Dualisme Daya Ikat Yurisprudensi di Indonesia, Praktik Berhukum yang Ambigu

Mungkinkah Tercipta KEADILAN HUKUM bila Tiada KEPASTIAN HUKUM yang Ditawarkan oleh Praktik Lembaga Peradilan?

Kesenjangan dan Disparitas menjadi Harga Mahal Dibalik Inkonsistensi Pendirian Lembaga Peradilan Pemutus Perkara

Dalam kesempatan ini, penulis mencoba mengajak para pembaca untuk merenungkan sebuah isu hukum yang “ringan namun menggelitik” berikut ini perihal praktik peradilan di Indonesia. Cobalah tanyakan kepada diri Anda sendiri, apakah putusan Mahkamah Konstitusi tidak termasuk sebagai “yurisprudensi” itu sendiri? Sejumlah pengamat, akademisi, maupun penyiar pada berbagai media massa kerap mengutip ataupun merujuk hukum yang berlaku semisal “berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor ...”, dimana kemudian para pihak tersebut patuh dan tunduk pada putusan Mahkamah Konstitusi demikian.

Sebagai seorang Konsultan Hukum yang juga menyediakan jasa pembuatan (drafting) surat gugatan, penulis kerap merujuk dasar hukum berupa kaedah-kaedah hukum bentukan yurisprudensi di Mahkamah Agung RI, dengan redaksional persis seperti ketika para pengamat tersebut di atas menyitir dasar hukum argumentasinya berupa putusan Mahkamah Konstitusi, yang mana juga sudah lazin kita jumpai dalam praktik gugat-menggugat di Pengadilan Negeri, yakni redaksional dalil “berdasarkan putusan Mahkamah AGUNG RI Nomor ...”.

Akan tetapi, telah ternyata terdapat kesenjangan atau disparitas yang demikian lebar antara kedua yurisprudensi dimaksud di atas, seolah atau seakan-akan yurisprudensi Mahkamah Agung sifatnya lebih rendah derajatnya daripada yurisprudensi putusan Mahkamah Konstitusi—yang satu di-anak-tiri-kan sementara yang satunya lagi di-anak-emas-kan. Cobalah para pembaca tanyakan pula pertanyaan introspektif yang tidak kalah menggelitiknya sebagai berikut. Di Mahkamah Agung, juga dikenal putusan terkait “uji materiil” (judicial review) selayaknya putusan Mahkamah Konstitusi yang memutus gugat-permohonan “uji materiil” Undang-Undang yang diuji terhadap UUD RI 1945, dimana “uji materiil” yang dimohonkan ke hadapan Mahkamah Agung ialah “uji materiil” peraturan perundang-undangan terhadap “Undang-Undang”.

Sering terjadi, dalam register gugatan perdata (PDT) maupun register tuntutan pidana (PID), acapkali terdapat isu hukum yang butuh penafsiran maupun keaktifan hakim mengelaborasi ambiguitas ataupun tumpang-tinduh dan simpang-siur norma hukum dengan membuat norma hukum baru untuk mengisi “kekosongan hukum” (recht vacuum) maupun memberikan penafsiran terhadap suatu norma hukum yang ada, semisal dalam sebuah Peraturan Menteri, sekalipun register perkara-perkara tersebut tidak dibawah register “HUM” (hak permohonan uji materiil), namun hakim dalam perkara perdata maupun pidana berdasarkan kewenangan jabatannya diwajibkan oleh Undang-Undang Kehakiman untuk menggali nilai-nilai yang hidup ditengah-tengah masyarakat.

Sehingga, sejatinya pula putusan-putusan hakim di Pengadilan Negeri maupun pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung bersifat “uji materiil” sebagai salah satu esensinya saat memeriksa dan memutus suatu perkara konkret (law in concreto), sekalipun tidak dibawah register perkara “HUM”. Pertanyaan yang patut kita ajukan ialah, mengapa yurisprudensi dalam praktik lembaga peradilan di Indonesia, masih juga tidak berani secara tegas menyatakan “binding force of precedent”? Para akademisi kita pun masih juga latah dan membeo teori “usang” yang telah “membusuk” dari teks-teks ilmu hukum “ketinggalan zaman” bernama “persuasive force of precedent”—sekalipun mazhab atau kiblat berhukum di republik kita merujuk pada sistem hukum di Hoge Raad (lembaga yudikatif di Belanda), dimana Hoge Raad itu sendiri telah sejak lama secara resmi menyatakan bahwa sistem hukumnya beralih dari “Civil Law” yang tidak menawarkan “kepastian hukum” menjelma “Common Law”, mengingat “keadilan hukum” tidak mungkin tercipta bilamana tiada “kepastian hukum”, dimana falsafah yang ditawarkan oleh sistem hukum “Common Law” ialah paradigma yang khas berikut : “ilmu hukum adalah ilmu tentang prediksi dalam derajat yang paling maksimum”. Para Sarjana Hukum mereka, adalah para “sniper” si penembak jitu, bukan seorang “spekulan” yang hanya pandai berspekulasi “siapa tahu menang” (namun bisa juga kalah, delusi untung-untungan).

Jika kita mencoba mencermati fenomena demikian secara lebih realistik dan lebih rasional, Mahkamah Konstitusi RI sendiri tidak konsisten dalam putusannya. Salah satunya ialah putusan “uji materiil” terkait importasi hewan ternak dari negara-negara terjangkit pandemik / wabah penyakit kuku dan mulut yang menulari antar ternak. Semula, Mahkamah Konstitusi RI dalam putusannya menyatakan bahwa larangan importasi hewan ternak dari negara-negara pengekspor yang tidak bebas wabah, adalah sebagai atau dalam rangka “MAXIMUM security”. Putusan Mahkamah Konstitusi RI yang menyatakan “MAXIMUM security” dengan melarang importasi hewan ternak dari negara eksportir yang pandemik wabah penyakit kuku dan mulut, adalah yurisprudensi itu sendiri, dimana seharusnya tabu serta terlarang (prohibited) untuk dibantah oleh lembaga peradilan yang bersangkutan, sehingga menyerupai “menjilat ludah sendiri”.

Namun, dalam perkara permohonan “uji materiil” kedua berikutnya, mengingat pemerintah kembali membuat peraturan baru yang sebelumnya telah diputus sebagai “terlarang importasi hewan ternak dari negara terjangkit wabah” oleh Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Konstitusi RI dengan suara bulat sembilan orang Hakim Konstitusi menganulir putusan Mahkamah Konstitusi RI sebelumnya, dengan memelintirnya menjadi “RELATIVE security”—diantaranya Hakim Konstitusi Patrialis Akbar yang ditangkap oleh aparatur penegak hukum karena praktik kolusi “jual beli-putusan”, Maria Farida, Arief Hidayat, dan hakim lainnya, yang mana kesemua hakim tersebut sejatinya turut-serta terlibat praktik kolusi bersama Hakim Konstitusi Patrialis Akbar karena turut menandatangani putusan “sponsor” yang diperjual-belikan tanpa sikap bertanggung-jawab akan akibat tanda-tangan yang dibubuhkan oleh para hakim tersebut secara “suara bulat” dimana kedelapan hakim lainnya bisa saja membuat pendapat dan putusan yang bertolak-belakang dari putusan Patrialis Akbar sehingga praktik jual-beli putusan tidak sampai mengakibatkan terciptanya “yurisprudensi hasil ‘sponsored’”, namun telah ternyata hanya sekadar membeo dipimpin oleh seorang Hakim Kolutor.

Sistem hukum di Indonesia, dengan demikian kerap dirusak oleh praktik kalangan kehakiman kita itu sendiri, terutama wajah atau budaya yang mempertontonkan secara vulgar pembangkangan serta sikap tidak hormat terhadap yurisprudensi yang telah ada sebelumnya di lembaga peradilan itu sendiri, bahkan tidak jarang oleh hakim yang sama, dimana untuk perkara yang satu diputus demikian namun perkara lain diputus berbeda sekalipun karakteristiknya identik seutuhnya, sehingga yang suprematif ialah faktor “kepentingan” (conflict of interest) sang hakim pemeriksa dan pemutus perkara, bukan lagi penghormatan maupun penghormatan terhadap daya ikat preseden dan yurisprudensi yang telah ada sebelumnya. Kejahatan, terjadi sebagai perpaduan rumus “niat jahat + kesempatan”, dimana bilamana hakim diberi kewenangan besar berupa “blangko kosong” (kesempatan) dimana yurisprudensi tidak diberi daya ikat bagi kalangan hakim, maka kolusi kewenangan begitu menggoda (niat jahat), “tends to corrupt”.

Adalah absurd, ketika kita berasumsi serta berdelusi bahwa daya ikat yurisprudensi bentukan lembaga Mahkamah Konstitusi RI adalah lebih suprematif ketimbang daya ikat yurisprudensi hasil bentukan putusan Mahkamah Agung RI. Mengapa? Seperti yang telah atau kerap dinyatakan oleh Hakim Agung dalam berbagai putusan kasasi di Mahkamah Agung RI, dimana Mahkamah Agung menyimpangi atau menderogasi putusan Mahkamah Konstitusi RI, alias tidak patuh dan tidak mengindahkannya, dengan dasar argumentasi : “Putusan Mahkamah Konstitusi RI bersifat ‘law in ABSTRACTO’, sementara itu putusan Mahkamah Agung RI bersifat ‘law in CONCRETO”—tampaknya terlihat sebagai argumentasi atau dalil yang komprehensif dan kompeten, namun telah ternyata dilecehkan oleh lembaga Mahkamah Agung RI itu sendiri dengan tidak konsisten terhadap “law in concreto” yang mereka ciptakan dan bentuk lewat putusan-putusannya internal lembaganya sendiri.

Independensi hakim bersifat “bebas dan merdeka”, namun konteksnya ialah bebas dan merdeka dari intervensi pihak-pihak yang berkepentingan terhadap parkara, namun tidak dapat dimaknai atau akan menjadi sebentuk “moral hazard” bilamana dimaknai “hakim bebas sebebas-bebasnya untuk melanggar dan tidak mengindahkan preseden / yurisprudensi”. Lantas, apa yang harus kita bayar mahal dari tiadanya pendirian berupa inkonksistensi antar putusan internal suatu lembaga peradilan? Yakni harga mahal berupa potensi terjadinya keadaan dimana kesenjangan atau disparitas yang bisa sangat lebar antar putusan, dari semula “kebolehan” menjadi bertolak-belakang seratus delapan puluh derajat menjelma “larangan”, sebagai contoh lihat kembali “yurisprudensi hasil sponsor” oleh Mahkamah Konstitusi RI dalam perkara “uji materiil” importasi hewan ternak seperti yang telah kita singgung di atas.

Bila para hakim pada lembaga Mahkamah Konstitusi mengklaim bahwa putusannya adalah bersifat “in concreto”, maka tanyakanlah : Anda, Bapak dan Ibu Hakim Konstitusi, tahu apa kalian tentang hewan ternak sera wabah penyakit kuku pada hewan ternak? Pakar atau spesialisasi pada Hukum Tata Negara, namun kemudian duduk sebagai hakim di Mahkamah Konstitusi, memutus segala jenis bidang hukum, yang secara konkretnya tidak jarang lebih diketahui oleh para spesialis dibidang terkait tertentu yang norma hukumnya dimohonkan uji materiil, mungkinkah yang bukan ter-spealisasi dibidang hukum tertentu, menghasilkan yurisprudensi atau putusan yang kompeten dibidang konkret tertentu yang dimohonkan “uji materiil”? Tidak jarang terjadi, pihak pemohon “uji materiil” lebih paham dan lebih spesialis daripada kesembilan orang Hakim Konstitusi yang hanya paham “kulitnya” atau bahkan sama sekali tidak tahu-menahu tentang bidang yang dimohon “uji materiil”. Itulah ketika, seorang “generalis” menghakimi para “spesialis”, alias putar-balik logika moril itu sendiri.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.