Menang Diatas Kertas, namun Ditagih SUCCESS FEE oleh Pengacara = Merugi Dua Kali

Bahaya / Ancaman Mengintai Dibalik SUCCESS FEE Advokat

Idealnya Menggugat Tanpa Jasa Pengacara

Bukanlah isu hukum baru, namun masih tetap relevan serta “klise” hingga dewasa kini, berbagai putusan perkara perdata sifatnya “menang diatas kertas”. Banyak diantara anggota masyarakat kita yang ber-euforia ketika kuasa hukumnya (dalam ini kalangan profesi pengacara) berhasil memenangkan gugatan melawan suatu pihak, berwujud amar putusan berupa perintah atau penghukuman agar pihak Tergugat membayar sejumlah ganti-rugi nominal tertentu kepada pihak Penggugat, dengan nilai nominal yang bombastis. Sampai di situ saja, persepsi masyarakat pengguna jasa pengacara diliputi oleh asumsi bahwa sengketa ataupun masalah hukum telah selesai dan tuntas, dimana sang pengacara menagih sejumlah “SUCCESS FEE” sebagaimana telah disepakati sebelumnya, seolah-olah “sukses”—namun “sukses” memenangkan gugatan tidak selalu identik dengan “solusi”—karena sang pengguna jasa pengacara membayarkan sejumlah “SUCCESS FEE” yang ditagihkan kepada sang pengacara.

Meski demikian, seperti yang telah diungkap pada paragraf sebelumnya di atas, “sukses” tidak selalu identik dengan “solusi”. Terdapat disparitas yang sangat lebar antara pola berpikir ataupun sudut pandang antara masyarakat awam hukum (pengguna jasa pengacara) dan gaya berpikir kalangan pengacara kita di Tanah Air. Paradigma masyarakat umum kita, memenangkan gugatan ialah identik dengan akhir dari sengketa, tanpa menyadari ataupun mengetahui bahwa seringkali putusan tersebut menjadi awal dari lembaran sengketa baru, mengingat sifatnya “menang diatas kertas” berhubung pihak Tergugat yang kalah gugatan didapati “mendadak miskin” sehingga tiada aset harta kekayaan apapun untuk disita dan dieksekusi oleh pengadilan.

Adapun paradigma kalangan pengacara kita lazimnya ialah, menasehati Klien mereka yang kalah dan dihukum oleh pengadilan dalam perkara gugatan perdata, untuk cepat-cepat menjual ataupun mengalihkan harta kekayaan miliknya sehingga amar putusan menjadi bersifat “non executable” mengingat Tergugat seakan-akan tampak tidak lagi memiliki aset maupun harta-kekayaan apapun yang dapat disita dan dieksekusi bilamana (niatnya Tergugat) dari sejak semula ialah tidak akan mengindahkan dan tidak akan patuh terhadap penghukuman dalam amar putusan. Itulah “bisikan jahat” yang diterima oleh pihak-pihak yang akan / telah / sedang Anda gugat, dari pengacara mereka, yakni mengalihkan, merubah-wujud-kan, menjual, menyembunyikan (dengan mengalih-namakan ataupun patriasi keluar negeri), menyamarkan, yang pada pokoknya agar pihak Tergugat yang kalah gugatan dan saat akan dieksekusi, tampak seolah-olah “miskin”, tanpa aset harta kekayaan apapun untuk disita ataupun dieksekusi.

Sebagaimana dapat para pembaca cermati, menang gugatan tidak identik dengan “solusi”, dimana juga “sukses” tidak selalu identik dengan akhir dari sengketa hukum gugat-menggugat, karenanya tepat bila kita merujuk istilah klise yang kerap kita dengar : “menang diatas kertas”. Untuk apa, Anda memenangkan gugatan senilai ratusan juta rupiah hingga miliaran ataupun puluhan miliar rupiah, sekadar “menang” dan ber-euforia-ria, namun kemudian menemukan realita pahit bahwasannya putusan gugat-menggugat yang Anda menangkan telah ternyata tidak dapat dieksekusi mengingat seolah atau seakan-akan pihak Tergugat selaku tereksekusi telah ternyata ditemukan “mendadak miskin”—dimana disaat bersamaan mereka menertawakan Anda yang hanya bisa “gigit jari”.

Sekalipun kerugian Anda selaku Penggugat yang memenangkan gugatan, tidak dapat dan tidak berhasil dipulihkan akibat hanya mengantungi putusan yang sifatnya “menang diatas kertas”, tetap saja pengacara atau kuasa hukum yang Anda sewa mewakili Anda bersidang dan menggugat, mengklaim sebagai telah “sukses”, yang karenanya menagih sejumlah “SUCCESS FEE”. Ingat, sekali lagi, kalangan profesi pengacara mengikat para Klien mereka selain “lawyering fee”, juga dalam kontrak jasa litigasi biasanya diatur dan disepakati pula ketentuan “SUCCESS FEE”—bukan “SOLUTION FEE”, yang jauh lebih ideal namun tidak akan pernah berani ditempuh oleh kalangan pengacara sekalipun yang disebut terakhir ini jauh lebih etis dan terhormat bagi suatu kalangan profesi hukum yang betul-betul luhur dan mulia.

Katakanlah, Anda “menang diatas kertas” sejumlah seratus miliar rupiah, dimana disaat bersamaan Anda terikat oleh perjanjian “SUCCESS FEE” terhadap pengacara Anda senilai 10% (sepuluh persen) dari nilai nominal ganti-kerugian yang dituntut dan berhasil dimenangkan dalam perkara gugat-menggugat, yang artinya sekalipun kerugian Anda sejumlah seratus miliar rupiah belum kunjung dipulihkan akibat ketidak-patuhan pihak Tergugat / tereksekusi terhadap amar putusan, akibatnya Anda masih juga harus merogoh-kocek sepuluh miliar rupiah untuk membayar tagihan “SUCCESS FEE” pengacara Anda. Artinya, Anda telah merugi “actual loss” dengan total sebesar : seratus miliar rupiah + sepuluh miliar rupiah = seratus sepuluh miliar rupiah. Itukah yang Anda sebut serta rayakan, sebagai keberhasilan alias “sukses”? Semakin besar “kemenangan” Anda berupa nominal ganti-rugi, namun tiada kesukarelaan pihak Tergugat-tereksekusi untuk membayar juga “mendadak miskin”, maka semakin besar kerugian konkret Anda untuk membayarkan “SUCCESS FEE” pengacara Anda.

Singkat kata, sebagai kesimpulan, “sukses” di mata kalangan Advokat tidak selalu sejalan dengan “sukses” di mata sang Klien. Disini, terjadi bias kepentingan, yakni perspektif sang Pengacara yang tidak menerapkan sudut pandang sang Klien, namun perspektif pribadi sang Pengacara sekalipun seorang kuasa hukum bersidang mewakili kepentingan serta untuk dan atas nama sang Klien. Bila dalam kontrak jasa hukum beracara di persidangan, diatur dan disepakati bahwa bilamana gugatan yang diajukan sang Klien dikabulkan pokok tuntutannya oleh hakim di persidangan, maka sang Pengacara berhak atas sejumlah “SUCCESS FEE”.

Karenanya, ketika sang Pengacara berhak menagih “SUCCESS FEE” tatkala gugatan yang diajukan olehnya selaku kuasa hukum, telah ternyata dikabulkan oleh pengadilan, maka itulah “sukses” dalam “point of view” seorang Advokat—perihal bisa dieksekusi atau tidaknya, sama sekali tidak dipusingkan oleh sang Pengacara. Secara masif penulis jumpai fenomena, sekalipun surat gugatan memohon “sita jaminan”, namun dalam perjalanan proses persidangan “sita jaminan” tidak pernah diajukan secara formalistis oleh kuasa hukum pihak Penggugat, akibatnya fatal bagi kepentingan sang Klien yang ia wakili bersidang. Klien yang paham fakta dibalik fenomena demikian, tidak akan terkecoh oleh “indahnya” draf surat gugatan yang dibuat oleh pengacara yang ia sewa.

Bahkan pernah terjadi, surat gugatan penuh oleh rincian puluhan hingga ratusan aset yang dimohon “sita jaminan” oleh sang pengacara selaku kuasa hukum pihak Penggugat, namun permohonan “sita jaminan” secara formal tidak pernah diajukan ke hadapan persidangan (lewat atau berupa surat permohonan sita maupun putusan provisi secara “berkas terpisah”), sehingga tiada satupun aset tersebut yang dapat disita sebagai jaminan untuk kepentingan pihak Penggugat. Bukanlah itu (dapat dieksekusinya putusan) sebagai“goal” ataupun “interest” dari sang pengacara, akan tetapi “sekadar menang gugatan” sudah ia golongkan sebagai “sukses”. Perihal “dapat dieksekusi atau tidaknya”, sang pengacara “hit and run”.

Sejatinya, dengan demikian, terdapat “conflict of interest” antara kepentingan profesi Pengacara dan kepentingan sang Klien. Yang selalu menjadi kepentingan serta diinginkan oleh kalangan Klien (berdasarkan pengalaman penulis selaku Konsultan Hukum dengan beragam latar-belakang Klien), ialah kerugiannya berhasil dan dapat dipulihkan—dalam artian dapat dieksekusi amar putusannya—bukan sekadar bereuforia “menang diatas kertas”. Justru, ketika sang Klien mendapat kondisi dilematis dimana amar putusan tidak dapat dieksekusi, masih juga ditagih “SUCCESS FEE” oleh kuasa hukumnya yang tidak memiliki etika berbisnis maupun nurani, itu sama artinya sang Klien telah “merugi untuk kesekian kalinya”.

Dalam pandangan pribadi penulis, praktik tidak bertanggung-jawab kalangan Advokat kita di Tanah Air, ibarat mematikan profesinya sendiri, karena masyarakat umum dewasa ini kian apatis dan memandang sinis mereka yang berprofesi sebagai pengacara, dimana mengingat pula fenomena kontemporer pada era “eCourt” dan “eLitigation” di Indonesia dimana peradilan menjadi benar-benar “dekat di hati” dimana Anda bahkan dapat bersidang cukup dari sofa empuk Anda di rumah secara swadaya dan secara mandiri, masyarakat kita menggugat tanpa perantara kuasa hukum / pengacara apapun, alias maju sendiri bersidang, dimana Anda yang berkuasa penuh menentukan nasib Anda sendiri ketimbang menggantungkan nasib pada kalangan pengacara, dimana Anda bisa menjadi seorang “pengacara terbaik” bagi diri Anda sendiri mengingat jelas bahwa rasa berkepentingan Anda terhadap masalah hukum Anda tidak akan sebaik “sense of belonging” (rasa memiliki) seorang kuasa hukum.

Amar putusan yang tidak dapat dieksekusi (non executable) bukan hanya terjadi tatkala tiada aset harta kekayaan milik pihak Tergugat yang dapat disita maupun dieksekusi—tiada Tergugat yang sebodoh itu, berdiam diri membiarkan harta kekayaannya tidak “dilarikan”, dialihkan, ataupun disembunyikan, dalam rangka menghindari eksekusi bilamana kalah dalam sengketa gugat-menggugat, terlebih lawan yang Anda hadapi notabene ialah “evil person” yang karenanya wajar tidak memiliki kepatuhan hukum. Sebagai seorang Konsultan Hukum, bukanlah hal baru ketika Klien dalam sesi konsultasi mengeluhkan fakta hukum bahwasannya putusan pengadilan yang dimiliki dan dimenangkan olehnya, telah ternyata tidak dapat dieksekusi (itulah fenomena yang penulis sebut sebagai “lembaran sengketa baru”).

Contoh yang kerap dijumpai dalam praktik, amar putusan yang “non executable” oleh lembaga peradilan, antara lain jenis diktum dalam amar putusan yang semata bersifat “declaratif” maupun “constitutief” tanpa menyertakan amar putusan yang bersifat “condemnatoir” (yang bermakna perintah berisi penghukuman, disimbolikkan oleh frasa “menghukum” dalam suatu butir amar putusan perdata). Contoh lainnya ialah “acta van dading” (akta perdamaian di luar pengadilan) maupun “acta van vergelijk” (akta perdamaian di dalam pengadilan) yang juga dalam fakta realita di lapangan tidak dapat dieksekusi oleh lembaga peradilan. Ingat, yang dikejar dan dituju oleh pengacara Anda ialah hanya sampai sebatas “sukses” menang, bukan perihal “solutif” dapat dieksekusi atau tidaknya.

Ilustrasi berikut dapat mewakili penggambaran betapa mengerikannya “sukses” yang semu. Dalam ruang persidangan perkara gugat-menggugat perdata, pihak Penggugat dan Tergugat saling berdamai, membuat “akta perdamaian” yang dikukuhkan oleh putusan hakim di dalam persidangan, yang seketika itu juga memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht) dan menurut teori ilmu hukum notabene “dapat dieksekusi”. Kedua belah pihak yang diwakili oleh kuasa hukum, saling tersenyum puas dan bersalaman satu sama lainnya. Coba Anda tebak, tahukah Anda apa yang kemudian terjadi? Sebagai “principal” (Klien), Anda mengira bahwa sengketa telah usai dan tuntas dengan disepakatinya dan dikukuhkannya “akta perdamaian” di dalam persidangan tempo hari lewat kuasa hukum Anda, maka Anda pun membayarkan sejumlah “SUCCESS FEE” yang sudah lama dinanti-nanti dan diidam-idamkan oleh sang Pengaara.

Namun seiring berjalannya waktu, salah satu pihak ternyata mengingkari “akta perdamaian” alias tidak mematuhi dan tidak mengindahkan apa yang sebelumnya telah disepakati dalam “akta perdamaian”, namun ketika “akta perdamaian” yang notabene “inkracht” tersebut dimohonkan eksekusinya oleh sang Klien ke pengadilan, fakta bagai menghantam ubun-ubun kepala sang Klien, “akta perdamaian” yang dikantungi dan tampak berharga dimiliki olehnya TIDAK DAPAT DIEKSEKUSI oleh pengadilan, sekalipun “akta perdamaian” tersebut dibentuk serta dikukuhkan lewat putusan hakim di pengadilan alias “non executable”. Ilustrasi ekstrem namun nyata demikian sebagaimana kita bahas serta penulis ungkap di atas, merupakan fakta lapangan yang jarang atau bahkan tidak banyak diketahui kalangan pengguna jasa Advokat di Tanah Air.

Kalangan Pengacara dengan pandai-liciknya membuat delusi, dengan distorsi frasa atau istilah “sukses”, berembel-embel “SUCCESS FEE” seolah-olah ketika sang Klien mendapatkan “solusi”, maka sang Pengacara baru berhak menuntut dan mengklaim / menagih “SUCCESS FEE”. Atau sebaliknya, ketika sang Pengacara menutut “SUCCESS FEE” maka artinya sengketa hukum telah benar-benar tuntas dan “solusi” sudah di tangan. Demi menutup atau membungkam Klien yang kritis, maka dipakailah istilah “SUCCESS FEE”, semata agar sang Klien tidak bertanya : “Saya tidak bertanya apakah Bapak dan Ibu Pengacara dapat menjamin gugatan yang mewakili kepentingan saya, akan menang atau tidaknya. Namun yang ingin saya tanyakan dan minta klarifikasi ialah, apakah Bapak dan Ibu Pengacara, dapat menjamin bahwa jika gugatan dikabulkan dan dimenangkan, dapat benar-benar dieksekusi?” Seiring berjalannya waktu, ketika telah ternyata gugatan dimenangkan oleh sang Pengacara, namun sang Klien mendapati fakta pahit bahwasannya putusan “menang” tersebut tidak dapat dieksekusi, maka inilah dalil sang Pengacara, “Kami hanya menagih ‘SUCCESS FEE’, bukan ‘SOLUTION FEE’, sehingga kami tidak melanggar Kode Etik Advokat.”

Sebagai masyarakat awam hukum, banyak diantara pengguna jasa pengacara yang berdelusi bahwa kerugiannya dapat dipulihkan lewat mekanisme “sita jaminan” maupun “putusan sela” semacam “putusan provisi” yang melarang pihak Tergugat mengalihkan kepemilikan maupun mengagunkan harta kekayaannya yang berpotensi merugikan kepentingan pihak Penggugat, agar kelak saat gugatan dimenangkan dan dikabulkan Majelis Hakim pemeriksa dan pemutus perkara, maka tidak menjelma “ilusioner” alias “menang diatas kertas” mengingat terdapat aset kekayaan milik Tergugat yang dapat disita-ekseksusi serta dieksekusi berupa dijual lelang di kantor lelang negara dimana hasil penjualan lelang digunakan untuk memulihkan kerugian pihak Penggugat selaku pemohon eksekusi terhadap pihak Tergugat selaku tereksekusi.

Faktanya, Klien penulis dalam sesi konsultasi mengungkap kekecewaan mendalam praktik hukum acara perdata kita di Indonesia yang seolah membuka ruang selebar-lebarnya bagi pihak Tergugat untuk beritikad buruk dengan secara diam-diam bergerilya mengalihkan ataupun menyamarkan aset harta kekayaannya agar bilamana gugatan Penggugat sekalipun dimenangkan oleh pengadilan, maka putusan menjelma “menang diatas kertas” mengingat pihak Tergugat “mendadak miskin” saat akan dimohonkan eksekusinya ataupun saat hendak dieksekusi oleh pengadilan. Postulat dari “Bang Napi” berikut menemukan ruangnya : kejahatan bukan hanya terjadi karena ada niat jahat, namun juga karena adanya kesempatan.

Betul bahwa mekanisme “sita jaminan” dalam hukum acara perdata dimungkinkan, dimana embel-embel “sita jaminan” (seolah benar-benar disita dan terjamin) dilekatkan pada draf surat gugatan, membuat sang Klien jasa pengacara merasa telah aman dan terlindungi, meski sejatinya “dinina-bobokan”, alias keamanan delusif yang imajinatif. Dalam praktik penulis menemukan, yang betul-betul dapat di-“sita jaminan” ialah kalangan Tergugat yang tergolong berlatar-belakang ekonomi menengah kebawah—dalam artian rumah miliknya tersebut merupakan kediaman satu-satunya bagi ia maupun keluarganya untuk menghuni dan bermalam, tanpa aset properti ataupun tempat tinggal lainnya, sehingga sukar baginya untuk mengalih-wujudkan aset rumah miliknya sekalipun gugat-menggugat telah berlangsung hampir satu tahun lamanya.

Namun, teruntuk kalangan Tergugat yang lebih “intelek” dan memiliki banyak aset, biasanya telah lebih “melek (celah) hukum” dengan seketika melarikan aset-aset harta kekayaan miliknya sehingga pihak Penggugat “gigit jari”. Betapa tidak, permohonan “sita jaminan” maupun “putusan provisi” baru akan diputuskan oleh Majelis Hakim pemeriksa dan pemutus perkara berbulan-bulan bahkan hingga setengah ataupun satu tahun kemudian setelah menjalani proses persidangan yang berlarut-larut dan memakan waktu mulai dari mediasi, pembacaan gugatan, pembacaan jawaban, replik, duplik, pembuktian surat penggugat, pembuktian surat tergugat, pembuktian saksi, pemeriksaan setempat dan “tetek-bengek” lainnya, sementara itu secara diam-diam dan terselubung, pihak Tergugat tengah dan telah bergerilya melarikan ataupun menyamarkan aset-aset harta kekayaan miliknya ketika mampu memprediksi bahwa dirinya akan dikalahkan dan dihukum oleh pengadilan. indikasinya dapat dicermati secara kasat-mata oleh sikap Tergugat yang mencoba mengulur-ngulur waktu jalannya persiangan yang berjalan secara tidak efisien dari segi waktu, sekalipun sejatinya Penggugat berpacu mengejar waktu, dimana “justice delay” artinya kian banyak aset harta milik Tergugat yang telah “menguap” tanpa jejak.

Sudah begitu banyak kalangan masyarakat kita yang berkedudukan sebagai pihak Penggugat, merasa dikecoh ataupun terkecoh oleh iming-iming “sita jaminan” maupun “putusan provisi” sebagaimana draf pada umumnya surat gugatan, seolah-olah hukum perdata menawarkan jaminan ataupun perlindungan hukum yang optimal bagi kepentingan pemulihan kerugian pihak Penggugat agar kelak putusan yang dikantungi dan dimenangi olehnya tidak menjelma “menang diatas kertas”. Korban-korban terus berjatuhan sekalipun mereka telah berjuang keras berkejaran dengan waktu, sepanjang sejarah praktik berhukum—tepatnya hukum acara perdata kita di Indonesia—selama satu abad lamanya, yang mengindikasikan sudah tidak lagi terhitung jumlahnya korban-korban berjatuhan oleh lembaga peradilan yang “PHP” (pemberi harapan palsu).

Berangkat dari pemahaman demikian, sudah saatnya perlu dihadirkan terobosan yang mampu menjadi atau menawarkan solusi bagi kepentingan pemulihan kerugian pihak Penggugat yang lebih efektif dan tepat guna. Salah satu contohnya ialah ketika penulis menjadi drafter alias pembuat draf surat gugatan yang dipakai oleh seorang Klien yang maju menggugat dan bersidang seorang diri tanpa didampingi kuasa hukum Pengacara, dalam draf surat gugatan penulis khusus untuk itu merancang satu buah “petitum” (pokok tuntutan dalam surat gugatan) agar segala jirih-payah dalam gugat-menggugat yang diajukan oleh sang Klien tidak berpotensi menjelma antiklimaks seperti kendala klise-klasik “non executable”.

Petitum” unik yang penulis rancang secara khusus tersebut, merupakan salah satu butir pokok tuntutan yang memang belum lazim dalam praktik peradilan saat ulasan ini disusun—namanya juga “terobosan baru”, inovasi yang baru sama sekali, sehingga menjadi yang pertama dan satu-satunya, pionir—dimana penulis yakini betul kelak di masa mendatang, akan menjadi format baku seluruh gugatan perdata untuk menghindari modus niat buruk pihak Tergugat yang hendak mengaburkan, menyembunyikan, ataupun mengalih-wujudkan aset harta kekayaan miliknya, mengingat urgensi serta daya pentingnya salah satu butir dalam pokok tuntutan, agar putusan pengadilan benar-benar “bertaring” dan dapat dieksekusi secara efektif dan efisien.

Apakah bentuk salah satu butir dalam “petitum” khusus tersebut? Dalam kesempatan ini penulis selaku inventor-nya, cukup memberi satu petunjuk singkat berikut : “NIK”, Nomor Induk Kependudukan di Indonesia, telah menjelma menyerupai “Social Security Number” selayaknya di Amerika Serikat, yang berisi database aset harta kekayaan warga pemilik “Social Security Number”. Bahkan NIK, kini berfungsi juga sebagai pengganti “NPWP” alias “Nomor Pokok Wajib Pajak”. Petunjuk kedua, hukum acara perdata melarang hakim menjatuhkan amar putusan yang bersifat “ultra petitum” alias larangan amar putusan yang melampaui apa yang dituntut dalam pokok permintaan dalam surat gugatan, karenanya harus Anda mintakan dalam pokok tuntutan satu buah butir “petitum” khusus dimaksud.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.