Kiat Membangun / Mereformasi / Merevolusi Budaya Organisasi

Menyehatkan Budaya suatu Organisasi adalah Hal yang Niscaya, bukan Mustahil

Question: Apa ada kiat atau seni tertentu, untuk mendisiplinkan, menegakkan, ataupun meluruskan kultur suatu organisasi atau instansi? Pemerintah selalu sesumbar jargon “revolusi mental” lengkap dengan maskot embel-embel “reformasi birokrasi”, namun minim jika tidak dapat disebut sebagai nihil realisasi.

Brief Answer: Kata kuncinya ialah peng-kondisi-an serta pendekatan, ada jenis-jenis tipikal karakter orang yang harus diterapkan metoda lembut, metoda keras, dan perpaduan diantaranya. Yang jelas, orang-orang yang tergolong “toxic” (beracun) harus sedini mungkin didisiplinkan, yang mana bila tidak mau disiplin, maka tindakan tegas berupa “menyingkirkan” sang manusia “toxic” menjadi keharusan demi keberlangsungan suatu institusi atau instansi maupun komunitas. Yang kedua ialah menerapkan atau menetapkan sebentuk standar bernama komitmen dan konsistensi tanpa kenal “kendur”, optimal dan prima.

PEMBAHASAN:

Tentu kita pernah mengamati serta mendapatkan suatu pola unik, bahwasannya kalangan pegawai ataupun petugas pada suatu pertokoan ritel maupun pada kantor-kantor pemerintahan, terdapat perbedaan pendekatan berupa cara melayani masyarakat ataupun konsumen, terutama antara karyawan / pegawai / petugas baru dan yang sudah lama bekerja pada tempat tersebut maupun pada posisi tersebut. Petugas / pelayan yang baru bekerja pada posisi dan tempat tersebut, cenderung melayani dengan begitu perhatian, antusias, bertanggung-jawab, dan ramah serta sigap terhadap “user experience” (pengalaman pengguna) maupun “customer experience” (pengalaman konsumen). Sementara itu petugas / aparatur / pegawai yang telah lama bekerja para posisi ataupun tempat tersebut, cenderung mengabaikan pengalaman pengguna maupun pelanggannya.

Sebenarnya bukanlah mustahil, membentuk etos kerja maupun etos pelayanan publik yang simpatik dan penuh perhatian terhadap konsumen ataupun warga penghadap, dimana untuk itu kita dapat merujuk langsung khotbah Sang Buddha dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, kiat mana dapat kita terapkan pula dalam kehidupan keseharian kita di dalam relasi keluarga, komunitas pemukiman, lingkaran pergaulan, lingkungan kerja dan sebagainya, dengan kutipan sebagai berikut:

“Para bhikkhu, ketika seorang pengantin pertama kali dibawa pulang ke rumah, apakah pada malam hari atau siang hari, pertama-tama ia akan menegakkan rasa malu dan rasa takut yang mendalam terhadap ibu mertuanya, ayah mertuanya, suaminya, dan bahkan budak-budaknya, para pekerja, dan para pelayannya. Tetapi setelah beberapa lama, sebagai akibat dari hidup bersama dan keakraban dengan mereka, ia berkata kepada ibu mertuanya, ayah mertuanya, dan suaminya: ‘Pergilah! Engkau tahu apa?’

“Demikian pula, ketika seorang bhikkhu di sini telah meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, apakah pada malam hari atau siang hari, pertama-tama ia akan menegakkan rasa malu dan rasa takut yang mendalam terhadap para bhikkhu, para bhikkhunī, umat awam laki-laki, umat awam perempuan, dan bahkan terhadap para pekerja dan para sāmaera di vihara. Tetapi setelah beberapa lama, sebagai akibat dari hidup bersama dan keakraban dengan mereka, ia berkata bahkan kepada gurunya dan penahbisnya: ‘Pergilah! Engkau tahu apa?’

“Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan berdiam dengan pikiran seperti pengantin yang baru datang itu.’ Dengan cara demikianlah kalian harus berlatih.

~0~

“Para bhikkhu, ada empat jenis pohon ini. Apakah empat ini? Pohon dengan kayu lunak yang dikelilingi oleh [pepohonan] dengan kayu lunak; pohon dengan kayu lunak yang dikelilingi oleh [pepohonan] dengan kayu keras; pohon dengan kayu keras yang dikelilingi oleh [pepohonan] dengan kayu lunak; dan pohon dengan kayu keras yang dikelilingi oleh [pepohonan] dengan kayu keras. Ini adalah empat jenis pohon itu.

Demikian pula, ada empat jenis orang ini yang serupa dengan pepohonan itu terdapat di dunia ini. Apakah empat ini? Orang dengan kayu lunak yang dikelilingi oleh [pepohonan] dengan kayu lunak; orang dengan kayu lunak yang dikelilingi oleh [pepohonan] dengan kayu keras; orang dengan kayu keras yang dikelilingi oleh [pepohonan] dengan kayu lunak; dan orang dengan kayu keras yang dikelilingi oleh [pepohonan] dengan kayu keras.

(1) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seseorang dengan kayu lunak yang dikelilingi oleh [pepohonan] dengan kayu lunak? Di sini, seseorang tidak bermoral, berkarakter buruk, dan kelompoknya juga tidak bermoral, berkarakter buruk. Dengan cara inilah seseorang adalah orang dengan kayu lunak yang dikelilingi oleh [pepohonan] dengan kayu lunak. Maka, Aku katakan, orang ini adalah bagaikan pohon dengan kayu lunak yang dikelilingi oleh [pepohonan] dengan kayu lunak.

(2) “Dan bagaimanakah seseorang dengan kayu lunak yang dikelilingi oleh [pepohonan] dengan kayu keras? Di sini, seseorang tidak bermoral, berkarakter buruk, tetapi kelompoknya bermoral, berkarakter baik. Dengan cara inilah seseorang adalah orang dengan kayu lunak yang dikelilingi oleh [pepohonan] dengan kayu keras. Maka, Aku katakan, orang ini adalah bagaikan pohon dengan kayu lunak yang dikelilingi oleh [pepohonan] dengan kayu keras.

(3) “Dan bagaimanakah seseorang dengan kayu keras yang dikelilingi oleh [pepohonan] dengan kayu lunak? Di sini, seseorang bermoral, berkarakter baik, tetapi kelompoknya tidak bermoral, berkarakter buruk. Dengan cara inilah seseorang adalah orang dengan kayu keras yang dikelilingi oleh [pepohonan] dengan kayu lunak. Maka, Aku katakan, orang ini adalah bagaikan pohon dengan kayu keras yang dikelilingi oleh [pepohonan] dengan kayu lunak.

(4) “Dan bagaimanakah seseorang dengan kayu keras yang dikelilingi oleh [pepohonan] dengan kayu keras? Di sini, seseorang bermoral, berkarakter baik, dan kelompoknya juga bermoral, berkarakter baik. Dengan cara inilah seseorang adalah orang dengan kayu keras yang dikelilingi oleh [pepohonan] dengan kayu keras. Maka, Aku katakan, orang ini adalah bagaikan pohon dengan kayu keras yang dikelilingi oleh [pepohonan] dengan kayu keras.

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat jenis orang yang serupa dengan pepohonan itu yang terdapat di dunia.”

~0~

Kesi si pelatih kuda mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepadanya:

“Kesi, engkau adalah seorang pelatih kuda yang memiliki reputasi baik. Bagaimanakah engkau mendisiplinkan seekor kuda yang harus dijinakkan?”

“Bhante, aku mendisiplinkan sejenis kuda dengan cara lembut, jenis lainnya dengan cara keras, dan jenis lainnya lagi dengan cara lembut dan keras.”

“Tetapi, Kesi, jika seekor kuda yang harus dijinakkan olehmu tidak mau menurut pada pendisiplinan melalui salah satu metode ini, apakah yang engkau lakukan terhadapnya?”

“Bhante, jika seekor kuda yang harus dijinakkan olehku tidak mau menurut pada pendisiplinan melalui salah satu metode ini, maka aku membunuhnya. Karena alasan apakah? Agar tidak mempermalukan perkumpulan guruku. Tetapi, Bhante, Sang Bhagavā adalah pelatih terbaik bagi orang-orang yang harus dijinakkan. Bagaimanakah Sang Bhagavā mendisiplinkan seorang yang harus dijinakkan?

Aku mendisiplinkan sejenis orang dengan cara lembut, jenis lainnya dengan cara keras, dan jenis lainnya lagi dengan cara lembut dan keras.

(1) Ini, Kesi, adalah metode lembut: ‘Demikianlah perbuatan baik melalui jasmani, demikianlah akibat dari perbuatan baik melalui jasmani; demikianlah perbuatan baik melalui ucapan, demikianlah akibat dari perbuatan baik melalui ucapan; demikianlah perbuatan baik melalui pikiran, demikianlah akibat dari perbuatan baik melalui pikiran; demikianlah para deva, demikianlah umat manusia.’

(2) Ini adalah metode keras: ‘Demikianlah perbuatan buruk melalui jasmani, demikianlah akibat dari perbuatan buruk melalui jasmani; demikianlah perbuatan buruk melalui ucapan, demikianlah akibat dari perbuatan buruk melalui ucapan; demikianlah perbuatan buruk melalui pikiran, demikianlah akibat dari perbuatan buruk melalui pikiran; demikianlah neraka, demikianlah alam binatang, demikianlah alam hantu menderita.’

(3) Ini adalah metode lembut dan keras: ‘Demikianlah perbuatan baik melalui jasmani, demikianlah akibat dari perbuatan baik melalui jasmani; demikianlah perbuatan buruk melalui jasmani, demikianlah akibat dari perbuatan buruk melalui jasmani; demikianlah perbuatan baik melalui ucapan, demikianlah akibat dari perbuatan baik melalui ucapan; demikianlah perbuatan buruk melalui ucapan, demikianlah akibat dari perbuatan buruk melalui ucapan; demikianlah perbuatan baik melalui pikiran, demikianlah akibat dari perbuatan baik melalui pikiran; demikianlah perbuatan buruk melalui pikiran, demikianlah akibat dari perbuatan buruk melalui pikiran; demikianlah para deva, demikianlah umat manusia; demikianlah neraka, demikianlah alam binatang, demikianlah alam hantu menderita.’”

“Tetapi, Bhante, jika orang yang harus dijinakkan olehMu tidak mau menurut pada pendisiplinan melalui salah satu metode ini, apakah yang Engkau lakukan terhadapnya?”

(4) “Jika orang yang harus dijinakkan olehKu tidak mau menurut pada pendisiplinan melalui salah satu metode ini, maka Aku membunuhnya.”

“Tetapi, Bhante, adalah tidak diperbolehkan bagi Sang Bhagavā untuk membunuh. Namun Beliau mengatakan, ‘Maka Aku membunuhnya.’”

“Benar, Kesi, adalah tidak diperbolehkan bagi Sang Bhagavā untuk membunuh. Akan tetapi, jika orang yang harus dijinakkan olehKu tidak mau menurut pada pendisiplinan melalui metode lembut, metode keras, atau metode lembut dan keras, maka Sang Tathāgata berpikir bahwa ia seharusnya tidak diajak bicara dan tidak diajari, dan teman-temannya para bhikkhu, juga berpikir bahwa ia seharusnya tidak diajak bicara dan tidak diajari. Karena ini, Kesi, adalah ‘pembunuhan’ dalam disiplin Yang Mulia: Sang Tathāgata berpikir bahwa ia seharusnya tidak diajak bicara dan tidak diajari, dan teman-temannya para bhikkhu, juga berpikir bahwa ia seharusnya tidak diajak bicara dan tidak diajari.”

“Ia memang telah dibunuh dengan benar, Bhante, ketika Sang Tathāgata berpikir bahwa ia seharusnya tidak diajak bicara dan tidak diajari, dan teman-temannya para bhikkhu, juga berpikir bahwa ia seharusnya tidak diajak bicara dan tidak diajari.

“Bagus sekali, Guru Gotama! Bagus sekali, Guru Gotama! Guru Gotama telah menjelaskan Dhamma dalam banyak cara, seolah-olah menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan kepada orang yang tersesat, atau menyalakan pelita dalam kegelapan agar mereka yang berpenglihatan baik dapat melihat bentuk-bentuk. Sekarang aku berlindung kepada Guru Gotama, kepada Dhamma, dan kepada Sagha para bhikkhu. Sudilah Guru Gotama menganggapku sebagai seorang umat awam yang telah berlindung sejak hari ini hingga seumur hidup.”

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.