Conflict of Interest PENGACARA Vs. KLIEN, Bersifat Abadi, Jarang Disadari Masyarakat Awam Hukum

Menggugat dan Gugatan bisa menjadi Solusi namun juga dapat Menjelma Petaka bila Tidak Dilandasi Rasio yang Sehat

Salah Alamat bila Hendak Mencari dan Mendapatkan Pandangan Hukum yang Netral dan Objektif dari Kalangan Profesi Pengacara

Kenali serta Pahami “Nature” Profesi Konsultan Hukum Vs. Pengacara, agar Masyarakat Tahu Harus kemana dan Mencari Siapa

Question: Sebagai klien pengguna jasa hukum, mengapa ya rasanya ada semacam “conflict of interest” antara saya selaku klien dan pihak pengacara saya selaku kuasa hukum? Satu-satunya kepentingan saya ialah, tidak mau mengajukan gugatan yang tidak layak alias tidak “worthed” atau bahkan bisa menjadi bumerang bagi kepentingan saya sendiri dikemudian hari. Saya butuh pendapat hukum yang betul, benar, serta jujur sesuai hukum yang ada dan berlaku.

Namun, secara implisit saya menyadari dan mendapati adanya ketidak-jujuran pengacara saya ketika memberikan pandangan hukum berupa dorongan maupun desakan agar saya mengajukan gugatan sesegera dan secepat mungkin. Bahkan, yang tidak saya pahami, mereka berupaya menakut-nakuti saya bila tidak segera menggugat maka akan terjadi ini dan itu yang menurut saya pribadi hanya mengada-ngada sang pengacara bersangkutan. Mereka tidak memberi edukasi hukum secara layak dan memadai, yang ada hanya menakut-nakuti dan mengiming-imingi. Yang ingin saya tanyakan, apakah ini hanya perasaan dan sentimentil saya pribadi sendiri saja, ataukah memang ada yang kejanggalan dari pengalaman saya tersebut ketika berurusan dengan kalangan pengacara di Indonesia?

Brief Answer: Masyarakat yang cerdas, sebisa mungkin hindari mencari layanan jasa sesi konseling seputar hukum kepada kalangan profesi pengacara (advokat ataupun lawyer), juga hindari meminta opini hukum kepada kalangan “pengacara plus konsultan hukum”, oleh sebab jelas terdapat “benturan kepentingan” antara profesi pengacara dan pihak masyarakat yang menghadap ke kantor pengacara. Dalam banyak kejadian dan beragam kasus, tidak sedikit kalangan masyarakat yang hendak menggugat secara menggebu-gebu, namun tanpa pertimbangan kalkukatif yang rasional, semata terbawa dan termakan emosi hendak menggugat tanpa mampu menimbang “untung dan ruginya”, disamping minimnya objektivitas dalam menilai sengketa atau permasalahan hukum yang dirinya hadapi.

Alhasil, peristiwa semacam kejadian di atas menyerupai menyiramkan bensin ke dalam bara api yang menyala, ketika masyarakat yang bersangkutan mendatangi kantor pengacara dalam kondisi emosi yang meluap hendak menggugat, tersulut hebat niatnya yang sejak semula hendak untuk menggugat menjelma gugatan yang bermotifkan:

Yang penting gugat dahulu, itu misi utamanya. Ilmu hukum bukanlah ilmu tentang prediksi, namun spekulasi ‘siapa tahu menang’. Kalah gugatan, itu urusan nanti. Toh, sudah dapat ‘lawyering fee’ yang tidak pernah sedikit nilai nominalnya, sementara itu tidak ada ruginya bagi pengacara sekalipun gugatan kalah ataupun ditolak hakim, meskipun juga tidak dapat ‘success fee’.

Idealnya, masyarakat terlebih dahulu berkonsultasi hukum kepada kalangan pengedia kasa konsultasi seputar hukum yang fokus pada layanan jasa “preventif alih-alih kuratif”, atau bila memang sudah “kepalang-tanggung” bersengketa hukum maka perlu mencari opini hukum yang netral dan objektif, Konsultan Hukum mana tidak merangkap sebagai pengacara, sehingga murni atau “pure” sebagai Konsultan Hukum yang profesional, sehingga masyarakat pengguna jasa dapat mengharapkan mendapatkan hasil analisa perkara, opini hukum, maupun rekomendasi yang sifatnya objektif dan sehat bagi kepentingan Klien pengguna jasa.

Perlu juga mulai dipahami dan disadari oleh masyarakat luas pada umumnya, kalangan pengacara menerapkan standar “mau menang sendiri”—dalam artian, sekalipun mereka kalah dan gagal total dalam mewakili pihak Klien dalam gugat-menggugat, tetap saja mereka menerima “lawyering fee”, sehingga tidak penting bagi kalangan pengacara bahwasannya gugatan yang diajukan atas nama sang Klien adalah layak atau tidaknya diajukan, yang tidak jarang bahkan kontradiktif oleh sebab digugat-balik oleh pihak tergugat selaku lawan (rekonpensi).

PEMBAHASAN:

Sebagai tambahan, tiada mekanisme kontrol terhadap kalangan profesi pengacara, mengingat “hukum tidak tetulis” yang berlaku pada kalangan pengacara tidaklah sebentuk budaya meritokrasi yang egaliter ala “reward and punishment”, namun semata “lawyering fee dan reward berupa success fee”. Akibatnya, tiada motivasi bagi kalangan pengacara, bahkan tiada ketakutan apapun bahwa mereka selaku kuasa hukum akan menghadirkan petaka bagi Klien mereka berupa kekalahan secara telak di “meja hijau”, dimana konsekuensinya ialah kerugian materiil maupun kerugian moril bagi sang Klien yang harus ditanggung oleh sang Klien itu seorang diri.

Sebagaimana pengalaman penulis selaku Konsultan Hukum, Klien pengguna jasa sesi konseling seputar hukum tidak jarang mengeluhkan sikap pengacara mereka, yang menggugat secara “membabi-buta”, secara serampangan dimana konsep dan rumusan gugatan tidak disusun dengan rencana yang betul-betul matang, terkesan “ala kadarnya” tanpa riset yang memadai dan mendalam, spekulatif, bahkan mengajukan berondongan gugatan demi gugatan dalam banyak register perkara namun tiada satupun yang tepat pada sasaran sehingga menjadi kontradiktif terhadap kepentingan sang Klien penggugat jasa—mengajukan gugatan dengan pendekatan dan gaya yang sama, namun mengharapkan hasil yang berbeda, adalah “INSANE”. Ibarat “machine gun”, banyak menyemburkan dan memuntahkan peluru “timah panas”, namun dengan akurasi yang buruk sehingga sekalipun ribuan peluru ditembakkan akan tetapi tiada satupun yang mengena pada sasaran yang ditargetkan. Bandingkan dengan pendekatan “ilmu hukum adalah ilmu tentang prediksi, bukan ilmu tentang spekulasi”, ibarat “sniper” sang penembak jitu, satu peluru sudah cukup untuk memastikan lawannya lumpuh dan tumbang.

Kalangan pengacara pun kerap mengecoh Klien mereka secara tidak etis (bukan lagi sekadar “kurang etis”), seolah-olah mereka akan “bertanggung-jawab” bila gugatan yang mereka ajukan atas nama Klien mereka ternyata tidak berbuah manis sebagaimana diharapkan. Pertanyaan yang semestinya diajukan oleh sang Klien ialah, “tanggung-jawab” semacam apakah yang diiming-imingi dan dimaksudkan oleh sang pengacara? Apakah ada, di dalam kontrak jasa litigasi antara sang pengacara dan sang Klien, bahwa bila sang pengacara selaku kuasa hukum mengalami kegagalan dalam gugat-menggugat, maka sang pengacara harus membayar sejumlah “pinalty fee” kepada sang Klien? Bila tiada janji demikian secara “hitam diatas putih” lengkap dengan besaran nominalnya, maka itulah yang namanya umbar “omong kosong” alias “gimmick” belaka yang menyerupai perangkap untuk memanipulasi masyarakat agar niatnya menggugat menjelma irasional—gugatan yang irasional selalu berbuah kontraproduktif bagi kepentingan sang penggugat itu sendiri. Inilah yang akan terjadi, ketika Klien kalangan pengacara dikecewakan oleh pengacara mereka yang kinerjanya buruk, lengkap dengan “tanggung-jawab” omong-kosong-nya:

Mohon maaf, Kode Etik Advokat di Indonesia melarang kami selaku pengacara, untuk menjanjikan kemenangan pada Klien. Kami hanya sebatas menyupayakan dan mengusahakan, tidak menjanjikan.”—sekalipun, sejak semula memberi kesan implisit seolah-olah mereka akan “bertangung-jawab” terhadap Klien para pengacara tersebut. Namun, masyarakat yang cerdas menghindari sikap “naif”, dengan cara sejak semula memang sudah perlu menaruh curiga / waspada terhadap kalangan pengacara, bahwasannya profesi pengacara sudah dikenal luas serta sudah menjadi “rahasia umum” sebagai profesi yang kerap “bersilat lidah”.

Sebaliknya, profesi Konsultan Hukum berbeda “nature” dengan profesi pengacara, mengingat kalangan Konsultan Hukum hanya menerima tarif jasa dari setiap jam sesi konsultasi bersama sang Klien. Bila dalam satu atau dua jam sesi konsultasi, telah ternyata didapatkan kesimpulan serta analisa hukum yang mengarah kepada rekomendasi untuk tidak menggugat (mengurungkan niat sang Klien untuk menggugat), dengan memberikan perspektif secara lebih transparan agar sang Klien turut dapat melihat dan menimbang secara lebih objektif, konsekuensi dibalik niat menggugat meski kasus posisinya kurang memadai untuk itu, bahkan bisa berpotensi kontraproduktif terhadap kepentingan dan kebaikan sang Klien itu sendiri, maka untuk apakah niat menggebu-gebu yang irasional tersebut tetap berlanjut pada proses gugat-menggugat bila sejak semula mampu diprediksi “lebih banyak potensi mudarat ketimbang faedahnya”?

Sang Klien, cukup mengeluarkan biaya sejumlah hitungan jam pada sesi konsultasi seputar hukum yang dilangsungkan bersama sang Konsultan Hukum, maka dapat mengkalkulasi serta memprediksi “output” atau hasil dari niat hendak menggugat demikian, sebelum kemudian membuat pertimbangan secara matang penuh kalkulasi apakah hendak tetap menggugat atau mengurungkan niatnya, atau bahkan terdapat langkah / opsi hukum lain sebagai alternatifnya sebagai mitigasi, tanpa perlu menempuh gugat-menggugat ke pengadilan, yang bisa menjadi solusi secara lebih efisien dan lebih efektif. Bila bisa diselesaikan secara lebih efisien, mengapa harus diperkeruh lewat aksi gugat-menggugat yang selalu berupa “ekonomi berbiaya tinggi”?

Jika bisa preventif, mengapa harus kuratif? Bila ada opsi lain yang lebih efektif serta lebih efisien, mengapa harus bersikukuh ber-litigasi gugat-menggugat? Kuratif, tidak pernah lebih efisien maupun lebih efektif daripada preventif. Bandingkan dengan profesi “kuratif” semacam pengacara, tarif jasa satu atau dua jam tidaklah memiliki arti bagi mereka, oleh sebab tidak sebanding dengan besaran nominal “lawyering fee” yang tidak pernah satu digil jutaan rupiah angka nilai nominalnya, karena itulah secara politis dan secara sosiologis, selalu terdapat gap pemisah yang tegas meski tidak kasat mata, antara kepentingan pihak kalangan profesi pengacara dan kepentingan masyarakat selaku Klien pengguna jasa hukum.

Berhukum serta menggugat-lah secara cerdas dilandasi rasio yang sehat, bukan secara serampangan (emosional), dimulai dengan selektif terhadap perasaan yang bersangkutan, apakah layak atau tidaknya gugatan diajukan, fakta-fakta hukum yang relevan seputar perkara, serta prediksi hasil dari niat hendak gugat-menggugat, dalam rangka jangan sampai “merugi dua kali” (kerugian akibat sengketa hukum serta kehilangan uang untuk menyewa pengacara tanpa hasil yang jelas). Sengketa hukum selalu merugikan, namun yang terlebih penting ialah “jangan sampai merugi lebih banyak lagi, akibat gugatan yang irasional”.

Karenanya pula, tiada yang lebih mengecoh dan menjerumuskan, daripada Kantor Hukum yang memasang merek “Pengacara dan Konsultan Hukum”—pengacara mengejar “lawyering fee”, bukan tarif konsultasi hukum yang hanya senilai satu atau dua jam yang tidak seberapa nilainya. Masyarakat pun terkecoh, seolah-olah hasil sesi konsultasi bersama sang pengacara adalah opini yang paling ideal serta paling tepat-guna untuk ditempuh oleh mereka yang menghadap Kantor Hukum dimaksud. Tidak sedikit kalangan masyarakat umum yang dikecewakan karena merasa telah terjebak atau terjerumuskan oleh pengacara mereka, namun fenomena yang penulis amati ialah seolah-olah masyarakat kita tidak mau belajar dari pengalaman buruk mereka, sekalipun mereka menyadari betul bahwa yang paling mereka butuhkan sebagai “Pertolongan Pertama pada Masalah Hukum” ialah masukan serta analisa hukum yang objektif serta transparan, bukan opini hukum yang sarat “benturan kepentingan”.

Karenanya, profesi pengacara bukanlah dan tidak cocok bagi seorang Sarjana Hukum yang masih memegang teguh prinsip idealisme, bahkan para pengacara para kantor bantuan hukum pun tidak se-idealis yang banyak diasumsikan publik—akal saja sudah mampu memberi peringatan “there is no free lunch”, mengingat tiada profesi yang mencari nafkah berupa “batu”. Kesemua itu hanyalah “kedok”, dimana tersembunyi “moral hazard” dibalik iklan semacam “konsultasi hukum grat!s”. Masyarakat yang hendak “untung” (delusi diri) diberi jasa hukum secara cuma-cuma tanpa bayaran atau imbalan jasa apapun, seolah-olah seseorang bekerja dan mendalami ilmu hukum untuk diberi makan “batu”, maka ia sendiri yang kelak akan celaka akibat keserakahannya tersebut. Kalaupun memang ada profesi hukum yang se-“dungu” itu, adalah lebih “dungu” masyarakat yang membiarkan masalah hukumnya ditangani oleh orang “dungu”.

Tidak sedikit kalangan pengacara, setelah penulis singgung “benturan kepentingan” antara profesi mereka dan kepentingan Klien, kepentingan mana saling berhadap-hadapan dan bertolak-belakang satu sama lainnya, yang bersangkutan tidak menampik tudingan penulis, sebelum kemudian secara pribadi mengaku kepada penulis bahwa mereka sejatinya hendak “banting setir” karena menemui adanya “konflik batin” saat bekerja sebagai pengacara di sebuah Kantor Pengacara. Opini hukum yang netral dan objektif, hanya dapat dicari dan diberikan oleh kalangan profesi Konsultan Hukum “murni”, bukan pengacara yang menyaru sebagai Konsultan Hukum.

Dewasa ini masyarakat dibanjiri iklan bombastis berupa iming-iming “konsultasi hukum cuma-cuma” yang ironisnya dilakoni oleh kalangan pengacara. Sehingga, jebakan atau perangkap demikian memang hanya menyasar masyarakat yang bermental serakah atau “mendadak miskin”—meski tiada orang miskin ala gelandangan yang memiliki sengketa hukum berupa tanah, kredit, sengketa upah, dsb—dan merasa mendapatkan “keuntungan” dengan mendapat layanan hukum tanpa perlu dibebani biaya dan tanpa pula harus memberi imbalan jasa SEPESERPUN, seolah-olah profesi hukum tersebut dengan senang hati diberi makan “batu” setelah memberi pelayanan (cara berpikir irasional pihak masyarakat yang masuk dalam jebakan), yang alhasil akan disesatkan, sebagai akibat dari “gelap mata” pihak masyarakat itu sendiri.

Tiada kalangan orangtua, yang berakal sehat menyekolahkan anaknya dengan susah-payah serta investasi biaya yang tidak sedikit, dengan tujuan agar buah hatinya tersebut menjadi “budak” keserakahan warga lainnya. Tidak menghargai dan tidak menghormati profesi hukum, sama artinya melecehkan sang profesi serta orangtua yang telah membiayai sang profesional—disamping melecehkan masalah hukumnya sendiri dengan membiarkan ditangani oleh tangan-tangan yang “mau grat!s, minta selamat?!

Bukankah merupakan pengharapan yang berbelihan, bilamana masyarakat kita “mau murah, mengharap selamat”, terlebih-lebih “minta dilayani grat!s tanpa perlu membayar imbalan jasa SEPERAK PUN, namun mengharap selamat sampai tujuan”? Berbisnis serta menuntut imbalan / nafkah, merupakan Hak Asasi Manusia (HAM) yang bahkan dicantum secara eksplisit didalam UUD RI 1945 yang menjadi Konstitusi NKRI—yang artinya, pihak-pihak yang melarang suatu profesi untuk menuntut tarif jasa, sama artinya pelaku pelanggar HAM itu sendiri, alias “perbudakan” ala kolonial dan “kerja rodi” (mentalitas penjajah bangsa jajahan).

Itulah ketika, menyesal pun datang terlambat karena telah masuk dalam perangkap sang pengacara yang memasang jaring-jaring perangkapnya, dengan target mangsa empuknya ialah keserakahan dan sifat irasional masyarakat itu sendiri—ingin “untung”, namun justru menemukan diri mereka kemudian menjadi “buntung”. Dari pengalaman pribadi penulis menghadapi mental-mental “pengemis” ataupun corak semacam “mendadak miskin” yang menyalah-gunakan informasi nomor kontak kerja penulis, meski memiliki sengketa hukum dengan objek uang atau tanah senilai ratusan juta hingga miliaran rupiah, meminta dilayani tanya-jawab seputar hukum namun tidak bersedia membayar tarif konsultasi hukum SEPERAKPUN, tarif mana nilainya tidak seberapa untuk satu jamnya, adalah murni akibat faktor keserakahan masyarakat itu sendiri—ketika masyarakat bermental “miskin” demikian kemudian terjebak dan terjerembab, mereka sejatinya terperangkap dalam keserakahan mereka sendiri, dimana penyesalan mereka dikemudian hari tidak layak untuk mendapat simpati kalangan profesi yang profesional manapun.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.