PERSPEKTIF KORBAN Vs. PERSPEKTIF PELAKU KEJAHATAN, Pilih yang Mana?

Jangankan Ada Keadilan bagi Korban, Tuhan pun bahkan Lebih PRO terhadap Pendosa yang Menyakiti, Merugikan, maupun Melukai Korban-Korbannya

Korban Bukanlah Mayat ataupun Sebongkah Batu yang Tidak Bisa Merasakan Sakit dan Hanya Bisa Diam Membisu ketika Disakiti. Menjerit Kesakitan dan Mendapatkan Keadilan merupakan HAK ASASI KORBAN

Orang Baik-Baik Bukanlah MANGSA EMPUK. Hanya Pengecut yang menjadikan Orang Baik-Baik sebagai MANGSA EMPUK

Sesama Penjahat Biasanya Saling Memaklumi, Begitupula Sesama Pendosa. RUGI, KERUGIAN, & MERUGINYA MENJADI KORBAN

Question: Mengapa ya bisa terjadi, rasanya masyarakat kita di Indonesia kurang menaruh empati maupun simpatik bila kita jadi korban kejahatan oleh warga lainnya? Mereka bahkan menyebut korban yang menjerit kesakitan atau yang memekik akibat kemarahan yang memuncak, ledakan kegeraman yang menumpuk (terakumulasi) dan selama ini dipendam, maupun karena tidak terima diperlakukan secara tidak patut oleh warga lainnya, masih juga disakiti (di-oral bullying) dengan disebut sebagai sudah “tidak waras”, “orang stress”, dan segala diskredit lainnya.

Namun, disaat bersamaan, masyarakat kita itu yang hanya menonton tanpa menolong ataupun membantu, seakan membela pelaku kejahatan dengan sama sekali tidak mengkritik ataupun mencela perbuatan pelaku yang telah merugikan maupun menyakiti saya selaku korban? Padahal saya ini korban. Sepertinya fenomena sosial semacam ini sudah jadi budaya, yakni kultur tidak pro terhadap korban.

Brief Answer: Jangankan masyarakat kita yang dikenal “agamais” namun tidak takut dan tidak malu berbuat dosa ini, Tuhan pun digambarkan sebagai lebih PRO terhadap pendosa dengan menghapus dosa-dosa para pendosa tersebut—hanya pendosa, yang butuh penghapusan / pengampunan / penebusan dosa. Dengan dihapuskannya dosa-dosa para pendosa, maka itu menjadi insentif (kabar gembira) bagi pelaku kejahatan dan disaat bersamaan menjadi sebentuk dis-insentif (kabar buruk) bagi korban, karena Tuhan justru memberikan “reward” kepada pendosa alih-alih menerapkan “merit system” egalitarian ala Hukum Karma bagi pelakunya (menanam keburukan maka akan memetik keburukan bagi si pelakunya itu sendiri). Sehingga, janganlah heran bila masyarakat “agamais” kita justru tidak malu dan juga tidak malu berbuat dosa, persis dengan semboyan watak berikut : “BUAT DOSA, SIAPA TAKUT?!

Cobalah perhatikan ibadah kaum agamais tersebut, setiap harinya mengumbar iming-iming “pengampunan dosa” atau apapun itu istilahnya (abolition of sins, alias ideologi “korup” bagi para koruptor), setiap hari raya keagamaan, bahkan saat sang “agamais” meninggal dunia pun sanak-keluarga dan pemuka agama justru memohon dan mengharapkan pengampunan dosa-dosa pelaku alih-alih memikirkan, berempati, maupun berkeadilan bagi korban-korban sang “agamais”—sehingga praktis salah satu sila pada Pancasila, yakni sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, sama sekali tidak tercerminkan pada budaya masyarakat kita. Artinya pula, menjadi orang suci yang tidak berbuat dosa maupun menjadi seorang berjiwa ksatria yang bertanggung-jawab atas kerugian / luka / derita korban-korbannya, adalah RUGI, MERUGI, dan KERUGIAN itu sendiri.

Sebaliknya, lari dari tanggung-jawab, mengoleksi dosa, mereproduksi dosa, menabung dosa, menimbun diri dengan dosa, berkubang dalam dosa, bersimbah dosa, sama artinya UNTUNG, KEUNTUNGAN, dan BERUNTUNG. Sehingga, jawaban atas pertanyaan “klise” demikian ialah pertanyaan berikut : Memangnya apa, yang bisa kita harapkan dari masyarakat kita yang tidak takut terhadap dosa, kompromistik terhadap dosa, sehingga orang-orang yang tidak berbuat dosa adalah minoritas di republik ini? Ketika ada anggota masyarakat kita yang mengkritik perbuatan jahat sang penjahat, inilah komentar sang penjahat : “Ah, kamu sendiri adalah pendosa yang tidak berbeda dengan saya. Sudahlah, sesama pendosa jangan saling mengkritik satu sama lainnya!

PEMBAHASAN:

Jawaban kedua yang dapat penulis ajukan sebagai penjelasan terhadap pertanyaan yang tampaknya memang lazim dipertanyakan oleh publik, ialah pertanyaan berikut ini : Jika Tuhan saja lebih PRO dan kompromistik terhadap para pendosa, maka apa yang dapat kita harapkan dari masyarakat “agamais” kita di Indonesia? Tuhan yang mereka (para pendosa) sembah tersebut pun menjawabnya, dengan jawaban yang tidak kalah klise-nya sebagai berikut:

Ah, jika saya berikan para pendosa tersebut ‘punishment’ berupa penghukuman, maka iming-iming (jebakan) ‘penghapusan dosa’ yang saya tawarkan kepada para pendosa tersebut, terancam menjadi tidak laku karena tidak ada yang akan terperangkap dan terjerumus kedalamnya. Justru karena ada pendosa dan ada tawaran ‘pengampunan dosa’, maka ada ‘demand’ ada pula ‘supply’.

“Jika iming-iming saya tidak laku, maka tidak akan ada yang mau jadi umat yang menyembah-sujud kepada saya. Saya bisa punah bila tidak ada umat manusia yang menyembah saya. Siapa suruh jadi korban, rugi sendiri. Jadilah pendosa, jangan menjadi korban. Rugi sendiri bila jadi korban, dan rugi sendiri pula bila tidak menikmati iming-iming ‘penghapusan dosa’ yang saya tawarkan dan sediakan khusus bagi para pendosa. Merugi sendiri bila memilih untuk menjadi orang baik-baik, orang suci, maupun orang berjiwa ksatria.

“Di dunia ini, orang baik yang tidak buat dosa adalah minoritas! Salah sendiri bila ada kelinci masuk sarang serigala, dan ketika seekor serigala menerkam dan memangsa si kelinci, serigala lain akan merasa kagum dan bangga kepada rekan serigalanya alih-alih mengkritik sang serigala yang memangsa kelinci itu. Itulah mengapa, tidak menyembah saya dan menjadi pendosa yang menikmati ‘pengampunan dosa’, adalah manusia-manusia yang MERUGI! Lihatlah, dunia kini didominasi oleh para pendosa alias pemeluk agama saya ini yang rela menggadaikan jiwanya demi menyembah saya!

Perhatikan fenomena sosial berikut ini yang menjadi salah satu contoh konkret yang mencerminkan mentalitas atau kultur masyarakat muda maupun masyarakat dewasa kita di Indonesia, sebagaimana pemberitaan dilansir dengan tajuk “Video Viral Twitter Perundungan Siswa SMP Dalam Kelas, Dipakaikan Helm Lalu Ditendang Hingga Jatuh”, 19 November 2022, sumber : https:// sultra.tribunnews .com/2022/11/19/video-viral-twitter-perundungan-siswa-smp-dalam-kelas-dipakaikan-helm-lalu-ditendang-hingga-jatuh, diakses pada tanggal 20 November 2022, dengan kutipan sebagai berikut, dimana perbuatan jahat dianggap sebagai hal yang lucu dan diumbar tanpa rasa malu di depan umum (dosa adalah “aurat” itu sendiri, namun dipertontonkan dengan bangga) sebagaimana ideologi “penghapusan dosa” yang selama ini dipromosikan dan dikampanyekan lewat speaker pengeras suara tempat ibadah:

Berikut ini video viral di Twitter aksi perundungan atau bullying yang terjadi di dalam ruangan kelas. Dalam video viral yang beredar seorang siswa SMP dipakaikan helm lalu ditendang.

Siswa tersebut tak mampu melawan, ia hanya duduk diam sampai terjatuh saat ditendang. Bahkan tubuhnya lemas, hingga akhirnya tak mampu untuk terbangun kembali.

Peristiwa ini terekam kamera dan viral di media sosial. Dalam video viral Twitter yang diunggah akun @salmandoang, Jumat (17/11/2022) nampak kejadian tersebut terjadi seperti di ruangan kelas.

Sejumlah siswa menggunakan baju batik berwarna biru dipadukan dengan celana khas anak SMP. Seorang siswa yang mengenakan baju olahraga duduk di bagian depan.

Ia dipakaikan helm oleh teman-temannya lalu setelah itu di tendang. Sebanyak dua orang ikut menendang siswa tersebut.

Lalu sejumlah siswa lainnya turut menyaksikan kejadian tersebut tanpa melerai. Bahkan beberapa diantaranya tersenyum.

Disebutkan keterangan pengunggah video viral di Twitter kejadian tersebut terjadi di SMP Plus Baiturrahman, Bandung.

“Kejadian siang ini pada jam sekolah. Korban adalah keluarga kawan saya, dilarikan ke RS setelah pingsan. @disdik_bandung @RESTABES_BDG

@raykairi: Dari dulu sih sebenernya. Bedanya dulu gak ada sosmed dan bully ginian tuh malah di maklumi. Kalo ngadu malah di ledek.

Sesama pendosa, saling memaklumi ketika melihat pendosa-pendosa lainnya berbuat dosa kepada korban, dimana mayoritas masyarakat “agamais” kita ironisnya merupakan umat pengikut “Agama DOSA”—meski diberi embel-embel merek atau judul “SUCI” pada kemasan luarnya (please, don’t judge the book by the title!), dimana para umatnya dapat kita juluki sebagai “dosawan”, antinomi dari kubu sebaliknya, para “suciwan”. Tanpa bosan, penulis akan menguraikan kembali tiga jenis kategorisasi agama yang dikenal di dunia ini, penggolongan mana mampu menyingkap delusi yang selama ini Anda yakini, yakni dengan rincian sebagai berikut: [Yang manakah Anda dan dimanakah Anda, satu dari tiga jenis agama di bawah ini?]

- Agama SUCI. Tentu, umatnya layak disebut sebagai suciwan, mengingat para suciwan senantiasa mengawasi diri dan berlatih pengendalian diri secara ketat tanpa kenal kompromi terhadap dosa sekecil apapun, sehingga tidak akan menyakiti, melukai, maupun merugikan pihak-pihak lain manapun. Seorang suciwan tidak tercela secara moralitas, karenanya bebas dan bersih dari dosa-dosa akibat terlatih serta terbiasa untuk melakukan praktik pengendalian dan mawas diri. Alhasil, seorang suciwan tidak pernah membutuhkan iming-iming ideologi “korup” semacam “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”—tidak memakan “umpan” yang dilemparkan oleh pembuat janji-janji surgawi “dosa dan penghapusan dosa” (satu paket bundling). Seorang suciwan berdiri kokoh diluar lingkaran (circle) kalangan pendosa, meski artinya berjalan di jalan yang sepi dan “melawan arus”;

- Agama KSATRIA. Tentu saja, umatnya adalah mereka yang memiliki atau berjiwa ksatria, mengingat bahwa sekalipun seorang ksatria telah pernah dan masih dapat berbuat keliru, baik disengaja atau akibat kelalaiannya, namun seorang ksatria akan siap-sedia untuk bertanggung-jawab secara penuh tanggung-jawab kepada korban-korbannya yang telah terluka, tersakiti, maupun dirugikan. Karenanya, seorang ksatria tidak pernah butuh ideologi “cuci dosa” (sins laundring) semacam “abolition of sins” (“penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”). Para ksatria memegang teguh dan menghargai martabatnya sebagai harta tidak ternilai, karenanya tidak bersedia menggadaikan jiwanya menjadi budak sembah-sujud demi menjadi pelanggan tetap ideologi korup semacam “cuci-mencuci dosa”. Bagi para ksatria, para pendosa demikian adalah kotor, menjijikkan, tercela, ternoda, dan alergik disamping “toxic”. Bagaimana mungkin yang ternoda hendak bersatu dengan Tuhan yang murni dan bersih—itu namanya “mencemari”;

- Agama DOSA. Tentulah, para umatnya tidak lain tidak bukan ialah para pendosa yang setiap hari, setiap tahun, bahkan saat meninggal dunia semata menjadi pelanggan tetap ideologi korup bernama “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”—hanya seorang pendosa, yang butuh ideologi korup semacam “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”, sekaligus menjadi pertimbangan mengapa disebut sebagai “Agama DOSA”. Namun, akibat delusi, para pendosa atau pemeluk “Agama DOSA” memandang diri mereka sebagai “agamais-suciwan” yang memeluk “Agama SUCI”. Bagaimana mungkin dan bagaimana ceritanya, seorang pendosa hendak berceramah perihal hidup suci, lurus, bersih, dan jujur serta mulia? Tiada yang lebih mudah di-“jengkal” daripada para pendosa pemeluk “Agama DOSA”, mereka bahkan dapat diukur dengan “penggaris” pendek milik anak Sekolah Dasar, sedangkal itulah kedangkalannya alih-alih kedalamannya.

Tuhan yang disembah oleh para umat “Agama DOSA” dimaksud, bahkan kalah adil dan kalah “humanis” dengan peran seorang hakim di dunia manusia—meskipun Tuhan semestinya bersikap “Tuhanis” yang artinya harus lebih adil daripada sekadar hakim yang “humanis”. Sebagai contoh perbandingan, perhatikan teori hukum pemidanaan (penitensier) berikut : Tujuan dari pemidanaan adalah pemberian “efek jera” bagi pelaku dan perlindungan hukum (serta keadilan) bagi kalangan korban suatu tindak pidana (agar seorang warga tidak berani melanggar hukum yang merugikan warga lainnya) dimana didalamnya termuat penghukuman terhadap tindakan yang dilakukan pelaku tindak pidana.

Namun, Tuhan justru memberikan insentif dan “reward” kepada para pendosa yang telah berbuat jahat dengan menyakiti, merugikan, maupun melukai masyarakat lainnya, sehingga tiada “merit system” ala egalitarian semacam Hukum Karma yang lebih adil tanpa bias subjektivitas bagi kepentingan para korban—alih-alih memberikan “punishment”, sehingga menjadi tidak mengherankan bila para pendosa tersebut masih juga yakin akan masuk alam surgawi setelah sepanjang hidupnya serta setiap harinya mengoleksi dosa, menimbun diri dengan dosa, berkubang dosa, memproduksi dosa, berlinang dosa, bersimbah dosa, dosa-dosa mana “too big to fall”, yang pada muaranya menjelma “mindset” berupa kultur berikut : “BUAT DOSA, SIAPA TAKUT?!

Penghapusan dosa atau apapun itu istilahnya, merupakan “kabar gembira” bagi para pendosa, namun selalu menjadi “kabar buruk” bagi korban-korban dari para pendosa tersebut. Bukankah menjadi lucu, ketika masyarakat kita lebih cenderung tidak simpatik terhadap luka ataupun derita yang diderita korban, masih juga mendiskreditkan korban (turut menyakiti korban yang sedang dalam kondisi lemah, terjatuh mentalnya dan terluka, sehingga menjadi mangsa empuk “verbal bullying”). Kita selaku korban dapat memberi tanggapan berikut, ketika diposisikan demikian:

Lucu sekali, korban (justru) dilecehkan, sementara pelakunya justru dibela dengan tidak dikritik ataupun dicela.”—itulah ketika, korban yang justru dikritik dan dicela, secara “salah alamat”, alias penghakiman oleh “hakim” yang buruk, menolerir perbuatan jahat namun tidak toleran terhadap jeritan korban.

Tampaknya, menghadapi kalangan pendosa, para korban hanya bisa bersabar, sepanjang masih bersifat dilukai verbal tidak sampai masuk pada tahap “main kekerasan fisik”, sebagaimana dapat kita rujuk khotbah Sang Buddha dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, sekalipun terkadang bersabar di-indentik-kan dengan “bodoh”, dengan kutipan sebagai berikut:

164 (4) Sabar (1)

“Para bhikkhu, ada empat cara praktik ini. Apakah empat ini? Praktik yang tidak sabar, praktik yang sabar, praktik menjinakkan, dan praktik menenangkan.

(1) “Dan apakah, para bhikkhu, praktik yang tidak sabar? Di sini, seseorang menghina orang yang menghinanya, memarahi orang yang marah padanya, dan berdebat dengan orang yang mendebatnya. Ini disebut praktik yang tidak sabar.

(2) “Dan apakah praktik yang sabar? Di sini, seseorang tidak menghina orang yang menghinanya, tidak memarahi orang yang marah padanya, dan tidak berdebat dengan orang yang mendebatnya. Ini disebut praktik yang sabar.

(3) “Dan apakah praktik menjinakkan? Di sini, setelah melihat bentuk dengan mata, seorang bhikkhu tidak menggenggam tanda-tanda dan ciri-cirinya. Karena, jika ia membiarkan indria mata tidak terkendali, maka kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat berupa kerinduan dan kesedihan dapat menyerangnya, ia berlatih mengendalikannya; ia menjaga indria mata, ia menjalankan pengendalian indria mata.

Setelah mendengar suara dengan telinga … Setelah mencium bau-bauan dengan hidung … Setelah mengecap rasa kecapan dengan lidah … Setelah merasakan objek sentuhan dengan badan … Setelah mengenali fenomena pikiran dengan pikiran, seorang bhikkhu tidak menggenggam tanda-tanda dan ciri-cirinya. Karena, jika ia membiarkan indria pikiran tidak terkendali, maka kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat berupa kerinduan dan kesedihan dapat menyerangnya, ia berlatih mengendalikannya; [153] ia menjaga indria pikiran, ia menjalankan pengendalian indria pikiran. Ini disebut praktik menjinakkan.

(4) “Dan apakah praktik menenangkan? Di sini, seorang bhikkhu tidak membiarkan suatu pikiran indriawi yang muncul; ia meninggalkannya, menghalaunya, menenangkannya, menghentikannya, dan melenyapkannya. Ia tidak membiarkan suatu pikiran berniat buruk yang munculsuatu pikiran mencelakai yang muncul … kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat kapan pun munculnya; ia meninggalkannya, menghalaunya, menenangkannya, menghentikannya, dan melenyapkannya. Ini disebut praktik menenangkan.

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat cara praktik itu.”

165 (5) Sabar (2)

“Para bhikkhu, ada empat cara praktik ini. Apakah empat ini? Praktik yang tidak sabar, praktik yang sabar, praktik menjinakkan, dan praktik menenangkan.

(1) “Dan apakah, para bhikkhu, praktik yang tidak sabar? Di sini, seseorang tidak dengan sabar menahankan dingin dan panas; lapar dan haus; kontak dengan lalat, nyamuk, angin, panas matahari, dan ular-ular; ucapan-ucapan yang kasar dan menghina; ia tidak mampu menahankan perasaan jasmani yang muncul yang menyakitkan, menyiksa, tajam, menusuk, mengerikan, tidak menyenangkan, melemahkan vitalitas seseorang. Ini disebut praktik yang tidak sabar.

(2) “Dan apakah praktik yang sabar? Di sini, seseorang dengan sabar menahankan dingin dan panas … ucapan-ucapan yang kasar dan menghina; ia mampu menahankan perasaan jasmani yang muncul yang menyakitkan, menyiksa, tajam, menusuk, mengerikan, tidak menyenangkan, melemahkan vitalitas seseorang. Ini disebut praktik yang sabar.

(3) “Dan apakah, para bhikkhu, praktik menjinakkan? … [seperti pada 4:164] …

(4) “Dan apakah, para bhikkhu, praktik menenangkan? … [seperti pada 4:164] …

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat cara praktik itu.” [154]

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.