Mengapa Orang Indonesia Tidak Tahu Malu dan Tidak Punya Malu? Ini Penyebab Putusnya Urat Malu seorang Manusia

Dosa adalah Aurat dan Ketelanjangan yang Seronok Itu Sendiri, namun Dipertontonkan dan Dikampanyekan secara Vulgar Tanpa Rasa Malu terlebih Ditabukan, kepada Publik / Khalayak Ramai

Aurat Ditutupi dan Ditabukan, Ketelanjangan Disensor dan Diharamkan, namun mengapa “Dosa dan Penghapusan Dosa” (Satu Paket Bundling) justru Dipamerkan di Ruang Publik serta Dipromosikan Tanpa Rasa Malu?

Agama SUCI ataukah Agama DOSA, yang Mempromosikan Penghapusan / Pengampunan / Penebusan Dosa?

Mentalitas Pengecut, Budaya Pecundang, Gagal Merasa Malu, dan Anti Bertanggung-Jawab, Kurang Apa Lagi? Apakah Negeri ini Pernah Kekurangan “Agamais”?

Question: Mengapa orang kita (di Indonesia), begitu tidak tahu malunya, sampai-sampai terkesan sudah putus urat malu mereka? Jangankan malu berbuat jahat, takut dosa pun tidak, padahal negeri ini tidak pernah kekurangan (orang-orang yang) “agamais”. Ada apa sebenarnya, atau apa yang sebenarnya selama ini sedang terjadi?

Brief Answer: Ada dua jenis “aurat”, yakni organ vital gender pria maupun wanita, dan jenis “aurat” yang kedua yang jarang mau diakui oleh masyarakat kita di Indonesia ialah, “pamer dosa” dan sebaliknya “mengumbar pengampunan / penghapusan dosa” (abolition of sins, iming-iming yang “too good to be true”, kabar gembira bagi pendosa dan disaat bersamaan menjadi kabar buruk bagi korban-korban para pendosa tersebut)—sekalipun kita ketahui, bahwa hanya seorang pendosa yang membutuhkan pengampunan dosa atau istilah-istilah sejenis lainnya yang menjurus pada ideologi korup penuh kecurangan (bertentangan dengan “merit system”, yakni Hukum Karma yang egaliter).

Begitupula ada dua jenis “ketelanjangan”, yang pertama ialah mempertontonkan alat kelam!n di depan umum, dan yang kedua ialah berbuat dosa—alias perbuatan-perbuatan jahat seperti merugikan, menyakiti, ataupun melukai individu maupun sesama warga lainnya. Bila memamerkan “aurat” maupun “ketelanjangan” berupa tubuh fisik tanpa busana, dinilai mengundang nafsu lawan jenis yang menyaksikannya, maka berbuat dosa akan mengundang / memicu emosi negatif sang korban berupa reaksi ketidaksukaan, kebencian, penolakan, berkeberatan, amarah / kemarahan, dendam, luapan kekecewaan, dan lain sebagainya.

Sayangnya, sekaligus ironisnya, masyarakat “agamais” kita semata menjadikan tabu “aurat” jenis pertama serta meng-“haram”-kan “ketelanjangan” jenis pertama, sementara itu “aurat” jenis kedua maupun “ketelanjangan” jenis kedua sama sekali tidak mereka tabukan (justru dikampanyekan secara terbuka sebagai janji-janji surgawi alias iming-iming yang kian mempertebal kekotoran batin umat “Agama DOSA” bersangkutan). Kekotoran batin, adalah kotor, berbau busuk, menjijikkan, sehingga para makhluk dewata tidak menyukai manusia kebanyakan dan menjaga jarak dari mereka, semata akibat bau busuk yang ditimbulkan kekotoran batin manusia. Sebaliknya, moralitas terjaga sang manusia-lah yang satu-satunya dapat membuat makhluk dewata tidak merasa jijik berdekatan dengannya.

Alhasil, sensitifitas masyarakat kita perihal berbuat dosa dan sikap korup semacam mengharap “penghapusan dosa” terkikis hari demi hari, menjadi terbiasa akibat dibiasakan kampanye maupun promosi ideologi korup semacam “penghapusan / pengampunan / penebusan dosa”, dan perlahan secara berangsur-angsur tampak menyerupai sebagai suatu hal lumrah yang lazim tanpa lagi ditabukan ataupun dipandang memalukan. Masyarakat kita dewasa ini bahkan merasa bangga, mempromosikan ataupun mengaku sebagai seorang pendosa yang butuh iming-iming “penghapusan dosa”. Ada “pengampunan dosa” maka ada dosa, dan sebaliknya ada dosa maka ada “pengampunan dosa”, sebagai mekanisme pasar antara “supply” dan “demand”.

PEMBAHASAN:

Berikut cerminan atau implikasi dari dipeluknya “Agama DOSA” bagi para pendosa tersebut, terlihat dari ciri khas bangsa kita di Indonesia, dengan pola yang tersebar merata sejak dahulu kala hingga saat kini—menjelma kultur atau membentuk watak karakter bangsa kita itu sendiri—diilustrasikan dengan pemetaan mentalitas dalam rincian berikut ini yang dapat kita afirmasi pembuktiannya dalam aktivitas keseharian hidup sosial kita apapun komunitas ataupun wadahnya:

- Menyelesaikan setiap masalah dengan cara kekerasan fisik—tidak malu merendahkan martabat sang pelaku penganiayaan dengan menyetarakan dirinya dengan “preman pasar” yang tidak beradab;

- Tidak akan pernah bersedia bertanggung-jawab sekalipun nyata-nyata telah merugikan, melukai, maupun menyakiti warga lainnya, jika perlu lebih sibuk berkelit seribu satu alibi, “tabrak lari”, “putar balik fakta”, dan memanipulasi korbannya sehingga tidak menyadari telah dirugikan / disakiti. Bahkan, ingkar janji dan lari dari tanggung-jawab, sebelum kemudian meminta Tuhan-nya untuk “menebus” hutang-hutang dosa maupun hutang-hutang uang kredit sang pendosa;

- Satu kesalahan / kejahatan seolah belum cukup, mereka akan melakukan “kesalahan / kejahatan marathon” dengan membuat kesalahan ataupun kejahatan-kejahatan baru lainnya untuk menutupi ataupun melanjutkan kejahatan-kejahatan mereka sebelumnya, sehingga menjelma serangkaian kesalahan maupun kejahatan berseri—terutama ketika korbannya menjerit, protes, keberatan, sekadar membalas, ataupun ketika menuntut tanggung-jawab, maka sang pelaku biasa akan kian menyakiti dan melukai korbannya dengan secara cara-cara jahat hingga modus yang terselubung. Bagi mereka, berbuat dosa bukanlah hal yang memalukan, ditabukan, terlebih ditakutkan;

- Lebih galak yang ditegur maupun yang dimintakan pertanggung-jawaban daripada sang korban yang menjerit sekadar memprotes, kesakitan, dan berkeberatan—sekalipun korbannya menderita patah tulang akibat tertabrak kendaraan yang dilajukan sang pelaku;

- Sekalipun telah berlinang dosa, berkubang dosa-dosa yang segunung, setiap harinya memproduksi serta mengoleksi segudang dosa, tertimbun dan terkubur oleh berbukit-bukit dosa, para pendosa tersebut tetap saja berdelusi dengan penuh keyakinan bahwa diri mereka akan masuk alam surgawi setelah ajalnya tiba—sehingga buat apa harus merasa malu terlebih merasa takut berbuat dosa? Simak slogan, motto, ataupun semboyan khas para pendosa tersebut : “BUAT DOSA, SIAPA TAKUT?!”

- JIka korban tidak sadar dan tidak tahu telah disakiti, dirugikan, ataupun dilukai, maka artinya sang pelaku kejahatan tidak telah berbuat dosa—sekalipun mereka para pelakunya itu sendiri melihat dan mengetahui niat jahat serta kesengajaan maupun modus jahat yang mereka sendiri perbuat terhadap korban-korbannya;

- Setiap harinya mengumbar iming-iming “penghapusan / pengampunan dosa”, bahkan setiap hari raya keagamaan, hingga saat sanak-keluarganya meninggal dunia, masih juga mengumandangkan lewat pengeras suara tempat ibadah mereka, “Semoga dosa-dosa almarhum diampuni / dihapus oleh Tuhan”—alhasil, sanak-keluarga almarhum hanya sekadar sesumbar alias gimmick ketika mengumumkan : “Jika almarhum ada hutang-piutang, silahkan disampaikan kepada sanak-keluarga almarhum”, sebagaimana telah penulis buktikan sendiri “gimmick” selera para pendosa tersebut. Mereka bersikap seolah-olah korban tidak punya hak untuk mendapatkan keadilan, dan bersikap seakan-akan Tuhan lebih PRO terhadap “pendosa penjilat penuh dosa” ketimbang kepada para korban dari kalangan pendosa tersebut;

- Nikmatnya menikmati dosa-dosa dan maksiat, namun mengharap dapat dihapus semudah menyembah-sujud atau sekadar bernyanyi puji-pujian—seolah-olah Tuhan butuh seorang “pendosa penjilat penuh dosa”. Keheningan, sebagaimana penuturan Ajahn Brahm yang tidak akan pernah mampu dipahami oleh kalangan pendosa, merupakan lagu yang terindah. Terlebih, memahami makna “beribadah dengan masuk ke dalam keheningan” atau “beribadah secara hening”;

- Setiap hari berbuat dosa, dan setiap hari pula mengharap dan memohon “penghapusan / pengampunan / penebusan dosa”. Bila dalam satu tahun terdiri dari 365 hari, sama artinya setidaknya 365 kali para pendosa berbuat dosa (bila dalam satu hari minimum mengoleksi satu dosa baru) dan sebanyak itu pula memohon dan menelan ideologi “penghapusan / pengampunan / penebusan dosa”;

- Suka merampas hak-hak orang lain, semata akibat keserakahan yang tercela dan memalukan di mata orang-orang yang terlatih serta masih menjaga moralitasnya—sebagai contoh, koruptor sekalipun telah memiliki fasilitas negara dan jabatan yang jarang dimiliki rakyat kebanyakan, masih juga mengorupsi dengan mencuri nasi dari piring-piring milik rakyat yang lebih miskin daripada sang koruptor. Pengendara kendaraan bermotor, sekalipun telah lebih nyaman dan lebih dimanjakan daripada pejalan kaki, namun masih juga kerap melawan arus serta parkir liar yang tanpa rasa malu terlebih rasa bersalah merampas hak-hak seorang pejalan kaki;

- Merasa bangga, alih-alih merasa malu, mengumandangkan iming-iming serta pengharapan “too good to be true” yang sangat amat tercela semacam “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa” lewat pengeras suara eksternal tempat ibadah, untuk diperdengarkan kepada khalayak ramai (publik), sementara itu “aurat” berupa organ vital ditutup rapat dari ujung rambut hingga ujung kuku kaki, namun perihal “dosa plus penghapusan dosa” dipertontonkan secara seronok demikian vulgarnya, setiap hari, setiap tahun, serta saat mereka meninggal dunia—sepanjang tahun menjadi konsumen tetap ideologi korup demikian. Makanannya “halal”, namun ucapan ataupun pikirannya kotor, jahat, busuk, dan tercela;

- Merasa “UNTUNG” bila bisa menikmati iming-iming korup semacam “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”, dan memandang “MERUGI” bila menjadi orang suci yang tidak berbuat dosa maupun menjadi ksatria yang bersedia dan siap-sedia mempertanggung-jawabkan perbuatan-perbuatan buruknya;

- Jahat, karena terbiasa serta dibiasakan mengonsumsi ideologi jahat nan korup bernama “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa” (indoktrinisasi), ketergantungan terhadapnya sebagai pecandu dosa plus penghapusan dosa, sehingga cara berpikirnya telah dikuasai oleh perbuatan-perbuatan yang tercela dan jahat, sehingga tiada pilihan lain bagi para pendosa tersebut selain secara membuta meyakini ideologi korup penuh kecurangan demikian, mengingat dosa-dosa mereka yang telah menjelma “too big to fall”, tidak lagi terselamatkan;

- Korup luar-dalam. Sebelum “Agama DOSA” lahir ke Muka Bumi, tiada penjahat yang yakin akan masuk surga setelah kematiannya. Namun semenjak “Agama DOSA” diperkenalkan kepada umat manusia, para pendosa berbondong-bondong dan berlomba-lomba berbuat dosa, bahkan masih pula merasa yakin akan masuk alam surgawi, seakan Tuhan yang murni tidak akan tercemar bila bersatu dengan yang kotor semacam para pendosa tersebut. Tiada lagi terbendung hasrat sang pendosa untuk sebebas-bebasnya berbuat dosa, “standar moral” umat manusia terdegradasi ke titik nadir sejak saat itu, sebagai titik-balik kearah kemerosotan peradaban, “kiamat kemanusiaan”, matinya nurani maupun sikap bertanggung-jawab (budi pekerti) yang selama ini membedakan antara manusia dan kaum hewan;

- Terhadap dosa dan maksiat telah ternyata para pendosa tersebut demikian kompromistik, namun disaat bersamaan bersikap intoleran terhadap kaum dengan keyakinan keagamaan yang berbeda dari para pendosa tersebut—itulah ketika umat pengikut “Agama DOSA” menghakimi dan mem-persekusi umat pemeluk “Agama KSATRIA” maupun “Agama SUCI”;

- Sekalipun telah berbuat banyak dosa dan maksiat, tetap saja mereka bersikap serba “agamis” dalam keseharian, dengan memakai busana keagamaan, menggunakan istilah-istilah keagamaan, rajin beribadah, bahkan menjadi pemuka agama yang kerap berceramah di tempat ibadah—artinya, itu adalah agama bagi para pendosa, agama dimana para pendosa menjadi umat pemeluknya, agama dimana para pendosa merapat untuk memeluknya dan beribadah sesuai dengannya, agama dimana para pendosa menjadi pemuka agamanya, sekaligus tempat ibadah dimana para pendosa berkumpul dan beribadah secara berjemaah;

- Irasional (insane, alias tidak waras atau tidak logis), karena pemeluk “Agama DOSA”, selaku pendosa, menganggap dan memandang agamanya sebagai agama tertinggi paling superior diatas kesemua agama lainnya;

- Miskin rasio dan akal sehat, sebagai contoh kita semua tahu bahwa membakar makanan dengan arang atau kayu mengakibatkan konsumennya dapat mengalami masalah kesehatan akibat terpapar asap mengandung “toxic” yang menempel serta mengerak pada makanan yang dipanggang, terlebih timbulnya polusi / pencemaran udara yang merusak kesehatan serta mengganggu ketenangan hidup warga sekitarnya akibat polusi udara yang menyeruak masuk kedalam rumah lewat ventilasi rumah. Akan tetapi tetap saja dapat kita jumpai praktik demikian oleh warga maupun pedagang di pemukiman padat penduduk sekalipun;

- Tidak manusiawi juga “primitif” wataknya, sehingga masih “hewanis”, terlebih-lebih mengharap dapat bersatu dengan apa yang bersifat “Tuhanis” (sama artinya hendak menodai keagungan Tuhan). Ketika seorang “primitif” demikian mengendarai kendaraan bermotor di jalan umum, secara arogan mereka akan mengklaksoni pejalan kaki (makhluk hidup) di depannya dan jika perlu merampas hak-hak pejalan kaki tersebut. Selama ini pejalan kaki yang justru harus mengalah dan memberi ruang jalan kepada kalangan pengendara, bukan sebaliknya, sekalipun pengendara telah sangat dimanjakan oleh kendaraan yang mereka tunggangi. Namun, absurdnya, beberapa ratus meter kemudian sang pengendara mendapati adanya kendaraan bermotor (benda mati) yang diparkir di badan jalan sehingga hanya menyisakan satu lajur jalan dari seberangnya, para pengendara tersebut mampu “mendadak penyabar dan alim” dengan melambatkan jalu kendaraannya, bahkan berhenti sejenak, sebelum kemudian merayap untuk melewati kendaraan yang terparkir di bahu ataupun di pinggir dan di separuh badan jalan tersebut. Telah ternyata, para pengedara kita di Indonesia lebih menghargai dan lebih bersikap “humanis” terhadap benda mati ketimbang terhadap makhluk hidup bernama sesama manusia yang notabene juga merupakan sesama anak bangsa;

- Merasa seolah-olah Tuhan telah mereka “kantungi” di saku bajunya (mencatut nama Tuhan), untuk kepentingan dan keuntungan sang “agamis”, sebagai alibi atau justifikasi diri (alasan pembenar) atas setiap perilaku buruk dan tercela sang “agamais”. Menentang atau melawan sang “agamais”, sama artinya melawan dan menista Tuhan. Lihatlah, praktik ibadah suatu kaum agama yang mengakunya ber-Tuhan, ketika beribadah saja mengganggu ketenangan hidup umat beragama lainnya lewat “polusi suara” sehingga umat beragama lain tidak dapat beristirahat maupun beribadah sesuai keyakinan masing-masing di kediamannya, meng-korupsi hak atas waktu umat beragama lain untuk beribadah dalam kesehariannya setidaknya dalam hitungan sekian jam dalam sehari untuk setiap harinya, bahkan mengeluhkan speaker pengeras suara eksternal tempat ibadah mereka dianggap sebagai penistaan terhadap agama—agama baru, “Agama TOA”;

- Selalu menuntut diistimewakan, diperhatikan, minta dihormati, dan inginnya dihargai, namun tidak pernah bersedia untuk secara resiprokal menghargai dan menghormati kaum lainnya, alias “rewel” dan suka “merongrong”. Ketika masih menjadi minoritas di negara-negara yang “NON”, mereka menuntut diberi toleransi dan diperhatikan ritual maupun ibadah mereka, bersikap “rewel” semisal dimakamkan hanya boleh dengan cara dikuburkan, tidak boleh dikremasi, menentang pemerintah Srilanka yang memberlakukan kebijakan kremasi untuk pasien meninggal akibat tertular wabah maupun tidak secara bijaksana melihat kondisi Negara Jepang yang teritori daratannya sangat terbatas. Sebaliknya, pada negara-negara dimana mereka adalah mayoritas, bahkan agama lainnya dilarang eksis serta diberangus tanpa toleransi meski barang setitik—sehingga secara ekstrem terjadi “standar ganda” (meng-“kafir-kafirkan” namun menolak di-“kafir-kafirkan”). Terlebih, ketika mereka telah menjadi mayoritas, mereka dengan segala cara akan memberangus toleransi yang dahulu mereka nikmati ketika masih sebagai minoritas (lihat Kitab Jawa berjudul Dharmo Ghandul);

- Konyol, terhadap dosa dan maksiat demikian kompromistis, namun terhadap kaum yang berbeda keyakinan demikian intoleran;

- Tidak memiliki apa yang disebut sebagai “perspektif korban”, namun selalu menggunakan paradigma selayaknya seorang pendosa alias “sesama pelaku kejahatan saling membela dan saling memaklumi” (preferensi mereka ialah perspektif pelaku kejahatan). Korban yang telah menderita luka, sakit, ataupun kerugian, alih-alih mendapatkan empati-simpatik dari masyarakat / warga yang menyaksikan, namun justru turut dilecehkan oleh khalayak pendosa tersebut (semata karena pelakunya sesama pendosa seperti watak para penonton tersebut, sehingga tidak dapat diharapkan menaruh simpati ataupun empati kepada kaum korban yang mereka saksikan kejadian tragedi-nya), sementara itu pelaku kejahatannya dibela dengan tidak dikritik ataupun dicela;

- Delusi superioritas yang delusif dan semu, dimana mereka memandang dan meyakini bahwa manusia-manusia yang baik hati dan suka berbuat kebajikan namun tidak memeluk agama tertentu, maka masuk “neraka jahanam”. Akan tetapi, mereka melupakan bahwa “alam neraka sejatinya merupakan monumen atau tugu peringatan ‘kegagalan Tuhan’”, disamping alam surgawi menjadi tidak ubahnya “dunia manusia jilid kedua”—dimana para pendosa yang menjadi penghuninya akan saling merugikan, saling menyakiti, dan saling melukai satu sama lainnya, tidak ubahnya dunia manusia di Bumi.

Kerap penulis menyebutkan dalam berbagai kesempatan karya-karya buah pikir lainnya, mereka adalah para “pencundang kehidupan”, mengingat bahwa mereka sangat anti terhadap budaya egalitarian, yakni “sistem meritokrasi”, yang tidak lain tidak bukan ialah Hukum Karma—hukum perihal sebab dan akibat, hukum yang berlaku di alam semesta, yang mengajarkan kepada kita bahwa “tiada yang benar-benar dapat kita curangi dalam hidup ini”. Mereka terlampau pengecut untuk tidak berbuat kejahatan, terlampau pengecut untuk menanggung konsekuensi dibalik perbuatan mereka sendiri (dengan meminta Tuhan yang mereka sembah untuk menebus dan membayarkan hutang-hutang mereka), terlampau pemalas untuk menanam benih-benih perbuatan bajik, terlebih-lebih diharapkan mampu memurnikan perilaku, hati, dan pikirannya. Bila kita rinci, maka kepengecutan alias kepecundangan sifat maupun sikap para pemeluk “Agama DOSA” tersebut, antara lain sebagai berikut:

- Maunya berbuat dosa, sementara itu tidak berbuat dosa dengan tidak menyakiti, tidak merugikan, dan tidak melukai anggota masyarakat tampak begitu menakutkan, mustahil, rugi besar, dan tidak lagi bisa “memakan sesama manusia”—manusia adalah serigala bagi sesamanya, homo homini lupus—dan jikalau pun berbuat dosa, maunya lari dan “cuci tangan” dari hukuman, atau “money laundring” dengan sekadar berdonasi “recehan” sekian persen dari penghasilan kotornya, mengharap penghapusan dosa, menuntut dibebaskan dari sanksi, mengharap / memohon “pengampunan dosa” kepada Tuhan seolah-olah korban-korban mereka tidak punya hak menuntut keadilan. Bertanggung-jawab artinya merugi besar dan menakutkan;

- Maunya meminta dan diberikan, terlampau pemalas untuk merepotkan diri menanam benih-benih Karma Baik—maunya semudah dan segampang sembah-sujud (lip service), se-instan nyanyi lagu puja-puji koor paduan suara, seolah-olah Tuhan butuh “pendosa penjilat penuh dosa”. Bagi para pemalas sekaligus pecundang tersebut, berletih-letih dan bersusah-payah menanam benih-benih perbuatan bajik, sama artinya bodoh dan rugi disamping merepotkan;

- Bagaimana mungkin, seorang pendosa pemeluk dan pelanggan tetap ideologi korup penuh kecurangan semacam “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”, diharapkan mampu memurnikan dan mensucikan perbuatan, hati, serta pikirannya? Keduanya saling menegasikan, tidak saling berjalan secara linear, justru bertolak-belakang. Bagaimana pula ceritanya, seorang pendosa hendak berceramah perihal hidup suci, mulia, dan baik, bila ia sendiri gagal menjadi orang baik dan bergelung dalam “zona dosa”? Mereka memandang ajaran berikut sebagai ajaran “iblis” : untuk memuliakan Tuhan, adalah dengan menjadi manusia yang mulia, setidaknya menjadi manusia berjiwa ksatria, bukan dengan menjadi seorang “pendosa penjilat penuh dosa”.

Lantas, apakah “vaksin” agar masyarakat kita tidak terpapar oleh wabah / pandemik “tidak punya malu” demikian? Biasanya, untuk menghadapi para pendosa yang hendak mendebat ataupun mereka para marketing “Agama DOSA” yang bermaksud menghimpun umat baru untuk menjadi sesama pendosa dengan mereka (dari semula murni-polos-lugu menjelma pendosa), penulis cukup menguraikan tiga jenis kategorisasi agama berikut, agar mereka sadar bahwa mereka semestinya merasa malu alih-alih merasa bangga—alias kebanggaan yang irasional dan kepercayaan diri yang semu—berdelusi bahwa agama yang dipeluk, dibela, dan dipromosikan olehnya seolah-olah merupakan “Agama SUCI” dan superior. Alih-alih “SUCI”, bahkan keyakinan yang mereka peluk dan yakini masih kalah derajatnya dengan “Agama KSATRIA”, alias sebagai seorang pendosa yang masih jauh lebih rendah derajat-martabatnya daripada seorang ksatria:

1.) Agama SUCI. Sebagaimana namanya, umat pemeluknya ialah seorang suciwan, yang mana tidak butuh ideologi korup-kotor-tercela-ternoda bernama “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”. Mengingat para suciwan tidak butuh ideologi ataupun iming-iming korup demikian, maka jebakan Tuhan berupa dosa-dosa tidak pernah membuat para suciwan jatuh terperangkap ke dalamnya, yang pada gilirannya para suciwan tidak bersedia menggadaikan jiwanya untuk menjadi “budak sembah-sujud” Tuhan, karenanya Tuhan tidak menyukai kalangan suciwan tersebut dan melemparkan mereka ke alam neraka.

Para suciwan disebut demikian, suci dan suciwan, semata karena lebih memilih hidup dalam latihan diri yang ketat dalam praktik kontrol diri dan pengendalian diri, dimana mawas diri dan perhatian terhadap perilaku, pikiran, dan ucapan sendiri adalah objek perhatian utamanya, sehingga tiada seorang lainnya pun yang akan disakiti, dirugikan, terlebih dilukai oleh sang suciwan. Mereka memurnikan serta memuliakan dirinya dengan usaha diri mereka sendiri, tanpa noda, dan tidak tersandera, tanpa cela, bebas sempurna, dan tercerahkan—yang dalam bahasa Buddhistik, “break the chain of kamma”;

2.) Agama KSATRIA. Sebagaimana namanya, umat pemeluknya bernama ialah seorang ksatria, yang mana memilih untuk bertanggung-jawab atas setiap perilaku maupun perbuatan buruknya yang telah pernah ataupun masih dapat menyakiit, melukai, dan merugikan pihak-pihak lainnya, baik secara disengaja maupun akibat kelalaiannya, dimana korban-korbannya tidak perlu bersusah-payah menagih tanggung-jawab, bahkan sang ksatria menyadari bahwa sekalipun ia bertanggung-jawab semisal dengan ganti-rugi biaya berobat hingga korbannya sembuh, tetap saja sang korban masih merugi waktu, merugi pikiran, merugi tenaga, belum lagi kenyataan fisiknya tidak dapat pulih sempurna seperti sebelumnya.

Ideologi bertanggung-jawab yang penuh tanggung-jawab kalangan ksatria, dianggap sebagai ancaman maupun musuh terbesar di mata Tuhan, yang selama ini telah banyak menarik dan menjaring peminat / umat pemeluk / penyembah (para pendosa plus pengecut) lewat iming-iming “pengampunan / penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”, sementara itu kalangan ksatria justru mempromosikan gerakan hidup bertanggung-jawab dan berke-jantan-an alih-alih “cuci tangan” ataupun lari dari tanggung-jawab. Karenanya, seorang ksatria layak menyandang gelar sebagai seseorang yang “jantan”, alias jentelmen, meski Tuhan tidak menyukai mereka sehingga juga dicampakkan ke dalam “neraka jahanam”;

3.) Agama DOSA. Sebagaimana namanya, umat pemeluknya disebut sebagai seorang pendosa, yang mana memilih untuk tetap berbuat dosa semata agar dapat menjadi penikmat serta pelanggan tetap ideologi korup penuh kecurangan bernama “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”—masuk ke dalam lingkaran komunitas “pendosa”, memakan dan termakan ideologi korup penuh kecurangan, terjebak untuk selamanya, “point of no return”.

Bagaikan raja yang lalim, yang senang ketika dipuja-puji oleh hamba-hambanya, lalu memberikan hadiah, dan akan murka sejadi-jadinya ketika tidak disembah-sujud sebelum kemudian memberikan hukuman, maka para pendosa yang pandai menyanjung dan “menjilat” (pendosa penjilat penuh dosa) akan dimasukkan ke alam surgawi—alam dimana telah sangat tercemari oleh kekotoran batin para pendosa yang menjadi mayoritas penghuninya jika tidak dapat disebut sebagai satu-satunya penghuni alam surgawi.

Itulah penjelasannya, mengapa berbagai penjara di Indonesia tidak pernah sepi dari para narapidana penghuninya, bahkan sepanjang tahun selalu mengalami fenomena klise “overcapacity” dan “overload” yang konon sepanjang tahunnya hampir mendekati 200% kapasitas maksimum, sekalipun bangsa kita dikenal “agamais”, disamping fakta aktual bahwasannya jauh lebih banyak aduan maupun laporan warga korban pelapor yang diabaikan dan ditelantarkan oleh aparatur penegak hukum.

Sebagai penutup, kisah jenaka berikut sangat relavan mencerminkan watak masyarakat “agamais” kita di Indonesia, sekaligus menjadi kisah paling favorit setidaknya di benak penulis, mengingat sarkastiknya yang eksplisit namun mendalam sekaligus tepat pada sasaran:

Alkisah, seorang petualang memasuki hutan-belukar yang lebat, sebuah hutan hujan tropis, yang mengundang minat untuk dijelajahi dan ditaklukkan oleh sang petualang yang berseragam safari lengkap dengan peralatan petualangannya.

Saat sedang bergembira-ria melintasi lebatnya ilalang dan ranting dedaunan, sang petualang dikejutkan oleh seekor singa besar yang mendadak menyergap sang petualang.

Betapa terkejutnya sang petualang, baru kali ini ia berjumpa langsung dengan seekor singa liar secara begitu dekatnya, gigi taring singa yang meneteskan air liur dan suara aumannya yang menggetarkan hati, jauh lebih detail daripada tampilan dalam layar televisi ‘high definition’.

“Astaga, aku bertemu dengan seekor singa, habis sudah riwayat saya.”

Namun, yang paling membuat takjub ialah, sang singa kemudian bersujud di hadapan sang petualang, dan mulai memejamkan matanya dengan kedua telapak tangan disatukan di depan dada.

“Astaga, aku bertemu dengan seekor singa yang baik!” pekik sang petualang begitu kagetnya, terkagum-kagum dengan apa yang ia saksikan, keajaiban.

Namun sang singa kemudian menyahut, tetap dengan mata terpejam, “Ya, sebagai singa yang baik, sebelum makan, tidak lupa berdoa terlebih dahulu.”

Telah ternyata kisah diatas menceritakan seekor singa pengikut ideologi “penebusan dosa”—ibarat minta maaf terlebih dahulu sebelum kemudian berbuat dosa—yang mencerminkan pula watak khas pengikut ideologl “penghapusan / pengampunan dosa”, yang menyebut-nyebut nama Tuhannya sebelum menyembelih korbannya, dan yang “tobat sambal” dalam artian hari ini memohon “pengampunan dosa”, kembali berbuat dosa, dan kembali lagi memohon “pengampunan dosa” sebelum kemudian kembali mencetak berbagai dosa baru lainnya untuk kemudian dimohonkan “pengampunan dosa”, dan seterusnya, dan seterusnya, sebagai siklus ritual harian maupun tahunan, sehingga antara mengoleksi dosa dan mengonsumsi “pengampunan dosa” sudah menyerupai menu sarapan, makan siang, dan makan malam sehari-hari sang pendosa, dimana belum makan “nasi dosa” serasa belum makan (dalam sehari belum menjahati manusia lainnya serasa belum makan ataupun beribadah, rugi beribadah tanpa ada dosa yang dapat dimohon untuk dihapuskan).

Kisah singa di atas, terdapat relevansinya dengan kejadian nyata berikut yang penulis simak saat berada di dalam toilet kediaman penulis, speaker pengeras suara tempat ibadah para pendosa pemeluk “agama bagi para pendosa” mengumandangkan ceramah pemuka agamanya—ceramah maupun ayat-ayat keagamaannya mana bahkan mampu dengan kerasnya menembus masuk ke alam toilet maupun lubang jamban seolah-olah kesemua itu adalah “sampah” yang menyampah ke dalam tong sampah bahkan ke dalam toilet rumah-rumah kediaman warga setempat dalam radius ratusan meter jauhnya, bagai selebaran-selebaran iklan yang menjelma sampah bertebaran di jalan-jalan, diinjak-injak pelintas jalan, sebelum kemudian dicampakkan ke dalam tong sampah—sang penceramah berkata dengan kutipan sebagai berikut, yang masih segar dalam ingatan penulis meski telah terjadi bertahun-tahun lampau:

“Ada pemuka agama yang mengatakan bahwa orang baik bisa masuk surga sekalipun tidak beragama. Itu tidak benar, lebih tepatnya saya keberatan dengan pendapat tersebut, mengapa? Karena bila itu benar adanya, orang baik bisa masuk surga tanpa beragama yang sama seperti agama kitai ni, lalu buat apa kita setiap harinya ritual sembah-sujud?”

Ayolah, ke-dungu-an bukan untuk dipertontonkan kepada publik, memalukan disamping membuat warga yang mendengarnya merasa “jijik”. Semua orang mampu menjadi “pendosa penjilat penuh dosa”, namun tidak semua orang sanggup menjadi orang baik yang bersih serta bebas dari perbuatan jahat. Sang pendosa ingin bersenang-senang “pesta dosa”, akan tetapi dengan penuh kemalasan tidak mau direpotkan bersusah-payah untuk berbuat kebaikan dan “membersihkan” dosa-dosa mereka sendiri, dimana Tuhan yang dimohon dan diharapkan untuk menjadi babysitter yang mengelap bokong jorok sang pendosa sehabis buang air ataupun menggantikan popok bau mereka. Bila seorang presiden selaku Kepala Negara hanya membutuhkan kabinet “kerja”, maka terlebih seorang Tuhan, apakah butuh manusia-manusia “penjilat penuh dosa”? Dunia ini tidak pernah kekurangan para “penjilat penuh dosa”, namun selalu mengalami kelangkaan orang-orang baik yang murni dan tulus, para ksatria, terlebih suciwan.

Namun demikian, sesuai prinsip “hukum pasar”, sepanjang ada “demand”, maka sepanjang itu pula akan tumbuh subur apa yang disebut sebagai “supply”. Karenanya, untuk memutus mata rantai “penularan” atau penyebaran “Agama DOSA”, tidak bisa tidak kita semua tanpa terkecuali harus bersih dan bebas dari segala jenis dosa (kejahatan entah karena merugikan, menyakiti, maupun melukai) warga lainnya baik secara disengaja maupun secara lalai. Setidaknya, masyarakat kita patut beralih dari semula sebagai pemeluk “Agama DOSA” menjadi seorang ksatria pemeluk “Agama KSATRIA” yang siap sedia dan sigap untuk bertanggung-jawab atas perbuatannya sekalipun tidak diminta / dituntut oleh korban-korban mereka. Sepanjang ada pendosa, maka selama itu pula akan eksis “Agama DOSA” yang mengiming-imingi ideologi korup bernama “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”.

Mereka, para pendosa pemeluk ideologi “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”, memiliki segudang dogma-dogma keagamaan milik mereka yang mereka yakini sebagai kebenaran satu-satunya, namun runtuh berkeping-keping hanya dalam satu kontra-narasi sebagaimana ulasan dalam kesempatan berharga ini. Tidak perlu menghadirkan segudang bukti argumentasi sebagaimana telah kita bahas di atas, cukup utarakan tiga jenis kategorisasi agama, antara “Agama SUCI”, “Agama KSATRIA”, dan “Agama DOSA”, maka seketika itu pula mereka akan menyadari delusi mereka, bahwa selama ini mereka hidup dalam delusi yang semu. Apakah mereka masih akan berdelusi sebagai agama paling superior dan suprematif, ketika dihadapkan pada ibadah Buddhistik para umat Buddhist berikut:

Ovada Patimokkha

Tidak melakukan segala bentuk kejahatan,

senantiasa mengembangkan kebajikan

dan membersihkan batin;

inilah Ajaran Para Buddha.

Kesabaran adalah praktek bertapa yang paling tinggi.

“Nibbana adalah tertinggi”, begitulah sabda Para Buddha.

Dia yang masih menyakiti orang lain

sesungguhnya bukanlah seorang pertapa (samana).

Tidak menghina, tidak menyakiti, mengendalikan diri sesuai peraturan,

memiliki sikap madya dalam hal makan, berdiam di tempat yang sunyi

serta giat mengembangkan batin nan luhur; inilah Ajaran Para Buddha.

[Sumber: Dhammapada 183-184-185, Syair Gatha.]

Aku tidak mengajar untuk menjadikanmu sebagai murid-Ku.

Aku tidak tertarik untuk membuatmu menjadi murid-Ku.

Aku tidak tertarik untuk memutuskan hubunganmu dengan gurumu yang lama.

Aku bahkan tidak tertarik untuk mengubah tujuanmu,

karena setiap orang ingin lepas dari penderitaan.

Cobalah apa yang telah Kutemukan ini,

dan nilailah oleh dirimu sendiri.

Jika itu baik bagimu, terimalah.

Jika tidak, janganlah engkau terima.

[Digha Nikaya 25; Patika Vagga; Udumbarika-Sihanada Sutta]

Kebodohan dan kekotoran batin, adalah “arus” itu sendiri. Mengalir seperti air, sama artinya kita membiarkan diri kita mengalir ke arah bawah secara alamiahnya. Pengendalian dan pengawasan diri, adalah kiat untuk meningkatkan diri, alias bergerak “melawan arus”. Relevansi dapat kita simak khotbah Sang Buddha dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, perihal “mengikuti arus” dan “melawan arus”, dengan kutipan sebagai berikut:

~ Mengikuti Arus ~

“Para bhikkhu, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? Orang yang mengikuti arus; orang yang melawan arus; orang yang kokoh dalam pikiran; dan orang yang telah menyeberang dan sampai di seberang, sang brahmana yang berdiri di atas daratan yang tinggi.

(1) “Dan apakah orang yang mengikuti arus? Di sini, seseorang menikmati kenikmatan indria dan melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Ini disebut orang yang mengikuti arus.

(2) “Dan apakah orang yang melawan arus? Di sini, seseorang tidak menikmati kenikmatan indria atau melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Bahkan dengan kesakitan dan kesedihan, menangis dengan wajah basah oleh air mata, ia menjalani kehidupan spiritual yang lengkap dan murni. Ini disebut orang yang melawan arus.

(3) “Dan apakah orang yang kokoh dalam pikiran? Di sini, dengan hancurnya kelima belenggu yang lebih rendah, seseorang terlahir spontan, pasti mencapai nibbāna di sana tanpa pernah kembali dari alam itu. Ini disebut orang yang kokoh dalam pikiran.

(4) “Dan apakah orang yang telah menyeberang dan sampai di seberang, sang brahmana yang berdiri di atas tanah yang tinggi?

[6] Di sini, dengan hancurnya noda-noda, seseorang telah merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya. Ini disebut orang yang telah menyeberang dan sampai di seberang, sang brahmana yang berdiri di atas daratan yang tinggi.

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat jenis orang yang terdapat di dunia.”

Orang-orang itu yang tidak terkendali dalam kenikmatan indria, tidak bebas dari nafsu, menikmati kenikmatan indria di sini, berulang-ulang kembali pada kelahiran dan penuaan, “orang-orang yang mengikuti arus” tenggelam dalam ketagihan.

Oleh karena itu seorang bijaksana dengan perhatian ditegakkan, dengan tidak mendekati kenikmatan indria dan perbuatan buruk, harus meninggalkan kenikmatan indria walaupun menyakitkan: mereka menyebut orang ini “orang yang melawan arus.”

Orang yang telah meninggalkan lima kekotoran, seorang yang masih berlatih yang telah terpenuhi, tidak mungkin mundur, telah mencapai penguasaan pikiran, indria-indrianya tenang: orang ini disebut “orang yang kokoh dalam pikiran.”

Orang yang telah memahami hal-hal yang tinggi maupun rendah, membakarnya, sehingga lenyap dan tidak ada lagi: orang bijaksana yang telah menjalani kehidupan spiritual, telah mencapai akhir dunia, disebut “orang yang menyeberang.”

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.