DEMOKRASI yang Sehat, Tahu BATAS serta Ada BATASAN

Babak Baru Catur Perpolitikan di Indonesia, Fenomana “Demokrasi yang Patah” akibat Dipaksakan

Demokrasi yang Tanpa Batasan, Menjelma Kontraproduktif terhadap Ketatanegaraan—Malapetaka bagi Bangsa Bersangkutan

Cerminan Rakyat yang Kekanakan, Menuntut Demokrasi Tanpa Batasan. Masyarakat yang telah Dewasa Cara Berpikirnya, Cukup dengan Demokrasi yang Mendasar dan Kenal Batasan, karena “Ada Hal Lain yang Lebih Penting untuk Dikerjakan”

Demokrasi adalah hal yang “baik”, sistem pemerintahan yang paling “ideal” diantara sistem-sistem pemerintah lainnya yang terburuk. Namun, “baik” dalam derajat atau batasan koridor tertentu, dimana bilamana batasan itu dilampaui, akibatnya justru melahirkan efek yang bertolak-belakang dari semangat dan tujuan awal pembentukan negara yang demokratik. Ada istilah dalam Bahasa Inggris, ketika seseorang telah bersikap atau bertindak melampaui ambang batas toleransi seseorang lainnya, maka orang tersebut telah “hit my bottom line”—atau ketika seseorang bersepakat untuk bekerjasama namun dengan syarat-syarat tertentu, itulah ketika ia “draw the line”, dimana orang-orang yang berhadapan dengannya tidak diperkenankan untuk melampaui “line” tersebut. Sama halnya, ada titik atau kondisi, dimana demokrasi tidak boleh dibiarkan terlampau “liar” dan melewati batas, semata agar tidak menjelma kontraproduktif.

Terdapat salah-kaprah fatal yang meracuni alam berpikir masyarakat kita di Indonesia yang begitu euforia berdemokrasi, model demokrasi mana lebih “heboh” daripada sistem demokrasi di Amerika Serikat, yang diklaim (konon) Indonesia sebagai negara demokrasi yang paling demokratis sistem pemilihan umumnya di dunia—demokratis 1 hari diantara 365 hari x 5 (tahun), yang artinya dalam lima tahun sekali masyarakat kita merayakan “pesta demokrasi” berbiaya mahal dan gegap-gempita yang juga terkadang melahirkan gesekan segregasi dikotomi kubu-kubu partai politik, sementara itu sisa hari selebihnya kerap kali diwarnai praktik pemerintahan yang jauh dari segi demokratis dalam menyusun kebijakan maupun peraturan perundang-undangan.

Akan lebih ideal, alih-alih rakyat umum tersandera oleh pemerintahan yang tidak demokratis diluar momen hari pemilihan umum kepala pemerintahan maupun kepala daerah dan wakil rakyat pengisi parlemen, bilamana pemerintah suatu negara tidak demikian “demokratis secara ekstrem” pada saat pemilihan umum berlangsung, namun sisa hari selebihnya dalam lima tahun itu diisi oleh roda bernegara dan roda pemerintahan yang demokratis semangat jiwanya. Ketika suatu negara membayar mahal dibalik sistem pemilihan umum yang berbiaya mahal akibat demokratis secara tanpa batasan, akibatnya rakyat yang kemudian pada hari-hari diluar pemilihan umum yang harus membayar mahal harganya. Hendaknya demokrasi tidak dihambur-hamburkan serta tidak diboros-boroskan semata demi satu hari-H pemilihan umum yang super teramat demokratis, namun perlu diberdayakan dan dikelola secara tepat-guna.

Harga yang mahal seperti apakah, yang kini dibayar oleh masyarakat luas akibat sistem ketatanegaraan pemerintahan suatu negara yang demokratis secara berlebihan, ibarat menjelma mabuk akibat “overdosis”? Demokrasi menjadi tampak “memuakkan”, sama seperti “teori marjinal” dalam ilmu ekonomi, dimana ketika kita memakan buah jeruk yang sehat-enak-manis, satu buah terasa nikmat. Namun cobalah Anda makan terus-menerus untuk butir kedua, ketiga, hingga butir kesepuluhan, keduapuluh, maka Anda akan menjadi mabuk dan muntah, bahkan berakhir pada kondisi membenci buah jeruk. Demokrasi yang tanpa batasan, akan bernasib tidak ubahnya dengan “teori marginal” dalam analogi memakan buah jeruk di atas, pada muaranya ialah rasa mual yang memualkan.

Demokrasi di Indonesia yang telah sampai dan masuk dalam fase “overdosis”, ditandai oleh kian rapuhnya pondasi ketatanegaraan bangsa kita, dicerminkan oleh berbagai kerancuan, tuntutan, serta perdebatan, yang tidak habis-habisnya, alias menjelma “kutukan” dimana segala sesuatunya menjadi tidak produktif akibat diperdebatkan dan dipermasalahkan, tanpa habisnya, sekalipun untuk sesuatunya yang tidak perlu dipersoalkan sama sekali. Anda tahu, apa yang akan terjadi bilamana demokrasi dibiarkan terus-menerus dieksploitasi tanpa tahu batas dan tanpa kenal batasan? Seperti telah kita bahas di muka, demokrasi adalah baik, namun bukan berarti “demokrasi tanpa batasan” adalah tetap sama baik adanya—demokrasi itu akan putus sebagaimana senar gitar disetel terlampau kencang, lebih kencang, dan lebih kencang lagi meski pada mulanya sang pemain gitar berasumsi bahwa dengan lebih dikencangkan lagi senarnya maka suara gitar yang dihasilkan akan lebih baik dan lebih merdu jadinya.

Seperti perumpaan yang terkenal dari kisah hidup momen pencerahan Pangeran Siddhatta Gotama, merealisasi ke-Buddha-an berkat mendapat fakta bahwa senar dawai yang disetel terlampaui kencang, menghasilkan suara yang tidak merdu. Sebaliknya, senar dawai yang disetel terlampau kendur, juga tidak menghasilkan suara yang merdu. Jalan tengah, disetel secara moderat, barulah dawai itu berfungsi optimal sebagaimana mestinya dawai menghasilkan bunyi-bunyian. Adalah delusi, ketika seseorang berdelusi bahwa dengan menempuh dan mendesak demokrasi ke titik paling jenuh bahkan melampaui daya tahan yang mampu ditanggung olehnya, maka jalannya roda pemerintahan suatu negara akan menjelma optimum—namun, benarkah demikian?.

Demokrasi memang memiliki titik lenting yang membuatnya mampu bertahan meski ditekan dan ditekuk, akan tetapi ia akan tetap “patah” pula bila dipaksakan dan didesak sampai terlampau jauh. Apakah Anda ingin melihat, “demokrasi yang patah” ialah seperti apa wujud jadinya bagi suatu negara? Sementara itu “demokrasi yang kebablasan” menciptakan distorsi publik maupun penyelenggara negara itu sendiri, seolah-olah segala sesuatu yang diatas-namakan atau diberi cap sebagai demokratis adalah baik adanya meski dipaksakan sifat keberlakuannya secara demikian eksploitatif tanpa batasan, sebagaimana warga yang kerap mengatas-namakan agama untuk melakukan segala sesuatu yang keliru dan tercela sebagai justifikasi / “alasan pembenar” untuk sesuatu yang tidak baik.

Mengatasnamakan demokrasi, penduduk kita yang lemah tingkat literasinya berdelusi bahwasannya ketika kepala daerah akan ditunjuk dan diangkat oleh para wakil rakyat di daerah, tidak lagi ditunjuk dengan sistem pemilihan umum secara langsung oleh penduduk / warga daerah setempat, sama artinya “demokrasi yang mundur ke belakang”—sekalipun jelas-jelas pemilihan kepala daerah secara langsung tidak berkorelasi lurus dengan tingkat kemakmuran rakyat ataupun kompetensi kepala daerah terpilih, disamping potensi diracuninya rakyat oleh “serangan fajar” uang politik, tidak terkecuali “politik berbiaya tinggi”.

Dengan kondisi dimana kepala daerah ditunjuk dan diangkat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, tidaklah dapat disebut sebagai “tidak demokratis” adanya. “Demokrasi keterwakilan” tetap adalah demokrasi itu sendiri. Tampaknya, masyarakat kita itu sendiri tidak tahu, apa yang dicari dan diinginkan dari demokrasi, sehingga dibiarkan terus-menerus “diperas” dan “diperah” hingga ke sum-sum tulangnya yang mulai menunjukkan tanda-tanda atau gejala akan retak dan akan segera “patah”. Lebih ideal lagi bilamana kepala daerah ditunjuk langsung oleh pemerintah pusat, dengan demikian kebijakan nasional akan terintegrasi secara penuh (fully integrated) dari pusat hingga daerah sebagaimana tipe “negara kesatuan” alih-alih jenis negara “federasi” sebagaimana dewasa ini dimana otonomi daerah diagung-agungkankan dengan (lagi-lagi) mengatas-namakan demokrasi sehingga melahirkan beragam kepala daerah “pembangkang”.

Semua warga berhak dicalonkan serta mencalonkan dirinya sebagai kepala negara, namun tidak semua warga dapat diangkat dan dipilih sebagai kepala negara. Semua warga berhak mendaftarkan dirinya dalam program Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), namun tidak semua warga dapat diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil atau Aparatur Sipil Negara—salah satunya filter bernama “SKCK” (Surat Keterangan Catatan Kepolisian), dimana mantan kriminil dapat dipastikan tidak akan lolos dalam seleksi CPNS. Gaibnya, para ex-koruptor dapat diikut-sertakan dalam pemilihan umum anggota legislatif, (lagi-lagi) mengatas-namakan demokrasi.

Akan tetapi masyarakat kita tampaknya juga memiliki bias persepsi publik. Tengok saja pemilihan umum presiden selaku kepala negara sekaligus kepala pemerintahan di Indonesia, pilihan yang tersedia bagi rakyat pemilih bisa menjadi amat terbatas, antara memilih si “kampret” ataukah si “kecebong”, keduanya sama-sama buruk—“kampret” dan “kecebong”—meski demikian rakyat hanya dapat memilih satu diantara kedua opsi calon kepala negara yang disajikan serta disuguhkan dalam “pesta demokrasi” berbiaya mahal ini, apakah “worthed” dan sebanding?

Demi obsesi pemilik partai politik yang berhasrat penuh nafsu untuk menjadi presiden, warga pembayar pajak yang harus menanggung biayanya. Jika Anda terobsesi dan berambisi membentuk sistem pemilihan umum yang paling demokratis, maka buatlah sistem pencalonan yang menyerupai turnamen piala dunia, ada babak penyisihan, ada babak delapan besar, dan lain sebagainya, sampai benar-benar menghasilkan pemimpin terpilih yang melewati serangkaian babak adu pemilihan, agar lebih kompetitif dan lebih mengedepankan “merit system” demokrasi ala egalitarian—bukan sekadar dicalonkan lalu mengikuti pemilihan umum seperti selama ini dipraktikkan demokrasi ala Indonesia, dimana para calonnya tersebut sebenarnya cukup duduk santai bersama-sama sambil menyeruput teh hangat di kedai teh sembari “bagi-bagi kekuasaan” tanpa perlu menggelar pemilihan umum berbiaya mahal.

Sejatinya, rakyat kita dipaksa serta terpaksa memilih antara si “kampret” ataukah si “kecebong”, tanpa dibuka pilihan lain, itu ibarat pesta yang menjemukan, karena hanya digelar menu “nasi kuning” dan “nasi uduk”, tanpa ada opsi lain untuk Anda pilih dan konsumsi, sementara itu bisa jadi Anda tidak menyukai keduanya. Tuan rumah penggelar hajatan semacam itu, lebih baik Anda tidak perlu hadir dalam undangan berikutnya, waktu Anda jauh lebih berharga nilainya dan Anda bisa membeli sendiri “nasi goreng” kesukaan Anda di warung langganan Anda.

Bagaimana dengan nasib si “merak”, si “elang”, si “angsa”, si “gajah”, maupun para tokoh dan negarawan lainnya yang sebetulnya lebih layak dan lebih kompeten memimpin negara, namun tidak dicalonkan oleh partai politik, selain sekadar hanya menjadi pentonon tanpa dapat dipilih ataupun terpilih dalam pemilihan umum? Faktanya, masyarakat kita sama sekali tidak perduli, dan tetap bisa menikmati “demokrasi” yang sangat amat terbatas khususnya terkait konteks calon kepala negara—akan tetapi diluar konteks tersebut, masyarakat kita menuntut secara berlebihan terhadap sistem demokrasi.

Semua mengatas-namakan demokrasi, seolah dengan begitu, semua hal jadi dibolehkan dan dapat dibenarkan, bahkan untuk secara tanpa batasan. Segala zat, sekalipun itu produk pangan layak konsumsi, sejatinya adalah racun bilamana kita tidak memakannya sesuai takaran porsi yang proporsional. Pernahkah Anda menderita sakit berupa keluhan fisik akibat overdosis meminum susu sapi murni meski Anda tidak alegi terhadap susu sapi dan telah terbiasa mengonsumsinya? Penulis pernah mengalaminya, sehingga mulai menyadari bahwa segala-sesuatunya dapat berpotensi menjadi racun, bilamana dikonsumsi secara berlebihan—tidak terkecuali demokrasi, dapat menjelma demokrasi yang “toxic”, beracun, bila kita tidak pandai-pandai menyikapinya.

Saat ulasan ini disusun, publik sedang diboroskan perhatiannya untuk isu-isu tidak produktif semacam sistem pemilihan umum “proporsional terbuka” yang dipersoalkan dan diperdebatkan, bahkan digugat uji materiil agar dikembalikan menjadi sistem “proporsional tertutup”—“terbuka” artinya disamping gambar logo partai politik yang di-“coblos” oleh para pemilih, terdapat juga foto gambar sang calon pada lembar pemilihan untuk dapat di-“coblos”. Sementara itu “tertutup” artinya hanya terdapat gambar tunggal berupa logo partai politik, dimana ketua partai pemenang pemilu yang akan menentukan siapa kadernya yang akan menjabat sebagai anggota legislatif daerah—dimana pada mulanya saat era “orde baru” yang diberlakukan ialah sistem “tertutup”, sebelum kemudian bergulir era reformasi yang merombaknya menjadi ber-sistem-kan “terbuka”, namun kini mengatas-namakan (lagi) demokrasi yang dikambing-hitamkan untuk menggugat sistem “terbuka” agar dikembalikan ke sistem sebelumnya, “tertutup”, sebelum kemudian kelak akan kembali dipersoalkan oleh publik dan para pemangku kepentingan, seolah negara, rakyat, dan para penyusun kebijakan republik ini tidak punya pekerjaan lain yang lebih penting dan lebih produktif untuk dipusingkan serta dikerjakan.

Kini mulai dapat para pembaca cermati serta pahami sendiri, betapa kita harus membayar mahal dibalik “demokrasi tanpa batasan”. Jujur, penulis sama sekali tidak tertarik dengan kesemua itu, cukup “demokrasi paling dasar” sebagaimana konsep demokrasi paling klasik adalah sudah cukup memadai untuk menjalankan roda pemerintahan dan sebagai kendaraan untuk berbangsa. Bagaimana cara kita bernegara pada hari-hari diluar hari-H pemilihan umum, jauh lebih relevan bagi kemajuan republik ini. Bukan apa yang menjadi bentuk demokrasinya, namun bagaimana kita mengisi demokrasi tersebut.

Tiada satupun sistem atau model demokrasi yang sempurna, itu adalah delusi dibalik utopia rekaan Anda sendiri, yang menyia-nyiakan banyak waktu berharga untuk bongkar-pasang aturan pemilihan umum. Praktis, tiada edukasi politik yang mencerdaskan bangsa kita, bilamana demokrasi dimaknai sebagai satu hari pada hari-H pemilihan umum, dimana selebihnya pada kurun waktu lima tahun kedepan bisa jadi roda bernegara dan berbangsa tidak mencerminkan jiwa semangat demokrasi. Tiada yang dapat menjamin, kepala negara yang terpilih secara demokratis oleh rakyat secara langsung, tidak akan menjelma kepala negara yang otoriter dikemudian hari. Sebagai bangsa yang baik dan cerdas, kita perlu belajar dari pengalaman bangsa kita sendiri pada era Orde Lama dan Orde Baru.

Tiada “pesta” yang tidak usai, tidak terkecuali demokrasi, kita pun harus kembali bekerja dan pada aktivitas keseharian kita dalam berbangsa. Masyarakat di Amerika Serikat tampaknya cukup cerdas sehingga dapat merasa berpuas diri dengan sistem “demokrasi terbatas” yang mereka batasi keberlakuannya dalam berbangsa dan bernegara, agar rakyat dan pemerintah mereka dapat mengurusi banyak urusan-urusan lain yang lebih urgen dan lebih mendesak untuk diurusi, dikerjakan, ditangani, serta diselesaikan. Demokrasi adalah sarana atau kendaraan bagi segenap rakyatnya untuk sampai pada suatu tujuan, yakni kesejahteraan dan mensejahterakan rakyat—namun demikian, demokrasi bukanlah tujuan berbangsa itu sendiri.

Mungkin akar masalah kesemua fenomena demikian, ialah akibat keliru dalam memaknai arti demokrasi. Demokrasi sejatinya hanya dapat dimaknai sebagai “menghargai diskursus”, dimana perbedaan bukanlah hal yang ditabukan, dimana juga keberagaman mendapatkan tempatnya secara terhormat serta diberi ruang untuk mengekspresikan diri, akan tetapi dalam koridor semangat bersama untuk mencapai satu tujuan yang lebih tinggi, yakni kebaikan publik—bukan perihal memilih ataupun dipilih sebagaimana demokrasi dalam artian yang “dangkal”, sekaligus cerminan bahwasannya rakyat kita masih belum “melek” terhadap apa itu demokrasi yang selama ini mereka dengungkan dan gaungkan. Karenanya, demokrasi adalah alat untuk memersatukan atau sebagai pemersatu, alih-alih menjadi biang keladi polarisasi dan perpecahan bangsa.

Bongkar-pasang norma hukum pemilihan umum, sama sekali tidak membawa faedah yang bermakna, karena apapun itu pola pengaturannya, selalu ada harga dibalik “demokrasi tanpa batasan”, sama seperti selalu akan ada (kutukan) plus dan minus sistem “proporsional terbuka” maupun “proporsional tertutup”, kutukan mana abadi sifatnya sehingga bongkar-pasang pengaturan tidaklah sebagai solusi yang permanen, solusinya ada di tempat lain yang sama sekali tidak memiliki kaitan dengan demokrasi—yakni faktor kegagalan para guru dalam memberi teladan hidup yang baik maupun para pemuka agama yang mengkampanyekan serta mempromosikan ideologi korup penuh kecurangan semacam “pengampunan / penghapusan dosa” (aboliton of sins) alias “Agama DOSA” alih-alih “Agama SUCI”, sekalipun kita ketahui bahwa hanya seorang pendosa yang membutuhkan ideologi korup semacam “penghapusan dosa” atau apapun itu istilahnya. Kesemua ini ibarat, yang gatal di bagian kepala namun menggaruknya di bagian punggung, maka selamanya rasa gatal itu akan tetap ada dan menjadi gangguan tersendiri tanpa berkesudahan.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.