KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Mengapa Korban Berhak Marah dan Murka kepada Manusia yang menjadi Pelaku Kejahatan? Karena Manusia Memiliki Akal Budi untuk Berpikir, Menimbang, dan Memutuskan, namun justru Bersikap Seolah-Olah Tidak Punya Akal Budi

Ketika Manusia Menghewankan Dirinya Sendiri, seolah-olah Tidak Punya Akal Budi, Selayaknya Hewan, MANUSIA HEWAN

Manusia yang Memanusiakan Dirinya Sendiri, MANUSIA HUMANIS

Manusia yang Mulia dan Bersih dari Kekotoran Batin, MANUSIA DEWA

Terdapat seekor cicak yang setiap harinya kerap mengganggu penulis ketika hendak makan, dengan diam-diam merayap mencuri dan mengotori makanan. Ketika makhluk melata tersebut hendak penulis tangkap untuk dievakuasi, makhluk tersebut lari dengan gesitnya, sebelum kemudian kembali merayap mencuri makanan ketika penulis lengah sejenak saja. Bagai mengejek dan meneror, cicak tersebut bersuara seperti sedang terkekeh-kekeh ketika ia berhasil mempermainkan penulis. Betapa jengkelnya setiap hari harus menghadapi makhluk melata pengganggu demikian, belum lagi berbagai kotorannya yang juga membuat repot untuk dibersihkan.

Terdapat pula seekor kucing yang kerap berkeliaran di lingkungan pemukiman tempat tinggal penulis, yang suka merusak bungkusan sampah hingga berceceran, bahkan mencuri bungkusan itu ketika penulis lengah sedikit saja. Tetap saja, kucing satu ini memasang wajah “innocent”, seolah-olah tidak berdosa dan tidak pernah berbuat salah kepada penulis. Rasanya “geram” menghadapi tingkah sang kucing. Namun kemudian penulis menyadari, bahwa hewan-hewan tersebut adalah makhluk yang tanpa akal-budi, hanya “seperangkat insting dan naluri hewani” yang sudah mereka bawa dari sejak kelahirannya. Marah dan merasa jengkel tidak berkesudahan terhadap makhluk tanpa akal-budi, sama artinya membuang-buang waktu sendiri untuk hal yang tidak dapat penulis ubah dari sang makhluk.

Akan tetapi, ketika menghadapi makhluk bernama manusia, yang diperlengkapi oleh akal-budi serta rasio, namun jika ternyata manusia tersebut justru bersikap seolah-olah tidak berakal-budi dan tidak rasional selayaknya manusia yang tidak beradab, alias menghewankan dirinya sendiri, memandang “sebelah mata” peran penting yang membedakan antara manusia dan hewan—yakni akal-budi serta rasio—dimana nafsu semata yang menjadi motor penggerak hidup mereka, diperbudak oleh berbagai dorongan dan impuls hewani (otak reptil) dari dalam diri, mengikuti seluruh keinginan yang muncul dari dalam diri tanpa membendung ataupun berupaya melakukan pengendalian / kontrol diri, dimana kian diikuti maka kian tidak pernah memuaskan sehingga selalu menuntut lebih, lebih, dan lebih lagi, sehingga kian hari dan kian tahun kadar “kehewanan” mereka kian “hewanis”, menenggelamkan watak “humanis” mereka, sebelum kemudian menjelma “predatoris” tulen yang “predatoris” serta “premanis” sebagai ciri khas pamuncaknya.

Karenanya, kita tidak sepatutnya meledakkan kemarahan / meluapkan amarah ketika menghadapi tingkah-polah makhluk-makhluk tidak ber-akal-budi demikian. Namun, kita selalu berhak untuk murka sejadi-jadinya yang mampu ketika mendapati adanya makhluk bernama manusia yang justru bersikap “hewanis” selayaknya seekor hewan yang tidak berakal-budi, sehingga menyakiti, melukai, maupun merugikan individu-individu lainnya tanpa rasa bersalah serta tanpa rasa takut atas konsekuensi ancaman hukumannya ataupun terhadap “etika yang bersumber dari moralitas”.

Dalam bahasa lainnya yang lebih sederhana, ketika seorang manusia yang meski lahir dengan dibekali akal-budi, akan tetapi masih juga berbuat kejahatan, maka kesalahannya tidak dapat ditolerir dan pelakunya tidak berhak memohon kompromi—disamping juga tidak perlu kita ampuni kesalahannya, mengingat “hidup adalah pilihan” (adanya pilihan bebas) yang bersumber dari adanya akal-budi itu sendiri, sehingga memilih berbuat jahat adalah pilihan yang dipilih oleh sang pelaku sehingga harus pula berani mempertanggung-jawabkan perbuatan-perbuatan buruknya.

Sebagai ilustrasi, penulis dalam kesempatan ini akan menguraikan betapa wajah asli “oknum-oknum” (namun “oknum”-nya terlampau banyak, berjemaah) anggota Kepolisian kita sejatinya ialah “preman berseragam” serta bermental pengecut / pecundang tulen. Ciri paling utama sekaligus paling khas dari kalangan preman ialah, mentalitas pengecut, sifat pecundang yang otentik. Tiada sejarahnya, sebagaimana penulis pernah kerap menghadapinya, kalangan preman yang mencoba merugikan ataupun menyakiti warga lain yang menjadi korbannya, dengan tampil seorang diri dan bertangan kosong—yang ada ialah selalu wajah yang berkebalikan alias sebaliknya.

Para preman tersebut menampilkan ragam bentuk luar (lahiriah) yang kasat-mata oleh kita sebagai pemberani—namun, jika betul-betul pemberani secara “real” (sungguhan), maka mengapa mencari mangsa dengan didampingi teman sesama preman (anak buah siap disampingnya sebagai “bodyguard”, telah ternyata bukan hanya kalangan pengusaha elit yang merasa butuh didampingi “bodyguard”) disamping diperlengkapi senjata, sekalipun korbannya hanya berdiri seorang diri dan tidak bersenjatakan apapun? Selalu terjadi dan selalu terulang, korban dianiaya, disakiti, diperas, maupun dilukai secara ber-keroyokan oleh kalangan preman tersebut bila tidak dibawah todongan senjata tajam.

Pria “jantan”, selalu menerapkan prinsip “satu lawan satu, tangan kosong”. Berkebalikan atau bertolak-belakang dari jiwa “jantan” seorang pria, yakni jiwa pengecut ala penakut tulen, dicirikan khas berupa sikap-sikap tidak fairness dan tidak berimbang alias tidak proporsional, semisal “satu orang melawan dua orang” maupun “tangan kosong melawan senjata belati”. Siapapun yang berbuat curang, tidak fair, maka dapat menang dengan mudah merubuhkan lawannya, namun itu tidaklah “jentelmen” sifatnya. Karena itulah, peraturan yang ketat di atas ring tinju dibawah peraturan dunia kompetisi tinju ala boxing, tidak menolerir segala bentuk pelanggaran satu petinju terhadap petinju lawannya di atas ring tinju. Sekali melanggar, maka akan diberi peringatan dan diberi “punishment” berupa pengurangan poin perolehan oleh wasit dan juri. Kembali melanggar, maka diskualifikasi dan lawan yang bertahan akan keluar sebagai juara sejati.

Kini, mari kita bercerminkan pada kasus Ferdy Sambo, Kepala Divisi (Kadiv) PROPAM POLRI yang sempat menjadi fenomenal pada tahun 2022 karena melakukan pembunuhan berencana terhadap ajudannya sendiri. Yang menarik dari peristiwa tersebut, dan yang jarang atau bahkan hampir tidak pernah dikaji secara mendalam oleh pengamat, ialah pembunuhan dilakukan murni secara cara-cara yang “pengecut”, tidak ubahnya “preman berseragam dan bersenjatakan senjata api”. Apapun alasannya, sekalipun bila memang benar klaim sang psikopat bernama Ferdy Sambo, bahwa ajudannya telah melakukan tindak pidana asusila terhadap istri sang Kadiv PROPAM yang semestinya menjadi teladan tertinggi etik-moralitas kalangan anggota Kepolisian di Tanah Air, maka pertanyaan paling utamanya yang harus dijawab oleh yang bersangkutan ialah:

1.) Mengapa harus membunuh sang ajudan-nya dan “main hakim sendiri” alih-alih menegakkan hukum acara pidana sebagaimana tugas pokok dan fungsi serta kewenagannya, Kode Etik Profesi POLRI, maupun sumpah jabatan para pelakunya? Fenomena “lebih preman daripada preman”, mengingat “preman pasar” tidak pernah di-“sumpah jabatan” untuk melindungi dan mengayomi masyarakat, namun anggota Kepolisian di-“sumpah jabatan” akan tetapi tetap juga melanggarnya;

2.) Mengapa harus ditembak mati, mengapa tidak ditantang duel tinju di atas ring tinju jika memang berjiwa ksatria dan “jantan” selayaknya seorang pria sejati? Seorang pengecut, ketika dibekali senjata api, maka dapat dipastikan senjata api tersebut yang kemudian akan disalah-gunakan untuk menutupi mental inferior kepengecutannya;

3.) Mengapa harus berkeroyokan, meski klaimnya istri sang Kadiv PROPAM yang dilecehkan oleh sang ajudan, namun mengapa para perwira dan anggota Kepolisian lainnya yang harus turun-tangan, tangan dibasahi oleh darah korban, menjadi algojo, menjadi “petugas bersih-bersih tempat kejadian perkara”, maupun secara persekongkolan untuk menutupi jejak kejahatannya? Mengapa tidak “satu lawan satu, tangan kosong” di atas ring tinju? Mengapa justru bangga, bukan merasa malu, mengeroyoki korban yang hanya seorang diri menghadapi para pelaku yang berjumlah lebih dari satu orang dan bersenjata api?

Sudah sejak lama penulis mengamati fenomena sosial di Indonesia serta membuat hipotesis terhadap karakteristik masyarakat di Indonesia yang gemar “menyelesaikan setiap masalah dengan kekerasan fisik”, budaya premanistik, disamping mentalitas “pengecut”, bahwa untuk menekan atau memitigasi tingkat kriminalitas yang amat-sangat-teramat tinggi di Indonesia, dimana korban-korban sipil telah banyak dan masih terus berjatuhan tanpa mendapat sentuhan hukum yang semestinya oleh aparatur penegak hukum yang lebih banyak mengabaikan dan menelantarkan aduan korban pelapor—meski diaat bersamaan memonopoli akses maupun penegakan hukum pidana—dimana juga negara seolah-olah tidak pernah benar-benar hadir ditengah-tengah masyarakat, maka salah satu caranya ialah pemerintah daerah perlu mulai mendirikan sebanyak mungkin RING TINJU di setiap ruas jalan.

Mengapa dan untuk apakah, perlu didirikan ring tinju di setiap ruas jalan pada berbagai kota maupun daerah di Indonesia? Para pembaca boleh percaya maupun boleh tidak percaya, akar penyebab tingginya kriminalitas terkait premanisme, ialah akibat mentalitas “pengecut” para pelaku premanistik itu sendiri. Perlu mulai dibudayakan atau diperkenalkan sebentuk mentalitas baru ke tengah-tengah masyarakat kita, bernama mentalitas “jantan” ala jentelmen “satu lawan satu, tangan kosong”, yang tidak lain tidak bukan ialah diberikannya fasilitas untuk menyalurkan ke-“jantan”-an ataupun sebaliknya ke-“pengecut”-annya di atas ring tinju lengkap dengan aturan main di atas ring tinju.

Ketika ada anak-anak sekolahan hendak “tawuran” massal, maka warga maupun pihak berwajib dapat mengarahkan anak-anak “berjiwa muda” tersebut untuk saling adu “jotos” di atas ring tinju, “satu lawan satu, tangan kosong” tentunya, alih-alih secara massal saling melempar batu, menyabet dengan parang, dan sebagainya. Yang betul-betul “jantan”, akan menerima tantangan “satu lawan satu, tangan kosong”, sementara bagi yang “pengecut” silahkan pulang ke rumah dan jadi anak baik-baik yang rajin belajar. Dapat penulis pastikan, tingkat kriminalitas di tingkat anak-anak sekolahan akan benar-benar dapat dimitigasi hingga menyentuh rekor hampir nihil terjadinya untuk setiap tahunnya.

Itu merupakan buah pemikiran penulis yang sudah sejak lama pernah penulis tuang ke dalam karya tulis, dimana belum lama ini penulis mendapati afirmasi berupa kabar bahwa telah pernah ada suatu Kantor Kepolisian di suatu daerah yang menerapkan strategi tersebut, yakni memasang spanduk bertuliskan “Jika Kamu Betul-Betul Jantan, SATU LAWAN SATU, Bukan Tawuran!” pada lokasi dimana kerap terjadi “tawuran” antar anak-anak sekolahan yang tidak jarang menimbulkan korban luka-luka hingga korban jiwa. Alhasil, tiada lagi pernah terjadi “tawuran” pada lokasi tersebut. terbukti juga sudah, para pelaku aksi “tawuran” tidak murni seorang “jantan” yang pemberani, oleh sebab tantangan pada spanduk tersebut tidak pernah ada yang berani menerimanya. Artinya, “tawuran” merupakan ajang para pengecut, untuk menyalurkan dan melampiaskan “birahi” kepengecutan dalam diri mereka.

Sama halnya, penulis yang telah pernah bahkan sering menjadi korban kriminalitas kalangan preman jalanan, dari sejak berusia anak-anak hingga dewasa di Tanah Air, mendapati bahwa posisi korban sejak semula selalu dalam kondisi atau diposisikan secara tidak seimbang : sang preman berjumlah lebih dari satu orang, dan besar kemungkinan terselip senjata tajam di saku celananya ketika kalah berduel dengan sang korban, sekalipun korbannya berjumlah satu orang dan “tangan kosong”. Ketika pemerintah daerah menyiapkan fasilitas berupa ring tinju yang dapat dengan bebas dan mudah diakses oleh publik pada setiap ruas jalannya, maka korban dapat menantang sang preman, untuk ajang pembuktian kejantangan dengan bertarung tinju di atas ring tinju, lengkap dengan aturan main dunia pertinjuan, yakni “SATU LAWAN SATU, TANGAN KOSONG”.

Bisa penulis pastikan, tiada lagi kalangan preman yang akan bertahan untuk berprofesi sebagai preman, dan seketika pensiun dari profesi preman, seketika “banting setir” (alih profesi) ketika ditantang demikian oleh korbannya. Kalangan preman, selama ini memanfaatkan ketidak-seimbangan posisi serta ketidak-adilan “hukum rimba” yang berlaku di jalanan, lalu memancing di air keruh dengan memamfaatkan pula kondisi yang tidak menguntungkan dari pihak korban setidaknya dari jumlah orang, kalah jumlah. Itulah kelemahan paling utama dalam “perkelahian jalanan”, tiada aturan main yang jelas, dimana pihak yang satu akan mengambil sikap curang tanpa malu seperti keroyokan maupun menggunakan senjata tajam untuk memenangkan pertarungan jalanan ini—meng-“halal”-kan segala cara, sekalipun itu artinya menggunakan cara-cara ala “pengecut” alias tidak secara “jantan” selayaknya seorang pria sejati. Menjadi jelas pula, semua preman adalah “pengecut”, lebih tepatnya ialah menyandang gelar sebagai “pengecut tulen”.

Pemerintah dalam hal ini perlu mengkondisikan dalam rangka pengkondisian, agar sifat-sifat ke-“pengecut”-an demikian tidak lagi mendominasi nafas atau setiap sendi kehidupan rakyatnya, dimana ketika seorang preman mendapati bahwa dirinya sejatinya adalah seorang “pengecut” yang akan dipercundangi di atas ring tinju yang telah disiapkan fasilitasnya secara memadai oleh masing-masing pemerintah daerah, maka sang preman akan terdesak untuk “alih profesi” dan “banting setir” menjadi pedagang kelontongan yang tidak lagi mencari nafkah dengan mengumbar kekerasan fisik.

Kiat atau cara-cara yang sederhana namun kreatif, akan mampu menghadirkan wajah berhukum dan bersosialisasi masyarakat kita, dimana jauh lebih efektif dan lebih efisien daripada pendekatan normatif hukum yang tidak selalu menjamin akan terciptanya “tertib sosial” (social order) sebagaimana kita harapkan. Kembali pada contoh nyata dipasangnya sebuah spanduk untuk menentang kepengecutan kalangan anak-anak maupun remaja yang kerap ber-“tawuran”, telah ternyata efektif meredam aksi “tawuran” yang sangat merugikan banyak pihak, karena langsung mengena pada akar / jantung masalah dan mengatasinya secara tuntas.

Ketika akar masalanya ialah sifat kepengecutan masyarakat, maka hadirkan solusi dengan mengatasi kepengecutan demikian lewat pendekatan-pendekatan yang cerdik. Akan tercipta penghematan besar-besaran dari segi sumber daya manusia maupun sumber daya lainnya, bilamana masalah dan anomali sosial ditangani dengan pendekatan cerdas yang kreatif, bukan hanya semata pendekatan normatif hukum yang kaku, bersifat temporer, dan minim “human touch”.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.