Lebih Baik Resign, daripada Disuruh Mematikan Hidup Anak
Orang Lain
Membunuh Bukan dalam Rangka Penegakan Hukum Pidana, Bukanlah Melaksanakan Perintah Atasan, namun Merampas Hak Hidup Warga Lainnya—Motif Egoisme Pribadi Itu Sendiri Dibaliknya
Question: Diperintahkan oleh atasan (ataupun majikan) untuk melanggar hukum (semisal perintah untuk membunuh warga lainnya), secara melawan hukum dan main hakim sendiri (bahkan bertentangan dengan tugas dan kewajibannya, semisal bila pelakunya adalah seorang polisi, aparatur penegak hukum namun melanggar hukum maupun melanggar sumpah jabatan), menyalah-gunakan wewenang (ataupun menyalah-gunakan monopolisitk pemidanaan) yang dikuasainya, apakah merupakan “alasan pembenar” ataupun “alasan pemaaf” untuk dilepaskan atau dibebaskan dari vonis hukuman pidana?
Brief Answer: Kita tidak akan pernah mengalami kondisi dilematis
dimana pilihan yang ada sebatas dua opsi berikut ini : kita bunuh yang
bersangkutan atau kita yang akan dibunuh, alias kita yang mati atau mereka yang
mati—kondisi semacam itu hanya eksis terjadi di medan tempur atau dalam aksi
baku-tembak ataupun pertarungan dimana lawan yang kita hadapi menggunakan
senjata tajam yang dapat membahayakan jiwa kita, dalam rangka bela diri dalam
kondisi yang amat sangat darurat dan ancaman yang sangat dekat (pembelaan
terpaksa, overmacht). Namun, “alasan
pemaaf” semacam itu tidak menjadi “escape
clause”, bilamana ternyata kita memiliki opsi lain untuk dipilih, semisal
memiliki waktu atau kesempatan untuk melarikan diri ataupun untuk semisal “resign” alias mengundurkan diri dari
suatu organisasi / lembaga tersebut (berjiwa ksatria).
Pernah terjadi di Republik Indonesia dimana
negara bersangkutan tidak pernah kekurangan kaum “agamis”, seorang anggota kepolisian
bahkan beberapa diantaranya adalah perwira berpangkat Jenderal Polisi,
melakukan aksi kejahatan perbuatan melanggar hukum berupa main hakim sendiri,
melanggar sumpah jabatan, merintangi jalannya penyidikan (obstruction of justice), melakukan rekayasa kejadian maupun olah
tempat kejadian perkara (prank),
secara berjemaah, dengan mengatas-namakan alibi klise “tidak kuasa menolak
perintah atasan”—lihat berita fenomenal perihal pembunuhan berencana oleh
Kepala Divisi Propam POLRI, Ferdy Sambo, bersama anak buahnya secara berjemaah
pada internal Divisi Propam POLRI pada medio tahun 2022.
Adapun simpatisan yang pernah menjadi pejabat
tinggi di institusi POLRI (Polisi Republik Indonesia), memberi tanggapan /
komentar di sebuah pers berupa stasiun radio swasta nasional, menyatakan bahwa
publik sipil tidak mengetahui betapa berat bagi seorang anggota kepolitian
untuk menolak perintah atasan, karena sipil tidak pernah berada di dalamnya menjadi
bagian internal anggota kepolisian. Itu adalah alibi yang sangat “kekanakan”
disamping mencerminkan kekerdilan paradigma berpikir. Para anggota kepolisian
yang “Yes Bos / Siap Jenderal, asal Bapak
senang”, terjadi akibat “mind set”
mengejar motif kepentingan pribadi berwujud ingin “cepat naik pangkat” sehingga
menjual jiwa dan profesinya untuk menjadi seorang “penjilat” ataupun “kaki
tangan” kejahatan.
Jangan bersikap seolah-olah kalangan sipil tidak
pernah dan tidak jarang menemui dilematika serupa sebagaimana kalangan anggota
kepolisian, bahkan jauh lebih rentan kondisinya. Untuk memecat Pegawai Negeri
Sipil, sangat sukar, sekalipun kinerjanya buruk ataupun tidak disukai atasan.
Untuk memecat pegawai sipil, sangat amat mudah bagi kalangan pengusaha sipil,
karenanya posisi lebih rentan justru selama ini acapkali dihadapi oleh kalangan
sipil terkait “perintah atasan”.
Tidak jarang kita menemui kasus, dimana seorang
pegawai pada suatu perusahaan, akibat adanya sinisme atasan, sang pegawai
dimutasi ke luar kota pada unit cabang yang paling terpelosok, akibatnya sang
pegawai memilih untuk “resign” dengan
sangat amat terpaksa meski sudah punya beban tanggungan keluarga berupa istri
dan anak untuk dinafkahi. Karenanya, amat sangat “cengeng”, tidak jantan, juga
tidak profesional, bilamana terdapat kalangan anggota kepolisian yang bersikap
seolah-olah mereka tidak punya opsi lain untuk dipilih selain mengikuti dan
menuruti perintah atasan.
PEMBAHASAN:
Sebagaimana kata pepatah, “hidup
adalah pilihan”, berani memilih untuk melakukan kejahatan sama artinya harus
berani pula menerima konsekuensi logis maupun konsekuensi yuridisnya. Barulah
disebut sebagai pengecut, ketika berani membuat pilihan untuk melakukan
kejahatan namun kemudian melakukan aksi “lepas tanggung jawab” dan “cuci
tangan”. Bila tidak suka memilih dan dihadapkan pada pilihan-pilihan berat dan
sulit, ketika kita berada di dalam suatu institusi ataupun lembaga, komunitas,
instansi, dsb, maka mengapa memaksakan diri untuk tetap menjadi bagian di
dalamnya—dan juga jangan jadi polisi, bila konteksnya ialah perintah atasan
bersumber dari petinggi kepolisian kepada seorang anggota kepolisian.
Kalangan rakyat, sebagai
pekerja sipil, terikat oleh rambu-rambu moralitas disamping etika berbisnis,
sementara itu kalangan anggota kepolisian terikat oleh etika kepolisian
disamping moralitas. Pekerja sipil diatur oleh peraturan perusahaan, sebagai
contoh bila sang pekerja bekerja, berkarir, serta mencari nafkah pada suatu
perusahaan swasta. Sama halnya, anggota kepolisian diatur oleh undang-undang
tentang organisasi kepolisian, dalam hal ini Undang-Undang terkait Kepolisian
dan POLRI. Namun, anggota kepolisian memegang kekuasaan monopolistik, berstatus
sebagai “civil servant”, juga
menerima gaji dari uang pajak yang dibayar oleh sipil para wajib pajak.
Akibatnya, posisi politis
kalangan pekerja sipil para berbagai perusahaan swasta, selalu lebih dilematis
ketimbang kondisi Aparatur Sipil Negara, sehingga menjadi mengherankan
sekaligus absurd bilamana kalangan anggota kepolisian justru tidak bersikap
jentelmen bahkan terkesan “cengeng” dan pengecut (merengek-rengek “tiada kuasa
menolak perintah atasan”) ketika mendapati perintah atasan tersebut telah
ternyata melawan hukum dan bertentangan dengan tugas, kewenangan, maupun
kewajibannya, dan bilamana kemudian mengetahuinya tidak ternyata segera pada
kesempatan pertama untuk melapor dan mengungkapnya kepada aparatur penegak
hukum yang peringkat jabatannya lebih tinggi sebagai langkah korektif alih-alih
turut menutupi kejahatan secara berjemaah bahkan terlibat dalam “prank”).
Seorang “preman pasar”, tidak
terikat sumpah jabatan untuk melindungi rakyat—namun seorang anggota kepolisian
notabene disumpah jabatan, digaji oleh rakyat pembayar pajak, memonopoli akses
dan kewenangan penegakan hukum pidana, diberi kekuasaan menyandang senjata dan
menahan, akan tetapi kemudian justru melakukan perbuatan yang bertentangan
dengan tugas dan kewajibannya, sehingga sifatnya jelas lebih jahat dan lebih
tercela daripada kalangan “preman pasar” manapun yang kerap meresahkan warga.
Para anggota kepolisian perlu
menyadari, telah betapa istimewa kekuasaan dan kewenangannya, bahkan tergolong
hidup dalam “zona aman” dan “zona nyaman”, karenanya tidak lagi terbuka alasan
pembenar untuk bersikap “manja” dan “kekanak-kanakan” tanpa malu terhadap kalangan
sipil yang berjuang menyambung hidup dengan bertaruh nyawa ketika mencari
nafkah dalam arti yang sesungguhnya—semisal membuka usaha bisa berujung pada “untung”
(memeroleh laba usaha) namun bisa pula merugi (defisit), maupun ketika bekerja
pada pemberi kerja bisa diputus hubungan kerja secara sewenang-wenang.
Pernah terdapat pejabat yang
mengatakan, para anggota kepolisian yang turut terlibat dalam “obstruction of justice” tidaklah
terlampau jahat. Adapun tanggapan penulis terhadap pandangan demikian ialah :
Kalau “preman pasar” yang perilakunya seperti itu, barulah tidak terlampau dan
teramat “jahat” sifatnya jahatnya (bila dibandingkan dengan sikap arogansi dan
pengabaian polisi). Akan tetapi bagi mereka yang telah pernah dan terikat oleh “sumpah
jabatan” untuk menegakkan keadilan, hukum, serta kebenaran, yang memonopoli
kekuasaan pemidanaan, tetapi perilakunya ternyata begitu tercela dan jahat, itulah
yang layak dan patut disebut sebagai “jahat sekali teramat-amat” sifatnya
karena melanggar sumpah jabatan, wewenang, maupun kewajibannya.
Ukuran atau parameter bagi
kalangan pekerja swata, bahwa telah atau tidaknya melakukan pelanggaran
terhadap peraturan perusahaan, ialah tingkat kepatuhan pegawai swasta
bersangkutan terhadap SOP internal perusahaan bersangkutan disamping peraturan
perundang-undangan negara dimana ia berkegiatan. Adapun bagi anggota
kepolisian, terdapat pula SOP serupa berupa Kode Etik Profesi Kepolisian RI
maupun peraturan perundang-undangan yang mengatur tugas pokok dan fungsi
anggota kepolisian maupun petunjuk teknisnya (tupoksi dan juknis). Namun,
diatas kesemua itu, meminjam adagium dari Hakim Agung Jaya Surya, “Akal sehat ialah SOP tertinggi”—alias
“hukum tertinggi ada pada akal sehat (common
sense)” kita itu sendiri.
Perintah berupa “disuruh membunuh
orang”, mengapa diikuti? Mengikuti perintah sejahat itu, yang jelas-jelas
merupakan perintah yang bertentangan dengan hukum maupun wewenang dan sumpah
jabatan, pastlah dilandasi motif terselubung (hidden agenda) dari masing-masing individu anggota kepolisian,
entah karena faktor “ingin cepat naik pangkat”, merasa “hutang budi” karena
diberi keistimewaan fasilitas kantor ataupun diberi pangkat tinggi secara tidak
lazim, telah pernah mendapat “kue” hasil kejahatan bersama, saling menyandera
(mengetahui kejahatan masing-masing), paradigma pengecut “asal Bapak senang”,
kepatuhan dungu-membuta “Yes BOS! Siap
laksanakan, Jenderal, akan saya bunuh orang itu, sampai tanpa sisa dan tanpa
jejak!”, atau apapun itu motifnya.
Yang jelas, sikap “menerima
perintah secara membuta” demikian tidaklah wajar, janggal, ganjil, absurd,
mengingat perintah demikian ialah jelas ekstrem sekali sifat tercelanya. Sama
seperti ketika kita disuruh untuk “bunuh diri” dengan melompat ke jurang dalam,
apakah kita mau dan bersedia ikuti perintah semacam itu, meski oleh atasan langsung
kita? Sehingga, motifnya ialah sifat “egoistik” itu sendiri, karena ketika
diberi perintah untuk “harakiri” namun menolak perintah, namun ketika disuruh
“membunuh orang lain” lalu menjalaninya tanpa berpikir ribuan kali lalu
mengatasnamakan “tidak berkuasa menolak perintah atasan”. Bila yang disuruh
untuk dibunuh, ialah istri atau anak kandung kesayangannya, besar kemungkinan
para anggota kepolisian tersebut tidak akan menerima perintah atasan
langsungnya sekalipun, kecuali sama “psikopat”-nya dengan sang atasan. Yang
mereka bunuh secara “main hakim sendiri”, jelas merupakan anak milik orangtua
lainnya.
Sudah jelas “salah dan tercela”
perintah semacam itu, dimana nurani paling mendasar pun sudah mampu berkata
demikian tanpa perlu kode etik profesi apapun. Jadi, mereka ini, yang
menyandang seragam polisi serta bersenjatakan ini, mengabdi untuk siapakah
sesungguhnya? Mereka lupa, mereka mengabdi bagi dan untuk siapa, siapa yang
sejatinya membayar upah mereka (bersumber dari pajak para wajib pajak), serta
kepada siapa mereka bertanggung-jawab jika tidak lain tidak bukan ialah kepada
segenap rakyat akibat kewenangannya monopolistik akses hukum pidana selaku
aparatur penegak hukum. Lalu, pertanyaan utamanya, apalah bedanya praktik kepolisian
kita di Tanah Air dengan komplotan gengster atau triad bersenjata ala “Godfather”
mafioso di Italia, kalau praktiknya ialah seperti di republik bernama Indonesia
ini?
“Apa kata BIG BOSS”, itulah
hukumnya. Mulut “BIG BOSS” adalah titah raja, hukum itu sendiri—bedanya, di
zaman kekaisaran / kerajaan, tidak mengikuti perintah atau kemauan raja, hukum
gantung / penggal sebagai akibatnya. Namun para Jenderal Kepolisian tersebut
bukanlah raja, karena itu tidaklah beralasan bila disebutkan “tidak kuasa
menolak perintah atasan”. Terhadap rakyat sipil, anggota kepolisian kita begitu
arogannya, meski rakyat sipil-lah yang membayari upah bulanan mereka dan keluarga
para aparatur penegak hukum tersebut, memonopoli kewenangan akses hukum pidana
namun tidak malu terhadap rakyat yang mereka monopoli dan sandera hak-hak atas
keadilannya (semisal warga korban tindak pidana tidak dapat menuntut keadilan
pidana bila diabaikan aduannya), disumpah jabatan untuk melayani dan melindungi
rakyat, disumpah jabatan maupun diatur oleh undang-undang untuk menjadi “civil servant”, namun kemudian lebih
kerap mengabaikan dan menelantarkan maupun mengabaikan aduan korban pelapor,
hingga praktik memeras sipil.
Akan tetapi, disaat bersamaan, terhadap
atasan yang mereka “jilat”, mereka begitu sigap, siap sedia, patuh, menurut,
menghamba, siap melayani—jika perlu menyemir dan menjilati sepatu sang atasan—tidak
pernah menolak, dan menyembah-sujud, sehingga diperintahkan menciumi kaki sang
Jenderal pun mereka siap mati. Ada apa dengan mentalitas dan kultur aparatur
penegak hukum di republik yang konon sudah “merdeka” ini? Jelas ada yang keliru
dengan IQ mereka—sering penulis menuturkan, bahwa tanpa IQ yang memadai, jangan
harap seseorang memiliki EQ maupun SQ yang memadai. Fondasi dari kedua jenis
kecerdasan yang disebut paling akhir, bertopang pada IQ. IQ bukanlah segalanya,
namun segalanya membutuhkan IQ. Masyarakat mungkin memandang diri Ferdy Sambo memiliki
EQ yang “tinggi”, menilai demikian semata karena memiliki banyak relasi serta
pangkat jabatan tinggi, namun pertimbangkanlah betapa “dungu”-nya sang Jenderal
Polisi sampai-sampai menggali lubang kubur untuk dirinya sendiri.
Aparatur penegak hukum (justru)
melanggar hukum, sungguh tidak dapat ditolerir. Bila aparatur penegak hukum
kita (justru) melanggar hukum, lantas sikap semacam apakah yang patut kita
harapkan dari para “preman pasar” yang banyak berkeliaran di jalan-jalan, para
mafioso, para kriminil, para gengster, para psikopat, maupun para penjahat
lainnya? Aparatur penegak hukum, dalam hal ini ialah setiap anggota kepolisian,
menjadi “mercusuar”, tolak-ukur, atau “standar moral” dari kehidupan hidup
berbangsa antar sesama warga dalam konstruksi bangunan bernegara sebagai sesama
anak bangsa—fungsi “mengayomi” aparatur Kepolisian RI.
DI perusahaan swasta, “bos” /
majikan ataupun “atasan langsung”-nya (supervisor, manajer, kepala bidang,
kepala cabang) ialah sesama sipil, dimana loyalitas pekerja ialah bagi
kepentingan majikan yang membayar gaji para pegawai tersebut, dalam hal ini
ialah direksi sebagai representasi kepentingan pemegang saham perusahaan,
sehingga bila “atasan langsung” didapati melanggar SOP sebagaimana ditetapkan
oleh direksi ataupun peraturan internal perusahaan atau memberi perintah yang
melanggar SOP perusahaan, sang pegawai memiliki tanggung-jawab etik dan
profesionalisme untuk melapor kepada atasan dari sang “atasan lagnsung”,
semisal melaporkan supervisor kepada manajer kantor.
Adapun bagi Pegawai Negeri
Sipil, “bos” mereka ialah rakyat-sipil pembayar pajak yang menjadi sumber upah
mereka disamping tanggung-jawab akibat kewenangan monopolistik kenegaraan. Ketika
kepentingan pribadi sang atasan bertentangan dengan kepentingan publik (rakyat
sipil), maka adalah tanggung-jawab moril seorang Aparatur Sipil Negara untuk
mendahulukan kepentingan publik. Sehingga, ketika terdapat anggota kepolisian
yang justru menjadi “bumper”, mendukung, membenarkan, dan menjadi pelaku turut-serta
dengan “atasan langsung”-nya, maka itu sama artinya sang anggota kepolisian
telah berkhianat terhadap Kapolri serta tehadap segenap rakyat.
Sebagaimana tajuk pada ulasan
ini, jangan bersikap seolah-olah tidak ada opsi lain untuk dipilih, dan
jangan bersikap seolah-olah tidak punya pilhan bebas. Jangan pula
bersikap seolah-olah kita bukanlah pribadi yang bebas dan merdeka, dimana untuk
kita tidak boleh bersikap seolah-olah kita adalah individu terjajah pada bangsa
yang masih terjajah—kita sejatinya bahkan masih punya kebebasan untuk memilih,
apapun konsekuensinya, atau sang anggota kepolisian “berunjuk rasa” atau
mengekspresikan penolakan dan keberanian mental mereka dengan ramai-ramai “resign” atau mengadukan kepada atasan
dari sang atasan, menjadi “wistle-blower”,
atau pilihan lainnya selain “patuh membuta” merampas hak hidup warga lainnya
(mau dan bersedia siap untuk melaksanakan kejahatan berupa membunuh dan
menutup-nutupi aksi pembunuhan berencana), sehingga kesemua itu bukanlah alasan
pembenar ataupun alasan pemaaf, itu semua alibi alias pembenaran diri /
justifikasi kejahatan yang dilakukan oleh mereka sendiri—lebih tepatnya oleh
“ego” mereka sendiri, sang pemberi perintah hendak pamer kekuasaan dan yang
mengikuti / patuh hendak “cepat naik pangkat” dengan menghalalkan segala cara.
Hidup ini adalah perihal
konsekuensi, disamping pilihan. Kerapkali kita dihadapkan pada pilihan yang
sulit. Namun apapun itu, ketika kita dihadapkan pada kondisi atau keadaan yang
tidak menguntungkan diri kita, maka satu buah pedoman hidup berikut perlu kita
internalisasikan ke dalam diri dengan men-cam-kannya baik-baik : “Ketika
merugi dan dirugikan, setidaknya kita tidak sampai merugi lebih banyak lagi.”
Kita tidak bisa menolak kenyataan telah merugi atau mengalami kerugian akibat
dirugikan atau kondisi yang tidak menguntungkan posisi kita, namun setidaknya
kita tidak membiarkan diri kita merugi lebih banyak lagi.
Jangan bersikap seolah-olah kita
tidak memiliki daya tawar maupun pilihan bebas barang sedikit pun—kecuali kita telah dibutakan
atau membutakan diri kita sendiri sehingga terbutakan. “Resign” bukanlah akhir dari segalanya, karenanya masyarakat sipil
telah ternyata lebih bersikap jantan dan lebih ber-“positive thinking” daripada para oknum kepolisian, dimana juga
terbukti bahwa kalangan rakyat sipil dapat tetap melanjutkan hidup dan mencari
nafkah untuk menyambung hidup diri serta keluarganya secara kreatif sekalipun
itu artinya harus berdagang barang-barang “kelontongan”, namun setidaknya masih
mempertahankan martabat diri sebagai harta terbesar—bahkan perwira kepolisian
berpangkat jenderal—yang senantiasa berdalih “tidak kuasa menolak perintah
atasan”. Jenderal semacam apa itu, dan polisi semacam itukah, jika bukan polisi
dan jenderal “Made in Pengecut”? Rupanya, institusi POLRI mendidik aparatur
mereka menjadi para PENGECUT tulen, pengecut yang menyandang senapan api, lebih
preman daripada preman, preman berseragam yang memonopolistik akses penegakan hukum
pidana. “SIAP, JENDERAL, saya siap mati
demi Anda, Pak Jenderal!” Bukan hanya pengecut, namun juga otentik dungu.
Sekadar ilustrasi, ketika
berkuliah, seorang dosen pada fakultas hukum tempat penulis berkuliah hukum,
pernah menyebutkan, bahwa ketika kita berkarir sebagai seorang pekerja /
pegawai, kita akan mendapati kondisi dilematis, berupa perintah atasan yang
hendak menggunakan tangan kita untuk melakukan kejahatan, semisal untuk menyuap
pejabat. Ketika kita (memilih untuk) patuh melaksanakan perintah, lalu
tertangkap oleh aparatur penegak hukum, maka jangan kaget ketika atasan kita
berkelit telah pernah memberikan perintah semacam itu, dan sekalipun benar dapat
terbukti adanya perintah, tetap saja itu bukanlah “alasan pemaaf”—lihat kasus gratifikasi
penyuapan hakim yang dilakukan oleh pengacara senior bernama Otto Cornelis
Kaligis (OC Kaligis), sang pengacara senior ini secara tidak etis berkilah
dengan alibi klise : “Bukan saya yang
menyuap, namun anak buah saya, dan itu bukan atas dasar perintah saya!”—menumbalkan
pegawai sendiri, keduanya sama-sama manusia “Made in Dungu”.
Ketika untuk kali pertamanya
penulis bekerja pada sebuah perusahaan selepas lulus berkuliah, penulis
diterima bekerja pada sebuah kantor hukum. Baru bulan-bulan awal bekerja,
penulis mendapati rekan pekerja lainnya diberi perintah menyuap seorang
aparatur penegak hukum di sebuah kantor kejaksaan. Kepada karyawan yang
bersangkutan, penulis berpesan bahwa itu sangat berisiko, tidak sebanding
dengan resiko dibaliknya, digunakan tangannya untuk melakukan perbuatan ilegal,
belum lagi konsekunsi logis berupa potensi dijadikan “kambing hitam” oleh pihak
majikan ketika tertangkap oleh aparatur penegak hukum. Hanya berikut inilah
tanggapan dari sang rekan kerja, “Mau
bagaimana lagi, terpaksa, saya punya anak untuk diberi makan dan dibiayai sekolahnya,
sementara itu suami telah tidak ada.”
Ketika penulis telah memasuki
“zona nyaman” bekerja pada salah satu perusahaan balai lelang swasta di ibukota
negara, nurani penulis menjerit, karena perusahaan melakukan praktik “ilegal”
berupa penggelapan terhadap agunan milik debitor terlelang eksekusi Hak
Tanggungan, dengan modus menjual lelang dengan informasi pada pengumuman lelang
yang dibuat “kabur” semisal tiada alamat detail lokasi agunan, berkomplot
dengan pihak kreditor pemohon lelang dengan membuat “nilai dasar lelang” jauh
diatas nilai pasar, dengan tujuan agar tiada peminat lelang, sebelum kemudian terjual
lelang kepada pihak-pihak tertentu yang sejak awal memang sudah di-setting siapa yang akan menjadi pemenang
/ pembeli lelang dengan harga jatuh dibawah harga pasar.
Tiada seorang pun, terutama
kalangan debitor, yang akan senang bila agunan miliknya digelapkan dengan cara-cara
terselubung yang menyalah-gunakan instrumen hukum lelang eksekusi Hak
Tanggungan demikian. Penulis bukanlah seorang debitor pada saat itu, namun
penulis memilih untuk berempati dengan mendengarkan suara hati (nurani, empati,
atau apapun itu sebutannya). Papan, disamping sandang dan pangan, merupakan
tiga dari kebutuhan pokok paling mendasar makhluk hidup, karenanya penulis
tidak dapat menolerir “moral hazard”
yang penulis dapati sebagaimana praktik pada perusahaan tempat penulis bekerja.
Ibarat ketika tubuh kita mengalami gejala “tidak nyaman” ketika mengonsumsi
sesuatu, semisal alergi pada suatu makanan atau obat-obatan, karenanya kita
perlu “mendengarkan tubuh” kita, demi kebaikan diri kita sendiri.
Ketika kita menyadari adanya “moral hazard”, maka kita perlu berpikir
dan bergerak cepat, mengingat “trigger
mechanism” telah bekerja dibaliknya, dan membuat sebuah pilihan sesukar
apapun itu pilihannya. Akhirnya, semata karena faktor dorongan moralitas, tanpa
adanya tekanan politis apapun di dalam perusahaan, penulis memilih untuk “resign” dan membuka rintisan usaha
sendiri, yakni website jasa profesi konsultan hukum sebagaimana para pembaca saat
kini kunjungi, dah telah ternyata penulis bisa hidup sampai saat kini lengkap
dengan segala idealisme kehidupan dan moralitas-etik penulis, meski pada tahun-tahun
pertama ibarat hidup dalam “neraka”. Moralitas, martabat, dan idealisme penulis
lebih berharga daripada gaji bulanan maupun “zona nyaman” yang selama
bertahun-tahun penulis terima selama bekerja pada perusahaan swasta tersebut. Berakit-rakit
dahulu, berenang-renang kemudian. Yang pahit jangan langsung dibuang, yang
manis jangan langsung ditelan—itu semua adalah nasehat sepanjang masa yang
masih relevan dalam kehidupan modern.
Tiada ada istilah “korban
atasan”—itu merupakan alibi “mengada-ngada” dalam rangka “putar balik logika
moril”. Yang ada ialah “korban ke-pengecut-an” dirinya sendiri (tidak ber-“positive thinking” bahwa kita bisa hidup
tanpa bekerja pada majikan tersebut maupun pada pemberi kerja lainnya ataupun
institusi dimaksud) serta “korban keserakahan” mereka sendiri (hendak “cepat
naik pangkat” sehingga bisa “cepat kaya raya”, sehingga jelas motifnya
selalu berupa “selfish motives”).
Atasan mereka, para aparatur penegak hukum tidak terkecuali segenap anggota
kepolisian, bukanlah sang “BIG BOSS”
ala mafia atau gengster, namun rakyat sebagai atasan paling utama mereka.
Sehingga pada hakekatnya,
mereka merupakan “hamba masyarakat”, “CIVIL
SERVANT” sebagaimana maknanya ialah “CIVILIANS are their Boss” (civil
as the BIG BOSS). Perhatikan salah satu makna definitif dari “selfish motives”, yakni “relating to or characterized by self-interest”.
Idealnya, jika suatu anggota masyarakat hendak menjadi bagian dari anggota kepolisian
(menjadi seorang polisi), dari awal sudah harus berkomitmen kepada diri sendiri,
bahwa atasannya ialah rakyat, bukan atasannya di kantor. Mengabdi bagi
dan kepada rakyat, bukan menghamba kepada atasan di kantor—hanya seorang
“penjilat”, yang memiliki kecenderungan mentalitas sebaliknya.
Singkatnya, bagi seseorang yang
memiliki keinginan untuk masuk lingkaran kepolisian dan berprofesi di dalamnya,
maka harus berkomitmen untuk menegakkan hukum sebagai tugas pokok dan peran
utamanya, bukan justru menyalah-gunakan wewenang dan menista hukum yang
seharusnya mereka tegakkan. Anggota kepolisian yang justru alih-alih mengayomi
dan memberikan teladan maupun ketertiban sosial (social order), justru terlibat aksi “main hakim sendiri” saling
berjemaah dan saling menutupi jejak kejahatan komplotan / sindikat kejahatannya
yang saling berseragam kepolisian, sudah jelas melanggar SOP aparatur penegak
hukum sebagaimana telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) maupun aturan internal teknis institusi POLRI itu sendiri.
Namun, telah ternyata
anggota kepolisian diisi oleh para pengecut—para pengecut mana tidak mau
mengakui, bahwasannya mereka sejatinya memiliki opsi lain untuk dipilih, bahwa
lebih baik dipindah atau dicopot jabatannya, daripada memilih melanggar hukum.
Tengoklah aksi / ulah Ferdy Sambo dan kotoran-kotoran komplotannya, memilih merekonstruksi
dan merilis “prank” kepada media
massa alih-alih secara jentelmen mengakui kepada publik semua perbuatan mereka—alias
para PENGECUT tulen. SOP dan aturan hukum pada suatu negara, adalah Konstitusi
dan “Kitab Suci” profesi kalangan aparatur pengak hukum.
Inilah hukum yang manjadi “harga
mati” kalangan aparatur penegak hukum : Tegak pada hukum dan konstitusi,
bukan tegak pada perintah atasan. Apa jadinya bila aparatur penegak hukum justru
menjadi aparatur pembengkok hukum? Jika memang betul telah terjadi pelecehan
asusila terhadap istri sang Jenderal oleh anak-buahnya, sebagaimana klaim sang
Jenderal, maka proses secara hukum, bukan sebaliknya polisi memperontonkan aksi
“main hakim sendiri”. Setidaknya, seorang seorang pria “jantan”, tantang anak
buah yang dituduhnya tersebut untuk adu tinju di atas ring tinju—dengan aturan
main dunia tinju, tentunya--, yakni satu lawan satu dan tangan kosong—alih-alih
pamer kuasa dan kepengecutan diri.
Jika yang menjadi “mind set” aparatur penegak hukum
tersebut ialah dalam rangka “ingin cepat naik jabatan” (mengejar jabatan dan
kekuasaan, secara tidak langsung mendekatkan diri mereka kepada sumber daya
pundi-pundi ekonomi ilegal), jadilah budaya patronase yang tumbuh dan berkembang
pada institusi POLRI—budaya mana sangat tidak sehat untuk suatu institusi pemerintahan
yang semestinya mengedepankan prinsip meritokasi alias egalitarian—sebelum
kemudian menular kepada segenap jajaran dibawahnya, apapun pangkat maupun
senioritas-junioritas yang mewarnai praktik jajaran anggota POLRI baik ketika
bersentuhan dengan masyarakat sipil di lapangan maupun terhadap perlakuan
mereka terhadap sesama anggota lingkaran profesinya di internal POLRI.
Tidaklah mungkin bila seseorang
berpangkat perwira di kepolisian, tidak tahu aturan SOP internal polri maupun
hukum acara pidana, yang membedakan mana perintah atasan yang ilegal dan mana
perintah atasan yang legal, karena penegakan hukum ialah kegiatan “menu” kesehariannya
perwira kepolisian bersangkutan. Kecuali suara hati mereka telah tumpul akibat
sering mematikan nurani sendiri, sehingga gagal membedakan mana yang baik dan
mana yang jahat. Yang terjadi sebenarnya ialah, “tahu namun bersikap
seolah-olah tidak tahu-menahu”—dengan harapan sang atasan akan merasa dihormati
dan sebagai imbalannya akan diberi keistimewaan-keistimewaan bernuansa
“personal” ala patronase (relasi patron dan klien) yang sifatnya ialah bermuara
pada praktik nepotisme terselubung itu sendiri.
Aparatur Sipil Negara yang mendapati
atasan langsungnya telah menyalah-gunakan, justru merupakan tanggung-jawab
moril Aparatur Sipil Negara bersangkutan untuk melaporkannya kepada atasan dari
“pemberi perintah” (atasan dari atasan langsungnya), namun telah ternyata diabaikan,
yang artinya tiada penyesalan, tiada langkah kuratif maupun korektif, bahkan
menutupi kejahatan dengan turut mencetak kejahatan lainnya—seolah-olah satu buah
kejahatan belum cukup, masih juga membuat kejahatan-kejahatan baru lainnya,
dosa yang beranak-pinak. Penulis menyebut sikap-sikap yang
meng-kambing-hitamkan “perintah atasan” untuk menjadi alibi “tidak kuasa
menolak perintah atasan” demikian, itulah yang kita kenal dengan julukan “play victim”.
Jika seorang pegawai atau
pekerja, instansi negeri maupun swasta, ikut patuh “atasan langsung”-nya dalam
rangka untuk cepat “naik pangkat”, bisa promosi cepat, maka itu resiko yang
harus ia hadapi karena memilih untuk “Yes
Bos, asal Bapak senang”, resiko akibat ikut bagian atau andil dalam kejahatan
dengan / secara sadar. Karenanya, setelah memilih demikian, harus pula berani
menghadapi konsekuensi dibaliknya, jangan berkelit pakai banyak alasan “itu
perintah atasan”. Terlebih, sifatnya bukan “spontanitas” terjadinya, akan tetapi
berkelanjutan dalam artian ikut-serta dalam serial kejahatan terselubung
lainnya dengan para pelaku lainnya. Takut dipecat, takut PHK diri sendiri, karena
itu ikut gerbong “atasan” sekalipun dibawa ke arah jalan maut, namun ketika aksi
mereka terbongkar, baru mau menyadari ketakutan dibalik ancaman hukum maupun vonis
hukuman sebagai sanksinya.
Entah bagaimana sistem promosi
di POLRI, seorang “evil” lengkap dengan “mindset”
ala preman mafia, menjadi anggota kepolisian lalu mendapatkan jenjang promosi
hingga di pucuk pimpinan tertinggi (PROPAM POLRI), sungguh membawa ancaman
serta bahaya bagi masyarakat luas. Hukum pidana saja sudah bilang, jika
aparatur yang melakukan kejahatan, diperberat ketimbang sipil yang melanggar. Namun
hukum pidana kita lupa mengatur, bila aparatur penegak hukum yang justru
melanggar hukum, hukumannya harus dilipatkan gandakan setidaknya lima kali,
mengingat mereka telah disumpah jabatan untuk menegakkan hukum, itu menjadi
tugas pokok dan fungsi utamanya, menyalah-gunakan kekuasaan serta memperkosa amanat
yang diberikan kepada mereka, disamping kejahatan yang justru bersumber dari memonopolistik
penegakan hukum pidana.
Bilamana praktik demikian kita
kompromistikkan, maka kultur patronase tidak akan pernah terputus di tubuh
POLRI ataupun institusi pemerintahan lainnya, bagai lingkaran setan. Patronase,
adalah budaya yang sangat tidak sehat bagi suatu republik yang mengakunya
demokratis, sehingga para kriminil bisa duduk di bangku jabatan terpuncak sebagai
Hakim Agung, Hakim Konstitusi, Kadiv Propam, Menteri, dan lain sebagainya. Yang
terburuk dari kesemua itu, ketika kejadian terungkap ke publik, tiada satupun
yang secara sukarela mengungkap kepada publik, bungkam, bahkan turut melakukan
andil dalam serangkaian episode “prank”.
Gilanya, bagi atau di mata mereka,
demosi ataupun dimutasi artinya lebih mengerikan daripada merampas nyawa orang lain
ataupun melanggar hukum. Dimutasi sudah menjadi komitmen setiap Aparatur Sipil
Negara ketika diterima masuk ke dalam lingkaran Pegawai Negeri Sipil, karenanya
sudah dapat diprediksi sebelum menceburkan diri ke dalam institusi pemerintahan.
Namun, demosi setidaknya tidak lebih buruk daripada pemutusan hubungan kerja sebagaimana
kerap dialami kalangan pekerja swasta. “Atasan langsung” pada berbagai instansi
pemerintahan, dapat silih-berganti dengan cepatnya, sehingga seorang Pegawai
Negeri Sipil bisa terbebas dari sinisme “atasan langsung”-nya pada suatu saat. Berbeda
dengan kondisi di perusahaan swasta, “perang urat syaraf” dalam berlangsung permanen
hingga sang pegawai benar-benar mengundurkan diri.
Bukanlah “alasan pembenar” juga
bukanlah “alasan pemaaf”, alibi “disuruh”, “tidak kuasa menolak perintah atasan”,
dsb. Terdapat anggota masyarakat, yang berpendapat bahwa tetap harus dihukum, seringan-ringannya
ialah 15 tahun penjara sekalipun itu seorang “justice collaborator”. Mengapa dan atas dasar pertimbangan ataupun
fakta hukum apakah? Karena ia bersikap seolah-olah tidak punya opsi lain untuk
dipilih, dan sekalipun mereka tidak sampai dihadapkan kepada pilihan sukar “pilih
mati atau pilih membunuh”(?). Setidaknya mereka mampu memiliki keberanian untuk
memilih opsi “resign”, daripada
merampas hidup warga lainnya, sesama manusia dan sesama anak bangsa.
Nasionalistik maupun nurani digadaikan, demi mengejar tujuan yang bersifat
kolutif dan nepotis. Jiwa nasionalistik artinya, tidak merugikan, tidak
menyakiti, juga tidak melukai sesama anak bangsa—yang telah ternyata jiwa nasionalistik
mana sangat minim pada budaya internal POLRI.
Akan tetapi, penulis dalam
kesempatan ini mencoba menawarkan satu perspektif dari sudut pandang sedikit
berbeda. Ketika seorang psikopat yang diberi kekuasaan sebesar sang Kepala
Divisi Propam POLRI, Ferdy Sambo, telah berminat untuk membunuh seseorang, maka
calon target korbannya dapat dipastikan akan tewas, cepat atau lambat hanya perihal
waktu, bila tidak dengan tangan anggota kepolisian yang satu, maka dengan
memakai tangan anggota kepolisian yang lainnya—yang mana artinya ialah target
korban tetap akan jatuh menjadi korban jiwa. Seorang psikopat yang diberi
kekuasaan menyandang senjata api, tidak akan berhenti sampai target mangsanya
dijatuhkan, dilumpuhkan, dan ditewaskan. Itu sudah tidak diragukan lagi,
sehingga menjadi postulat paling utama dalam kasus di atas.
Yang membedakan para anggota
kepolisian dari anggota kepolisian lainnya yang kemudian dengan gagah berani dan
berjiwa ksatria memilih menjadi “justice
collaborator” sekalipun dibawah ancaman penguasa superpower seorang Sambo, juga terhadap para perwira POLRI lainnya
yang terlibat dalam lingkaran kekuasaan dan mis-kewenangan monopolistik
(penyalah-gunaan kekuasaan) ialah, sang anggota kepolisian tersebut kemudian
menyadari kekeliruannya, dan melakukan tindakan korektif secara sesegera
mungkin, dengan menjadi “justice
collaborator” yang secara kooperatif mengungkap modus kejahatan pembunuhan
berencana sang Kepala Divisi (Kadiv) Propam POLRI—sementara itu anggota
kepolisian maupun para perwira yang terlibat dalam lingkaran permainan jahat
sang Kadiv Propram, justru terlibat semakin dalam dengan membuat press release yang berisi “prank”, menutup-nutupi, merintangi
penyidikan, hingga merekayasa olah TKP (tempat kejadian perkara), seolah-olah
satu buah kejahatan berupa pembunuhan berencana demikian belum cukup sehingga
kemudian melakukan kesalahan-kesalahan baru lainnya secara berantai.
Ketidak-jujuran hampir selalu
ditindak-lanjuti dengan ketidak-jujuran baru lainnya, menjelma serangkaian
ketidak-jujuran, saling sandera dan saling mengunci, itulah ketika preman
berwatak kriminal yang “predatoris”, “premanis”, “barbariknis”, disamping
“hewanis”, justru diberikan seragam aparatur penegak hukum bahkan diberi
kewenangan menyandang senjata api, disamping monopolistik akses peradilan
pidana sehingga daya tawar rakyat sipil kian tertekan hingga titik nadir.
Tetap saja, pertanyaan atau
misteri terbesar yang tidak pernah disentuh atau terungkap oleh para pengamat ialah,
mengapa dan bagaimana bisa, seorang psikopat justru diangkat dan menduduki
jabatan strategis di POLRI sebagai Kadiv Propam, seolah-olah tiada anggota
kepolisian lainnya yang lebih layak dan patut ataukah memang seluruh anggota
kepolisian dibawah naungan POLRI tidaklah lebih baik “standar moral”-nya
daripada sang psikopat? JIka tiada keberanian sang “pahlawan” yang menjelmakan
dirinya sebagai “justice collaborator”
sekalipun dipandang mengkhianati “Sambo
Empire”, maka besar kemungkinan sang “psiko” bernama Ferdy Sambo akan dipromosikan
sebagai Kepala POLRI RI (Kapolri) atau setidaknya tetap menjabat sebagai Kadiv
Propam hingga ia pensiun belasan tahun kemudian. Sanggupkah kita bayangkan itu
terjadi, POLRI dibawah kendali seorang psikopat demikian? Itulah tragedi kemanusiaan
yang tidak perlu terjadi, ketika manusia bermental preman, bahkan mengidap penyimpangan
mental semacam sifat psikopat, diberi kekuasaan menyandang senjata api.
Memang sudah selayaknya dan
sudah tiba saatnya, institusi POLRI ditampar keras pada wajahnya, mengingat
sudah sejak puluhan tahun lampau institusi monopolistik hukum pidana tersebut “mengangkangi”
martabar banyak rakyat sipil. Mungkin kita perlu berterimakasih pada Ferdy Sambo,
dimana tanpa kegilaan beliau, borok dan cela busuk institusi POLRI tidak akan
terungkap ataupun terungkap ke permukaan publik. Sungguh, Ferdy Sambo perlu
diberikan monumen atau museum sebagai tugu peringatan, dan sang “justice collaborator” perlu diberi gelar
tanda jasa kehormatan tersendiri sekalipun tidak lagi sebagai anggota kepolisian—dan
itulah yang menjadi pertimbangan, mengapa sanak keluarga korban telah memaafkan
sang pembunuh anaknya yang kini menjelma “justice
collaborator”, namun tidak kepada sang psiko bernama Ferdy Sambo.
Para pembaca tentu masih ingat,
persis ketika momen sebelum kasus Ferdy Sambo terungkap ke publik, citra POLRI
berada pada posisi paling puncak mengalahkan pamor institusi pemerintahan
lainnya ditengah-tengah citra Komisi Pemberantasan Korupsi yang sedang terpuruk,
yang artinya borok dan kebusukan institusi POLRI memang telah ditutup rapat-rapat
selama ini oleh kalangan internal POLRI itu sendiri, atau masyarakat kita yang
memang mudah untuk dibodohi, dibohongi, selain dikenal sebagai “bangsa pelupa”.
Namun, siapa kini yang dapat melupakan kesan mendalam dibalik kasus fenomenal
yang dramatis, “Sambo’s case”.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.