KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Tahun 2040 : Pertamina, GAME OVER. Negara Penghasil Minyak Bumi, IS OVER

Selamat Datang Motor / Mobil Listrik, HONDA dan YAMAHA Tinggal Sejarah, Gigit Jari, dan menjadi Penonton

Era Sumber Energi Baru : Negara Penghasil Nikel (Bahan Baku Manufaktur Baterai Mobil / Motor Listrik) akan Berjaya dan Negara Sumber Minyak Fosil akan Tiarap dan Gulung Tikar

Tentu kita masih ingat perjalanan sejarah perkembangan teknologi, dalam satu generasi mampu mengubah wajah dan perilaku kita dalam berkehidupan sehari-hari, sehingga adalah niscaya revolusi serta disrupsi kita dalam berkendara pun dapat berubah drastis hanya dalam hitungan satu generasi tanpa perlu menunggu dua generasi dari sekarang. Ambil contoh sederhana, dahulu kita memasak atau menanak nasi menggunakan kayu bakar beralih menjadi minyak tanah, sebelum kemudian beralih menjadi gas elpiji. Kini, hampir semua rumah tangga di perkotaan maupun di pedesaan (bahkan di perkampungan) telah beralih menjadi peralatan “rice cooker” bersumberkan energi listrik. Kereta api, pada mulanya benar-benar ditenagai oleh uap, batubara, dan pemanasan oleh api. Kini, kereta yang efisien dan efektif kesemuanya ditenagai oleh listrik. Semua menjadi bisa, karena terbiasa dan dibiasakan—demikianlah cara kerja “the new normal”.

Begitupula ketika kita memasak makanan, kini pemerintah di Indonesia telah membuat uji coba peralihan kompor bahan bakar gas menjelma kompor listrik di sejumlah daerah, menemukan hasil yang dilaporkan sebagai “sangat memuaskan”, mengingat masyarakat yang telah beralih menggunakan kompor listrik mengklaim terjadi efisiensi biaya pengeluaran rumah tangga untuk bahan bakar memasak di keseharian. Bahkan kini kita dapat menemukan alat perebus telur yang berupa perangkat kecil dengan konsumsi listrik, bukan lagi wajan berair yang dimasak dengan api gas.

Semua berevolusi, sementara itu teknologi mampu dengan ajaibnya “like a miracle” berevolusi—bahkan terkesan terlampau cepat bergerak maju, dimana kita dibuat terperangah mengingat sebagian tenaga kerja manusia telah tergantikan oleh “pekerja robot asing” alias teknologi robotik otomatisasi yang diimpor oleh kalangan pengusaha lokal maupun investor asing di Indonesia maupun tren di sejumlah negara, alias “padat modal” dan “padat tekonologi”. Tidak tertutup kemungkinan, kelak ada terbentuk “Partai Robot” sebagai wadah untuk menampung aspirasi-aspirasi kalangan robot karena dipekerjakan 24 jam dalam sehari dan 7 hari dalam seminggu namun pihak pengusaha hanya mengeluarkan atau memberi kompensasi berupa listrik dan oli pelumas.

Ketika mobil listrik kian merakyat, ketika motor listrik menjadi kendaraan “sejuta umat”—dimana pengendara kendaraan bermotor roda dua mengklaim terjadi efisiensi biaya perawatan maupun bahan bakar sejak memakai motor listrik—maka dapat kita prediksi, dalam waktu singkat dan tidak lama lagi sejak saat kini, berbagai SPBU (stasiun pengisian bahan bakar umum) berbahan baku energi fosil menjadi defensif serta reaktif yang hebat karena eksistensi pundi-pundi ekonominya terancam menuju kepunahan. Begitupula kilang-kilang pengolahan minyak bumi, eksportir maupun importir minyak bumi, pengusaha eksplorasi dan eksploitasi minyak bumi offshore maupun onshore, tidak terkecuali para mafia-mafia energi minyak bumi yang bermain didalam dan diantaranya, akan melakukan perlawanan hebat, perlawanan mana tidak rasional mengingat teknologi tidak akan mampu dibendung supremasinya untuk sepanjang masa. Mereka hanya mampu melakukan perlawanan dan membendung untuk sekian waktu lamanya, sebelum kemudian disrupsi tekonologi akan “meledak” dan menjadi fenomena baru yang “membumi” juga “merakyat”.

Negara-negara “sombong” sok “tidak butuh sumber daya ekonomi lain” untuk melangsungkan kehidupan bagi bangsa dan rakyatnya, yang selama ini sumber pendapatannya didominasi dari kekayaan alam berupa minyak bumi / fosil yang tidak terbarukan, bahkan menerapkan hukum syariat yang tidak toleran terhadap kemajemukan—sebagai contoh Brunai Darussalam—kelak akan menemui titik dimana negara bersangkutan akan kolaps dan menuju jalan buntu seperti yang kini dialami oleh salah satu daerah otonomi khusus di Indonesia bernama Aceh yang menerapkan hukum syariah dimana perekonomiannya “tiarap” sementara itu pariwisatanya “nihil”, bahkan tiada investor asing maupun lokal yang berminat masuk ke Aceh (menurut pengakuan seorang anak muda dari Aceh dalam penuturannya secara empat mata kepada penulis beberapa tahun lampau).

Pertamina, kini dan dahulu kala adalah entitas bisnis raksasa, sang “Goliat” ekonomi penentu hidup mati dan mati (hajat hidup) orang banyak, dimana ekonomi rakyat sangat bergantung pada “kemurahan hati” maupun “itikad baik” para petinggi dan pejabat di Pertamina. Begitupula para pengusaha SPBU, rata-rata “orang kaya yang kian kaya raya” dari bisnis dan membisniskan “hajat hidup” orang banyak ini. Nasib Pertamina, tidak sampai dua dekade sejak saat ulasan ini disusun, dapat kita prediksi akan berakhir sama seperti salah satu perusahaan Taxi nasional yang semula sempat menjadi bisnis yang sangat menguntungkan dan pretise, karena mendominasi pangsa pasar yang begitu luas dari masyarakat pengguna transportasi umum, dengan puluhan atau ratusan ribu armadanya dengan tarif yang tinggi namun tetap laku peminat, kini tergerus dan “mati suri” sejak era disrupsi “sewa kendaraan roda empat berbasis daring” alias “pemesanan mobil ‘online’”.

Sebelum era digitalisasi surat-menyurat, PT. POS Indonesia mendominasi pangsa pasar di Tanah Air lewat penjualan perangko. Kini, perusahaan milik negara tersebut memonopoli proyek-proyek pemerintah untuk bisa eksis dimana pengiriman dokumen berupa surat sudah tidak lagi diminati oleh masyarakat karena tidak efisien juga tidak kompetitif tarif maupun pelayannya, kecuali terhadap proyek-proyek pemerintahan. Begitupula gerai-gerai atau outlet waralaba penjualan kepingan cakram film-film yang dahulu sempat merajai dunia per-film-an, kini kolaps sejak menjamurnya era “streaming” video online. Opsi untuk dipilih oleh masyarakat selaku konsumen, menjadi demikian bervariasi dan bersifat “on demand”—dimana pasar (demand) yang menciptakan “supply” para pelaku usaha.

Survival of the fittest, Pertamina maupun negara-negara pengimpor bahan bakar minyak berbasis fosil yang tidak terbarukan, akan menuju era kepunahan (doom era) serupa era dinosaurus yang tidak mampu melewati seleksi alam yang keras ini, sementara itu si mungil cicak dapat tetap eksis, atau buaya yang mengecilkan tubuhnya, semata karena perubahan iklim (zaman es) maupun karena perubahan tren dan kecenderungan pasar akibat disrupsi tekonologi. Teknologi maupun perkembangannya dapat menjadi alat bantu kehidupan banyak umat manusia secara masif, namun teknologi yang sama juga dapat bersifat sangat keras dan kejam kepada sebagian diantara umat manusia yang tidak mampu untuk beradabtasi dan bertumbuh bersama dengannya—sehingga atau dimana pilihannya hanya ada dua : tetap eksis dan survive berdampingan dengan perubahan ini lewat adabtasi serta inovasi, atau punah bersama teknologi usang yang tergantikan.

Kita masih ingat produsen manufaktur mesin-mesin seperti faksimili maupun pemutar musik portabel dan pager, dahulu kala sempat menjadi tren yang bergengsi, kini telah lama punah. Nokia, sekadar sebagai contoh produsen telekomunikasi genggam nirkabel yang pada mulanya mendominasi dan menguasai pangsa pasar global tidak terkecuali di Indonesia, kini tergantikan posisinya serta tersisihkan dari “market” akibat “customers is the KING” sebagai hakim penentu apakah sebuah produsen akan tetap eksis, bertumbuh, atau sebaliknya terjatuh dan terjungkal. Petinggi Nokia kemudian menyatakan kalimat berikut ini sebagai tanggapannya : “Nokia bukan gagal untuk berbinis, namun kompetitor kami telah ternyata bergerak (dan berkembang) lebih cepat daripada kami.”

Ada sejumlah pihak, yang mengklaim bahwa kecanggihan teknologi dibidang kesehatan untuk keperluan medis maupun telekomunikasi, semisal teknologi laser, internet, dan sebagainya, adalah berkat eksperimen, penemuan, dan inovasi dibidang persenjataan militeristik. Pendapat demikian tidak benar adanya, karena ada atau tidaknya perang maupun industri militeristik, perkembangan teknologi tetap tidak terbendung untuk menciptakan disrupsinya sendiri, dimana perkembangan teknologi serta inovasi yang menyertainya selalu seiring sejalan dengan tinggi atau ketat dan kerasnya tingkat persaingan antar kompetitor. Kata kunci penentu revolusi maupun evolusi teknologi ialah, tingginya tingkat kompetisi yang sehat diantara antar kompetitor atas produk dan pangsa pasar yang sama dimana mereka bermain dan mengisi didalamnya memperebutkan “kue” yang ada.

Kini, produsen otomotif dunia maupun di Indonesia yang dominasi produsen-produsen asal Jepang dan Eropa, akan digantikan dan tergantikan oleh produsen asal China, berupa teknologi otomotif kendaraan roda dua berbasis baterai listrik sebagai sumber penggerak motornya. Sedikit berbicara perihal teknis motor listrik, bahkan rata-rata teknisi di Indonesia sudah mampu merakitnya secara swadaya karena memang komponennya sangat sederhana tidak serumit dan tidak sekompleks motor konvensional yang terdiri dari ratusan komponen penyusunnya—mereka cukup bermodalkan tiga komponen berikut : rangka / chasis, sistem kelistrikan, dan baterai. Siapapun dapat mengimpornya dari China, merakitnya di dalam negeri, lalu memasarkannya, dimana selebihnya hanya persoalan waktu menjelma “kendaraan sejuta umat” mengingat harganya di pasar ada yang jauh lebih murah daripada motor konvensional disamping biaya perawatan dan sumber energinya jauh lebih efisien.

Akhir kata, mari kita ucapkan selamat datang pada era baru dimana teknologi listrik memasuki generasi terbarunya sebagai dominasi pemain pada dunia energi penggerak motor global, dan disaat bersamaan kita mengucapkan selamat tinggal dan perpisahan dengan Pertamina maupun Pertamini, digantikan oleh berbagai bisnis SPL (stasiun pengisian listrik) “fast charging” bagi para pengendara kendaraan bermotor berbasis energi kelistrikan. Selamat tinggal pula kepada produsen-produsen motor / otomotif asal Jepang yang selama ini “menjajah ekonomi” Indonesia.

Tentu para pembaca telah pernah membaca atau mendengar adagium hukum berikut : Hukum itu kejam, namun demikianlah adanya. Faktanya, teknologi juga adalah kejam, juga bisa lebih kejam, namun begitulah realitanya. Sependapat atau tidak sependapatkah, Anda? Tepat satu dekade sejak ulasan ini disusun, kita akan mendengar komentar-komentar sebagai berikut : “Hari gini, masih pakai motor BBM?

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.