Mengenal Lebih Dekat Spesialisasi Profesi Hukum yang Memadukan Hukum Normatif yang Abstrak dan Realisme yang Konkret, LegalRealis
Surealis “Law in Abstracto” Vs. LegalRealis “Law in
Concreto”
Dalam kesempatan ini penulis selaku penggagas atau pencetus, mencoba memperkenalkan spesialisasi profesi hukum yang saat kini masih langka di Indonesia, ditengah-tengah lautan Sarjana Hukum yang membanjiri dunia praktik hukum. Spesialiasi tersebut penulis sebut sebagai LegalRealis, untuk mencerminkan pembekalan diri seorang Sarjana Hukum dengan ilmu-ilmu empirik diluar ilmu hukum, ilmu hukum mana kita ketahui sangat normatif, abstrak, tidak empirik sifatnya. Ulasan berikut akan sangat bertolak-belakang dengan ajaran-ajaran doktrinal pada bangku pendidikan tinggi hukum di Indonesia, sehingga perlu para pembaca terlebih dahulu pahami latar-belakangnya, sebelum kemudian membuat penlaian secara pribadi.
Untuk dapat disebut sebagai
seorang LegalRealis, seorang Sarjana Hukum bukan hanya harus siap pakai dalam
dunia praktik hukum, namun juga mendalami disiplin ilmu sosiologi,
anthropologi, kriminologi, psikologi, dan filsafat—dua disiplin ilmu yang
disebut terakhir, menjadi ilmu pengetahuan penopang yang menghasilkan kombinasi
unik bagi seorang Sarjana Hukum yang menguasainya, sekaligus menjadi pembeda
dengan profesi SosioLegal yang mempelajari disiplin ilmu diluar hukum, semisal
ilmu ekonomi, ilmu statistik, dsb, namun tidak memberi penekanan pada aspek
disiplin ilmu psikologi dan filsafat.
Bila para pembaca hendak
mengetahui corak keterampilan, gaya bernalar, ataupun hasil output kerja seorang LegalRealis, maka ribuan
karya tulis penulis dalam website profesi hukum yang penulis ini menjadi salah
satu cerminannya, yang membedakan dengan website-website hukum lainnya yang
terlampau atau semata normatif sifatnya sehingga terkesan “kering” dan “kaku”
di benak para pembacanya—tiada “human
touch”. Dinamis serta membumi, itulah ciri khas paradigma berpikir seorang
LegalRealis, tidak linear ataupun terlampau abstrak sehingga sukar untuk
diterapkan secara praktis maupun dalam konkretisasinya.
Ilmu hukum terapan, bukan lagi
sekadar pengetahuan, namun keterampilan berhukum, dimana itulah titik-tekan
profesi SosioRealis—pada suatu waktu dapat bersikap teoretis namun senantiasa dikemas,
diramu, dipadukan, dan diolah agar dapat aplikatif secara praktis, bahkan mudah
dipahami oleh kalangan awam dibidang hukum sama sekali. Cornell Law School
mengartikan “Legal Realism” sebagai : “A theory that all law derives from prevailing social interests and
public policy. According to this theory, judges consider not only abstract
rules, but also social interests and public policy when deciding a case.”
Namun pertanyaan terbesarnya ialah, bagaimana caranya untuk bisa sampai ke
tujuan sebagaimana disebutkan pada pendefinisian tersebut?
Karenanya, penulis terpaksa membedakan
antara “LegalRealis” dan “Legal Realisme”, dimana “LegalRealis” dimaksudkan
untuk mempersiapkan tenaga terampil yang “siap pakai” dan juga siap untuk
menuju tujuan yang hendak dicapai oleh aliran “Legal Realisme”. Realisme
merupakan sebuah paham-berpikir yang menyampaikan sebuah gagasan secara “apa
adanya” (as it is) menyesuaikan diri
ataupun mengakomodir kehidupan nyata sehari-hari sosial kemasyarakatan di
lapangan. Adapun ciri-ciri paradigma realisme ialah : mengangkat peristiwa
keseharian yang dialami kebanyakan orang, menggambarkan masyarakat dengan
situasi yang nyata yang bisa jadi khas-kasuistik sesuai konteks lingkungannya,
menyertakan / memperhitungkan masyarakat dari semua tingkat ekonomi /
pendidikan.
Norma hukum bersifat
menyamaratakan, adapun latar-belakang subjek hukum yang diatur olehnya bisa
jadi sangat beragam dan majemuk, dimana seorang LegalRealis memberi pengakuan terhadap
kesenjangan atau disparitas demikian. Sekadar catatan, realisme tidak sama
dengan naturalisme—segala hal yang tercipta dari alam, meski kesamaannya ialah melihat
dengan perspektif secara jujur atau apa adanya. Realisme ialah suatu gaya
berpikir yang senantiasa berpijak dari kenyataan, mengaitkan segala-sesuatunya
sebagaimana kenyataan yang real / konkret, berangkat dari pengalaman maupun
observasi yang empirik.
Bagi seorang Sarjana Hukum yang
dipersiapkan hanya sekadar melahap norma hukum peraturan
perundang-undangan—menjadi sekadar “robot hukum” yang menghafal memori isi
pasal undang-undang—maka model Sarjana Hukum demikian diistilahkan sebagai
golongan surealis, yang berangkat dari konsep dan norma-norma abstrak dengan
maksud untuk mendikte dan mengatur hal-hal yang konkret di masyarakat, terutama
lewat maskot slogan khas kalangan Sarjana Hukum, “law as a tool of social engineering”. Mereka, para surealis, tidak
pernah mengakui bahwa “law is a product
of social phenomenon”. Adapun kaum LegalRealis, sebagai katalis antar
keduanya, mencoba berdiri tepat ditengah-tengahnya, secara moderat menjembatani
kedua paradigma yang saling bertolak-belakang demikian.
Perihal surealisme, suatu
istilah yang merujuk aliran yang menggambarkan kontradiksi antara konsep abstrak
seperti norma-norma hukum terhadap kenyataan dengan simbol-simbol semiotika
lewat medium bahasa lisan maupun tertulis yang mencoba mengatur warga berupa
norma perintah, larangan, maupun kebolehan dalam bentuk pasal-pasal peraturan
perundang-undangan. Disebutkan, tujuan dari aliran surealisme adalah untuk
menyatukan dunia abstrak dengan kenyataan, lebih tepatnya ialah obsesi untuk
menaklukkan dunia real (fenomena masyarakat) lewat peraturan peraturan
perundang-undangan—khas kaum “Legalis” (legalisme).
Singkatnya, surealisme tidak
berangkat dari realita, namun “dari abstrak untuk realita”, bukan sebaliknya.
Adapun LegalRealis percaya, antara konsepsi abstrak dan realita, keduanya
saling berkomunikasi satu sama lainnya, sehingga membentuk suatu interaksi yang
tidak berdiri sendiri, sehingga konsep abstrak seperti norma hukum memberikan “feedback” bagi dan dari realita, juga
sebaliknya realita / kenyataan konkret di lapangan memberikan “feedback” kepada dan dari norma hukum abstrak
yang mencoba mengaturnya. “Feedback”
mana menyerupai dialog dua arah, secara simultan dan berkesinambungan. Keduanya
saling mengisi dan melengkapi, bukan saling menegasikan satu sama lainnya, dan
itulah tantangan atau tugas utama seorang LegalRealis.
Kaum surealis, karenanya, hanya
berjibaku pada “law in abstracto”
yang menjemukan—fakta sebagaimana pengalaman pribadi penulis, “fresh graduate” Sarjana Hukum di
Indonesia, sekalipun itu dari fakultas hukum pada universitas swasta ternama di
ibukota negara, lulus dengan bekal tidak lebih atau bahkan kurang dari
pengalaman membaca lima buah putusan pengadilan, alias semata dijejali serta
melahap buku-buku teori disamping undang-undang selama bertahun-tahun proses
perkuliahan. Alhasil, tiada “fresh
graduate” Sarjana Hukum di republik ini yang betul-betul siap pakai dalam
dunia kerja. Mereka akan cenderung “terpaku di tempat”, dan “error” ketika mendapati “law in the book” berbeda dengan “law in the society”.
Adapun mengenai “law in concreto”, yakni penerapan
hukum dalam kondisi konkretnya, terutama di ruang peradilan—sebagaimana anekdot
“hukum yang konkret ialah apa yang diucapkan hakim di pengadilan”—menjadi ranah
observasi kalangan LegalRealis. Kontras dengan itu, kalangan Legalis atau
Surealis, menyatakan bahwa “hakim adalah (hanyalah) corong / terompet
undang-undang” alias mulut hakim hanya sebatas dan sekadar untuk mengucapkan
isu bunyi pasal peraturan perundang-undangan. [Note : “In the concrete” memiliki makna “with reference to actual, verifiable facts, rather than theoretically”.]
Bila objek studi kaum LegalRealis
ialah berbagai preseden atau yurisprudensi (judge
made law) disamping norma hukum peraturan perundang-undangan, maka kaum
Legalis hanya sekadar mempelajari dan mendalami peraturan perundang-undangan
semata dan belaka—otak para pembelajar hukum kita tidak mengherankan bila
menjadi mengecil, alih-alih berkembang akibat rasa jemu yang amat sangat. Bila
kecenderungan kaum Legalis ialah menggeneralisir semua kejadian / perkara /
masalah hukum untuk (secara dipaksakan) dijejali ke dalam kotak-kotak tertentu
yang telah ada bernama pasal peraturan perundang-undangan yang ada, lewat
penafsiran, dsb, maka kalangan LegalRealis mencoba menelaah apakah konteks yang
ada pada kejadian hukum yang diobservasi ialah sesuai atau tidaknya dengan
konteks maupun asumsi yang melatar-belakangi pasal-pasal suatu peraturan
perundang-undangan atau justru tiada relevansinya.
Ketika peraturan
perundang-undangan tidak mengatur suatu kejadian yang spesifik dan unik, maka
kaum Legalis akan “blank” atau bahkan
“black out”, sebelum kemudian semata
menyalahkan legislator karena absen dan lalai mengaturnya dalam peraturan
perundang-undangan tertulis, dan secara terburu-buru membuat kesimpulan “ada
celah / lubang hukum”—tanpa pernah mau melacak ataupun meriset apakah telah
pernah ada preseden alias norma hukum bentukan praktik peradilan (best practice) yang sebelumnya telah
pernah mengatur kejadian hukum yang menjadi masalah hukum yang sedang ditelaah
untuk mencari jawabannya.
Salah satu contohnya ialah,
beberapa tahun lampau, seorang Klien dalam sesi konsultasi seputar hukum yang
penulis selenggarakan, menceritakan bahwa dirinya adalah seorang “kreditor perseorangan”,
yang diberi nasehat hukum oleh pengacaranya, bahwa tingkat “bunga” ada diatur
oleh negara sehingga tidak boleh terlampau tinggi melampaui suku bunga
perbankan, namun seolah-olah perihal besaran tingkat “denda” bebas diatur
setinggi-tingginya (menjerat leher debitornya) karena tidak dibatasi oleh hukum
negara sehingga (seolah) dibolehkan, sebagai alibi ataupun justifikasi, dan
menjadi “celah hukum” untuk mengikat dan memeras debitornya. Benarkah demikian?
Bagi kaum Legalistik, tampaknya itu jawaban yang cukup memuaskan dan tidak
salah secara normatif peraturan perundang-undangan.
Namun, yang tidak diketahui
oleh mereka ialah, sejatinya telah terdapat kaedah yang menjadi rambu-rambu
pembatasnya sebagaimana norma hukum bentukan yurisprudensi perihal “bunga
terselubung” (deem interest), yang
dapat kita jumpai dalam putusan Mahkamah Agung R.I. No. 2027 K/Pdt/1984,
tanggal 23 April 1986: [Sumber : Majalah
Hukum Varia Peradilan No. 18 Tahun II. Maret 1987, hlm. 5.]
Berdasar Akta Puchase
Agreement, Penggugat telah membeli dari Tergugat, suatu Debt
Instrument-promissory more dengan nilai nominal US dollar 225.000,- yang
ditarik dan ditandatangani oleh Tergugat dengan janji Tergugat akan dibebani bunga,
denda serta ongkos lainnya, berupa biaya notaris, biaya penagihan, bila terjadi
keterlambatan pada hari jatuh tempo.
Pengadilan Negeri di dalam
putusannya tidak dapat menerima gugatan Penggugat.
Pengadilan Tinggi membatalkan
putusan Pengadilan Negeri dengan mengabulkan sebagian gugatan Penggugat, yang
menghukum Tergugat membayar kembali kepada Penggugat – nominal promessory note
US dollar 225.000,- ditambah dengan bunga 6% per tahun.
Mahkamah Agung R.I. dalam
putusannya telah membenarkan pertimbangan judex facti dengan menolak keberatan
yang diajukan oleh Pemohon Kasasi, dengan pertimbangan yang pada intinya
sebagai berikut:
“Bahwa meskipun persoalan denda (penalty) serta
ongkos-ongkos lainnya telah diperjanjikan oleh para pihak, namun menurut
Mahkamah Agung, karena denda yang telah diperjanjikan tersebut jumlahnya
terlampau besar, sehingga pada hakekatnya merupakan suatu “BUNGA YANG
TERSELUBUNG” maka berdasar atas rasa keadilan, hal tersebut tidak dapat
dibenarkan oleh Mahkamah Agung. Karena itu tuntutan tentang pembayaran denda
tersebut harus ditolak.”
Dapat para pembaca lihat
sendiri, begitu mencolok serta kontras hasil opini hukum antara kaum Legalis
dan kalangan LegalRealis, bahkan saling bertolak-belakang antara pendapat hukum
keduanya. Sebagai penutup, bila ada diantara para pembaca yang bertanya-tanya kepada
penulis, apa prasyarat untuk dapat menjadi seorang LegalRealis? Sekadar untuk
gambaran, hingga saat ulasan ini disusun, setidaknya hampir 3.000 (tiga ribu)
buah putusan pengadilan telah pernah penulis baca dan telaah—bandingkan dengan
rata-rata Sarjana Hukum “fresh graduate”
lulusan fakultas hukum di Indonesia yang hanya pernah mengantungi pengalaman
membaca tidak lebih dari 5 (lima) buah berkas putusan pengadilan.
Para mahasiswa atau peserta
didik kita di bangku perguruan tinggi hukum, di dalam maupun di luar ruang
perkuliahan, tidak pernah dipersiapkan terlebih dimatangkan untuk memiliki
kompetensi menjadi seorang LegalRealis. Jika ada diantara Anda yang berpikir
bahwa adalah mudah menekuni atau menjadi seorang spesialis dibidang preseden,
maka sudah sejak dahulu kala Sarjana Hukum kita di Indonesia akan terampil
sebagai LegalRealis. Cara paling mudah untuk mengenali seorang Sarjana Hukum
adalah LegalRealis ataukah tidak, tanyakanlah “apa definisi ilmu hukum?” Jika jawabannya ialah, “Ilmu hukum adalah ilmu tentang prediksi.
Diluar itu, yang ada ialah Sarjana Hukum Spekulan yang spekulasi,” maka
itulah ciri khas seorang LegalRealis, mudah untuk mengenali gaya berpikir
hukumnya yang unik dan “precedent minded”.
Salah satu Hakim Agung di
Mahkamah Agung RI yang dapat penulis indikasikan sebagai seorang LegalRealis,
ialah Hakim Agung bernama Jaya Surya, yang dalam salah satu putusannya ada
menyebutkan, dengan kutipan sebagai berikut : “Akal sehat ialah SOP tertinggi”—yang kemudian oleh penulis,
diadabtasikan menjadi “akal sehat adalah hukum tertinggi”. Tiada aturan norma
pasal peraturan perundang-undangan yang menyebutkan seperti itu, bahkan dapat
disebut sebagai melawan arus “mainstream”
ilmu hukum, dan itulah yang tepatnya kita kenal sebagai “contra legem”, yang lagi-lagi hanya dikenali oleh kaum LegalRealis.
Sayangnya, Hakim Agung Jaya Surya kalah suara dengan suara dua Hakim Agung
lainnya, sehingga hanya dianotasikan sebagai “dissenting opinion” dalam putusan Mahkamah Agung RI tersebut.
Bagi mereka yang meremehkan /
menyepelekan peran penting disiplin ilmu diluar ilmu hukum, dengan semata
mengagung-agungkan logika ataupun rasio yang tidak dilandasi pengalaman
empirik—rasio atau logika yang belum matang dan belum sempurna betul akibat
minimnya pengalaman empirik—maka cobalah tantangan dari penulis berikut, dengan
menjawab secara spontan yang butuh reaksi cepat Anda untuk membuat keputusan.
Ketika Anda sedang memasak gorengan (menggoreng dengan minyak mendidih dan api
dari kompor gas), dan mendadak terjadi gempa bumi, maka apa yang akan menjadi
respons Anda? 1.) cepat-cepat mematikan kompor gas; atau 2.) menyelematkan diri
terlebih dahulu ke tempat yang lebih aman. Jawaban yang tepat ialah, jawaban
nomor ke-2, mengingat minyak goreng tidak dapat terbakar oleh api sekalipun
tertumpah. Jika kita terburu-buru mencoba mematikan kompor, sementara wajan
berisi minyak mendidih bisa jadi terjatuh tertumpah akibat gempa dan mengenai
tubuh kita, itu barulah berbahaya dan bahaya yang sesungguhnya.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.