Modus Berkelit dari Jerat Pidana maupun Perdata, Korban Pelapor Perlu Tahu 1001 Modus Kejahatan Penjahat maupun Niat Buruk yang Menyertainya
Question: Yang kami laporkan ada menawarkan damai, saat kini ia ditahan di rutan (rumah tahanan) untuk menjalani proses persidangan (menjalani proses dakwaan dan penuntutan) di pengadilan nantinya. Apa ada resikonya, bila kami selaku pelapor saling bernegosiasi dan bersepakat untuk damai dengan pihak yang kami laporkan tersebut?
Brief Answer: Memang dimungkinkan menurut hukum acara pidana
untuk mencabut laporan pemidanaan maupun untuk dibebaskannya Terdakwa atas
dasar adanya perdamaian antara pihak Pelapor dan Terlapor. Namun, belajar dari
berbagai kasus sebagaimana telah dipetakan oleh SHIETRA & PARTNERS,
tampaknya tidak direkomendasikan untuk membuat perdamaian apapun sepanjang
proses penyidikan maupun dakwaan / tuntutan terhadap Terlapor / Terdakwa telah
berproses, demi menghindari itikad tidak baik pihak Terlapor yang sewaktu-waktu
dikemudian hari setelah dibebaskan dari jerat penuntutan atas dasar dalil telah
terjadi perdamaian, ternyata menggugat akta perdamaian tersebut secara perdata
ke pengadilan atas dasar “adanya pengaruh dibawah tekanan” (dalam kondisi
ditahan) sehingga Terlapor terpaksa menyepakati akta perdamaian
tersebut—akibatnya fatal, pihak Terlapor terbebas baik dari jerat hukum pidana
maupun perdata.
Tetapkanlah atau buatlah kebijakan berupa
pembatasan ataupun tawaran dengan “syarat batal”, bilamana somasi / surat
peringatan bagi Terlapor tidak diindahkan sampai pada batas masa waktu
kesempatan yang ditentukan dalam somasi, maka laporan pidana akan dilayangkan
dan diproses oleh Pelapor, dimana batas akhir kesempatan bagi Terlapor untuk
memulihkan kerugian Pelapor ialah sampai batas waktu yang ditentukan dalam
somasi. Bilamana Terlapor tidak mengindahkan somasi, bahkan menantang dengan
sikap “pasang badan” atau menyepelekan teguran Anda, barulah laporan pidana
diajukan secara resmi kepada pihak berwajib, dan bilamana proses pidana telah
berlangsung baik dalam tingkat penyidikan maupun dakwaan / penuntutan di
persidangan perkara pidana terhadap pihak Terlapor, maka sejak saat / momen
itulah jangan pernah berikan kesempatan ruang untuk bernegosiasi ataupun dalam
rangka perdamaian.
Singkat kata, bilamana somasi tidak diindahkan,
maka tutup semua ruang ataupun peluang untuk berdamai—mengingat bilamana
Terlapor memiliki niat tidak baik, maka setelah ia dibebaskan dari status
sebagai Tersangka maupun Terdakwa dengan bermodalkan Akta Perdamaian yang ia
tanda-tangani bersama Pelapor saat ia berada dalam tahanan, maka sewaktu-waktu
ia akan menggugat pembatalan Akta Perdamaian tersebut atas dasar alibi “faktor
kondisi dibawah tekanan”. Terlebih, yang hendak Anda laporkan ialah notabene
seorang penipu atau kerap ingkar janji sebagaimana Anda ketahui dan sadari betul
atau mengalami langsung bagaimana Anda telah ditipu atau dirugikan akibat ingkar-janji,
sehingga menetapkan batasan waktu untuk berdamai perlu ditetapkan secara tegas
dan konsisten pada ketegasan tersebut dari sejak awal hingga akhir proses
pemidanaan.
PEMBAHASAN:
Telah terdapat sebuah preseden
dengan kaedah hukum bahwasannya perjanjian perdamaian yang dibuat dibawah
tekanan dan dalam keadaan terpaksa adalah dikategorikan sebagai “misbruik van omstandigheiden”, akta mana
dapat digugat pembatalan karena dianggap tidak memenuhi unsur-unsur Pasal 1320
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata perihal unsur subjektif “kesepakatan” tanpa
tekanan. Bermula ketika Penggugat (BUDI HALIMAN HALIM) selaku pemilik sertifikat
merek dari Etiket merek ARISE SHINE CES tertanggal 22 Mei 2001, dimana sejak Penggugat
mendaftarkan dan menggunakan merek tersebut tidak pernah ada pihak yang
berkeberatan.
Pada tanggal 8 Agustus 2006,
Tergugat I (YAYASAN HWA ING FONDS) dan Tergugat II (LO IWAN SETIA DHARMA)
selaku pribadi maupun Ketua Yayasan HWA ING FONDS, melaporkan Penggugat ke
POLWILTABES Semarang dengan dalih adanya pelanggaran Hak Cipta penggunaan logo
ARISE SHINE CES. Atas laporan tersebut, POLWILTABES Semarang melakukan serangkaian
pemeriksaan dan pada tanggal 5 Oktober 2006 mengeluarkan surat penahanan
terhadap Penggugat. Selama Penggugat berada dalam rumah tahanan POLWILTABES
Semarang, Tergugat I telah “memaksa” Penggugat untuk mengalihkan merek milik
Penggugat kepada Tergugat I dengan cara Penggugat menjual merek ARISE SHINE CES
kepada Tergugat I senilai Rp. 150.000.000—walaupun uang dimaksud pada kenyataannya
tidak pernah diterima oleh Penggugat.
Disamping itu, Penggugat juga
harus membayar kepada Tergugat II, uang senilai Rp. 400.000.000,- yang diterima
oleh kuasa hukum Tergugat I dan II, dalam selembar Bilyet Giro senilai nominal
tersebut, dimana menurut Tergugat II uang tersebut diperlukan untuk biaya
penyelesaian perkara atau untuk mengeluarkan Pengggugat dari tahanan setelah
Tergugat II mencabut laporan Polisi ke Kepolisian Wilayah Kota Besar Semarang
pada tanggal 6 Oktober 2006. Kemudian pihak Kepolisian Semarang menerbitkan
surat perintah Pengeluaran Tahanan terhadap diri Penggugat pada tanggal 7
Oktober 2006 dan selanjutnya pada tanggal 12 Oktober 2006 diterbitkan surat
ketetapan tentang Penghentian Penyidikan dengan alasan “tidak cukup bukti”.
Seluruh perbuatan yang
dilakukan Penggugat dalam membuat perjanjian perdamaian disertai perjanjian
jual beli merek, dilakukan atas suatu tekanan dan diluar akal sehat Penggugat,
demikian dalil-dalil pihak Penggugat. Terhadap gugatan demikian, Pengadilan
Negeri Semarang kemudian menjatuhkan putusan sebagaimana register perkara No.
237/Pdt.G/2006 tanggal 28 Juni 2007, yang mengabulkan gugatan Penggugat untuk
sebagian, diantaranya menyatakan perjanjian perdamaian dan perjanjian jual beli
merek yang dibuat dan ditandatangani oleh Tergugat II dengan Penggugat pada
tanggal 6 Oktober 2006 adalah “batal demi hukum”.
Berlanjut pada tingkat Banding
di Pengadilan Tinggi Semarang, putusan Pengadilan Negeri Semarang di atas
kemudian dibatalkan sebagaimana putusan No. 45/Pdt/2008/PT.Smg. tertanggal
17 Oktober 2008, dengan amar putusan menolak gugatan Penggugat untuk
seluruhnya. Bergulir pada tingkat Kasasi sebagaimana register perkara No.
2356 K/Pdt/2008 tanggal 18 Februari 2009, putusan Pengadilan Tinggi Semarang sebelumnya
kemudian dibatalkan dan untuk selanjutnya Mahkamah Agung “mengadili sendiri”,
dengan mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian, diantaranya
menyatakan perjanjian perdamaian dan Perjanjian Jual Beli merek yang dibuat dan
ditandatangani oleh Tergugat II dengan Penggugat, pada tanggal 6 Oktober 2006
adalah “batal demi hukum”.
Mahkamah Agung dalam
pertimbangan hukumnya berpendapat bahwa Pengadilan Tinggi Semarang telah salah
menerapkan hukum, oleh karena Pengadilan Tinggi tidak mempertimbangkan keadaan
Penggugat, pada saat dibuatnya perjanjian jual beli, yaitu Penggugat ditahan
oleh Polisi, karena laporan dari Tergugat I dan Tergugat II untuk menekan
Penggugat agar mau membuat atau menyetujui perjanjian jual beli tersebut. Hal semacam
demikian dinilai sebagai sebentuk “misbruik
van omstandigheiden” yang berpotensi mengakibatkan perjanjian dapat
dibatalkan, karena tidak lagi memenuhi unsur-unsur {asal 1320 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, yakni “tidak ada kehendak yang bebas” dari pihak
Penggugat untuk bersepakat—sekalipun, pada realitanya, semua Terdakwa /
Tersangka berpeluang pula untuk menggunakan alibi yang serupa untuk berkelit
sewaktu-waktu dikemudian hari saat Akta Perdamaian telah berhasil membuat
mereka lolos dari jerat hukum sebelum kemudian menggugat Akta Perdamaian
dimaksud untuk dibatalkan.
Penggugat adalah pemilik
Sertifikat Hak Merek ARISE SHINE CES, dimana logo dengan merek tersebut diklaim
sebagai milik Tergugat. Atas dasar klaim tersebut, Tergugat I melaporkan
Penggugat ke Polisi, yang berakibat ditahannya Penggugat dan kemudian timbul
perdamaian yang dibuat dihadapan penyidik, dimana Penggugat dalam keadaan
ditahan. Bahwa dijualnya merek ARISE SHINE CES OLEH Penggugat kepada Tergugat
atas dasar perdamaian tersebut, maka dapat dikwalifisir tujuan Tergugat
melaporkan Penggugat ke Penyidik adalah untuk mengambil alih “Merek” dimaksud—dalil
mana sejatinya dapat dijadikan “alibi sempurna” oleh seluruh kalangan Tersangka
/ Terdakwa saat akan menggugat pembatalan Akta Perdamaian dikemudian hari saat
dilepaskan dari jerat hukum pidana, dan itulah yang perlu diwaspadai oleh
kalangan Korban Pelapor.
Berangkat dari pendirian Mahkamah
Agung RI dalam putusannya tersebut, dapat dapat disimpulkan bahwa Mahkamah
Agung memiliki pendapat bahwa perjanjian perdamaian yang dibuat saat salah satu
pihak ditahan sebagai Tersangka / Terdakwa, sifatnya ialah “dibawah tekanan” dan
“dalam keadaan terpaksa”, sehingga akan dikategorikan sebagai “misbruik van omstandigheiden” yang mana
konsekuensi yuridisnya mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan sewaktu-waktu
oleh pihak tersebut yang bisa jadi beritikad tidak baik dengan membuat klaim
“dibawah tekanan”, karenanya hakim akan menilai tidak lagi memenuhi unsur-unsur
Pasal 1320 KUHPerdata—yakni dianggap tidak adanya “kehendak yang bebas” dari
salah satu pihak yang menandatangani Akta Perdamaian.
Itulah salah satu contoh
konkret kekhawatiran paling utama yang cukup beralasan untuk dipertimbangkan
matang-matang oleh kalangan Korban Pelapor sebelum menawarkan ataupun menerima
tawaran untuk berdamai dengan pihak Tersangka / Terdakwa yang sedang ditahan
dalam proses pemidanaan terhadap dirinya. Bila kita meninjau secara normatif,
perdamaian adalah hal yang niscaya dalam proses penyidikan maupun saat akan
memasuki tahap penuntutan terhadap seorang Tersangka / Terdakwa, bahkan
diakomodir sebagaimana peraturan berikut di bawah ini, meski potensi penyalah-gunaan
dalil “tiada kehendak yang bebas” (sedang berada di dalam tahanan atau sedang
ditahan) tetap berpotensi menjadi ancaman bila dikemudian hari pihak Tersangka
/ Terdakwa beritikad buruk dengan menggugat pembatalan Akta Perdamaian yang
telah ia sepakati.
PERATURAN KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 15 TAHUN 2020
TENTANG PENGHENTIAN PENUNTUTAN BERDASARKAN KEADILAN RESTORATIF
Menimbang :
a. bahwa Kejaksaan Republik
Indonesia sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang
penuntutan harus mampu mewujudkan kepastian hukum, ketertiban hukum, keadilan, dan
kebenaran berdasarkan hukum dan mengindahkan norma keagamaan, kesopanan, dan kesusilaan,
serta wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum, dan keadilan yang hidup
dalam masyarakat;
b. bahwa penyelesaian perkara tindak
pidana dengan mengedepankan keadilan restoratif yang menekankan pemulihan kembali
pada keadaan semula dan keseimbangan perlindungan dan kepentingan korban dan
pelaku tindak pidana yang tidak berorientasi pada pembalasan merupakan suatu kebutuhan
hukum masyarakat dan sebuah mekanisme yang harus dibangun dalam pelaksanaan
kewenangan penuntutan dan pembaharuan sistem peradilan pidana;
c. bahwa Jaksa Agung bertugas dan
berwenang mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh
Undang-Undang dengan memperhatikan asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya
ringan, serta menetapkan dan merumuskan kebijakan penanganan perkara untuk
keberhasilan penuntutan yang dilaksanakan secara independen demi keadilan
berdasarkan hukum dan hati nurani, termasuk penuntutan dengan menggunakan
pendekatan keadilan restoratif yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
d. bahwa berdasarkan
pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, periu
menetapkan Peraturan Kejaksaan tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan
Keadilan Restoratif;
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Kejaksaan ini
yang dimaksud dengan:
1. Keadilan Restoratif
adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, Korban,
keluarga pelaku / Korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama
mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada
keadaan semula, dan bukan pembalasan.
2. Korban adalah orang
yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang
diakibatkan oleh suatu tindak pidana.
3. Penuntut Umum adalah
jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk melakukan penuntutan dan
melaksanakan penetapan hakim.
4. Tersangka adalah
seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan
patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.
Pasal 2
Penghentian penuntutan
berdasarkan keadilan restoratif dilaksanakan dengan berasaskan:
a. keadilan;
b. kepentingan umum;
c. proporsionalitas;
d. pidana sebagai jalan
terakhir; dan
e. cepat, sederhana, dan biaya
ringan.
BAB II
PENUTUPAN PERKARA DEMI
KEPENTINGAN HUKUM
Pasal 3
(1) Penuntut Umum berwenang
menutup perkara demi kepentingan hukum.
(2) Penutupan perkara demi
kepentingan hukum dilakukan dalam hal:
a. terdakwa meninggal dunia;
b. kedaluwarsa penuntutan pidana;
c. telah ada putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap
terhadap seseorang atas perkara yang sama (nebis in idem);
d. pengaduan untuk tindak pidana aduan dicabut atau ditarik kembali;
atau
e. telah ada penyelesaian perkara di luar pengadilan (afdoening
buiten process).
(3) Penyelesaian perkara di
luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e dapat dilakukan
dengan ketentuan:
a. untuk tindak pidana tertentu, maksimum pidana denda dibayar dengan
sukarela sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau
b. telah ada pemulihan kembali keadaan semula dengan menggunakan
pendekatan Keadilan Restoratif.
(4) Penyelesaian perkara di
luar pengadilan dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf b menghentikan penuntutan.
(5) Penghentian penuntutan
berdasarkan keadilan restoratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan
oleh Penuntut Umum secara bertanggung jawab dan diajukan secara berjenjang
kepada Kepala Kejaksaan Tinggi.
BAB III
SYARAT
Pasal 4
(1) Penghentian penuntutan
berdasarkan Keadilan Restoratif dilakukan dengan memperhatikan:
a. kepentingan Korban dan kepentingan hukum lain yang dilindungi;
b. penghindaran stigma negatif;
c. penghindaran pembalasan;
d. respon dan keharmonisan masyarakat; dan
e. kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.
(2) Penghentian penuntutan
berdasarkan Keadilan Restoratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan mempertimbangkan:
a. subjek, objek, kategori, dan ancaman tindak pidana;
b. latar belakang terjadinya / dilakukannya tindak pidana;
c. tingkat ketercelaan;
d. kerugian atau akibat yang ditimbulkan dari tindak pidana;
e. cost and benefit penanganan perkara;
f. pemulihan kembali pada keadaan semula; dan
g. adanya perdamaian antara Korban dan Tersangka.
Pasal 5
(1) Perkara tindak pidana dapat
ditutup demi hukum dan dihentikan penuntutannya berdasarkan Keadilan
Restoratif dalam hal terpenuhi syarat sebagai berikut:
a. tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana;
b. tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan
pidana penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun; dan
c. tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian
yang ditimbulkan akibat dari tindak pidana tidak lebih dari Rp2.500.000,OO (dua
juta lima ratus ribu rupiah).
(2) Untuk tindak pidana terkait
harta benda, dalam hal terdapat kriteria atau keadaan yang bersifat kasuistik
yang menurut pertimbangan Penuntut Umum dengan persetujuan Kepala Cabang
Kejaksaan Negeri atau Kepala Kejaksaan Negeri dapat dihentikan penuntutan
berdasarkan Keadilan Restoratif dilakukan dengan tetap memperhatikan syarat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disertai dengan salah satu huruf b
atau hurufc.
(3) Untuk tindak pidana yang
dilakukan terhadap orang, tubuh, nyawa, dan kemerdekaan orang ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat dikecualikan.
(4) Dalam hal tindak pidana
dilakukan karena kelalaian, ketentuan pada ayat (1) huruf b dan huruf c dapat
dikecualikan.
(5) Ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) tidak berlaku dalam hal terdapat kriteria /
keadaan yang bersifat kasuistik yang menurut pertimbangan Penuntut Umum dengan
persetujuan Kepala Cabang Kejaksaan Negeri atau Kepala Kejaksaan Negeri tidak
dapat dihentikan penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif.
(6) Selain memenuhi syarat dan
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4),
penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif dilakukan dengan
memenuhi syarat:
a. telah ada pemulihan kembali pada keadaan semula yang dilakukan oleh
Tersangka dengan cara:
1. mengembalikan barang yang
diperoleh dari tindak pidana kepada Korban;
2. mengganti kerugian Korban;
3. mengganti biaya yang
ditimbulkan dari akibat tindak pidana; dan/atau memperbaiki kerusakan yang
ditimbulkan dari akibat tindak pidana;
b. telah ada kesepakatan perdamaian antara Korban dan Tersangka; dan
c. masyarakat merespon positif.
(7) Dalam hal disepakati Korban
dan Tersangka, syarat pemulihan kembali pada keadaan semula sebagaimana
dimaksud pada ayat (6) huruf a dapat dikecualikan.
(8) Penghentian penuntutan
berdasarkan Keadilan Restoratif dikecualikan untuk perkara:
a. tindak pidana terhadap keamanan negara, martabat Presiden dan Wakil
Presiden, negara sahabat, kepala negara sahabat serta wakilnya, ketertiban
umum, dan kesusilaan;
b. tindak pidana yang diancam dengan ancaman pidana minimal;
c. tindak pidana narkotika;
d. tindak pidana lingkungan hidup; dan
e. tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi.
Pasal 6
Pemenuhan syarat penghentian penuntutan
berdasarkan keadilan restoratif digunakan sebagai pertimbangan Penuntut Umum
untuk menentukan dapat atau tidaknya berkas perkara dilimpahkan ke pengadilan.
BAB IV
TATA CARA PERDAMAIAN
Bagian Kesatu Upaya Perdamaian
Pasal 7
(1) Penuntut Umum menawarkan
upaya perdamaian kepada Korban dan Tersangka.
(2) Upaya perdamaian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan tanpa tekanan, paksaan, dan
intimidasi.
(3) Upaya perdamaian
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan pada tahap penuntutan, yaitu pada
saat penyerahan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti (tahap dua).
Pasal 8
(1) Untuk keperluan upaya
perdamaian, Penuntut Umum melakukan pemanggilan terhadap Korban secara sah dan
patut dengan menyebutkan alasan pemanggilan.
(2) Dalam hal dianggap perlu
upaya perdamaian dapat melibatkan keluaga Korban / Tersangka, tokoh atau
perwakilan masyarakat, dan pihak lain yang terkait.
(3) Penuntut Umum
memberitahukan maksud dan tujuan serta hak dan kewajiban Korban dan Tersangka
dalam upaya perdamaian, termasuk hak untuk menolak upaya perdamaian.
(4) Dalam hal upaya
perdamaian diterima oleh Korban dan Tersangka maka dilanjutkan dengan proses
perdamaian.
(5) Setelah upaya perdamaian
diterima oleh Korban dan Tersangka, Penuntut Umum membuat laporan upaya
perdamaian diterima kepada Kepala Kejaksaan Negeri atau Cabang Kepala Kejaksaan
Negeri untuk diteruskan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi.
(6) Dalam perkara tertentu yang
mendapat perhatian khusus dari pimpinan dan masyarakat, laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) juga disampaikan kepada Jaksa Agung secara berjenjang.
(7) Dalam hal upaya perdamaian ditolak
oleh Korban dan/atau Tersangka maka Penuntut Umum:
a. menuangkan tidak tercapainya upaya perdamaian dalam berita acara;
b. membuat nota pendapat bahwa perkara dilimpahkan ke pengadilan dengan
menyebutkan alasannya; dan
c. melimpahkan berkas perkara ke pengadilan.
Bagian Kedua
Proses Perdamaian
Pasal 9
(1) Proses perdamaian
dilakukan secara sukarela, dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan,
dan intimidasi.
(2) Dalam proses perdamaian
Penuntut Umum berperan sebagai fasilitator.
(3) Penuntut Umum sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), tidak mempunyai kepentingan atau keterkaitan dengan
perkara, Korban, maupun Tersangka, baik secara pribadi maupun profesi, langsung
maupun tidak langsung.
(4) Proses perdamaian
dilaksanakan di kantor Kejaksaan kecuali terdapat kondisi atau keadaan yang
tidak memungkinkan karena alasan keamanan, kesehatan, atau kondisi geografis,
proses perdamaian dapat dilaksanakan di kantor pemerintah atau tempat lain yang
disepakati dengan surat perintah dari Kepala Cabang Kejaksaan Negeri atau
Kepala Kejaksaan Negeri.
(5) Proses perdamaian dan
pemenuhan kewajiban dilaksanakan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari
sejak penyerahan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti (tahap
dua).
Pasal 10
(1) Dalam hal proses
perdamaian tercapai, Korban dan Tersangka membuat kesepakatan perdamaian secara
tertulis di hadapan Penuntut Umum.
(2) Kesepakatan perdamaian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. sepakat berdamai disertai pemenuhan kewajiban tertentu; atau
b. sepakat berdamai tanpa disertai pemenuhan kewajiban tertentu.
(3) Kesepakatan perdamaian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh Korban, Tersangka, dan 2
(dua) orang saksi dengan diketahui oleh Penuntut Umum.
(4) Dalam hal kesepakatan
perdamaian disertai pemenuhan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf a, Penuntut Umum membuat berita acara kesepakatan perdamaian dan nota pendapat
setelah pemenuhan kewajiban dilakukan.
(5) Dalam hal kesepakatan
perdamaian tanpa disertai pemenuhan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf b, Penuntut Umum membuat berita acara kesepakatan perdamaian dan nota
pendapat.
(6) Dalam hal kesepakatan
perdamaian tidak berhasil atau pemenuhan kewajiban tidak dilaksanakan sesual
kesepakatan perdamaian maka Penuntut Umum:
a. menuangkan tidak tercapainya kesepakatan perdamaian dalam berita
acara;
b. membuat nota pendapat bahwa perkara dilimpahkan ke pengadilan dengan
menyebutkan alasannya; dan
c. melimpahkan berkas perkara ke pengadilan.
Pasal 11
(1) Dalam hal kesepakatan
perdamaian tidak berhasil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (6) karena
permintaan pemenuhan kewajiban yang tidak proporsional, ancaman atau
intimidasi, sentimen, perlakuan diskriminatif atau pelecehan berdasarkan
kesukuan, agama, ras, kebangsaan, atau golongan tertentu terhadap Tersangka
yang beritikad baik dapat dijadikan pertimbangan Penuntut Umum dalam melakukan
penuntutan.
(2) Pertimbangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) juga berlaku dalam hal pemenuhan kewajiban tidak
dilaksanakan sesuai kesepakatan perdamaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
ayat (6) karena faktor ekonomi atau alasan lain yang disertai dengan itikad
baik dari Tersangka.
(3) Pertimbangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berupa:
a. pelimpahan perkara dengan acara pemeriksaan singkat;
b. keadaan yang meringankan dalam pengajuan tuntutan pidana; dan/atau
c. pengajuan tuntutan pidana dengan syarat, sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan, dengan tetap memperhatikan Pedoman Tuntutan
Pidana Perkara Tindak Pidana Umum.
Pasal 12
(1) Dalam hal kesepakatan
perdamaian tercapai, Penuntut Umum melaporkan kepada Kepala Cabang Kejaksaan
Negeri atau Kepala Kejaksaan Negeri dengan melampirkan berita acara kesepakatan
perdamaian dan nota pendapat.
(2) Berdasarkan laporan
Penuntut Umum sebagaimana dimaksud ayat (1), Kepala Cabang Kejaksaan Negeri
atau Kepala Kejaksaan Negeri meminta persetujuan penghentian penuntutan
berdasarkan Keadilan Restoratif kepada Kepala Kejaksaan Tinggi.
(3) Permintaan persetujuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan dalam waktu paling lama 1 (satu)
hari setelah kesepakatan perdamaian tercapai.
(4) Kepala Kejaksaan Tinggi
menentukan sikap menyetujui atau menolak penghentian penuntutan berdasarkan
Keadilan Restoratif secara tertulis dengan disertai pertimbangan dalam waktu
paling lama 3 (tiga) hari sejak permintaan diterima.
(5) Dalam perkara tertentu yang
mendapat perhatian khusus dari plmplnan, Kepala Kejaksaan Tinggi meminta
persetujuan kepada Jaksa Agung dengan tetap memperhatikan waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (3).
(6) Dalam hal Kepala
Kejaksaan Tinggi menyetujui penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan
Restoratif, Kepala Cabang Kejaksaan Negeri atau Kepala Kejaksaan Negeri selaku
Penuntut Umum mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan dalam waktu
paling lama 2 (dua) hari sejak persetujuan diterima.
(7) Surat Ketetapan Penghentian
Penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) memuat alasan penghentian
penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif sekaligus menetapkan status
barang bukti dalam perkara tindak pidana dimaksud.
(8) Penetapan status barang
bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(9) Surat Ketetapan Penghentian
Penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dicatat dalam Register Perkara
Tahap Penuntutan dan Register Penghentian Penuntutan dan Penyampingan Perkara
demi Kepentingan Umum.
(10) Dalam hal Kepala Kejaksaan
Tinggi menolak penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif, Penuntut
Umum melimpahkan berkas perkara ke pengadilan.
Pasal 13
(1) Dalam hal upaya
perdamaian atau proses perdamaian terdapat tekanan, paksaan, dan intimidasi
dari Korban, Tersangka, dan/atau pihak lain, Penuntut Umum menghentikan upaya
perdamaian atau proses perdamaian.
(2) Penghentian upaya
perdamaian atau proses perdamaian sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan
Penuntut Umum dengan:
a. menuangkan tidak tercapai upaya perdamaian atau proses perdamaian
dalam berita acara;
b. membuat nota pendapat bahwa perkara dilimpahkan ke pengadilan dengan
menyebutkan alasannya; dan
c. melimpahkan berkas perkara ke pengadilan.
Pasal 14
Dalam hal kesepakatan
perdamaian dibuat pada tahap penyidikan dapat dijadikan pertimbangan
Penuntut Umum untuk menghentikan penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif
dengan memenuhi syarat dan tata cara perdamaian sebagaimana diatur dalam
peraturan ini.
BAB V
PENAHANAN
Pasal 15
(1) Penahanan, penangguhan
penahanan, dan/atau pembantaran penahanan terhadap Tersangka dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam hal Tersangka
ditahan dan terhadap perkaranya dilakukan penghentian penuntutan berdasarkan
Keadilan Restoratif, Penuntut Umum segera membebaskan Tersangka setelah Surat
Ketetapan Penghentian Penuntutan dikeluarkan.
(3) Pembebasan Tersangka
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuatkan berita acara.
BAB VI
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 16
Untuk optimalisasi pelaksanaan
Peraturan Kejaksaan ini diselenggarakan bimbingan teknis dan pendidikan
pelatihan.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 17
Peraturan Kejaksaan ini mulai berlaku
pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Kejaksaan ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada
tanggal 21 Juli 2020
JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA,
Diundangkan di Jakarta pada
tanggal 22 Juli 2020.
PENUTUP & REKOMENDASI SHIETRA &
PARTNERS:
Akan jauh lebih ideal, bilamana
pihak Korban Pelapor menerapkan strategi cerdas dalam berhukum dengan
mengakomodir skema sebagai berikut : Ketika Terlapor bersikap tidak kooperatif
atau bersikukuh “pasang badan” dengan tidak beritikad baik terhadap somasi
alias memandang “sebelah mata” ketika menyikapi surat teguran yang dilayangkan
Korban, maka proses pemidanaan dapat tetap bergulir hingga “goal” dengan divonis pidananya pihak
Terdakwa tanpa intervensi apapun semacam perdamaian—sekalipun inisiatif
perdamaian tersebut berangkat dari pihak Terdakwa.
Bertarung hukum, ibarat
bertanding di atas papan catur, sarat strategi. Sekali salah melangka, fatal
akibatnya. Adapun terkait pemulihan hak-hak keperdataan paska dipidananya Terlapor,
Korban Pelapor, dapat merujuk kaedah hukum perihal SURAT PUTUSAN PIDANA SEBAGAI
BUKTI PERDATA:
“Suatu
putusan dari Peradilan Pidana memiliki kekuatan bukti yang sempurna di dalam
proses perkara Perdata, baik terhadap Terpidana itu sendiri maupun terhadap
pihak ketiga, dengan tidak menutup diajukannya bukti lawan.” (Putusan
Mahkamah Agung No. 199 K/Sip/1973 tanggal 27 November 1975)
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.