Selamat Datang Motor / Mobil Listrik, HONDA dan YAMAHA Tinggal Sejarah, Gigit Jari, dan menjadi Penonton
Era Sumber Energi Baru : Negara Penghasil Nikel
(Bahan Baku Manufaktur Baterai Mobil / Motor Listrik) akan Berjaya dan Negara
Sumber Minyak Fosil akan Tiarap dan Gulung Tikar
Tentu kita masih ingat perjalanan sejarah perkembangan teknologi, dalam satu generasi mampu mengubah wajah dan perilaku kita dalam berkehidupan sehari-hari, sehingga adalah niscaya revolusi serta disrupsi kita dalam berkendara pun dapat berubah drastis hanya dalam hitungan satu generasi tanpa perlu menunggu dua generasi dari sekarang. Ambil contoh sederhana, dahulu kita memasak atau menanak nasi menggunakan kayu bakar beralih menjadi minyak tanah, sebelum kemudian beralih menjadi gas elpiji. Kini, hampir semua rumah tangga di perkotaan maupun di pedesaan (bahkan di perkampungan) telah beralih menjadi peralatan “rice cooker” bersumberkan energi listrik. Kereta api, pada mulanya benar-benar ditenagai oleh uap, batubara, dan pemanasan oleh api. Kini, kereta yang efisien dan efektif kesemuanya ditenagai oleh listrik. Semua menjadi bisa, karena terbiasa dan dibiasakan—demikianlah cara kerja “the new normal”.
Begitupula ketika kita memasak
makanan, kini pemerintah di Indonesia telah membuat uji coba peralihan kompor
bahan bakar gas menjelma kompor listrik di sejumlah daerah, menemukan hasil
yang dilaporkan sebagai “sangat memuaskan”, mengingat masyarakat yang telah
beralih menggunakan kompor listrik mengklaim terjadi efisiensi biaya
pengeluaran rumah tangga untuk bahan bakar memasak di keseharian. Bahkan kini kita
dapat menemukan alat perebus telur yang berupa perangkat kecil dengan konsumsi
listrik, bukan lagi wajan berair yang dimasak dengan api gas.
Semua berevolusi, sementara itu
teknologi mampu dengan ajaibnya “like a
miracle” berevolusi—bahkan terkesan terlampau cepat bergerak maju, dimana kita
dibuat terperangah mengingat sebagian tenaga kerja manusia telah tergantikan
oleh “pekerja robot asing” alias teknologi robotik otomatisasi yang diimpor
oleh kalangan pengusaha lokal maupun investor asing di Indonesia maupun tren di
sejumlah negara, alias “padat modal” dan “padat tekonologi”. Tidak tertutup
kemungkinan, kelak ada terbentuk “Partai Robot” sebagai wadah untuk menampung aspirasi-aspirasi
kalangan robot karena dipekerjakan 24 jam dalam sehari dan 7 hari dalam seminggu
namun pihak pengusaha hanya mengeluarkan atau memberi kompensasi berupa listrik
dan oli pelumas.
Ketika mobil listrik kian
merakyat, ketika motor listrik menjadi kendaraan “sejuta umat”—dimana
pengendara kendaraan bermotor roda dua mengklaim terjadi efisiensi biaya
perawatan maupun bahan bakar sejak memakai motor listrik—maka dapat kita
prediksi, dalam waktu singkat dan tidak lama lagi sejak saat kini, berbagai
SPBU (stasiun pengisian bahan bakar umum) berbahan baku energi fosil menjadi
defensif serta reaktif yang hebat karena eksistensi pundi-pundi ekonominya terancam
menuju kepunahan. Begitupula kilang-kilang pengolahan minyak bumi, eksportir
maupun importir minyak bumi, pengusaha eksplorasi dan eksploitasi minyak bumi offshore maupun onshore, tidak terkecuali para mafia-mafia energi minyak bumi yang
bermain didalam dan diantaranya, akan melakukan perlawanan hebat, perlawanan
mana tidak rasional mengingat teknologi tidak akan mampu dibendung supremasinya
untuk sepanjang masa. Mereka hanya mampu melakukan perlawanan dan membendung
untuk sekian waktu lamanya, sebelum kemudian disrupsi tekonologi akan “meledak”
dan menjadi fenomena baru yang “membumi” juga “merakyat”.
Negara-negara “sombong” sok “tidak
butuh sumber daya ekonomi lain” untuk melangsungkan kehidupan bagi bangsa dan
rakyatnya, yang selama ini sumber pendapatannya didominasi dari kekayaan alam
berupa minyak bumi / fosil yang tidak terbarukan, bahkan menerapkan hukum syariat
yang tidak toleran terhadap kemajemukan—sebagai contoh Brunai Darussalam—kelak
akan menemui titik dimana negara bersangkutan akan kolaps dan menuju jalan
buntu seperti yang kini dialami oleh salah satu daerah otonomi khusus di Indonesia
bernama Aceh yang menerapkan hukum syariah dimana perekonomiannya “tiarap” sementara
itu pariwisatanya “nihil”, bahkan tiada investor asing maupun lokal yang
berminat masuk ke Aceh (menurut pengakuan seorang anak muda dari Aceh dalam
penuturannya secara empat mata kepada penulis beberapa tahun lampau).
Pertamina, kini dan dahulu kala
adalah entitas bisnis raksasa, sang “Goliat” ekonomi penentu hidup mati dan
mati (hajat hidup) orang banyak, dimana ekonomi rakyat sangat bergantung pada “kemurahan
hati” maupun “itikad baik” para petinggi dan pejabat di Pertamina. Begitupula para
pengusaha SPBU, rata-rata “orang kaya yang kian kaya raya” dari bisnis dan
membisniskan “hajat hidup” orang banyak ini. Nasib Pertamina, tidak sampai dua
dekade sejak saat ulasan ini disusun, dapat kita prediksi akan berakhir sama seperti
salah satu perusahaan Taxi nasional yang semula sempat menjadi bisnis yang sangat
menguntungkan dan pretise, karena mendominasi pangsa pasar yang begitu luas
dari masyarakat pengguna transportasi umum, dengan puluhan atau ratusan ribu armadanya
dengan tarif yang tinggi namun tetap laku peminat, kini tergerus dan “mati suri”
sejak era disrupsi “sewa kendaraan roda empat berbasis daring” alias “pemesanan
mobil ‘online’”.
Sebelum era digitalisasi
surat-menyurat, PT. POS Indonesia mendominasi pangsa pasar di Tanah Air lewat penjualan
perangko. Kini, perusahaan milik negara tersebut memonopoli proyek-proyek pemerintah
untuk bisa eksis dimana pengiriman dokumen berupa surat sudah tidak lagi
diminati oleh masyarakat karena tidak efisien juga tidak kompetitif tarif maupun
pelayannya, kecuali terhadap proyek-proyek pemerintahan. Begitupula gerai-gerai
atau outlet waralaba penjualan
kepingan cakram film-film yang dahulu sempat merajai dunia per-film-an, kini
kolaps sejak menjamurnya era “streaming”
video online. Opsi untuk dipilih oleh masyarakat selaku konsumen, menjadi
demikian bervariasi dan bersifat “on
demand”—dimana pasar (demand) yang
menciptakan “supply” para pelaku
usaha.
Survival of the fittest, Pertamina maupun negara-negara pengimpor bahan
bakar minyak berbasis fosil yang tidak terbarukan, akan menuju era kepunahan (doom era) serupa era dinosaurus yang
tidak mampu melewati seleksi alam yang keras ini, sementara itu si mungil cicak
dapat tetap eksis, atau buaya yang mengecilkan tubuhnya, semata karena perubahan
iklim (zaman es) maupun karena perubahan tren dan kecenderungan pasar akibat
disrupsi tekonologi. Teknologi maupun perkembangannya dapat menjadi alat bantu
kehidupan banyak umat manusia secara masif, namun teknologi yang sama juga dapat
bersifat sangat keras dan kejam kepada sebagian diantara umat manusia yang tidak
mampu untuk beradabtasi dan bertumbuh bersama dengannya—sehingga atau dimana
pilihannya hanya ada dua : tetap eksis dan survive
berdampingan dengan perubahan ini lewat adabtasi serta inovasi, atau punah
bersama teknologi usang yang tergantikan.
Kita masih ingat produsen
manufaktur mesin-mesin seperti faksimili maupun pemutar musik portabel dan pager,
dahulu kala sempat menjadi tren yang bergengsi, kini telah lama punah. Nokia, sekadar
sebagai contoh produsen telekomunikasi genggam nirkabel yang pada mulanya
mendominasi dan menguasai pangsa pasar global tidak terkecuali di Indonesia, kini
tergantikan posisinya serta tersisihkan dari “market” akibat “customers is
the KING” sebagai hakim penentu apakah sebuah produsen akan tetap eksis,
bertumbuh, atau sebaliknya terjatuh dan terjungkal. Petinggi Nokia kemudian
menyatakan kalimat berikut ini sebagai tanggapannya : “Nokia bukan gagal untuk berbinis, namun kompetitor kami telah
ternyata bergerak (dan berkembang) lebih cepat daripada kami.”
Ada sejumlah pihak, yang
mengklaim bahwa kecanggihan teknologi dibidang kesehatan untuk keperluan medis
maupun telekomunikasi, semisal teknologi laser, internet, dan sebagainya, adalah
berkat eksperimen, penemuan, dan inovasi dibidang persenjataan militeristik. Pendapat
demikian tidak benar adanya, karena ada atau tidaknya perang maupun industri
militeristik, perkembangan teknologi tetap tidak terbendung untuk menciptakan
disrupsinya sendiri, dimana perkembangan teknologi serta inovasi yang
menyertainya selalu seiring sejalan dengan tinggi atau ketat dan kerasnya
tingkat persaingan antar kompetitor. Kata kunci penentu revolusi maupun evolusi
teknologi ialah, tingginya tingkat kompetisi yang sehat diantara antar
kompetitor atas produk dan pangsa pasar yang sama dimana mereka bermain dan
mengisi didalamnya memperebutkan “kue” yang ada.
Kini, produsen otomotif dunia
maupun di Indonesia yang dominasi produsen-produsen asal Jepang dan Eropa, akan
digantikan dan tergantikan oleh produsen asal China, berupa teknologi otomotif
kendaraan roda dua berbasis baterai listrik sebagai sumber penggerak motornya. Sedikit
berbicara perihal teknis motor listrik, bahkan rata-rata teknisi di Indonesia sudah
mampu merakitnya secara swadaya karena memang komponennya sangat sederhana
tidak serumit dan tidak sekompleks motor konvensional yang terdiri dari ratusan
komponen penyusunnya—mereka cukup bermodalkan tiga komponen berikut : rangka /
chasis, sistem kelistrikan, dan baterai. Siapapun dapat mengimpornya dari China,
merakitnya di dalam negeri, lalu memasarkannya, dimana selebihnya hanya persoalan
waktu menjelma “kendaraan sejuta umat” mengingat harganya di pasar ada yang
jauh lebih murah daripada motor konvensional disamping biaya perawatan dan sumber
energinya jauh lebih efisien.
Akhir kata, mari kita ucapkan
selamat datang pada era baru dimana teknologi listrik memasuki generasi
terbarunya sebagai dominasi pemain pada dunia energi penggerak motor global, dan
disaat bersamaan kita mengucapkan selamat tinggal dan perpisahan dengan
Pertamina maupun Pertamini, digantikan oleh berbagai bisnis SPL (stasiun
pengisian listrik) “fast charging”
bagi para pengendara kendaraan bermotor berbasis energi kelistrikan. Selamat tinggal
pula kepada produsen-produsen motor / otomotif asal Jepang yang selama ini “menjajah
ekonomi” Indonesia.
Tentu para pembaca telah pernah
membaca atau mendengar adagium hukum berikut : Hukum itu kejam, namun
demikianlah adanya. Faktanya, teknologi juga adalah kejam, juga bisa lebih
kejam, namun begitulah realitanya. Sependapat atau tidak sependapatkah, Anda?
Tepat satu dekade sejak ulasan ini disusun, kita akan mendengar komentar-komentar
sebagai berikut : “Hari gini, masih pakai
motor BBM?”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.