Kiat Membuat Pertimbangan apakah Korban akan Mempidanakan Pelaku Kejahatan ataukah Membiarkan Hukum Karma yang Mengadili dan Mengeksekusinya
KEADILAN HUKUM PIDANA, antara Ada dan Delusi?
Question: Apa ada pertimbangan tertentu yang dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi seorang korban untuk memutuskan akan melaporkan atau tidak perlu malaporkan pelakunya ke pihak berwajib agar diproses pidana hingga dituntut di depan hakim pengadilan serta dihukum penjara?
Brief Answer: Tidak semua peristiwa tindak pidana layak dan “worthed” dimajukan proses pemidanaannya
dalam konteks “pidana aduan”. Bila kejahatan tersebut masih sedang berlangsung,
agar terjadi efek jera (penjeraan) bagi pelakunya dengan harapan ia / mereka menghentikan
perilaku-perilaku buruknya yang merugikan, melukai, maupun menyakiti korbannya,
adalah patut diajukan laporan dan dimajukan proses pemidanaannya. Kriteria
kedua ialah dalam rangka pemulihan kerugian materiil (kuratif) yang sifatnya
dapat diperjuangkan dengan mengandalkan peran pengadilan.
Contoh dari kriteria yang kedua sebagaimana penulis
singgung di atas, semisal terdapat seorang korban korban tindak pidana
penggelapan dana modal usaha yang ternyata digelapkan oleh pihak penerima modal
usaha selaku peminjam, maka alih-alih seketika menggugat “wanprestasi”, sang
pemilik modal (korban) dapat terlebih dahulu mempidanakan sang peminjam modal
atas dasar delik penggelapan, dimana putusan pemidanaan tersebut dijadikan
dasar untuk selanjutnya mengajukan gugatan :perbuatan melawan hukum” terhadap
sang pelaku agar dihukum oleh hakim pengadilan perkara perdata berupa perintah
penghukuman bagi pihak Tergugat untuk mengembalikan dana modal usaha milik
Penggugat.
Selebihnya, ialah “delik umum non aduan” dimana
aparatur penegak hukum akan memproses pemidanaan sekalipun tanpa aduan dari
korban ataupun anggota masyarakat, dalam rangka melindungi masyarakat umum
lainnya agar tidak menjadi calon potensial korban berikutnya, juga dalam rangka
preventif dan mitigasi, yakni dengan memberikan penjeraan bagi pelakunya itu
sendiri maupun bagi para calon kriminil lainnya agar dapat mengurungkan niat
jahatnya sehingga seluruh anggota masyarakat terlindungi dan tiada lagi korban
berjatuhan akibat kriminalitas serupa—sebagaimana adagium klasik yang masih cukup
relevan dengan kajian ini, “law as a tool
of social engineering”, hukum dalam rangka membangun tatanan sosial-kemasyarakatan.
PEMBAHASAN:
[DISCLAIMER : Pembahasan ini
berpotensi kontroversial, sehingga kedewasaan dan kearifan berpikir pembaca
sangat diperlukan.]
Bagi perkara yang bermula dari
hubungan hukum keperdataan menjelma pidana, semisal dalam kasus seperti tindak
pidana penggelapan ataupun penipuan, maka layak dan patut memproses secara
pidana sang pelaku kejahatan—sebagaimana paradigma PUTUSAN PIDANA BERPERAN
SEBAGAI BUKTI YANG BERHARGA DALAM PERKARA PERDATA, terdapat kaedah hukum
bentukan praktik peradilan (best practice)
sebagai berikut : “Suatu putusan dari
Peradilan Pidana memiliki kekuatan bukti yang sempurna di dalam proses perkara
Perdata, baik terhadap Terpidana itu sendiri maupun terhadap pihak ketiga,
dengan tidak menutup diajukannya bukti lawan.” (Putusan Mahkamah Agung No.
199 K/Sip/1973 tanggal 27 November 1975)
Namun terdapat juga
sengketa-sengketa terkait hukum pidana, yang tidak layak dan tidak patut
dimajukan proses pemidanaannya, semisal bilamana pihak korban menderita luka
secara permanen, baik luka fisik maupun luka psikis. Contoh yang paling
monumental ialah peristiwa penyiraman “air keras” bermotifkan kesengajaan tepat
ke arah wajah seorang penyidik senior pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
yang bernama Novel Baswedan, mengakibatkan satu bola mata yang menjadi indera
penglihatannya buta untuk permanen (seumur hidup) sementara itu satu bola mata
lainnya hanya berfungsi kurang dari separuhnya—yang mana artinya penderitaannya
saat kejadian, paska kejadian, hingga untuk selanjutnya bersifat “untuk
seterusnya” (permanen, menderita untuk setiap harinya selama puluhan tahun
hingga korban tutup usia), sementara itu para pelakunya hanya diganjar berupa
satu kali penghukuman pidana selama dua tahun penjara sebagai vonis tunggal satu-satunya
untuk selamanya.
Pertanyaannya ialah, apakah
pemidanaan itu layak, bagi atau dalam perspektif sang korban yang menderita
kerugian dan derita untuk seumur hidup dan sepanjang sisa hidupnya? “Keadilan
pidana” yang notabene hukum buatan manusia, bisa sangat bertolak-belakang
dengan “keadilan psikologis” dimana kita membuat pertimbangan secara psikologis
derajat kepatutan dan kelayakannya dengan mengadopsi “perspektif korban”, bukan
dalam “perspektif pelaku”. Namun demikian, kabar buruknya sekaligus yang
menjadi ironi ialah, masyarakat kita memiliki kultur atau budaya yang tergolong
jauh dari kata “sehat”, yakni kurang pro terhadap “perspektif korban”,
cenderung menyepelekan perasaan korban, justru seringkali menghakimi secara tidak
proporsional bahkan salah alamat—semisal, sebagai contoh yang kerap
terjadi, korban yang menjerit dan memekik kesakitan penuh emosi atau amarah
maupun keberatan dan ketidaksukaan diperlakukan tidak patut, disebut sebagai
“orang tidak waras”, “tidak sopan”, atau “sudah stress”, sementara itu
pelakunya sama sekali tidak dicela, tidak dikritik, alias diberikan ruang
kompromistik oleh anggota masyarakat yang menyaksikan.
Keadilan berdasarkan perspektif
“agama samawi” jauh lebih tidak “favorable”
kepada korban, disamping tidak “humanis” alih-alih “Tuhanis”. Betapa tidak,
“Agama DOSA” yang diusung olehnya justru mempromosikan ideologi korup bernama
“penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa” alih-alih
mengkampanyekan gaya hidup sehat yang bersih dari dosa-dosa kejahatan seperti
menyakiti, merugikan, ataupun melukai warga lainnya—menjadi sebentuk “kabar
gembira” bagi kalangan pendosa dan disaat bersamaan menjadi “kabar buruk” bagi
para korban dari sang pelaku kejahatan.
Sebagaimana namanya, “Agama
DOSA”, para pengikutnya ialah para “pendosa”, dimana para pendosa menjadi umat
pemeluknya, dimana untuk setiap harinya, setiap hari raya, maupun saat acara
kematian, mereka tanpa malu lewat pengeras suara mengumandangkan permohonan “aboliton of sins” alih-alih
menjadikannya tabu, dimana juga Tuhan digambarkan seolah-olah lebih PRO
terhadap pendosa alih-alih memberikan keadilan yang menjadi hak kalangan korban
dari para pendosa tersebut. Alhasil, para pendosa berbondong-bondong dan berlomba-lomba
memproduksi dosa, mengoleksi dosa, menimbun diri dengan dosa, hingga berkubang
dosa agar tidak “merugi”.
Itulah sebabnya, para “agamais”
tersebut terbiasa dan dibiasakan untuk memposisikan dirinya bersikap kontra
terhadap perspektif korban dan lebih kompromistik terhadap dosa maupun perilaku
para pendosa—sementara itu disaat bersamaan para pendosa tersebut bersikap
demikian intoleran terhadap kaum yang berbeda keyakinan—disaat bersamaan menjadi
pecandu berat ideologi “penghapusan dosa” atau apapun itu namanya, dimana hakim
di dunia manusia masih lebih adil terhadap korban pelapor alih-alih penghakiman
Tuhan yang lebih berpihak kepada kalangan pendosa. Pernahkah mereka memikirkan
bagaimana dengan nasib serta keadilan bagi kalangan atau para korban mereka,
tidak pernah, diajarkan pun tidak.
Dengan tidak mempidana sang pelaku
di dunia manusia, sejatinya sang korban membantu tugas Raja Neraka dalam
membuat putusan penghukuman bagi para pelakunya di alam baka. Kembali kepada
peristiwa tragis yang menimpa indera penglihatan Novel Baswedan, organ yang
sangat penting sekaligus modal paling utama seorang manusia, dimana pintu masuk
sumber informasi sebagian besarnya bersumber dari indera penglihatan, ketika
pelaku penyiraman “air keras” ke wajah sang korban dihadapkan ke persidangan
raja neraka saat ajal menjemput sang pelaku, inilah yang menjadi pembelaan sang
pelaku yang memakai jasa “devil’s
advocate”:
“Yang Mulia
Raja Neraka, para pelaku penyiman ‘air keras’ ke wajah Novel Baswedan ini telah
pernah dihukum dan telah menjalani seluruh masa hukumannya di dunia manusia
hingga bebas sepenuhnya, meski juga menikmati korting berupa hak remisi, grasi,
pembebasan bersyarat, dan sebagainya. Artinya, sudah tidak boleh dihukum untuk
kedua-kalinya atas perbuatan dosa yang sama, melanggar asas larangan ‘double
jeopardy’!”
Kita, sebagai seorang manusia, bukanlah “wooden dummy” dan juga bukanlah “karung
sam-sak” yang hanya boleh dan dan bisa berdiam diri dijadikan “sasaran empuk”
untuk dianiaya oleh kriminal atau oleh warga lainnya. Sehingga, praktik “common practice” di lembaga kepolisian
maupun peradilan pidana selama ini sama sekali tidak sejalan dengan “common sense”, dimana praktik pemidanaan
selama ini menjadikan siapa yang terlebih dahulu terpukul memiliki hak untuk
mengadukan / melaporkan pidana pihak yang memukulnya yang dijadikan terdakwa—sekalipun
ia yang terlebih dahulu mengancam, mengintimidasi, dan membuat gerakan
permulaan menyerang, atau bahkan menyerang namun dihindari / ditangkis dan
mendapatkan perlawanan sengit oleh lawannya sehingga sang pelaku yang berbalik
menjadi korban pada akhirnya.
Alhasil, dengan logika yang
dangkal demikian sebagaimana “common
practice” di kepolisian maupun lembaga peradilan pidana, “bela diri”
menjadi tampak tidak memiliki arti, karena korban dari sejak semula diposisikan
harus menyerupai sikap sebuah “boneka kayu” atau “karung sam-sak” yang dengan
bodohnya hanya boleh diam menjadi “sasaran empuk”, tanpa boleh membela diri
ataupun menghindari dan menangkis maupun menyerang balik lawannya tidak
terkecuali sekadar melakukan “pre emptive
strike” mengingat lawannya telah terlebih dahulu membuat gerakan permulaan
/ ancaman hendak memukul / menganiaya.
Dalam dunia “bela diri”,
dikenal istilah “bertarung secara cerdas” (smart
fight), bukan “bertarung secara keras” (hard
fight)—dalam artian, bila kita sebisa mungkin menghindari / menangkis
serangan, mengapa justru memilih membiarkan serangan tersebut bersarang di
tubuh kita? Bertahan sekaligus menyerang, itulah filosofi seni bela diri yang
cerdik oleh mereka yang cerdas. Bukankah pepatah sudah lama memberi nasehat, “si vis pacem para bellum”, jika ingin
hidup damai maka bersiap-siaplah untuk berperang / bertarung. Bersikap selayaknya
“anak manis” (a good boy) bukanlah
strategi yang tepat untuk konteks “peperangan” ataupun peperangan yang telah di-ikrarkan.
Mengapa kita harus berdiam diri dengan dungu-nya menunggu
dianiaya dan “babak-belur”, apakah itu logis? Itulah pertanyaan terbesarnya, sekaligus membuktikan
betapa penyidik kepolisian maupun lembaga peradilan kita betul-betul nihil dari
“common sense”—bahkan tidak sedikit
anggota kepolisian bersikukuh bahwa mengancam akan menganiaya dengan kekerasan
fisik ataupun mengancam dengan senjata tajam bukanlah pidana (meski pasalnya
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah begitu tegas mengatur larangannya
disertai ancaman sanksi pidana, dimana juga sudah berlaku sejak zaman Kolonial
Belanda serta telah begitu banyak preseden putusan pengadilan yang menyatakan “ancaman
kekerasan” merupakan pidana, baik ancaman kekerasan secara “tangan kosong”
maupun bersenjatakan senjata tajam).
Mungkin sebagian diantara para
pembaca akan menilai opini hukum berikut ini adalah “menyesatkan”, bahwa
penulis merekomendasikan Anda maupun masyarakat umum lainnya untuk seketika
membela diri ketika ancaman telah begitu nyata diindikasikan oleh adanya
gerakan permulaan yang hendak menganiaya Anda—semisal pihak lawan yang bergerak
mendekati Anda dan membuat bahasa tubuh hendak menyerang. Sekarang, pilihan
ada di tangan Anda, menunggu dan berdiam diri menjadi “sasaran empuk” dengan
bola mata Anda berpotensi pecah dan buta permanen, atau setidaknya tulang
hidung Anda yang patah dan menjelma “si hidung pesek”, sementara itu pelakunya
hanya akan dihukum pidana kurungan / penjara selama beberapa tahun penjara atau
mungkin juga hanya beberapa bulan kurungan; ataukah Anda akan memilih untuk
menjaga baik-baik organ tubuh dan keselamatan Anda sekalipun Anda resikonya
hanya mendekam beberapa bulan kurungan? Jadilah pahlawan bagi diri Anda sendiri,
kita adalah petarung terbaik bagi diri kita sendiri.
Sejak dari awal sejarah ilmu “bela
diri”, yang disebut “bela diri”, bukan artinya “membalas luka”, namun menjaga
diri agar tidak terluka. Bruce Lee maupun gurunya, Ip Man, tidak pernah membiarkan dirinya
terluka satu kali pun oleh pihak-pihak yang mencoba menyerangnya, dimana para penyerangnya
yang justru berakhir “babak-belur”, karena itulah mereka patut disebut sebagai
seorang “master” atau maetro seni “bela diri” yang dikagumi dan menjadi legenda
dunia. Jujur, untuk penulis secara pribadi, akan memilih mendekam di penjara
untuk sebatas beberapa bulan kurungan namun seluruh organ fisik selamat dan
utuh—dimana pihak lawan yang mencoba menyerang penulis yang babak-belur atau
mungkin juga luka permanen pada anggota tubuhnya—daripada memilih membiarkan
diri dan tubuh penulis terancam mengalami hal yang sama seperti nasib Novel
Baswedan, semata karena penulis bukanlah “wooden dummy” maupun “karung sam-sak” yang hanya dapat berdiam diri
ketika mendapati adanya serangan maupun “ancaman serangan yang sudah sangat
dekat”.
Selebihnya, keputusan serta
penilaian berpulang pada masing-masing para pembaca, sependapat ataupun
bertolak-belakangan dengan pandangan pribadi penulis. Seorang pria yang mengaku
“jantan”, secara naluri maupun instingnya warisan seleksi alam dari
nenek-moyang selama jutaan tahun evolusi, anti terhadap “sikap cengeng mengadu
dipukul karena terkena pukul”, lebih baik memilih untuk “bela diri” dan memukul
jatuh lawan yang mencoba menyerang. Bagaimana mungkin, kita dihadapkan pada
satu-satunya opsi berupa membiarkan diri kita menjadi “sasaran empuk”, lalu
dipecundangi (dipermalukan), setelah itu menjadi “pengadu” ke polisi dimana
kita juga perlu memperhitungkan bahwa tiada jaminan apapun bahwa laporan /
aduan Anda akan ditindak-lanjuti, dimana juga tiada jaminan keadilan berpihak
kepada Anda terutama bilamana aparatur penegak hukum tidak memiliki perspektif
korban.
Yang pasti, luka yang Anda derita adalah pasti (bila Anda
“diam berdiri manis”), dimana juga tiada kepastian bahwa pelakunya akan
bertanggung-jawab. Yang juga lebih pasti ialah, bila Anda berposisi atau
memposisikan sebagai “sasaran empuk”, maka luka yang akan Anda derita bisa
sangat fatal, semisal organ di selangkangan yang “lemah” ataupun organ
penglihatan Anda yang juga sama “lemah”-nya sekaligus paling riskan untuk rusak
permanen terkena “bogem mentah” yang bersarang tepat di sana. Jika Anda dengan akal sehat
mencoba menimbang “kerugian dan keuntungannya”, maka yang lebih banyak
dibanding dengan segala resiko opsi masing-masing yang telah penulis uraikan
secara lugas di atas. Itulah, best
practice yang penulis temui dan elaborasi dari berbagai pengalaman
“pertarungan jalanan” (street fighting)
dimana penulis sudah cukup sangat kenyang mendapati “penghakiman” yang tidak
adil dari kalangan orang dewasa semisal Kepala Sekolah yang justru berpihak
kepada senior “preman” yang bersikap arogan, premanis, serta teramat zolim terhadap
penulis selaku juniornya.
Kriteria berikutnya mengenai
kejahatan apa yang tidak layak diadukan secara pidana, ialah
kejahatan-kejahatan yang menimbulkan derita permanen secara psikis bagi
korbannya disamping secara fisik. Contoh, meski penulis bukan bermaksud
mendukung praktik kejahatan para kriminil tindak pidana asusila, mengingat para
korban pemerkosaan mengalami trauma untuk seumur hidupnya. Jangan pernah
meremehkan “luka batin”, dimana hanya seorang bermental kriminil yang
menyepelekan derita maupun perasaan kalangan korban. Sekalipun itu terlihat
remeh-temeh, namun “luka batin” yang terbawa dari masa lampau, semisal semasa
kecil, dapat terus melekat dan terbawa di alam bawah sadar maupun alam sadar
hingga seseorang tersebut beranjak dewasa.
Disini, terjadi ketimpangan
vonis pemidanaan. Sang pelaku pemerkosaan, dihukum pidana dengan satu buah
vonis untuk seumur hidupnya berupa hitungan sekian tahun penjara atau bahkan
sekian bulan kurungan—dimana ketika sang pelaku telah dibebaskan dari masa
penghukumannya di penjara, sang korban masih juga menderita trauma secara
psikis yang bisa juga secara fisik secara permanen untuk seumur hidupnya. “Luka
batin”, konon menurut kajian ilmu psikologi, tidak pernah temporer sifatnya,
dan tidak sembuh oleh seiring berjalannya waktu. Satu-satunya alasan paling
kuat sebagai urgensi agar pelakunya dijerat, diringkus, serta dihukum pidana
ialah agar tiada lagi yang menjadi korban dari “predator” demikian.
Terkadang, mem-pidana pelaku
kejahatan bukanlah dalam misi maupun visi untuk menegakkan keadilan bagi sang
korban, namun lebih kepada semangat untuk melindungi masyarakat umum lainnya
agar terhindar dari kejahatan serupa dari sang pelaku alias agar tidak jatuh
korban jiwa yang lebih banyak lagi. Kita, sebagai masyarakat umum, patut
berterimakash terhadap kontribusi besar kalangan para korban yang selama ini
telah banyak berjuang serta berkorban waktu, pikiran, emosi, kejiwaan, mental,
tenaga, maupun biaya untuk dapat berhasil mempidanakan sang pelaku kejahatan,
semata karena pertimbangan faktor penjeraan bagi pelaku maupun para calon
pelaku, agar tidak menjadikan masyarakat umum lainnya terlindungi / terhindari
dari potensi sebagai korban yang kesekian kalinya.
Demikianlah ulasan sederhana “as it is” namun lugas ini penulis tutup,
sebagai bahan refleksi bagi setiap anggota masyarakat maupun bagi aparatur
penegak hukum agar lebih mengedepankan “common
sense” alih-alih semata berpatokan pada apa yang terlembagakan sebagai “common practice”—mengingat hukum
tertinggi ialah akal sehat itu sendiri. Sekadar mengingat kembali, Anda
bukanlah “wooden dummy” juga bukanlah
“karung sam-sak” yang hanya dapat mematung diam dengan manis-nya dijadikan
“sasaran empuk”. “Bela diri” merupakan hak asasi manusia itu sendiri, tanpa
terkecuali, kecuali Anda ingin bernasib sama seperti Novel Baswedan yang
menderita kebutaan untuk seumur hidupnya sekalipun kini para pelakunya telah
dibebaskan dari masa hukuman pemenjaraan tanpa efek jera mengingat korban
selalu merugi dan lebih rugi sekalipun pelakunya divonis hukuman penjara.
Mulailah untuk menyadari serta
mengakui, tiada keadilan yang benar-benar adil dibalik “keadilan hukum”, dimana
penulis adalah praktisi hukum sehingga tahu betul apa yang sedang penulis
utarakan dan kemukakan sebagaimana kajian gamblang “apa adanya” di atas.
Terlagipula, sebagaimana pengalaman yang sudah-sudah, polisi yang kita berikan
laporan belum tentu lebih “suci” daripada penjahat yang hendak kita adukan.
Tidak jarang, polisi adalah “preman berseragam yang menyandang senjata api”,
alias kriminil itu sendiri, sehingga bagaimana mungkin kriminil hendak
mengkriminalisasikan kriminil lainnya, ibarat “jeruk mengadili jeruk”? Sesama
kriminil cenderung bersikap kompromistik terhadap sesama kriminil, itulah realitanya
di lapangan.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.