ORANG BAIK Vs. ORANG JAHAT, Banyak yang Mana?

Ingin menjadi Orang Baik? Syaratnya Harus Tahan Banting dan Siap Mental. Seorang Pengecut Tidak akan Sanggup menjadi Orang Baik

Hanya Pendosa yang Butuh Penghapusan Dosa, “Agama DOSA” yang Bersumber dari “Kitab DOSA”—Mengkampanyekan & Mempromosikan Ideologi Korup Bernama Penghapusan / Pengampunan / Penebusan Dosa

Agama SUCI (Suciwan), Agama KSATRIA (Ksatria), dan Agama DOSA (Pendosa), Banyak yang Mana Umatnya?

Topik-topik kajian anthropologi mengenai “orang baik” berhadap-hadapan dengan “orang jahat”, selalu merupakan tema penelitian yang menarik untuk digali dan dibahas, setidaknya bagi pribadi penulis maupun bagi para sosiolog. Singkatnya, orang yang suci, suciwan, adalah makhluk paling langka di Muka Bumi ini, lebih langka daripada logam mulia ataupun batu permata paling mahal manapun. Suciwan, tidak butuh penghapusan dosa, karena senantiasa mawas diri dan penuh perhatian terhadap perbuatan, pikiran, maupun ucapannya.

Yang terlangka kedua ialah orang baik, dalam artian minim berbuat kejahatan, namun senantiasa rajin berbuat kebajikan—yang mana bila ditimbang dengan timbangan, perbuatan-perbuatan baiknya terhadap orang lain jauh lebih banyak daripada perbuatan kelirunya terhadap orang-orang lainnya. Para pendosa lebih memilih untuk sibuk menyembah-sujud dan semudah menyanyikan lantuntan puja-puji kepada Tuhan, ketimbang mau merepotkan diri untuk menanam benih-benih Karma Baik. “Merit system” atau yang juga kita kenal dengan istilah prinsip egaliter, tegas menyatakan bahwa siapa yang berkontribusi lebih dalam hal kebajikan, maka ia yang lebih patut memetik buah manisnya, bukan sebaliknya.

Yang terlangka ketiga ialah kaum ksatria, yakni mereka yang telah pernah dan masih dapat berbuat keliru, seperti menyakiti, merugikan, ataupun melukai individu-individu lainnya, namun alih-alih melarikan diri, cuci tangan, ataupun berkelit, seorang ksatria akan seketika itu juga memilih untuk bertanggung-jawab terhadap korban-korbannya. Para ksatria merupakan para pemberani, sementara itu para pendosa yang memohon penghapusan dosa merupakan para pengecut tulen, yang bahkan tidak berani bertanggung-jawab atas perbuatannya sendiri, alias “lempar batu (lalu) sembunyi tangan”.

Sebaliknya, yang terbanyak menghuni dunia manusia ialah lautan para pendosa—disebut demikian, semata karena menjadi pelanggan dari ideologi “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”. Mereka, para pendosa, lebih memilih untuk mempromosikan dosa dan maksiat, agar iming-iming penghapusan dosa (abolition of sins) demikian dapat menjadi delusi yang menjebak dan memerangkap jiwa mereka sendiri. Mereka bahkan merasa bangga, alih-alih merasa malu dan tabu, menjadi “pendosa penjilat penuh dosa” yang setiap hari, setiap tahun, bahkan ketika meninggal dunia, mengharap ideologi penghapusan dosa. Mereka bahkan berdelusi bahwa “Agama DOSA” yang mereka peluk merupakan agama paling superior di Muka Bumi sehingga kerap menuntut perlakuan istimewa dari berbagai pihakdan dari dunia. Terhadap dosa dan maksiat demikian kompromistik, namun terhadap kaum yang berbeda keyakinan mereka demikian intoleran.

Menjadi orang baik dan suci, artinya harus siap dan berani menapak di jalan yang sepi, bahkan harus berjuang “melawan arus”—dimana para pendosa menjadi arus manusianya. Mengapa demikian? Untuk itu mari kita simak khotbah Sang Buddha dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, perihal orang-orang yang “mengikuti arus” maupun yang memilih untuk “melawan arus”, dengan kutipan sebagai berikut:

~ Mengikuti Arus ~

“Para bhikkhu, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? Orang yang mengikuti arus; orang yang melawan arus; orang yang kokoh dalam pikiran; dan orang yang telah menyeberang dan sampai di seberang, sang brahmana yang berdiri di atas daratan yang tinggi.

(1) “Dan apakah orang yang mengikuti arus? Di sini, seseorang menikmati kenikmatan indria dan melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Ini disebut orang yang mengikuti arus.

(2) “Dan apakah orang yang melawan arus? Di sini, seseorang tidak menikmati kenikmatan indria atau melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Bahkan dengan kesakitan dan kesedihan, menangis dengan wajah basah oleh air mata, ia menjalani kehidupan spiritual yang lengkap dan murni. Ini disebut orang yang melawan arus.

(3) “Dan apakah orang yang kokoh dalam pikiran? Di sini, dengan hancurnya kelima belenggu yang lebih rendah, seseorang terlahir spontan, pasti mencapai nibbāna di sana tanpa pernah kembali dari alam itu. Ini disebut orang yang kokoh dalam pikiran.

(4) “Dan apakah orang yang telah menyeberang dan sampai di seberang, sang brahmana yang berdiri di atas tanah yang tinggi?

[6] Di sini, dengan hancurnya noda-noda, seseorang telah merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya. Ini disebut orang yang telah menyeberang dan sampai di seberang, sang brahmana yang berdiri di atas daratan yang tinggi.

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat jenis orang yang terdapat di dunia.”

Orang-orang itu yang tidak terkendali dalam kenikmatan indria, tidak bebas dari nafsu, menikmati kenikmatan indria di sini, berulang-ulang kembali pada kelahiran dan penuaan, “orang-orang yang mengikuti arus” tenggelam dalam ketagihan.

Oleh karena itu seorang bijaksana dengan perhatian ditegakkan, dengan tidak mendekati kenikmatan indria dan perbuatan buruk, harus meninggalkan kenikmatan indria walaupun menyakitkan: mereka menyebut orang ini “orang yang melawan arus.”

Orang yang telah meninggalkan lima kekotoran, seorang yang masih berlatih yang telah terpenuhi, tidak mungkin mundur, telah mencapai penguasaan pikiran, indria-indrianya tenang: orang ini disebut “orang yang kokoh dalam pikiran.”

Orang yang telah memahami hal-hal yang tinggi maupun rendah, membakarnya, sehingga lenyap dan tidak ada lagi: orang bijaksana yang telah menjalani kehidupan spiritual, telah mencapai akhir dunia, disebut “orang yang menyeberang.”

~~0~~

“Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian tentang orang yang jahat dan orang yang lebih rendah daripada orang yang jahat; tentang orang yang baik dan orang yang lebih tinggi daripada orang yang baik. Dengarkan dan perhatikanlah; Aku akan berbicara.”

“Baik, Bhante,” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

(1) “Dan siapakah, para bhikkhu, orang yang jahat? Di sini, seseorang membunuh, mengambil apa yang tidak diberikan, melakukan hubungan seksuil yang salah, berbohong, dan menikmati minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, yang menjadi landasan bagi kelengahan. Ini disebut orang yang jahat.

(2) “Dan siapakah orang yang lebih rendah daripada orang yang jahat? Di sini, seseorang yang dirinya sendiri membunuh dan mendorong orang lain untuk membunuh; ia sendiri mengambil apa yang tidak diberikan dan mendorong orang lain untuk mengambil apa yang tidak diberikan; ia sendiri melakukan hubungan seksuil yang salah dan mendorong orang lain untuk melakukan hubungan seksuil yang salah; ia sendiri berbohong dan mendorong orang lain untuk berbohong; ia sendiri menikmati minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, yang menjadi landasan bagi kelengahan, dan mendorong orang lain untuk menikmati minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, yang menjadi landasan bagi kelengahan. Ini disebut orang yang lebih rendah daripada orang yang jahat.

(3) “Dan siapakah orang yang baik? Di sini, seseorang menghindari membunuh, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari melakukan hubungan seksuil yang salah, menghindari berbohong, dan menghindari menikmati minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, yang menjadi landasan bagi kelengahan. Ini disebut orang yang baik.

(4) “Dan siapakah orang yang lebih tinggi daripada orang yang baik? Di sini, seseorang yang dirinya sendiri menghindari membunuh dan mendorong orang lain untuk menghindari membunuh; ia sendiri menghindari mengambil apa yang tidak diberikan dan mendorong orang lain untuk menghindari mengambil apa yang tidak diberikan; ia sendiri menghindari melakukan hubungan seksuil yang salah dan mendorong orang lain untuk menghindari melakukan hubungan seksuil yang salah; ia sendiri menghindari menikmati minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, yang menjadi landasan bagi kelengahan, dan mendorong orang lain untuk menghindari menikmati minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, yang menjadi landasan bagi kelengahan. Ini disebut orang yang lebih tinggi daripada orang yang baik.”

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.