Jangan Bersikap Seolah-Olah Kita Tidak Memiliki DAYA TAWAR dan PILIHAN BEBAS
Jangan Bersikap Seolah-Olah Kita Bukanlah Individu /
Pribadi yang BEBAS dan MERDEKA
Jangan Bersikap Seolah-Olah Orang Lain adalah seorang
BUDAK JAJAHAN Bangsa Terjajah
Suka atau tidak suka, faktanya mentalitas masyarakat kita di Indonesia—yang bisa disebut sebagai kultur, mengingat polanya masif dan merata—ialah gemar “mengkriminalisasi” warga lainnya atas apa yang sebetulnya bukan sebuah kejahatan ataupun kesalahan yang patut dicela maupun dipermasalahkan oleh para bijaksanawan. Yang tidak bersalah, dipandang dan dituding sebagai bersalah. Yang tidak memiliki kewajiban, dibebankan kewajiban, sekalipun dirinya sendiri tidak punya hak untuk mewajibkan pihak yang ia wajibkan. Pada muaranya, ialah ajang persekusi alias “main hakim sendiri” baik secara verbal maupun secara fisik—pola khas bangsa kita, “menyelesaikan setiap masalah dengan kekerasan fisik maupun intimidasi verbal” dalam rangka pemaksaan kehendak ataupun perampasan hak orang lain. itulah yang disebut sebagai “keliru-paham” atau “gagal-paham”, paham namun secara melenceng.
Kita tidak membahas hal yang
tinggi maupun kompleks, penulis cukup memberi contoh yang sangat amat sederhana
namun kerap terjadi dalam kedekatan kita di keseharian. Bila dalam artikel
sebelumnya penulis membahas sudut pandang dari warga yang dipaksakan
kehendaknya oleh seseorang asing tidak dikenal, maka dalam kesempatan kali kini
penulis mengajak para pembaca untuk menggunakan perspektif diri Anda sendiri
ketika mengunjungi suatu tempat, dan hendak bertanya alamat kepada warga
setempat selaku tuan rumah dimana Anda yang menjadi tamu pendatang pada wilayah
tersebut.
Ketika Anda bertanya alamat
pada seseorang di tengah jalan maupun di salah satu perumahan atau pemikiman
penduduk, namun Anda tidak diberi jawaban apapun alias diabaikan dan tidak
dihiraukan, maka apakah yang menjadi respons Anda : menjadi gusar-marah-dan
emosional, ataukah Anda menyadari bahwa Anda tidak punya hak untuk mewajibkan
pihak lain untuk menjawabnya? Ingatlah selalu, apa yang kerap menjadi impuls
atau dorongan paling awal dalam benak kita, itulah yang menjadi naluri “hewani”
otak reptil di kepala kita, bukan hasil perwujudan pemikiran sadar
berkeberadaban manusia beradab yang (konon) berakal-budi—impuls mana harus kita
waspadai serta sadari sepenuhnya lewat pikiran yang jernih.
Bila emosi Anda menjadi
tersulut dan merasa tersinggung karena “gayung tidak bersambut”—sapaan ataupun
pertanyaan Anda tidak diacuhkan orang lain—maka sejatinya itu menjadi “masalah”
Anda, bukan masalah orang lain (what’s
wrong with yourself?). Perlu mulai kita sadari dengan pikiran yang jernih,
alih-alih tunduk pada otak limbik dan otak reptil di kepala kita, sejatinya
Anda adalah seorang “tamu” yang bertamu, bagaimana mungkin Anda hendak mendikte
dan mengatur “tuan rumah” pada daerah pemukiman tersebut? Manusia berbudaya dan
beradab, artinya tahu dan sadar posisi dirinya sendiri secara rasional, bukan
sekadar mengikuti dorongan naluri “hewani” terlebih impuls yang tidak terlatih
untuk dikendalikan dari dalam diri (ability
to self-control).
Bila seseorang manusia dalam
menjalani hidupnya melulu mengikuti dorongan impuls “hewani” yang terbit dari dalam
benaknya, maka apakah yang menjadi pembeda antara dirinya dengan makhluk hewan
semisal ternak “dungu” yang tidak berakal-budi? Merupakan etika komunikasi yang
paling mendasar, terutama ketika kita bertamu, maka kita perlu menghargai serta
menghormati aturan milik tuan rumah. Jika tuan rumah memakai haknya untuk
“tetap diam” maupun “tidak menjawab” (right
to remain silent), maka tidaklah pada tempatnya kita memaksakan aturan main
milik kita kepada tuan rumah. Ketika kita mengunjungi suatu tempat, dimana
warga sekitar tidak bersedia diganggu oleh pertanyaan ataupun gangguan apapun,
maka itu menjadi hak prerogatif mereka yang tidak dapat diganggu-gugat, merupakan
hak kewargaan mereka untuk “tidak diganggu” dimana harus kita hormati dan
hargai selaku tamu yang bertamu pada daerah tersebut.
Jangan biarkan otak reptil Anda
membajak cara berpikir Anda sehingga menjelma “aroganis” ala “premanis” (sebagaimana
cara kerja otak reptil milik kalangan “hewanis”), dimana inilah yang biasanya
penulis jumpai lewat cerminan watak orang-orang yang secara arogan merasa
berhak memaksa orang lain untuk “berbicara” ataupun untuk “tidak berbicara”,
tidak terkecuai pemaksaan untuk “menjawab” maupun untuk “tidak menjawab”—seolah-olah
diri Anda adalah seorang polisi yang berhak menginterogasi lewat pemaksaan dan
penyiksaan terhadap warga lainnya—dengan rincian delusi yang mendistorsi akal
sehat seseorang yang terjangkit virus “aroganis” sehingga gagal memahami sudut
pandang maupun hak-hak kewarganegaraan warga lainnya yang notabene “equality before the law”:
- Anda bersikap seolah-olah
orang lain tidak memiliki “hak untuk tidak diganggu”;
- Anda bersikap seolah-olah
orang lain memiliki kewajiban untuk meladeni, melayani, serta memuaskan Anda;
- Anda bersikap seolah-olah
(berdelusi) bahwa Anda memiliki hak terhadap orang lain;
- Anda bersikap seolah-olah
orang lain bukanlah individu yang bebas dan merdeka;
- Anda bersikap seolah-olah
orang lain adalah orang terjajah dari bangsa terjajah;
- Anda bersikap seolah-olah
orang lain tidak memiliki daya tawar maupun pilihan bebas;
- Anda bersikap seolah-olah
orang lain tidak mempunyai pikiran untuk menilai dan memutuskan sendiri;
- Anda bersikap seolah-olah
orang lain tidak punya “hak untuk diam” maupun “hak untuk tidak menjawab”;
- Anda bersikap seolah-olah
orang lain tidak punya opsi lain untuk dipilih selain menuruti apa yang Anda
perintahkan atau kehendaki;
- Anda bersikap seolah-olah
orang lain yang butuh Anda, bukan sebaliknya—Anda sejatinya sedang
berhalusinasi bila memiliki delusi absurd demikian;
- Anda bersikap seolah-olah
(berdelusi) orang lain tidak sederajat di mata hukum dengan Anda, bahkan Anda bersikap
seolah-olah negara Indonesia bukanlah “negara berdasarkan hukum” (rule of law).
Akibat berdelusi oleh gaya
berpikir yang delusif, Anda seolah memiliki hak untuk mendikte dan mengatur
warga lain yang sederajat di mata hukum dengan Anda, yang artinya berdelusi
bahwa orang lain memiliki beban kewajiban untuk meladeni dan melayani ataupun
memuaskan keinginan Anda, maka sejatinya Anda yang sedang didkte dan dikecoh
serta dibajak cara berpikirnya oleh otak limbik ala reptil yang bersarang di
kepala Anda dan menguasai pola pikir Anda—bahkan seorang penyidik kepolisian
pun wajib secara hukum menghormati “hak untuk tetap diam” (right to remain silent) seseorang yang dijadikan Tersangka. Anda
pikir siapa diri Anda?
Sehingga, Anda tidak mampu lagi
membedakan mana yang salah dan mana yang benar, yang baik maupun yang buruk,
mana hak dan mana yang merupakan kewajiban, maupun mana yang merupakan “akal
sehat milik orang sehat” dan mana yang merupakan “akal sakit milik orang sakit”.
Sekalipun Anda bersikukuh memiliki hak atas orang lain, maka tanyakanlah kepada
diri Anda sendiri, kewajiban apa yang Anda pikul terhadap orang lain yang Anda paksakan
tersebut?
316. Barangsiapa malu terhadap hal tak memalukan, tidak malu
terhadap hal memalukan; mereka yang memegang pandangan keliru itu akan menuju
ke alam sengsara.
317. Juga, barangsiapa takut terhadap hal tak menakutkan, tidak
takut terhadap hal menakutkan; mereka yang memegang pandangan keliru itu akan
menuju ke alam sengsara.
318. Barangsiapa menganggap tercela terhadap hal tak tercela,
menganggap tak tercela terhadap hal tercela; mereka yang memegang pandangan
keliru itu akan menuju ke alam sengsara.
319. Sebaliknya, barangsiapa menyadari hal tercela sebagai yang
tercela, menyadari hal tak tercela sebagai yang tak tercela; mereka yang
memegang pandangan benar itu akan menuju ke alam bahagia.
258. ... tidak berpenakut itulah disebut ‘bijaksanawan’.
[Sang Buddha, dalam
“Dhammapada”]
Mengakui kebodohan dan
kesalahan diri sendiri adalah tahap awal dari “early warning system” dalam rangka perbaikan diri. Mereka yang
gagal untuk menemukan dan mengakui kekeliruan dirinya sendiri, sejatinya
merupakan orang-orang yang tidak lagi dapat diperbaiki alias “tanpa harapan”,
selamanya berkutat dalam “sangkar cara berpikir hewanis”. Kita dapat
memperbaiki diri dengan menyuntikkan pola pikir baru secara sadar ke dalam alam
bawah sadar maupun alam sadar kita sendiri, ketika kita telah menyadari serta
menemukan kekeliruan cara berpikir maupun gaya sikap hidup kita, dengan
“vaksin” berupa cara berpikir baru sebagai berikut:
- bersikaplah secara sadar
bahwa orang lain memiliki “hak untuk tidak diganggu”;
- bersikaplah secara sadar
bahwa orang lain tidak memiliki kewajiban untuk meladeni, melayani, serta
memuaskan Anda—mereka bukanlah “alat / subjek pemuas nafsu orang lain”;
- bersikap secara sadar (kendali
diri) bahwa Anda tidak memiliki hak terhadap orang lain (namun sekadar memohon
atau meminta informasi, dimana yang dimintakan berhak menolak memberikan
informasi ataupun waktu milik mereka);
- bersikaplah secara sadar
bahwa orang lain adalah individu yang bebas dan merdeka;
- bersikaplah secara sadar
bahwa orang lain bukan orang terjajah dari bangsa terjajah;
- bersikaplah secara sadar
bahwa orang lain memiliki daya tawar maupun pilihan bebas (free will);
- bersikaplah secara sadar serta
secara beradab bahwa orang lain mempunyai pikiran untuk menilai dan memutuskan
sendiri;
- bersikaplah secara bijak
bahwa orang lain punya “hak untuk diam” maupun “hak untuk tidak menjawab”;
- bersikaplah secara sadar-hukum
bahwa (kendali diri) orang lain tidak sederajat di mata hukum dengan Anda;
- bersikaplah secara sadar bahwa
orang lain punya opsi lain untuk dipilih selain menuruti apa yang Anda
perintahkan atau kehendaki;
- bersikaplah secara sadar
bahwa orang lain yang butuh Anda, bukan sebaliknya—inilah yang disebut sebagai
“sadar diri” atau yang lebih lazim dikenal dengan istilah “tahu diri” dan “tahu
malu”;
- bersikaplah patuh dan
menghormati hukum yang berlaku di negara ini, dengan menyadari bahwa kita hidup
di “negara berhukum”, tanpa terkecuali.
Sebagaimana dapat para pembaca
simak dan temukan sendiri uraian di atas, betapa lembaga pendidikan maupun
lembaga keagamaan kita di Tanah Air gagal total dalam membangun etika maupun
pengetahuan perihal budi pekerti masyarakatnya, dimana untuk etika komunikasi
dan etika bermasyarakat yang paling mendasar sebagaimana terurai di atas,
masyarakat kita justru menampilkan wajah serta kultur yang jauh dari kata
beradab. Lantas, yang patut kita pertanyakan ialah, apa saja yang diajarkan
oleh para guru kita di sekolah selama belasan tahun lengkap dengan budaya per-plonco-annya
maupun para pemuka agama kita selama puluhan tahun kepada warga kita? Itulah
bukti konkret tidak terbantahkan, betapa telah terjadi semacam pola “salah
didik” dan “salah asuh-teladan” generasi tua maupun generasi muda kita di
Indonesia.
Delusi diri merupakan ekses maupun cerminan dari kekotoran batin diri
sang pelaku delusi itu sendiri, sebagaimana ternyata telah disinggung lewat khotbah
Sang Buddha dalam “Aṅguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang
Buddha”,
Judul Asli : “The Numerical Discourses of
the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa
Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra
Anggara, dengan kutipan sebagai berikut:
17 (7) Jalan yang Salah (1)
“Para bhikkhu, ada empat
cara ini dalam mengambil jalan yang salah. Apakah empat ini? Seseorang
mengambil jalan yang salah karena keinginan, karena kebencian, karena delusi, atau
karena ketakutan. Ini adalah keempat cara dalam mengambil jalan yang salah.”
Jika melalui keinginan,
kebencian, ketakutan, atau delusi seseorang melanggar Dhamma, maka
kemasyhurannya memudar bagaikan rembulan pada malam dwimingguan yang gelap.
18 (8) Jalan yang Salah (2)
“Para bhikkhu, ada empat
cara ini dalam tidak mengambil jalan yang salah. Apakah empat ini? Seseorang
tidak mengambil jalan yang salah karena keinginan, karena kebencian, karena
delusi, atau karena ketakutan. Ini adalah keempat cara dalam tidak mengambil
jalan yang salah.”
Jika seseorang tidak melanggar
Dhamma melalui keinginan, kebencian, ketakutan, atau delusi, maka
kemasyhurannya menjadi penuh bagaikan rembulan pada malam dwingguan yang
terang.
19 (9) Jalan yang Salah (3)
“Para bhikkhu, ada empat cara
ini dalam mengambil jalan yang salah. Apakah empat ini? Seseorang mengambil
jalan yang salah karena keinginan … [seperti pada 4:17] … Ini adalah keempat
cara dalam mengambil jalan yang salah itu.
“Para bhikkhu, ada empat cara
ini dalam tidak mengambil jalan yang salah. Apakah empat ini? Seseorang tidak
mengambil jalan yang salah karena keinginan … [seperti pada 4:18] … Ini adalah
keempat cara dalam tidak mengambil jalan yang salah itu.”
Jika melalui keinginan,
kebencian, ketakutan, atau delusi seseorang melanggar Dhamma, maka
kemasyhurannya memudar bagaikan rembulan pada malam dwimingguan yang gelap.
Jika seseorang tidak melanggar
Dhamma melalui keinginan, kebencian, ketakutan, atau delusi, maka
kemasyhurannya menjadi penuh bagaikan rembulan pada malam dwingguan yang
terang.
20 (10) Seorang Petugas Pembagi
Makanan
“Para bhikkhu, jika seorang
petugas pembagi makanan [Bhikkhu yang bertanggung jawab untuk membagi
persembahan makanan dan undangan kepada para bhikkhu lain] memiliki empat
kualitas, maka ia ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa kesana. Apakah empat
ini? Ia mengambil jalan yang salah karena keinginan, karena kebencian,
karena delusi, atau karena ketakutan.
Jika seorang pembagi makanan
memiliki keempat kualitas ini, maka ia ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa
kesana.
“Para bhikkhu, jika seorang
pembagi makanan memiliki empat kualitas, ia ditempatkan di surga seolah-olah
dibawa kesana. Apakah empat ini? Ia tidak mengambil jalan yang salah karena
keinginan, karena kebencian, karena delusi, atau karena ketakutan. Jika
seorang pembagi makanan memiliki keempat kualitas ini, ia ditempatkan di surga
seolah-olah dibawa kesana.”
Orang-orang itu yang tidak
terkendali dalam kenikmatan indria, yang tidak baik, tidak menghormati Dhamma
pergi [dengan tersesat] melalui keinginan, kebencian, dan ketakutan disebut
kumpulan yang ternoda.
Demikianlah dikatakan oleh Sang
Petapa yang mengetahui. Oleh karena itu orang-orang baik itu yang terpuji kokoh
dalam Dhamma, yang tidak melakukan kejahatan, tidak terpengaruh oleh keinginan,
kebencian, dan ketakutan, disebut kumpulan unggulan. Demikianlah dikatakan oleh
Sang Petapa yang mengetahui.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.