang bergaya “omnibus law”, maka itu artinya pemerintah yang sedang berkuasa tidaklah benar-benar pro terhadap rakyat yang diatur olehnya.

Semakin kompleks suatu peraturan perundang-undangan, maka kecenderungannya akan semakin diktator pemerintahan yang berkuasa, dimana juga akan kian tidak demokratis pembentukan Undang-Undang suatu negara. Itulah ketika, pemerintah yang sedang berkuasa hendak menjauhkan jarak dan memisahkan dirinya dari rakyat yang diatur olehnya. Janganlah melihat sosok seorang Kepala Pemerintahan dari tutur-katanya yang seolah lembut dan santun ataupun semata karena selalu hadir saat membagi-bagi sertifikat tanah yang populis-seremonial, namun nilailah dari produk legislasi yang diterbitkan olehnya, apakah demokratis atau sebaliknya?

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.