Bahaya Dibalik Sikap “Egois terhadap Diri Sendiri”—dengan Senang Menanam Benih-Benih Karma Buruk tanpa Mau Menyadari Konsekuensi pada Dirinya Sendiri di Kehidupan Mendatang
Sang Buddha : “Pandangan
keliru artinya, tidak meyakini adanya Hukum Karma maupun Kelahiran Kembali.”
Question: Mengapa orang-orang jahat, justru cenderung
hidupnya lebih beruntung dan lebih makmur-sejahtera serta terpandang? Pernah
juga saya bertanya kepada guru agama saya di sekolah (sekolah dengan genre agama
samawi), “mengapa orang baik justru
seringkali umurnya pendek, mati muda?” Jawaban yang saya terima, “karena Tuhan sedang memberikan kesempatan
kepada orang jahat tersebut, berupa waktu lebih panjang (umur) untuk bertobat”,
tanggapan mana sangat tidak memuaskan dorongan intelektual yang terus saja menggelitik
otak saya, mengapa Tuhan tidak memberikan kesempatan yang sama kepada orang
baik untuk lebih banyak berbuat kebajikan dalam hidupnya?
Membiarkan orang jahat
berkeliaran, sama artinya Tuhan kian menjeruskan orang jahat tersebut ke dalam
neraka paling dalam sekaligus mengancam kehidupan orang-orang yang selama ini
menjadi korbannya. Mengapa Tuhan salah alamat dalam memberikan “reward” maupun “punishment”, orang baik justru dapat dis-insentif? Ia pikir ia bisa
mengukur dan menjengkal cara berpikir Tuhan dengan cara berpikirnya yang dangkal
dan kekanakan itu? Sayangnya tidak semua anak di sekolah saya punya sikap
kritis seperti saya, namun saya pun tidak berani mendebat, atau mungkin mereka
juga tidak berani mendebat, budaya kita (di Indonesia) tampaknya belum siap
untuk cara-cara dialog maupun ber-dialektika (pedagogi) seperti sekolah-sekolah
di luar negeri yang mana para gurunya terbuka serta menghargai keberanian
beropini murid-muridnya.
Brief Answer: Menanam bibit jagung, tidak sampai satu semester
telah dapat memetik / memanen buahnya. Menanam biji mangga ataupun buah rambutan,
butuh waktu satu dekade agar dapat memetik buah manisnya. Menanam benih pohon
jati, setidaknya butuh satu generasi untuk dapat memanen hasil kayunya. Sama halnya,
ketika seseorang menanam benih-benih Karma Buruk pada kehidupannya di saat
kini, terutama perbuatan-perbuatan jahat yang sangat besar dan luar biasa
jahatnya, besar kemungkinan baru akan berbuah dan matang buah Karma Buruknya
kepada si pembuat kejahatan itu sendiri bukan pada kehidupannya di masa
kehidupan masa kini, namun pada kehidupan-kehidupannya yang akan datang.
Menyadari hal tersebut, terutama perihal prinsip
kerja dibalik Hukum Karma, tidak dapat lagi kita bersikap egois maupun “masak
bodoh” terhadap masa depan diri kita sendiri, pada kehidupan kita di masa
mendatang terutama pada kelahiran-kelahiran kita di kehidupan yang selanjutnya.
Itulah juga salah satu kelemahan Hukum Karma, yakni tidak efisien dari segi
waktu berbuahnya, dimana kita selaku pihak eksternal maupun diri si pelaku
kejahatan itu sendiri bisa jadi memandang seolah tiada konsekuensi Karma dibalik
aksi-aksi kejahatannya, karena sang pelakunya masih bisa hidup berkecukupan,
mapan, serta termasyur bahkan memiliki banyak penggemar ataupun massa pengikut dan
pengaruh-kekuasaan.
Pertimbangkan pula satu fakta berikut : JIka
Hukum Karma memang layak dan patut dilekati, bukan sekadar sebagai sarana agar
kita punya modal yang memadai untuk bisa berjuang dengan selamat sampai ke “pantai
seberang” (pembebasan dari tumimbal lahir), maka mengapa Sang Buddha Siddhatta
Gotama justru melepaskan seluruh timbunan Karma Bajik (parami) yang telah pernah ditanam olehnya pada berbagai kehidupan-kehidupan
yang tidak terhitung lagi jumlah kelahiran-kelahiran pada kehidupan-kehidupan-Nya
sebelumnya?
Karena Sang Buddha telah mengenal dan mengetahui
bahwa Hukum Karma pun tidak patut dilekati untuk selamanya, karena mengandung
kelemahan dari segi waktu berbuahnya. Namun Karma Baik adalah sarana penting
bagi kita untuk dapat berjuang mencapai “pembebasan sempurna” pada kehidupan
kita yang akan datang atau pada kehidupan selanjutnya saat jumlah timbunannya
telah memadai, sehingga kita tetap butuh “modal” berupa Karma Baik sebagai “bahan
bakar”-nya.
Ketika kita telah tiba di “pantai seberang”,
lepaskan / tanggalkan “perahu” yang telah berhasil membawa kita ke “pantai
seberang”, tanpa perlu lagi direpotkan menggotong-gotong perahu itu kemana pun
kita pergi dan melangkahkan kaki. Seperti terbang tinggal-landasnya pesawat ulang-alik
luar angkasa, butuh tangki bahan bakar yang masif untuk bisa membawa pesawat
tersebut mengangkasa ke luar orbit Planet Bumi. Setibanya di angkasa, tangki
tersebut pun perlu dilepaskan dari tubuh pesawat. Gaya gravitasi, dalam hal ini
tumimbal lahir, bukanlah perkara mudah untuk dihadapi, butuh timbunan Karma
Baik yang luar biasa besar yang perlu kita cicil menanam dan menimbunnya dari
satu kehidupan ke kehidupan berikutnya—bahkan konon hingga ber-kalpa-kalpa.
Prinsip yang sama berlaku sebaliknya, ketika kita
menanam benih-benih Karma Baik, ada perbuatan baik yang kecil sifatnya kita
lakukan bisa jadi akan berbuah pada kehidupan kita dimasa kini juga, namun
kerapkali berbagai perbuatan bajik yang besar sifatnya kita lakukan maka yang
akan memanen buah manisnya ialah diri kita pada kehidupan-kehidupan kita
selanjutnya. Karenanya, mereka yang kerap terbiasa bersikap egois terhadap
dirinya sendiri, akan lebih cenderung tidak gemar menanam benih-benih Karma Baik,
memandangnya sebagai sia-sia dan tidak berfaedah semata karena bukan
kehidupannya pada masa kini yang akan memanen dan memetik buah manisnya.
Sehingga, kita perlu memilahnya dengan pikiran
yang jernih, mana yang merupakan “sebab”, dan mana yang merupakan “akibat”,
dimana juga Hukum Karma tidak dapat dipisahkan dari Kelahiran Kembali (rebirth / reborn) sebagai satu-kesatuan jalinan relasi yang terkait-erat berkelindan
satu sama lainnya. Pada kehidupan masa kini, menanam Karma Buruk yang besar
(sebab), maka buah-nya (akibat) bisa jadi dan besar kemungkinan baru akan matang
dan dipanen oleh dirinya sendiri pada kehidupannya di masa yang akan mendatang.
Apa yang pada kehidupan masa kini-nya tampak masih hidup secara berkelimpahan,
kemasyuran, kepopuleran, kesehatan, kesejahteraan, bisa jadi pula bukanlah buah
(akibat) perbuatannya pada kehidupan di masa kini, namun buah hasil perbuatan-perbuatan
bajiknya pada kehidupannya pada kehidupan masa lampau.
PEMBAHASAN:
Dalam banyak khotbah-Nya, Sang
Buddha kerap meng-encourage pada
siswa-siswi-Nya maupun para perumah-tangga untuk bersemangat dan rajin “berinvenstasi”,
yakni investasi benih-benih perbuatan bajik sebagai bekal bagi kehidupan mereka
di masa mendatang, sekalipun bisa jadi tidak akan dipetik dan dinikmati oleh mereka
di kehidupan masa kini. Keunggulan utama dari memahami cara kerja Hukum Karma
ialah, kita dapat menjadi seorang investor yang secara cerdas mampu merancang
kehidupan kita sendiri di masa mendatang, apakah akan ber-“nasib” hidup
bersinar dan berjaya atau justru sebaliknya terjerembab dalam selokan dan terjebak
dalam kubangan berlumpur.
Sebagaimana namanya, investasi
membutuhkan waktu untuk proses hingga matang dan ranum untuk dapat dinikmati
hasil manisnya. Dengan belajar Hukum Karma, diharapkan kita dapat menjadi
investor yang cerdas serta menjadi Manajer Investasi yang baik bagi diri kita
sendiri, salah satunya memelajari “hukum
sebab-akibat” sebagaimana dibabarkan
oleh Sang Buddha—guru bagi para dewa dan para manusia—dalam “Aṅguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha”, Judul Asli : “The
Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa
Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra
Anggara, dimana seorang ratu bernama Ratu Mallikā bertanya mengapa seseorang
bisa terlahir buruk rupa ataukah rupawan, maupun yang makmur dan yang miskin,
dengan kutipan sebagai berikut:
Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di
Sāvatthī, di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Kemudian Ratu Mallikā mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada
Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Beliau:
“Bhante, mengapakah beberapa perempuan di sini
berpenampilan buruk, cacat, dan tidak menyenangkan dilihat; miskin, papa, dan
melarat; dan tidak berpengaruh? Dan mengapakah beberapa di antaranya
berpenampilan buruk, cacat, dan tidak menyenangkan dilihat; tetapi kaya, dengan
banyak kekayaan dan harta; dan berpengaruh? Dan mengapakah beberapa perempuan
di sini berpenampilan baik, menarik, dan anggun, memiliki kecantikan luar
biasa; tetapi miskin, papa, dan melarat; dan tidak berpengaruh? Dan mengapakah
beberapa di antaranya berpenampilan baik, menarik, dan anggun, memiliki
kecantikan luar biasa; kaya, dengan banyak kekayaan dan harta; dan
berpengaruh?”
“Di sini, Mallikā, seorang perempuan rentan terhadap
kemarahan dan mudah gusar. Bahkan jika dikritik sedikit ia akan kehilangan
kesabaran dan menjadi jengkel, melawan, dan keras kepala; ia memperlihatkan
kemarahan, kebencian, dan kekesalan. Ia tidak memberikan benda-benda kepada
para petapa dan brahmana: makanan dan minuman; pakaian dan kendaraan; kalung
bunga, wangi-wangian, dan salep; tempat tidur, tempat tinggal, dan penerangan.
Dan ia iri, seorang yang iri-hati, kesal, dan marah akan perolehan, kehormatan,
penghargaan, pemujaan, dan penyembahan yang diberikan kepada orang lain. Ketika
ia meninggal dunia dari keadaan itu, jika ia kembali ke dunia ini, maka di mana
pun ia terlahir kembali ia akan berpenampilan buruk, cacat, dan tidak
menyenangkan dilihat; miskin, papa, dan melarat; dan tidak berpengaruh.
“Perempuan
lainnya rentan terhadap kemarahan dan mudah gusar … Tetapi ia memberikan
benda-benda kepada para petapa dan brahmana … Dan ia tanpa sifat iri, seorang
yang tidak iri-hati, tidak kesal, atau marah akan perolehan, kehormatan,
penghargaan, pemujaan, dan penyembahan yang diberikan kepada orang lain. Ketika
ia meninggal dunia dari keadaan itu, jika ia kembali ke dunia ini, maka di mana
pun ia terlahir kembali ia akan berpenampilan buruk, cacat, dan tidak
menyenangkan dilihat; tetapi ia akan kaya, dengan banyak kekayaan dan harta;
dan berpengaruh.
“Perempuan lainnya lagi tidak rentan terhadap
kemarahan dan tidak mudah gusar. Bahkan jika dikritik banyak ia tidak akan
kehilangan kesabaran dan tidak menjadi jengkel, tidak bersikap bermusuhan, dan
tidak keras kepala; ia tidak memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan
kekesalan. Tetapi ia tidak memberikan benda-benda kepada para petapa dan
brahmana … Dan ia iri, seorang yang iri-hati, kesal, dan marah akan perolehan,
kehormatan, penghargaan, pemujaan, dan penyembahan yang diberikan kepada orang
lain. Ketika ia meninggal dunia dari keadaan itu, jika ia kembali ke dunia ini,
maka di mana pun ia terlahir kembali ia akan berpenampilan baik, menarik, dan
anggun, memiliki kecantikan luar biasa; tetapi ia akan miskin, papa, dan
melarat; dan tidak berpengaruh.
“Dan perempuan lainnya lagi tidak rentan terhadap
kemarahan dan tidak mudah gusar … Dan ia memberikan benda-benda kepada para
petapa dan brahmana … Dan ia tanpa sifat iri, seorang yang tidak iri-hati,
tidak kesal, atau marah akan perolehan, kehormatan, penghargaan, pemujaan, dan
penyembahan yang diberikan kepada orang lain. Ketika ia meninggal dunia dari
keadaan itu, jika ia kembali ke dunia ini, maka di mana pun ia terlahir kembali
ia akan berpenampilan baik, menarik, dan anggun, memiliki kecantikan luar
biasa; kaya, dengan banyak kekayaan dan harta; dan berpengaruh.
“Ini, Mallikā, adalah mengapa beberapa perempuan di sini
berpenampilan buruk, cacat, dan tidak menyenangkan dilihat; miskin, papa, dan
melarat; dan tidak berpengaruh. Ini adalah mengapa beberapa di antaranya
berpenampilan buruk, cacat, dan tidak menyenangkan dilihat; tetapi kaya, dengan
banyak kekayaan dan harta; dan berpengaruh. Ini adalah mengapa beberapa
perempuan di sini berpenampilan baik, menarik, dan anggun, memiliki kecantikan
luar biasa; tetapi miskin, papa, dan melarat; dan tidak berpengaruh. Ini adalah
mengapa beberapa di antaranya berpenampilan baik, menarik, dan anggun, memiliki
kecantikan luar biasa; kaya, dengan banyak kekayaan dan harta; dan
berpengaruh.”
Ketika hal ini dikatakan, Ratu Mallikā berkata
kepada Sang Bhagavā:
“Aku menduga, Bhante, bahwa dalam suatu kehidupan
sebelumnya aku rentan terhadap kemarahan dan mudah gusar; bahkan jika dikritik
sedikit aku menjadi kehilangan kesabaran dan menjadi jengkel, bersikap
bermusuhan, dan keras kepala, dan memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan
kekesalan. Oleh karena itu aku sekarang menjadi berpenampilan buruk, cacat, dan
tidak menyenangkan dilihat.
“Tetapi aku menduga bahwa dalam suatu kehidupan
sebelumnya aku telah memberikan benda-benda kepada para petapa dan brahmana …
tempat tidur, tempat tinggal, dan penerangan. Oleh karena itu aku sekarang menjadi
kaya, dengan banyak kekayaan dan harta.
“Dan aku menduga bahwa dalam suatu kehidupan
sebelumnya aku tanpa sifat iri, seorang yang tidak iri-hati, bukan seorang yang
iri, kesal, dan marah akan perolehan, kehormatan, penghargaan, pemujaan, dan
penyembahan yang diberikan kepada orang lain. Oleh karena itu aku sekarang
memiliki pengaruh. Dalam kerajaan ini terdapat gadis-gadis dari
keluarga-keluarga khattiya, brahmana, dan perumah-tangga yang tunduk di bawah
perintahku.
“Mulai hari ini, Bhante, aku tidak akan rentan
terhadap kemarahan dan tidak mudah gusar. Bahkan jika dikritik banyak aku tidak
akan kehilangan kesabaran dan tidak akan menjadi jengkel, tidak bersikap
bermusuhan, dan tidak keras kepala; aku tidak akan memperlihatkan kemarahan,
kebencian, dan kekesalan. Dan aku akan memberikan benda-benda kepada para
petapa dan brahmana: makanan dan minuman; pakaian dan kendaraan; kalung bunga,
wangi-wangian, dan salep; tempat tidur, tempat tinggal, dan penerangan. Dan aku
tidak akan menjadi iri, tidak menjadi seorang yang iri-hati, kesal, dan marah
akan perolehan, kehormatan, penghargaan, pemujaan, dan penyembahan yang
diberikan kepada orang lain.
“Bagus sekali, Bhante! Bagus sekali, Guru Gotama!
Guru Gotama telah menjelaskan Dhamma dalam banyak cara, seolah-olah menegakkan
apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan kepada
orang yang tersesat, atau menyalakan pelita dalam kegelapan agar mereka yang
berpenglihatan baik dapat melihat bentuk-bentuk. Sekarang aku berlindung kepada
Guru Gotama, kepada Dhamma, dan kepada Saṅgha para bhikkhu. Sudilah Sang Bhagavā menganggapku sebagai seorang umat
awam yang telah berlindung sejak hari ini hingga seumur hidup.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.