KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Ambiguitas Hak Mempailitkan Manajer Investasi, Menyandera Hak Investor Pasar Modal

Manajer Investasi Selaku Profesi ataukah Individu Penyandang Status?

Otoritas Jasa Keuangan Memonopolistik Kewenangan Mempailitkan Manajer Investasi, SALAH KAPRAH Penyusun Kebijakan yang Mispersepsi Aturan yang Dirancang dan Diterbitkannya Sendiri

Regulasi di Indonesia mengatur bahwa seseorang yang berprofesi sebagai Manajer Investasi, hanya dapat dimohonkan pailit dan dipailitkan atas dasar permohonan pemerintah—dalam hal ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK)—ke hadapan Pengadilan Niaga, sehingga tertutup peluang warga negara perorangan ataupun badan hukum swasta untuk mempailitkan seorang Manajer Investasi. Namun demikian, penulis menilai pengaturan demikian adalah blunder adanya, mengingat para investor yang menuntut haknya atas dana investasinya yang tidak dapat dicairkan oleh sang Manajer Investasi, tergolong sebagai “Kreditor Separatis”, mengingat seluruh dana investasi yang dikelola oleh sang Manajer Investasi dipisahkan serta terpisah (separated) dari harta kekayaan pribadi sang Manajer Investasi.

Mengingat investor pembeli dan penjual efek melalui peran jasa Manajer Investasi, tidak akan berpotensi kehilangan dana ataupun terancam tidak akan terbayarkan hak-hak atas dana investasi miliknya, karena sekalipun sang Manajer Investasi jatuh dalam keadaan pailit, mengingat dana-dana investasi para investornya tidak akan dimasukkan ke dalam “budel pailit”—secara konseptual terpisah dan dipisahkan dari harta kekayaan pribadi sang Manajer Investasi—maka menjadi absurd bilamana otoritas berdalih bahwa hak untuk memohon pailit terhadap seorang Manajer Investasi menjadi monopoli OJK demi melindungi kepentingan segenap investor pada pasar modal.

Fakta yuridis yang berangkat dari paradigma di atas, yakni penggolongan investor pasar modal yang diperantarai oleh suatu Manajer Investasi tidak digolongkan sebagai “Kreditor Konkuren”, akan tetapi sebagai “Kreditor Separatis” yang tidak dimasukkan kedalam “budel pailit”, mengerucut pada satu kesimpulan bahwasannya pailit atau tidaknya sang Manajer Investasi, tidak membawa pengaruh atau ancaman apapun terhadap hak-hak pengembalian atas dana investasi miliknya, tetap terjamin pelunasannya ketika para investornya hendak mencairkan / menjual efek (saham, obligasi, dan sebagainya) yang mereka perjual-belikan di pasar modal.

Kini kita masuk pada bahasan blunder dibalik pengaturan “Manajer Investasi hanya boleh dimohonkan pailit oleh pemerintah”, dimana konsekuensinya kita menjadi bertanya-tanya, apakah bila sang Manajer Investasi memiliki hutang-piutang pribadi bukan dengan investornya, semisal rekan bisnisnya, terjadi wanprestasi ataupun perbuatan melawan hukum sehingga digugat-pailit oleh rekan bisnisnya, maka apakah sang Manajer Investasi dapat menyalah-gunakan status profesinya sebagai seorang Manajer Investasi untuk berlindung dibalik dalil adanya imunitas bagi kalangan profesi Manajer Investasi dari ancaman akan dipailitkan oleh warga sipil lainnya?

Setelah memperbincangkan teks normatif hukum, kini kita masuk pada bahasan perihal konteks “siapa yang hak-haknya telah dirugikan sehingga menuntut kepailitan sebagai jalan terakhir”? Suatu Manajer Investasi memiliki dua peran atau kapasitas dalam satu subjek hukum yang sama, yakni selaku individu pribadi dan selaku seorang Manajer Investasi sebagai profesinya. Ketika seorang Manajer Investasi, berbisnis diluar bidang pasar modal, semisal membuka bisnis ritel namun cidera janji membayar distributor produk yang diperjual-belikan pada ritel milik sang Manajer Investasi, maka kreditornya bukanlah investor pada pasar modal, yang artinya tidak terdapat relevansi perihal monopoli Otoritas Jasa Keuangan terhadap hak untuk mempailitkan sang Manajer Investasi. Dalam konteks ini, “Kreditor Konkuren” sang Manajer Investasi dapat sewaktu-waktu memohon / menggugat pailit sang Manajer Investasi yang gagal bayar produk-produk yang dipasok oleh distributornya.

Konteks kedua ialah bilamana yang memiliki piutang atau hak tagih atas penjualan efek milik para investornya, namun sang Manajer Investasi gagal untuk menyerahkan dana hasil penjualan efek pada pasar modal, maka investornya memang berkedudukan sebagai kreditor, namun bukan sebagai kreditor biasa, akan tetapi selaku “Kreditor Separatis” yang terjamin alias “secured creditor” mengingat dana investasi yang dikelola oleh suatu Manajer Investasi tidak masuk kedalam harta pribadi sang Manajer Investasi juga tidak masuk dalam “budel pailit” bilamana sang Manajer Investasi jatuh dalam keadaan pailit entah karena dipailitkan oleh kreditornya ataupun memailitkan dirinya sendiri. Berhubung investor pada pasar modal terjamin pelunasan piutang atau hak tagihnya terhadap sang Manajer Investasi, maka peran Otoritas Jasa Keuangan menjadi tidak juga terdapat relevansinya.

Artinya, sebagaimana pemetaan di atas, dalam konteks apapun itu, Otoritas Jasa Keuangan tidak memiliki relevansi apapun terhadap profesi Manajer Investasi yang memiliki hutang / kewajiban dan hendak dipailitkan oleh kreditornya. Pengaturan sumir bahwa suatu profesi Manajer Investasi hanya bisa dimohon pailit oleh Otoritas Jasa Keuangan, berpotensi menjadi blunder dikemudian hari semata karena dapat disalah-gunakan oleh sang Manajer Investasi terlebih ketika hakim pada Pengadilan Niaga tidak memahami kedua konteks diatas dan seketika menyatakan bahwa warga sipil tidak dapat memohon pailit terhadap seseorang warga yang secara kebetulan mengantungi izin profesi sebagai seorang Manajer Investasi.

Kerancuan atau ambiguitas demikian, adalah dapat dimaklumi, karena selama ini sebagai contoh merujuk eksistensi lembaga keuangan seperti perbankan, hanya dapat dimohon pailit oleh Otoritas Jasa Keuangan secara monopolistik, entah kreditornya ialah nasabah dari perbankan bersangkutan ataupun berlatar-belakang sebagai pegawai, rekan bisnis, maupun pihak otoritas dibidang perpajakan, sehingga praktis lembaga keuangan demikian adalah imun atau kebal dari potensi dimohon-pailitkan oleh subjek hukum sipil, dimana kewenangan momohon kepailitan terhadap lembaga keuangan perbankan semata menjadi monopoli kewenangan Otoritas Jasa Keuangan.

Pertanyaan utamanya ialah, apakah dengan demikian, memakai atau meminjam konstruksi paradigma atau analogi berpikir yang serupa dengan lembaga keuangan perbankan, maka seorang warga yang secara kebetulan berprofesi sebagai Manajer Investasi, dinyatakan atau dipandang oleh hukum memiliki kekebalan atau imunitas hukum terhadap potensi / resiko dimohon-pailitkan oleh warga sipil lainnya dan murni menjadi kewenangan monopolistik Otoritas Jasa Keuangan?

Kini, mari kita berbincang perihal “the worst case scenario”. Terjadi gejolak hebat di pasar modal, dimana penjualan efek berlangsung secara panik oleh para investor (rush), mengakibatkan klaim pencairan dana hasil penjualan efek—investor pemegang efek memiliki hak prerogatif yang tidak dapat ditawar-tawar untuk menjual kembali efek yang sebelumnya telah mereka beli—membludak untuk diproses dan difasilitasi oleh sang Manajer Investasi yang selama ini menjadi “pialang” atau fasilitator para investor yang bermain di pasar modal. Akan tetapi sang Manajer Investasi gagal untuk mencairkan dana dan menyerahkannya kepada para investornya yang melakukan aksi penjualan efek dan penarikan dana besar-besaran, baik karena faktor teknis maupun non-teknis.

Sang investor menjadi panik, penuh ketidakpastian terhadap dana investasi miliknya yang mengendap tanpa diproses oleh sang Manajer Investasi, sekalipun (konon) rekening penampungan dana jual-beli efek dipisahkan dan terpisah dari harta-kekayaan ataupun rekening pribadi sang Manajer Investasi. Meski digolongkan sebagai “Kreditor Separatis”, namun tidak terdapat mekanisme semacam “performance / security bond” atau sejenis asuransi yang menjamin bahwa para investornya dapat secara mandiri dan swadaya mendapatkan pencairan dana secara “tanpa syarat” yang difasilitasi semacam lembaga penjaminan (dahulu oleh lembaga asuransi) oleh oleh lembaga perbankan dimana rekening penampungan dana investasi selama ini dikelola oleh sang Manajer Investasi.

Tidak juga terdapat jaminan semacam agunan yang biasa dipraktikkan sebagai “best practice” pada lembaga keuangan perbankan sebagai jaminan pelunasan hutang, yang mana bisa sewaktu-waktu di-“parate eksekusi” (di-lelang eksekusi) oleh kreditornya (perbankan) secara mandiri dan swadaya bilamana nasabah debitornya gagal melunasi hutangnya, dimana hasil penjualan lelang terhadap agunan milik debitornya seketika sebagai dana pelunasan hutang-hutangnya. “Kreditor Separatis” (separated / secured creditor), memiliki daya paksa berupa agunan miik debitornya yang dapat secara seketika, swadaya, dan sewaktu-waktu dieksekusi oleh kreditornya bilamana debitornya mengalami cidera janji berupa gagal bayar atau gagal melunasi hutangnya.

Meski demikian, tampaknya khusus untuk konteks investor pada pasar modal yang netabene “suka atau tidak suka” harus difasilitasi oleh suatu profesi Manajer Investasi, para investor tersebut tergolong sebagai “Kreditor Separatis” akan tetapi tidak memiliki daya pemaksa apapun untuk sewaktu-waktu dan secara seketika serta secara swadaya mengeksekusi jaminan pelunasan / pembayaran berupa agunan milik sang Manajer Investasi, namun hanya sebatas menagih, mendesak, serta “mengemis-ngemis” tanggung-jawab sang Manajer Investasi.

Artinya, para investor tetap disandera dan tersandera oleh itikad sang Manajer Investasi—yang mana bila sang Manajer Investasi abai mencairkan dana atau gagal berprestasi, sementara itu Otoritas Jasa Keuangan selaku pengawas dan penerbit izin profesi Manajer Investasi juga lalai / abai atas kewenangan serta tanggung-jawabnya menertibkan kalangan profesi Manajer Investasi (ingat dan rujuk kembali betapa abai dan lalainya Otoritas Jasa Keuangan terhadap nasib nasabah BUMN-Jiwasraya maupun Asuransi Kresna), maka itu sama artinya para investor dari sang Manajer Investasi hanya bisa “gigit jari” dan tersandera tanpa dapat memohon pailit terhadap Manajer Investasi yang sebetulnya bisa menjadi “the last resort” ataupun daya penekan yang mengancam sehingga sang Manajer Investasi merasa terancam akan pailit bila gagal berkomitmen untuk berprestasi terhadap para investornya, semata karena hak-hak memohon pailit tersebut dirampas dan kini menjadi monopolistik Otoritas Jasa Keuangan.

Dalam konteks kedua, bilamana sang Manajer Investasi memiliki beban kewajiban prestasi berupa pembayaran sejumlah dana kepada rekan bisnisnya diluar bidang pasar modal, apakah masih relevan bilamana Otoritas Jasa Keuangan memonopoli kewenangan memohon pailit terhadap sang Manajer Investasi, sekalipun hubungan hukum hutang-piutang antara sang Manajer Investasi dan rekan bisnisnya sama sekali tidak terkait efek maupun pasar modal, akan tetapi semisal terkait tagihan kontraktor yang membangun gedung di atas tanah milik pribadi sang Manajer Investasi, ataupun hubungan hukum bisnis lainnya.

Ketika rekan bisnis sang Manajer Investasi hendak memohon pailit terhadap sang Manajer Investasi, pengacara atau kuasa hukum sang Manajer Investasi akan semudah mendalilkan, dengan merujuk konstruksi lembaga keuangan perbankan yang sekalipun kreditor pemohon pailitnya adalah nasabah sang perbankan ataupun non-nasabah sang perbankan, hanya dapat dimohonkan oleh Otoritas Jasa Keuangan? Sama seperti eksistensi Badan Usaha Milik Negara maupun Badan Usaha Milik Daerah, yang sekalipun kreditornya berangkat dari latar belakang bukan terkait bidang usaha Badan Usaha Milik Negara / Daerah tersebut, tetap saja untuk memohon pailit hanya menjadi kewenangan pemerintah pusat.

Berhubung Otoritas Jasa Keuangan sama sekali tidak relevan terhadap apapun itu konteks Manajer Investasi, maka kembali kepada polemik utama yang melahirkan blunder di lapangan ialah, secara konseptual maupun secara tataran teknisnya, apa yang menjadi urgensi ataupun kepentingan dijadikannya Otoritas Jasa Keuangan sebagai satu-satunya lembaga yang berwenang memohon pailit pihak Manajer Investasi? Jika memang dana milik investor pasar modal, bersifat terpisah dan dipisahkan dari rekening maupun harta kekayaan sang Manajer Investasi sehingga tidak dapat berpotensi jatuh dalam kedalam “budel pailit”, maka itu artinya tiada lagi alasan untuk mengkhawatirkan pailitnya suatu penyandang profesi Manajer Investasi.

Pailit ataupun tidak pailitnya Manajer Investasi, dana investor yang dikelola oleh suatu Manajer Investasi terpisah dan dipisahkan dari rekening pribadi milik sang Manajer Investasi, karenanya sekalipun sang Manajer Investasi dipailitkan dan jatuh pailit, tidak membawa ancaman kerugian apapun bagi para investornya selaku “secured creditor”. Isu hukum utamanya selama ini ialah, bagaimana bila Manajer Investasi abai terhadap tanggung-jawabnya mencairkan dana milik sang investor, dimana pihak Otoritas Jasa Keuangan juga abai terhadap kewenangannya mempailitkan sang Manajer Investasi, sementara itu mekanisme tiada daya paksa bagi para investornya untuk secara seketika dan efektif mengeksekusi rekening penampungan dana jual-beli efek yang selama ini dikelola oleh sang Manajer Investasi? Sementara itu, opsi untuk mempailitkan sang Manajer Investasi telah ditutup oleh otoritas, dan menjadikan opsi tersebut sebagai kewenangan monopolistik tunggal pihak Otoritas Jasa Keuangan.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.