Perbedaan Pidana PEMERASAN Vs. PENYUAPAN, Tidak Serupa dan Tidak Sama

PEMERASAN Identik Adanya Unsur Ancaman, sementara itu PENYUAPAN Identik Adanya Unsur Iming-Iming

Yang “DIPERAS” adalah KORBAN, sementara “Pelaku Pemberi SUAP” adalah Salah Satu Pelaku Kolusi (Penyertaan dengan sang “Pelaku Penerima SUAP”)

Question: Bedanya dimana dan seperti apa, pemerasan dan penyuapan? Yang ditangkap dan dipidana adalah yang memeras ataukah yang diperas, yang disuap ataukah yang menerima suap?

Brief Answer: Keduanya tidaklah sama, antara penyuapan maupun pemerasan saling berbeda “nature”. Perbedaan kontras diantara keduanya, ialah berupa kata kunci berikut : siapa yang menjadi inisiator terjadinya transaksional ilegal demikian. Pelaku penyuapan, secara proaktif menyuap dalam rangka meminta keistimewaan maupun kelonggaran tertentu kepada pihak penerima suap, sehingga keduanya (penyuap maupun penerima suap) harus dijerat pidana penyuapan dan penerimaan gratifikasi sebagai “pelaku penyerta”, berdasarkan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi—tepatnya terkait delik “kolusi” (penerima suap biasanya memiliki kewenangan jabatan yang disalah-gunakan).

Namun demikian, meski sama-sama berupa transaksional berwujud uang atau benda bernilai, untuk tujuan yang legal maupun yang ilegal, delik pemerasan tidak mengindikasikan adanya kerelaan dari pihak yang diperas, dimana juga pihak yang diperas tidak dalam posisi diuntungkan (justru dirugikan karena diperas secara menyimpang dari prosedur ataupun aturan hukum yang berlaku), dimana juga pihak yang diperas jika dimungkinkan akan lebih memilih untuk bermain “fair play” bila kondisi kondusif, yang mana tidak jarang pihak yang diperas sekadar memohon apa yang memang sudah menjadi hak-haknya namun dipersukar / dipersulit (modus) dalam rangka agar diberi “uang pelicin” ataupun “pungutan liar” oleh pihak yang diperas.

Salah satu perbedaan kontras lainnya ialah, pelaku “pemerasan” bisa berlatar-belakang Aparatur Sipil Negara namun bisa juga rakyat “sipil”—antara korban dan pelaku “pemerasan”, sama-sama sesama “sipil”, dan pasal yang mengancam hukuman bagi pelaku “pemeras” ialah pasal-pasal pemidanaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sementara itu dalam konteks tindak pidana “penyuapan”, pelaku “penerima suap” ialah mereka yang memiliki kewenangan berdasarkan jabatannya, alias kalangan Aparatur Sipil Negara / Pegawai Negeri Sipil sehingga antara pelaku “penyuap” maupun “penerima suap” dapat sama-sama atau turut-serta dijerat pasal-pasal terkait tindak pidana “kolusi” berdasarkan Undang-Undang tentang Tipikor.

PEMBAHASAN:

Tindak pidana “pemerasan” selalu didahului oleh adanya unsur “ancaman—baik ancaman yang bersifat fisik maupun yang bersifat psikis—sementara itu tindak pidana “penyuapan” tidak memiliki unsur “ancaman”, namun berupa unsur “iming-iming” ataupun “janji-janji” untuk menyimpangi aturan hukum maupun prosedur formil yang semestinya berlaku. Karena itulah, antara tindak pidana “pemerasan” dan “penyuapan”, saling berbeda “nature”-nya, begitupula pihak yang memberikan sejumlah uang ataupun barang bernilai, yang “diperas” tidak dipidana (sementara itu pelaku “pemeras” akan terjerat hukuman pidana) namun “pemberi suap” akan ditindak pidana beserta yang menerima suap (“penerima suap”) sebagai “pelaku penyertaan dalam tindak pidana penyertaan”.

Untuk memudahkan pemahaman, tepat kiranya SHIETRA & PARTNERS mengilustrasikan preseden terkait tindak pidana “pemerasan”, sebagaimana putusan Mahkamah Agung RI perkara pidana register Nomor 1325 K/Pid/2020 tanggal 12 Januari 2021, dimana Terdakwa didakwakan dengan pasal-pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) perihal “pemerasan dengan kekerasan” maupun “pemerasan”, dimana dalam kasus berikut diperlihatkan bahwa pelaku “pemerasan” yang dapat dipidana bukan hanya seorang pejabat pemerintaha, namun juga pelaku “sipil”.

Terhadap tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang menuntut pidana enam tahun penjara, yang menjadi putusan Pengadilan Negeri Nomor 99/Pid.B/2020/PN.Jth, tanggal 23 Juli 2020, dengan amar sebagai berikut:

MENGADILI :

1. Menyatakan Terdakwa Syafrizal bin (Alm) Usman Yusuf telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Pemerasan”;

2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan;

3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;

4. Memerintahkan Terdakwa tetap berada dalam tahanan.”

Adapun dalam tingkat banding, yang menjadi putusan Pengadilan Tinggi Banda Aceh Nomor 200/PID/2020/PT.BNA tanggal 9 September 2020, dengan amar sebagai berikut:

- Menerima permintaan banding dari Penuntut Umum;

- Memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Jantho Nomor 99/Pid.B/2020/PN.Jth, tanggal 23 Juli 2020 yang dimintakan banding tersebut sekedar mengenai kualifikasi tindak pidana yang dilakukan Terdakwa, sehingga amar selengkapnya berbunyi sebagai berikut;

1. Menyatakan Terdakwa Syafrizal bin (Alm) Usman Yusuf telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Pemerasan dengan kekerasan”;

2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan;

3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;

4. Menetapkan Terdakwa tetap berada dalam tahanan.”

Jaksa Penuntut Umum mengajukan upaya hukum kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung RI membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:

“Menimbang bahwa terhadap alasan kasasi yang diajukan Pemohon Kasasi / Penuntut Umum tersebut, Mahkamah Agung berpendapat sebagai berikut:

- Bahwa alasan kasasi Penuntut Umum tidak dapat dibenarkan karena putusan Judex Facti Pengadilan Tinggi yang mengubah putusan Judex Facti Pengadilan Negeri sekedar mengenai kualifikasi tindak pidana dan menyatakan Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Pemerasan dengan kekerasan”, tidak salah dan telah menerapkan peraturan hukum sebagaimana mestinya serta cara mengadili telah dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang. Namun demikian perbaikan kualifikasi tindak pidana tersebut tidak tepat karena tidak sesuai dengan rumusan tindak pidana pasal tindak pidana yang terbukti di muka sidang. Oleh karena itu putusan Judex Facti Pengadilan Tinggi beralasan hukum diperbaiki sebagaimana tersebut dalam amar putusan di bawah ini;

- Bahwa putusan Judex Facti juga telah mempertimbangkan fakta hukum yang relevan secara yuridis dengan tepat dan benar sesuai fakta hukum yang terungkap di muka sidang, yaitu pada hari Sabtu tanggal 6 Januari 2018 pukul 12.00 WIB ternyata Terdakwa selaku Direktur PT. Rizki Elang Jaya bersama-sama dengan Rusmanto bertempat di Show Room lndatu Mobil, telah mengancam saksi korban Tarmizi dengan mengatakan bahwa satu unit mobil Nomor Polisi BK 1729 KE milik saksi korban yang dititipkan pada Show Room lndatu Mobil dijual adalah mobil yang tersangkut kredit macet pada perusahaan leasing PT. SMS Finance Cabang Banda Aceh dan BPKB mobil tersebut adalah palsu dan mobil akan ditarik oleh Terdakwa. Apabila saksi korban tidak menyerahkan mobil BK 1729 KE tersebut kepada Terdakwa, maka Terdakwa akan melaporkan saksi korban kepada Polisi, sehingga saksi korban terpaksa menyerahkan mobil tersebut kepada Terdakwa karena ketakutan dan merasa terancam atas sikap Terdakwa;

- Bahwa pada saat itu Terdakwa hanya menunjukkan kepada saksi korban fotocopy BPKB dan STNK mobil Nomor Polisi BK 1381 MR, yang nomor mesin dan nomor rangkanya sama dengan nomor mesin dan nomor rangka mobil BK 1729 KE milik saksi korban. Bahkan selain dari pada itu untuk penarikan mobil tersebut ternyata Terdakwa mendapat bayaran sebesar Rp18.000.000,00 (delapan belas juta rupiah) dari PT. SMS Finance Cabang Banda Aceh, dan Terdakwa dalam penarikan mobil milik saksi korban sama sekali tidak memiliki kuasa menarik dari PT. SMS Finance Cabang Banda Aceh dan tanpa memberikan tanda serah terima kendaraan kepada saksi korban. Perbuatan materiil Terdakwa sedemikian rupa itu adalah merupakan perbuatan main hakim sendiri (eigen richting) yang merugikan orang lain dan telah memenuhi semua unsur tindak pidana Pasal 368 Ayat (1) KUHP pada dakwaan Alternatif Pertama;

- Bahwa demikian pula putusan Judex Facti yang menjatuhkan pidana kepada Terdakwa dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan, tidak melampaui kewenangannya dan telah mempertimbangkan dengan cukup semua keadaan yang melingkupi perbuatan Terdakwa, baik keadaan yang memberatkan maupun keadaan yang meringankan dan sifat perbuatan yang dilakukan Terdakwa;

- Bahwa selain itu alasan kasasi Penuntut Umum tidak dapat dibenarkan, karena menyangkut berat ringannya pidana yang dijatuhkan, hal demikian tidak tunduk pada pemeriksaan tingkat kasasi, Judex Facti dalam putusannya telah mempertimbangkan keadaan-keadaan yang memberatkan dan meringankan sesuai Pasal 197 Ayat (1) huruf f KUHAP;

“Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut, putusan judex facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi tersebut dinyatakan ditolak dengan perbaikan;

“Menimbang bahwa dengan demikian Putusan Pengadilan Tinggi Banda Aceh Nomor 200/PID/2020/PT.BNA tanggal 9 September 2020 yang memperbaiki Putusan Pengadilan Negeri Jantho Nomor 99/Pid.B/2020/PN.Jth tanggal 23 Juli 2020 harus diperbaiki mengenai kualifikasi tindak pidana yang terbukti kepada Terdakwa;

M E N G A D I L I :

− Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi / PENUNTUT UMUM PADA KEJAKSAAN NEGERI ACEH BESAR tersebut;

− Memperbaiki Putusan Pengadilan Tinggi Banda Aceh Nomor 200/PID/2020/PT.BNA tanggal 9 September 2020 yang memperbaiki Putusan Pengadilan Negeri Jantho Nomor 99/Pid.B/2020/PN.Jth tanggal 23 Juli 2020 tersebut mengenai kualifikasi tindak pidana yang terbukti, menjadi “Menyatakan Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ‘Pemerasan’.”

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.