“Acta Van Vergelijk” (Akta Perdamaian di dalam Pengadilan) TIDAK DAPAT DIEKSEKUSI

Melalaikan Kesepakatan dalam Acta Van Vergelijk, Bisakah Digugat Wanprestasi?

Question: Bila memang betul bahwa “acta van vergelijk” tidak dapat dieksekusi oleh Pengadilan Negeri, maka bisakah bilamana salah satu pihak dalam Akta Perdamaian tersebut (lagi-lagi) ingkar atau kembali lalai terhadap apa yang telah disepakati dan dijanjikan olehnya didalam perdamaian, maka pihak tersebut digugat untuk kali keduanya sebagai telah wanprestasi terhadap Akta Perdamaian ini?

Brief Answer: Tampaknya tidak lagi memungkinkan untuk mengajukan upaya hukum apapun terhadap “Acta Van Vergelijk” (Akta Perdamaian yang dibuat dan disepakati sendiri oleh para pihak yang saling bersengketa di dalam pengadilan, dan dikukuhkan atau disahkan oleh hakim pemeriksa dan pemutus perkara dalam gugat-menggugat di Pengadilan Negeri), termasuk “banding” ataupun menggugat wanprestasi terhadap pihak yang melalaikan isi yang tertuang dalam “Acta Van Vergelijk”.

Satu-satunya langkah hukum yang dapat ditempuh, ialah mengajukan eksekusi terhadap “Acta Van Vergelijk” yang secara yuridis seketika berkekuatan hukum tetap (inkracht) serta dapat dieksekusi karena dalam Akta Perdamaian yang disatukan kedalam putusan pengadilan melekat irah-irah title eksekutorial “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”—hanya saja patut disayangkan, bahwa “Acta Van Vergelijk” tidak benar-benar dapat dieksekusi dalam realitanya.

Menjadi ambigu, ketika salah satu pihak dalam Akta Perdamaian tersebut mendapati bahwa “Acta Van Vergelijk” meski dikukuhkan dan disahkan oleh hakim di pengadilan dalam putusannya, telah ternyata tidak dapat dieksekusi oleh pengadilan, kemudian menjadikan kelalaian atau ingkar janji-nya pihak lain dalam Akta Perdamaian tersebut sebagai pokok perkara baru dalam gugatan baru berupa gugatan wanprestasi, maka hal demikian mungkin solutif-pragmatis—namun menciptakan “blunder”, mengingat sejatinya pokok perkara telah “inkracht” sejak diterbitkannya “Acta Van Vergelijk” sehingga terhadap pokok perkara yang sama, objek sengketa yang sama, serta atas dasar subjek hukum para pihak yang saling bersengketa adalah identik, disamping hubungan hukum yang sama dengan gugatan sebelumnya yang bermuara pada disepakatinya Akta Perdamaian, maka terjadilan kondisi yang disebut sebagai “nebis in idem”.

PEMBAHASAN:

Pernah terdapat publikasi ilmiah mengenai putusan pengadilan dimana dalam gugatan sebelumnya para pihak yang saling bersengketa sepakat menyelesaikan sengketa dengan perdamaian yang dituangkan dalam bentuk Akta Perdamaian, dengan substansi kesepakatan tentang besarnya hutang pihak Tergugat kepada Penggugat, kerugian pihak Penggugat disepakati untuk diselesaikan dengan ketentuan total pinjaman sesuai kesepakatan angsuran, sedangkan kerugian lain-lain termasuk bunga yang menjadi hak Penggugat sepakat diperhitungkan sebesar sekian persen.

Sebagai jaminan pelunasan hutang, disepakati bahwa Tergugat menyerahkan agunan dikarenakan para pihak tergugat tidak mempunyai uang tunai, jaminan mana tersebut berupa sertifikat hak atas tanah seperti SHM maupun SHGB. Kesepakatan perdamaian tersebut telah diputus dan dikuatkan oleh hakim yang mengadili perkara dengan dituangkan dalam Putusan Akta Perdamaian, yang mana dalam amar putusannya menghukum Para Pihak yang bersengketa (Penggugat dan Para Tergugat) untuk menaati Kesepakatan Perdamaian demikian. Penggugat berasumsi, bahwa lembaran sengketa telah selesai dan tuntas dimana Akta Perdamaian menjadi solusi paling solutif untuk menyelesaikan sengketa.

Beberapa bulan demikian, menagih realisasi kesepakatan dalam perdamaian di atas, terutama mengenai teknis penyerahan dan pembayaran aset, mengingat salah satu pihak Tergugat tidak bisa membayar hutang kepada penggugat dalam bentuk uang tunai maka pihaknya akan menyerahkan asetnya berupa SHM atas nama Tergugat kepada Penggugat (tukar-guling), dimana Penggugat akan membayar selisih atas harga aset dan besaran nominal kewajiban hutang Tergugat. Akan tetapi faktanya Tergugat tidak melaksanakan kesepakatan Perdamaian yaitu tidak kunjung menyerahkan SHM milik Tergugat, sehingga pihak Penggugat mengajukan gugatan perdata kembali ke Pengadilan Negeri, karena Tergugat telah wanprestasi terhadap Akta Perdamaian.

Adapun dasar dari gugatan untuk kedua kalinya ini, Tergugat telah melakukan wanprestasi yang sebelumnya telah disepakati dalam Putusan Akta Perdamaian. Terhadap gugatan Penggugat yang dilayangkan dibelakang hari ini, Pengadilan Negeri mengabulkan permohonan gugatan wanprestasi untuk kedua kalinya demikian dan telah diputus berupa dikabulkannya gugatan oleh Penggugat terhadap Para Tergugat atas pokok perkara yang identik dengan gugatan wanprestasi yang sebelumnya—alih-alih gugatan dinyatakan “tidak dapat diterima karena nebis in idem”. Publikasi ilmu hukum tersebut mengkritisi putusan pengadilan yang mengabulkan gugatan wanprestasi yang sebelumnya telah “inkracht” saat disepakati dan dikukuhkannya Akta Perdamaian oleh hakim di pengadilan, dimana Akta Perdamaian cukup dimohonkan eksekusinya kepada pengadilan.

Bila kita mencermatinya secara teoretis, tampaknya opini hukum dalam publikasi tersebut cukup beralasan dan logis, namun luput untuk bertanya bahwasannya bilamana semudah dan cukup sesederhana memohon eksekusi terhadap “Acta Van Vergelijk” kepada pengadilan, maka gugatan wanprestasi untuk kali keduanya tidak perlu terjadi. Namun mengapa gugatan untuk kali keduanya tersebut dapat terjadi? Justru karena pihak Penggugat pada kenyataannya dalam tataran di lapangan tidak dapat memohon eksekusi serta pengadilan pun tidak dapat mengeksekusi “Acta Van Vergelijk” dengan model substansi perdamaian demikian—untuk selengkapnya dan sejelasnya, simak kembali uraian perihal isi / substansi Akta Perdamaian, yang mana kesepakatan didalamnya sangat digantungkan kepada itikad baik pihak-pihak yang bersepakat di dalamnya, dimana adalah mustahil dapat dieksekusi oleh pengadilan.

Namun demikian, disamping asas “kepastian” dan “keadilan hukum”, dunia ilmu hukum juga mengenal asas “kemanfaatan”. Pengadilan perlu bersikap solutif atas “benang kusut” dan “jalan buntu” demikian, dengan menginzinkan atau mengakomodir gugatan wanprestasi yang diajukan untuk kali keduanya oleh warga pencari keadilan, agar saat kini amar putusan bukan lagi berupa Akta Perdamaian, namun benar-benar berupa penghukuman bagi pihak Tergugat untuk membayar sejumlah nominal uang kepada pihak Penggugat, bilamana Tergugat melalaikannya maka harta benda milik Tergugat dapat disita dan dilelang untuk memenuhi kewajibannya kepada Penggugat—meski, sekali lagi, secara teoretis kontruksi hukum demikian menabrak “taat asas” hukum acara perdata, namun bila solusi yang solutif menuntut demikian maka asas “kemanfaatan” menampilkan supremasinya secara kasuistik.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.