Diam dan Bergeming sebagai Bentuk Pertahanan dan
Perlindungan Diri, serta merupakan Jawaban Itu Sendiri. Diam sebagai Jawaban
sekaligus sebagai Pertahanan Diri Terbaik
Hak untuk Diam dan Hak untuk Tidak Menjawab, Hak Asasi Manusia
Ciri khas dari bangsa yang telah benar-benar beradab ialah, disadari serta dihormatinya hak masing-masing individu warga untuk “diam” serta hak untuk “tidak menjawab”. Tampaknya masyarakat kita di Indonesia, masih belum benar-benar layak untuk disebut sebagai bangsa yang beradab, mengingat penghormatan terhadap hak orang lain yang paling mendasar seperti “hak untuk diam” serta “hak untuk tidak menjawab”, sama sekali tidak dihormati, bahkan tidak dihargai. Praktik sosial yang terjadi di lapangan selama ini, masyarakat Indonesia kerap mempertontonkan “putar-balik logika moril”, seolah-olah individu / warga lainnya bukanlah subjek yang bebas dan merdeka dari bentuk-bentuk penjajahan siapapun.
Dalam banyak kejadian, oleh mereka
sesama warga yang tergolong sudah dewasa dan berambut putih, bahkan diantaranya
merupakan aparatur penegak hukum ataupun akademisi hukum, penulis kerap dipaksa
dan diintimidasi untuk menjawab pertanyaan mereka, seolah-olah penulis adalah
tahanan yang sedang diinterogasi bak bangsa jajahan—sekalipun seorang tersangka
/ terdakwa sekalipun punya “hak untuk diam” dan “hak untuk tidak menjawab”.
Ketika penulis sama sekali tidak ingin diganggu untuk menjawab, juga tidak mau
didikte untuk menjawab, serta memang tidak ingin membuka mulut ataupun
berbicara apapun, seolah-olah penulis tidak punya hak untuk “diam” serta “tidak
menjawab”, seakan-akan pula penulis memiliki kewajiban untuk meladeni
pertanyaan orang lain dengan menjawabnya, disamping seolah-olah penulis adalah sandera
yang tidak bebas dan tidak merdeka yang juga tidak memiliki kehendak bebas
untuk memilih, didesak bahkan diberikan intimidasi verbal lewat gertakan maupun
ancaman bahasa tubuh, seraya berseru lantang : “Kalau kamu ditanya orang, (maka) DIJAWAB!”
Kejadian semacam contoh di
atas, telah pernah bahkan kerap penulis alami oleh warga lainnya yang entah
bagaimana demikian “aroganis” bak “premanis”—seolah-olah bangsa kita adalah
bangsa yang “kurang terdidik” atau bahkan “salah didik” meski bergelar sarjana—kental
nuansa mentalitas ala “penjajah”, yang mana pelaku pemaksa yang mencoba
mendikte serta menyandera lidah maupun mulut penulis ialah mulai dari
berlatar-belakang sesama teman perkuliahan, dosen, aparatur penegak hukum di
pusat-pusat layanan publik, hingga tamu asing tidak dikenal juga tidak diundang
yang justru secara lancang mencoba mendikte serta mengatur-ngatur tuan rumah
ketika bertamu. “Ditanya kok diam. Kalau
ditanya, JAWAB!”
Secara intimidatif serta
aroganis, mereka tidak mau memahami ataupun menyadari, bahwa “penjajahan harus
dihapuskan dari segala bangsa” sebagaimana amanat konstitusi negara Indonesia,
dimana juga penulis memiliki “the right
of self determination”, disamping “right
to remain silent”, yang mana “diam” dan “tetap bungjam” adalah jawaban dari
penulis itu sendiri. Fenomena klise demikian juga menjadi bukti, bahwa selama
ini masyarakat, akademisi hukum, maupun aparatur penegak hukum kita itu sendiri
masih sekadar menjadikan jargon apa yang disebut “equality before the law” (kesetaraan di hadapan hukum) dengan
melakukan praktik pemaksaan dan pendiktean demikian terhadap warga lainnya,
yang mana bilamana ditanya maka “suka atau tidak suka” harus diladeni dan
dijawab oleh warga lainnya.
Dapat penulis pastikan serta
prediksi, diantara para pembaca ada yang telah, sedang, atau bahkan kerap
mengalami fenomena sosial serupa dikeseharian, pemaksaan-pemaksaan verbal yang tidak
menghormati martabat maupun tidak menghargai harkat sesama warga. Bila itu yang
terjadi pada Anda, apa yang menjadi respons Anda, meladeni dengan menjawabnya
sekalipun Anda tidak ingin membuka mulut sekalipun juga sebetulnya tidak
bersedia diganggu ataupun dipaksa, sekadar agar si pemaksa merasa “puas” dan
tidak lagi mengganggu Anda? Atau, jika Anda tidak lekas menjawab, didesak oleh
perasaan takut atas intimidasi sang pelaku-pemaksa, sehingga Anda seketika
memuaskan sang pelaku dengan memberi jawaban, sekalipun Anda tahu itu dirasakan
menjengkelkan yang membuat Anda membenci diri Anda sendiri karena seolah tidak
punya kehendak bebas untuk memilih untuk berbicara ataupun untuk diam-bungkam
seribu bahasa?
Dahulu, opsi kedua itulah yang
“terpaksa” penulis pilih dalam keseharian, seolah-olah tiada opsi lain untuk
diambil. Namun, setelah lama penulis renungkan, dengan panduan kompas moralitas
yang terusik, barulah pada akhirnya penulis teringat kisah klasik yang dahulu
sempat penulis baca, yakni sebuah kisah tempo dulu di Jepang, tepatnya ketika
sang samurai legendaris Miyamoto Musashi menantang bertarung seorang biksu
bernama Takuan Soho, duel empat mata. Musashi sudah mengambil posisi berhadapan
dengan kuda-kudanya lengkap dengan samurai di tangan terhunus, siap untuk
menerjang dan melakukan pertarungan sengit. Siapa yang tidak kenal Musashi,
satu perguruan besar pun dilawannya dan ditumbangkan seorang diri, apalah artinya
seorang biksu yang lemah dan tidak bersenjata menghadapi sang samurai?
Anda tahu apa yang kemudian
terjadi? Kini, penulis baru memahami makna tersirat dari kisah yang telah
penulis baca bertahun-tahun lampau tentang pertarungan duel antara Musashi melawan
Takuan. Ternyata, itulah pertarungan yang paling penuh makna dari kisah
Musashi, bukan pertarungannya dengan Kojiro, bukan juga pertarungannya
memporak-poranda satu buah perguruan raksasa, namun pertarungan sang samurai
melawan seorang biksu yang hanya berdiri diam dan bergeming tanpa bergerak
satu gerakan kecil pun. Musashi menunggu sangat lama, dengan mata tajamnya
mengawasi gerak-gerik Takuan, namun Takuan benar-benar bergeming bak patung.
Akhirnya Musashi menyarungkan
kembali pedangnya, dan menyatakan dirinya mengakui keunggulan Takuan dan
menyerah tanpa melawan ataupun bertempur. Mengapa, Musashi menyerah begitu
saja, tanya Takuan. Musashi lalu menjelaskan, bahwa lawan yang diam bergeming tanpa gerakan, artinya
tidak ada celah yang terbuka untuk dimasuki dan dilancarkan serangan, itulah
lawan yang paling sukar untuk dihadapi. Ketika penulis secara mendadak
teringat kembali kisah Takuan melawan Musashi tersebut, betapa terkejutnya
batin penulis, mendapat secercah pencerahan yang sudah lama penulis cari-cari
jawaban atas pertanyaan paradoksal di muka, yang selama ini menjadi momok bagi
penulis atau juga mungkin bagi Anda. Diam bergeming, artinya tiada ruang
celah yang terbuka bagi lawan untuk menyerang kita.
Ketika Anda mendapati kondisi
atau keadaan serupa, maka ingatlah selalu kisah pertarungan duel antara Musashi
sang samurai melawan Biksu Takuan di atas, maka Anda akan mendapatkan kekuatan
hebat untuk memahami apa yang sebetulnya paling betul untuk menjadi sikap Anda
dalam merespon kalangan pemaksa. Diam dan bungkam serta bergeming, bukan
membuka ruang celah sehingga lawan dapat menyerang Anda sebagaimana intimidasi
dan bahasa tubuh intimidatif penuh pemaksaan seseorang terhadap Anda—justru
sebaliknya, tiada ruang celah apapun yang Anda buka kepada lawan yang Anda
hadapi ketika Anda memilih untuk diam, bungkam, dan bergeming. Diam dan
tetap membisu, adalah kekuatan, bukan kelemahan, karena dibutuhkan keberanian
dan kekuatan batin untuk itu. Siapa sangka, kisah klasik dapat tetap
relevan menjawab tantangan kehidupan sosial dalam era kontemporer seperti dewasa
ini.
Sang “aroganis” bak “premanis”,
sejatinya adalah orang “dungu” yang akibat kekotoran dan kebodohan batinnya,
memandang apa yang tidak tercela (diam dan bungkamnya lawan bicara) sebagai
tercela, apa yang sejatinya hak orang lain dipandang sebagai kewajiban, apa
yang keliru diyakini sebagai benar adanya, dan terhadap individu sesama warga
yang bebas dan merdeka dipandang sebagai budak-jajahan yang bersangkutan—artinya
memang tidak punya niat untuk menghargai ataupun menghormati lawan bicara yang berhak
memilih untuk “tidak mau diganggu”—sehingga terjadilah pemaksaan serta
intimidatif hingga penyanderaan kemerdekaan orang lain untuk memilih hendak “berbicara”
atau “tidak berbicara”. Begitupula kita perlu menyadari kekelirutahuan kita
perihal perasaan takut yang irasional, serta suara batin yang berbisik
menghasut:
“Apa yang akan terjadi bila
kemauan mereka tidak diikuti dan diladeni, dengan tidak menjawab pertanyaan
mereka yang memaksa kita untuk menjawabnya seolah-olah punya kewajiban untuk
menjawab pertanyaan mereka serta memuaskan mereka, apakah saya akan dianiaya
dan dipukul, sekalipun kita tidak suka meladeni pertanyaan terhadap apa yang
menjadi privasi kita serta tidak suka terhadap sikap orang yang bertanya tanpa
sopan-santun ataupun tata-krama hingga yang bernada memaksa dan melecehkan
ataupun yang arogan ketika bertanya?”
Bila ketakutan irasional Anda
itu benar-benar terjadi, Anda dianiaya semata karena sikap “diam” dan “tidak
menjawab” Anda sebagai respons atas pertanyaan mereka—meski kemungkinan
besarnya itu adalah delusi yang diciptakan oleh rasa takut diri Anda
sendiri—maka orang-orang yang merasa berhak memaksa (merampas kemerdekaan) dan menganiaya
warga lainnya semacam itu adalah layak dikutuk masuk neraka dan mendekam di
sana untuk abadi selamanya agar tidak ada lagi korban penganiayaan para aroganis
tersebut, atau ketika Anda digugat “perbuatan melawan hukum” ke hadapan hakim
di “meja hijau”, semata karena sikap “silent”
Anda yang sama sekali tidak berminat tidak menjawab pertanyaan mereka, maka itu
barulah hal “konyol” yang akan mempermalukan diri pribadi sang penanya-pemaksa
itu sendiri.
Kelak, mereka sendiri yang akan
disandera dan menjadi tersandera oleh “kewajiban fiktik-semu-deiusif” milik
mereka, tepatnya ketika mereka diposisikan pada posisi serupa dikemudian hari,
menjadi orang yang diberikan pertanyaan oleh warga lainnya meski tidak diminta
oleh yang diberi peranyaan. Perhatikan pembabaran di bawah ini, sangat relevan
terkait peristiwa di atas:
316. Barangsiapa malu terhadap hal tak memalukan, tidak malu
terhadap hal memalukan; mereka yang memegang pandangan keliru itu akan menuju
ke alam sengsara.
317. Juga, barangsiapa takut terhadap hal tak menakutkan, tidak
takut terhadap hal menakutkan; mereka yang memegang pandangan keliru itu akan
menuju ke alam sengsara.
318. Barangsiapa menganggap tercela terhadap hal tak tercela, menganggap
tak tercela terhadap hal tercela; mereka yang memegang pandangan keliru itu
akan menuju ke alam sengsara.
319. Sebaliknya, barangsiapa menyadari hal tercela sebagai yang
tercela, menyadari hal tak tercela sebagai yang tak tercela; mereka yang
memegang pandangan benar itu akan menuju ke alam bahagia.
258. ... tidak berpenakut itulah disebut ‘bijaksanawan’.
[Sang Buddha, dalam
“Dhammapada”]
Adapun untuk sekilas penulis
akan membahas perihal falsafah komunikasi, telah ternyata sangat identik dengan
cara kerja perangkat penerima gelombang sinyal suara radio yang dipancarkan
oleh pemancar radio pada stasiun radio. Agar dapat ter-“connect” serta “tune-in” antara
pemancar gelombang radio dari stasiun radio dan perangkat radio di kediaman
Anda, tidaklah bisa secara serta-merta “satu arah” oleh pihak stasiun.
Dibutuhkan adanya kesiap-sediaan dari pihak Anda selaku pemilik perangkat
radio, apakah akan meng-“connect”-kan
perangkat radio milik Anda dengan gelombang radio yang terpancar dari stasiun
radio, atau tidak meng-“connect”-kan
diri. Kebebasan mutlak pendengar, hendak menyetel ke frekuensi tersebut atau
bahkan sama sekali tidak menghendaki dan mematikan perangkat radionya.
Disamping itu, selain tersedia
“option in”, juga tersedia secara
demokratis apa yang dinamakan sebagai “option
out” sebagai kehendak bebas untuk menentukan nasib serta menentukan
pilihan hidup sendiri, tanpa dapat diganggu-gugat atas hidup dan pilihan hidup
kita sendiri. pertanyaan paling utama serta paling paling penting untuk kita
ajukan ialah : Bilamana dari sejak awal kita memang tidak pernah punya kehendak
untuk ter-“connect” pihak-pihak yang
tidak memiliki etika komunikasi seperti memaksa lawan bicara untuk berbicara /
menjawab (sikap yang tidak memberi respek kepada pihak yang mereka tanya alias mintakan
informasi), yang mana artinya kita memang tidak pernah meng-“connect”-kan diri dengan orang yang
bersangkutan, maka tiada yang perlu di-“disconnect”—mengingat
dari sejak awal memang tidak pernah ada terjadinya suatu “connect” yang menghubungkan antara sang pemaksa dan diri kita.
Bila tidak pernah “connect”, maka untuk apa juga kita men-“disconnet”-nya? Mereka sendiri yang
berdelusi adanya “koneksi” semu-imajiner yang mana sejatinya mereka paksakan
sendiri koneksinya secara tidak menghargai kebebasan pihak yang mereka jumpai
untuk dimintakan informasi, sebagai sesama warga yang sederajat juga bebas dan
merdeka. Berikut ini menjadi bukti konkret, betapa manusia “Made in Indonesia” rata-rata tidak
memiliki apa yang disebut sebagai “common
sense”, mereka semata menuruti impuls dorongan dari otak reptil-premanis di
kepala mereka sehingga kurang beradab dan “sense
of justice” yang tumpul (namun gemar menghakimi orang lain), lebih tepatnya
“mentalitas yang dangkal” dan masih jauh dari kata “beradab”, diwakili oleh
berbagai pepatah dengan tema “diam”, dengan kutipan sebagai berikut:
- Jangan pernah berasumsi bahwa
keras itu kuat dan diam itu lemah.
- Diam adalah respons
terbaik untuk orang bodoh.
- Beberapa hati saling
memahami, meski dalam diam.
- Diam tidak kosong, itu
penuh dengan jawaban.
- Terkadang yang terbaik adalah
tetap diam. Keheningan dapat berbicara banyak tanpa pernah mengucapkan sepatah
kata pun.
- Tidak ada tanggapan adalah
tanggapan. Dan itu sangat kuat.
- “Diam adalah jawaban terbaik kebijaksanaan sejati.” [Euripid]
- Makin pintar kamu, makin
sedikit kamu berbicara.
- “Orang bijak, ketika ragu apakah harus berbicara atau diam, manfaatkan
keraguan itu untuk diri mereka sendiri, dan tetap diam.” [Napoleon Hill]
- Buka mulutmu hanya jika yang
akan kamu katakan lebih indah daripada diam.
- “Percakapan terpenting dalam hidup kita terjadi dalam keheningan.” [Simon
Van Booy]
- Terkadang lebih baik membiarkan
kesunyian yang berbicara.
- Saat kamu membangun dalam
diam, mereka tidak tahu harus menyerang apa.
- Setelah kamu dewasa, kamu
menyadari bahwa diam lebih kuat daripada membuktikan suatu hal.
- Perasaan terdalam dalam
hidup sering diekspresikan dalam keheningan.
- Diam adalah anugerah. Belajar
menghargai esensinya.
- Makin kamu diam, makin
banyak yang dapat kamu dengar.
- “Tetaplah diam untuk sebagian besar waktu, dan bicaralah hanya jika
perlu, dan singkat.” [Epictetus]
- “Keheningan itu berbeda jenisnya, dan mengembuskan makna yang berbeda
pula.” [Charlotte Bronte]
- “Dengarkan keheningan. Ada banyak hal yang ingin dikatakan.” [Rumi]
- “Diam adalah satu di antara seni percakapan yang hebat.” [Marcus
Tullius Cicero]
- “Diam terkadang merupakan
jawaban terbaik.” [Dalai Lama]
- “Bekerja keras dalam diam, biarkan kesuksesanmu yang berisik.” [Frank
Ocean]
- “Diam dan aman, diam tidak pernah mengkhianatimu.” [John Boyle O’Reilly’
- “Aku menemukan bahwa aku merasa betah dan hidup dalam kesunyian, yang
memaksaku untuk memasuki dunia batinku dan sekitarnya.” [Karen Amstrong]
- Jangan pernah menanggapi
kekasaran. Ketika orang bersikap kasar kepadamu, mereka mengungkapkan siapa
mereka, bukan siapa kamu.
- Aku pendiam, tapi aku
tidak buta.
- Tentunya, diam terkadang
bisa menjadi jawaban yang paling fasih.
- Keheninganku bisa berarti
bahwa kamu tidak layak dan tidak penting untuk diperdebatkan.
- “Diam adalah sahabat sejati yang tak pernah berkhianat.” [Confusius]
- “Ketika kamu tidak memiliki apa-apa untuk dikatakan, jangan katakan
apa-apa.” [Charles Caleb Colton]
- “Terkadang kamu tidak perlu mengatakan apa pun. Keheningan berbicara
semuanya.” [Disha Patani]
- “Orang yang baik dan bijaksana menjalani kehidupan yang tenang.” [Euripides]
Disebut sebagai “pemaksa”,
karena diakibatkan arogansi yang tidak mau menghargai warga lainnya, mereka gagal
memahami bahwa mereka selaku penanya sejatinya sedang meminta dari orang lain,
dalam hal ini meminta / memohon informasi. Bila seseorang yang diminta, telah ternyata
tidak bersedia memberi, maka itu hak mereka, dimana kita tidak punya hak untuk
mewajibkan orang lain. Jika Anda merasa memiliki hak, maka apa yang menjadi
kewajiban Anda dan apa pula yang menjadi hak-hak orang yang Anda berikan
pertanyaan dan mintakan informasi? Salah satu akar penyebab wujud pemaksaan
dalam berkomunikasi, ialah mentalitas ala bangsa penjajah, seolah-olah sesama
anak bangsa adalah jajahan yang wajib tunduk dan patuh terhadap kehendak sang
penjajah.
Penulis bahkan juga mengenal
atau pernah berjumpa dengan beragam orang, yang tipikal perangainya bahkan lebih
buruk lagi. Bertanya, namun tidak menunggu jawabannya atau bertanya namun
menutup telinganya rapat-rapat ketika kita memberikan jawaban—bertanya sebagai
formalitas belaka. Dimana terkait bahasan dalam kesempatan ini, Sang Buddha
tidak terkecuali menjadikan “diam” sebagai salah satu opsi jawaban itu sendiri,
bahkan juga mengkategorikan “balik bertanya” sebagai jawaban / tanggapan atas
pertanyaan seseorang yang bertanya.
Selengkapnya khotbah Sang
Buddha dalam “Aṅguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang
Buddha”,
Judul Asli : “The Numerical Discourses of
the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa
Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra
Anggara, perihal cara atau pilihan ragam dalam menjawab pertanyaan, dengan
kutipan sebagai berikut:
“Para bhikkhu, ada empat cara
ini dalam menjawab pertanyaan.105 Apakah empat ini? (1) Ada pertanyaan yang
harus dijawab secara tegas; (2) ada pertanyaan yang harus dijawab setelah
membuat pembedaan; (3) ada pertanyaan yang harus dijawab dengan pertanyaan
balasan; dan (4) ada pertanyaan yang harus dikesampingkan. Ini adalah
keempat cara dalam menjawab pertanyaan.”
Satu jenis diberikan jawaban
tegas, yang lainnya dijawab setelah membuat pembedaan; yang ke tiga, seseorang
harus mengajukan pertanyaan balasan, tetapi yang ke empat harus
dikesampingkan. Ketika seorang bhikkhu mengetahui bagaimana untuk menjawab
tiap-tiap jenis dengan cara yang seharusnya, mereka mengatakan bahwa ia
terampil dalam empat jenis pertanyaan.
Ia sulit dilawan, sulit
dikalahkan, dalam, sulit diserang; ia mahir dalam apa yang bermanfaat dan apa
yang membahayakan.
Orang bijaksana menghindari apa
yang membahayakan, dan mengambil apa yang bermanfaat. Dengan sampai pada apa
yang bermanfaat, yang kokoh dikatakan sebagai bijaksana.
© Hak Cipta
HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.