Prinsip Debitor Cerdas : Tidak Mengenal Modus RENTENIR maka Berpotensi Terjerat RENTENIR TERSELUBUNG. Saling Beritikad Baik, Tidak Beritikad Baik dengan Bertepuk Sebelah Tangan
Ambivalensi Hukum Perlindungan Kreditor Vs.
Perlindungan Debitor
Mengungkap Modus Paling Khas dan Modus Terselubung Kalangan
RENTENIR
Question: Sebenarnya definisi hukum dari “rentenir”, “ijon”, ataupun “lintah darat”, seperti apa? Lalu seperti apa juga modus-modus “rentenir”, agar masyarakat yang hendak meminjam sejumlah dana untuk modal usaha tidak terjebak masuk dalam perangkap yang tidak pernah menguntungkan kondisi debitor semacam itu?
Brief Answer: Modus paling umum kalangan rentenir ialah,
menetapkan “bunga” jauh dibawah “bunga perbankan”, sebagai iming-iming
“pemanis” agar masyarakat tergiur untuk meminjam dana dari sang rentenir, namun
menjerat leher debitornya dengan menerapkan “denda” maupun “denda terhadap
denda”, tidak terkecuali biaya-biaya lain yang tidak jelas rinciannya dan
dibebankan / ditagihkan secara sepihak, sehingga total tagihan hutang-piutang
menjadi membengkak serta menggunung tidak lagi akan mampu dilunasi oleh
debitornya—menyerupai “lubang terjal tanpa jalan kembali” (point of no return). Yang perlu diwaspadai oleh masyarakat ialah
karenanya, bukan perihal “bunga”, namun modus perangkap “bunga terselubung”.
Modus kedua yang paling umum dari kalangan
rentenir ialah, akumulasi hutang “bunga” serta “denda” yang kemudian di-“kemas
ulang”, dengan menyalah-gunakan instrumen hukum bernama “Akta Notaris Pengakuan
Hutang”—dalam konstruksi yang “mengada-ngada” khas kalangan rentenir ini, tiada
penyerahan sejumlah dana senilai nominal dalam “Akta Pengakuan Hutang” pada
tanggal akta dibuat dan ditanda-tangani, sehingga hanya “fiktif” belaka, dimana
sejatinya “hutang” yang dimaksud dalam “Akta Pengakuan Hutang” ialah akumulasi “bunga”
maupun “denda” yang ditagihkan oleh sang rentenir dalam Surat Perjanjian Hutang
sebelumnya yang belum dibayarkan atau masih terhutang oleh debitornya.
Meskipun demikian, terdapat satu catatan penting
dari SHIETRA & PARTNERS, bila pembebanan “bunga”, “bagi hasil usaha”,
atau apapun itu istilahnya, tergolong tinggi melampaui suku bunga perbankan,
semisal 4% per bulan, telah ternyata merupakan iming-iming atau bujuk rayu dari
pihak calon debitor itu sendiri, maka tidaklah dapat dibenarkan secara moral
maupun secara etika bilamana akibatnya sang kreditor menjadi tergerak hatinya
untuk meminjamkan sejumlah dana kepada sang debitor akibat termakan bujuk-rayu iming-iming
demikian, lantas suatu ketika tiba saatnya pembayaran / pengembalian dana
pinjaman dan pelunasan sehingga ditagih oleh sang kreditor, sang debitor berdalih
sedemikian rupa bahkan menuding kreditornya sebagai “rentenir” dengan tujuan
semata untuk berkelit dari tanggung-jawabnya.
Untuk konteks yang bersifat kasuistik seperti
ilustrasi di atas demikian, yang berlaku ialah prinsip : berani mengiming-imingi
dan menjanjikan, maka harus berani bertanggung-jawab ditagih janjinya sebagai “punishment” terhadap niat tidak baik
oleh pihak sang debitor itu sendiri—perjanjian, harus didahului serta
dilaksanakan secara itikad baik dalam artian pihak yang satu tidak mengecoh ataupun
memperdaya pihak lainnya (vide
Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Tiada istilah “penyalah-gunaan
keadaan”, “penyalah-gunaan posisi dominan”, ataupun semacam “cacat kehendak”,
bilamana kesemua itu justru bersumber dari iming-iming pihak debitor itu
sendiri.
PEMBAHASAN:
Masyarakat yang menjadi korban
/ terjerat modus “mencekik” kalangan rentenir, terutama menghadapi praktik
“bunga terselubung”, dimana tingkat “bunga” diatur oleh negara tidak boleh
terlampau tinggi namun seolah-olah perihal besaran tingkat “denda” bebas diatur
setinggi-tingginya (menjerat) karena tidak dibatasi oleh hukum negara sehingga (seolah)
dibolehkan, sebagai alibi ataupun justifikasi, dan menjadi “celah hukum” untuk
mengikat dan memeras korban, maka sejatinya telah terdapat kaedah yang menjadi rambu-rambu
pembatasnya sebagaimana norma hukum bentukan yurisprudensi perihal “bunga terselubung”
(deem interest), yang dapat kita
jumpai dalam putusan Mahkamah Agung R.I. No. 2027 K/Pdt/1984, tanggal 23 April
1986: [Sumber : Majalah Hukum Varia
Peradilan No. 18 Tahun II. Maret 1987, hlm. 5.]
Berdasar Akta Puchase
Agreement, Penggugat telah membeli dari Tergugat, suatu Debt
Instrument-promissory more dengan nilai nominal US dollar 225.000,- yang
ditarik dan ditandatangani oleh Tergugat dengan janji Tergugat akan dibebani bunga,
denda serta ongkos lainnya, berupa biaya notaris, biaya penagihan, bila terjadi
keterlambatan pada hari jatuh tempo.
Pengadilan Negeri di dalam
putusannya tidak dapat menerima gugatan Penggugat.
Pengadilan Tinggi membatalkan
putusan Pengadilan Negeri dengan mengabulkan sebagian gugatan Penggugat, yang
menghukum Tergugat membayar kembali kepada Penggugat – nominal promessory note
US dollar 225.000,- ditambah dengan bunga 6% per tahun.
Mahkamah Agung R.I. dalam
putusannya telah membenarkan pertimbangan judex facti dengan menolak keberatan
yang diajukan oleh Pemohon Kasasi, dengan pertimbangan yang pada intinya
sebagai berikut:
“Bahwa meskipun persoalan denda (penalty) serta
ongkos-ongkos lainnya telah diperjanjikan oleh para pihak, namun menurut
Mahkamah Agung, karena denda yang telah diperjanjikan tersebut jumlahnya
terlampau besar, sehingga pada hakekatnya merupakan suatu “BUNGA YANG
TERSELUBUNG” maka berdasar atas rasa keadilan, hal tersebut tidak dapat
dibenarkan oleh Mahkamah Agung. Karena itu tuntutan tentang pembayaran denda
tersebut harus ditolak.”
Karenanya, tidaklah benar
asumsi bahwa “bunga” cukup ditetapkan rendah (sebagai modus “iming-iming” untuk
perangkap menjerat calon debitor, yang semula tidak berminat meminjam menjadi
tergerak hatinya untuk meminjam), namun seolah-olah “denda” boleh ditetapkan
setinggi-tingginya untuk menjerat dan mencekik debitornya dikemudian hari. Jika
modus jahat “terselubung” demikian memang merupakan “celah hukum” untuk
menjustifikasi kejahatan praktik “rentenir”, maka mengapa tidak membuat tagihan
mengada-ngada lainnya secara menyimpang dari Perjanjian Kredit, seperti “bunga
berbunga” (bunga majemuk), “bunga terhadap denda”, “uang lelah”, “biaya alat
tulis kantor”, “uang pulsa”, “uang bensin”, “denda terhadap denda”, “bunga
terhadap bunga dari bunga”, ataupun istilah lainnya yang bersifat “redundant”?
Modus kejahatan rentenir “kerah
putih” berkedok lembaga keuangan perbankan ataupun lembaga pembiayaan semacam
leasing, ialah praktik “bunga majemuk” atau “bunga berjenjang” (compunded interest), dimana terhadap
bunga maupun denda yang tidak terbayar pada periode sebelumnya dikenakan
sebagai dasar acuan bersama pokok hutang untuk menentukan besaran beban bunga
bulan berjalan berikutnya. Secara analogi berlaku kaedah larangan sebagaimana
Pasal 17 Ayat (7) Butir (d) Peraturan Bank Indonesia No.14/2/PBI/2012 tanggal 6
Januari 2012 : “biaya dan denda, serta
bunga terutang dilarang digunakan sebagai komponen penghitungan bunga.”
Logika dibalik larangan “bunga
terselubung”, untuk apa pemerintah selaku otoritas keuangan menetapkan Suku
Bunga Acuan Kredit, bila kalangan kreditor dibolehkan memakai modus “penghisapan”
dengan pola “bunga ditetapkan rendah hanya satu digit, namun denda dua digit,
dan berjenjang”? Pemerintah menetapkan Suku Bunga Acuan Kredit, untuk
mengontrol dan mengerem praktik RENTENIR. Berbagai preseden MA RI, kreditor
hanya dibenarkan “fixed rate” antara
6—12% per tahun, tanpa embel-embel “denda”, “bunga terhadap bunga”, “bunga
denda”, “denda bunga”, dsb. “Bunga terselubung” merupakan “penyelundupan hukum”
yang ilegal, terlebih debitornya tersandera karena agunan miliknya dapat sewaktu-waktu
dilelang eksekusi ataupun dijual oleh kreditornya secara sepihak (ataupun
dengan embel-embel “parate eksekusi”
yang pada esensinya ialah “main hakim itu sendiri”).
Yang menjadi definisi dari
“RENTENIR” sekaligus salah satu contoh cerminan rekaan “Akta Pegnakuan
Hutang”—hutang mana sejatinya “fiktif” karena tunggakan “bunga” maupun “denda”
pada hutang-piutang sebelumnya dikemas-ulang dengan istilah sebagai
“hutang”—dapat kita jumpai dalam yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 2680
K/Pdt/2012 tanggal 19 Juni 2013, dimana kreditor menuntut bunga 3% per bulan. Akan tetapi total klaim piutang Kreditor dipangkas oleh Pengadilan Tinggi,
dengan pertimbangan hukum:
“Menurut Majelis Hakim Banding
apa yang dikemukakan oleh Tergugat I dimana Penggugat telah melakukan praktek
rentenir (melakukan peminjaman dengan cara bunga tinggi melampaui
batas praktek perbankan) adalah benar, yang dengan demikian terbukti pula
hubungan hukum pinjam meminjam antara Penggugat dengan Tergugat adalah
merupakan perjanjian yang bersifat riba (woeker contract) ... .
Penggugat telah secara sewenang-wenang telah menciptakan bunga pinjaman
menjadi hutang baru dengan membuat kwitansi kwitansi baru sebanyak 11 kali
lagi seolah-olah pinjaman baru sehingga hutang pokok Rp10.000.000,00 menjadi
Rp85.000.000,00".
Dalam tingkat kasasi masih dalam nomor register perkara yang sama sebagai
upaya hukumnya, Mahkamah Agung RI membuat pertimbangan hukum dengan kutipan penting sebagai
berikut:
“...putusan Pengadilan Tinggi
DKI Jakarta yang memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur, ternyata
tidak salah dalam menerapkan hukum dan telah memberi pertimbangan yang cukup,
karena Penggugat ternyata terbukti telah melakukan perbuatan hukum pinjam
meminjam yang bersifat riba (woeker contract) dan bertentangan dengan azas
kepatutan dan keadilan.”
“Woeker Ordonantie” Staatsblad 1938 Nomor 524 (“woeker” berarti “penghisapan”), memberikan kekuasaan
kepada hakim untuk membatalkan perjanjian, jikalau ternyata antara kedua
belah pihak telah diletakkan kewajiban secara timbal-balik, namun satu sama
lain jauh tidak seimbang dan ternyata pula, satu pihak telah berbuat secara
bodoh, kurang pengalaman, atau dalam keadaan terpaksa. [Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa,
2005), hlm. 76.]
Jika kita cermati secara “argumentum a contrario”, doktrin di atas
mengamanatkan bahwa perlindungan hukum diberikan kepada debitor selaku
warganegara yang tidak memiliki itikad buruk terhadap kreditornya. Namun,
ketika (justru) sang debitor itu sendiri yang membujuk-rayu kreditornya agar
bersedia memberikan sejumlah dana pinjaman, lewat modus iming-iming “bunga
tinggi” (itikad tidak baik), maka berlaku prinsip : “you asked for it!”—dimana karenanya peradilan negara sekalipun
tidak berwenang mengintervensinya serta sang debitor tidak berhak untuk
berkelit ketika ditagih janji serta iming-iming-nya.
Dalam perkara penyalahgunaan
keunggulan ekonomi yang disimbolikkan oleh Kasus Bovag II, Hoge Raad pada 11
Januari 1957 (NH 1959, 57) membuat pertimbangan hukum: suatu perjanjian dapat
kehilangan causa yang sahih dalam hubungan dengan terjadinya perjanjian itu,
apabila pihak yang satu sangat dirugikan sebagai akibat penyalahgunaan
keadaan oleh pihak yang lain. Dalam komentarnya, Van Dunne menuliskan bahwa
Hoge Raad berpendirian bahwa apabila di dalam suatu perjanjian, satu pihak karena
tekanan keadaan secara tidak fairness
memiliki beban yang sangat merugikan, maka perjanjian itu dapat dinyatakan
sebagai perjanjian yang memiliki causa tidak sahih. [H.P. Panggabean, Penyalahgunaan Keadaan Sebagai Alasan (Baru)
Untuk Pembatalan Perjanjian, Edisi Revisi Kedua, (Yogyakarta: Liberty,
2010), hlm. 52—53.]
Iming-iming atau mengiming-imingi
“bunga tinggi” atau “bagi hasil usaha tinggi atas modal investasi modal usaha”,
merupakan wujud “penyalah-gunaan kepercayaan” itu sendiri, dimana sang
kreditornya terkecoh sehingga tergerak hatinya untuk meminjamkan sejumlah dana
atau menanamkan modal, namun kemudian mendapati dirinya mengalami kesukaran dalam
menagih debitor yang selalu kemudian berkelit sedemikian rupa dengan
seribu-satu alasan, bahkan ingkar janji, dan melarikan diri atau bahkan
melakukan praktik tindak pidana penggelapan terhadap modal pinjaman milik sang
kreditor—dalam konteks peristiwa hukum demikian, maka jelas yang dirugikan
ialah pihak kreditor.
Dalam Arres Hoge Raad tanggal 7
Desember 1934, Hoetink 93, dinyatakan bahwa sesuatu sebab yang bertentangan
dengan undang-undang akan menyebabkan perjanjiannya menjadi batal sebagaimana
juga perjanjian itu menyebabkan timbulnya akibat yang bertentangan dengan
undang-undang atau yang membahayakan kepentingan umum (public interest/policy). (Elly Erawati dan Herlien Budiono, Penjelasan Hukum tentang Kebatalan
Perjanjian, (Jakarta: Nasional Legal Reform Program: 2010), hlm. 81.) Yang
menjadi pertanyaan ialah, bagaimana jika pihak debitor itu sendiri yang
mengecoh kreditornya dengan tawaran berupa iming-iming “bunga tinggi” ataupun “bagi
hasil usaha yang tinggi imbal-hasilnya”? Karenanya, teks tidak dapat dilepaskan
dari konteks peristiwanya.
Bunga yang ditentukan berdasarkan undang-undang adalah
bunga sebesar 6% (enam persen) setahun, hal ini dilihat dari S.1848: No.
22.—konteks “normal”, bukan “resesi” krisis ekonomi. Ketika pihak kreditor yang
menawarkan bunga melampaui (atau bahkan secara ekstrem jauh melampaui) tingkat bunga
pinjaman diatas, maka itulah yang disebut sebagai “rentenir”. Sebaliknya,
ketika (justru) pihak debitor itu sendiri yang mengiming-imingi “bunga” melampaui
kewajaran, maka sang debitor tidak berhak menuduh kreditornya yang hendak
menagih haknya sesuai perjanjian, dengan tudingan sebagai “rentenir”. Karenanya,
kita perlu memilah konteksnya, apakah yang terjadi ialah “rentenir murni”
ataukah “rentenir yang dikondisikan oleh pihak debitor itu sendiri”?—penulis
menyebutnya sebagai “kecerdasan dan keadilan kondisional”.
Praktik peradilan (preseden
sebagai “best practice”) secara
konsisten memberikan definisi apa yang disebut sebagai “RENTENIR”, salah
satunya putusan Pengadilan Tinggi Jakarta No. 130/PDT/2012/PT.DKI tanggal 24
Juli 2012, dengan kutipan pertimbangan hukumnya sebagai berikut:
“Menimbang, ... menurut Majelis
Hakim Banding apa yang dikemukakan Tergugat dimana Penggugat telah melakukan praktek
rentenir (melakukan perminjaman dengan cara bunga tinggi melampaui batas
praktek perbankan) adalah benar dengan demikian terbukti hubungan hukum
pinjam-meminjam antara Penggugat dengan Tergugat adalah merupakan perjanjian
yang bersifat riba (bertentangan dengan kepatutan dan keadilan).
Bahwa karena Tergugat tidak
mampu membayar hutang kepada Penggugat, maka Penggugat secara sewenang-wenang
telah menyalahgunakan keadaan dengan menciptakan bunga tinggi hingga 30 %,
hutang pokok Rp. 60.000.000,- menjadi Rp.123.000.000,-“
Pembatasan bunga yang terlampau
tinggi diatur dalam “Woeker-ordonantie 1938” Staatblaad tahun 1938 No. 524, yang
menetapkan, apabila antara kewajiban-kewajiban bertimbal-balik dari kedua belah
pihak dari semula terdapat suatu ketidak-seimbangan yang luar biasa,
maka si berutang dapat meminta kepada Hakim untuk menurunkan bunga yang telah
diperjanjikan ataupun untuk membatalkan perjanjiannya (R. Subekti,
S.H., Aneka Perjanjian, hal. 1985:
130)—teori demikian bersifat “utopis”, seolah memberikan “cek dengan blangko”
kosong bagi kalangan debitor yang berpotensi mengundang niat untuk “penyalah-gunaan”,
bilamana itikad tidak baik justru bersumber dari pihak debitor itu sendiri.
Teori klasik di atas demikian
tergolong teori yang orthodoks, karena “pukul rata” semua konteks yang ada, dimana
pada tataran praktik di lapangan tidak jarang kasuistik sesuai jenis-jenis karakter
perkara yang bersifat “unik” dan bisa jadi “lain daripada yang lain” sebagaimana
kerap SHIETRA & PARTNERS jumpai saat menangani Klien pengguna jasa
yang notabene adalah kreditor yang menjadi “korban” iming-iming “bunga tinggi” oleh
sang “debitor nakal” yang bahkan membawa lari (menggelapkan) modal usaha
pinjaman milik sang kreditor. Kembali lagi, pertanyaannya ialah, bila yang
melanggarnya justru ialah pihak debitor itu sendiri, seperti apakah
perlindungannya bagi pihak kreditor yang termakan “iming-iming” sang
debitornya?
Sementara itu, bila konteksnya
ialah “rentenir murni”, menurut kaedah preseden sebagaimana putusan Mahkamah
Agung RI No. 1772 K/Pdt/2011 tanggal 4 Januari 2010, dimana pihak pihak kreditor
menuntut “bunga” sebesar 5% per bulan, terhadapnya Mahkamah Agung menyatakan:
“Menimbang, bahwa akan tetapi
amar putusan Judex Facti harus diperbaiki sepanjang mengenai besarnya bunga
ganti rugi dengan pertimbangan sebagai berikut :
“Bahwa pembebanan ganti rugi
setiap bulan sebesar 2 % dipandang sangat memberatkan para Tergugat serta
dirasa tidak adil sehingga menurut Mahkamah Agung besarnya ganti rugi
yang memenuhi rasa keadilan sebesar 12 % per tahun.”
Selain itu, aadapun terkait
“Kreditor PERORANGAN” yang tidak pernah menyepakati berapa besar suka bunga “fixed rate” dengan debitornya (semisal
bank justru secara sepihak menjual piutang / hak tagihnya kepada kreditor
perorangan), bukan diartikan kreditornya berhak menagih “suka-suka” (sesuka
hati), mengingat telah terdapat preseden sebagaimana putusan Mahkamah Agung RI
Nomor 737 K/Pdt/2022 tanggal 5 April 2022 :
“Bahwa hubungan hukum pokok
dalam gugatan a quo adalah utang piutang antara Penggugat dengan Tergugat dan
dari fakta-fakta persidangan terbukti Tergugat telah wanprestasi tidak membayar
utangnya kepada Penggugat sehingga Tergugat berkewajiban untuk membayar utang
pokok ditambah bunga 6% (enam persen) per tahun sejak perkara
didaftarkan di Pengadilan Negeri.”[1]
Modus yang juga kerap terjadi
dalam praktik, sebagaimana tidak jarang SHIETRA & PARTNERS jumpai
ialah praktik ilegal bernama “milik beding”—yang bermakna : bilamana debitornya
tidak melunasi hutangnya, maka agunan atau jaminan pelunasan hutang akan
menjadi milik dari kreditornya. Terkait praktik ilegal demikian, telah terdapat
preseden “perlindungan debitor pemilik agunan” sebagaimana putusan Mahkamah
Agung R.I. No. 3438 K/Pdt/1985, tanggal 9 Desember 1987, membuat putusan secara
tegas:
“… Suatu perjanjian utang piutang
dengan jaminan sebidang tanah, tidak dapat dengan begitu saja menjadi
perbuatan hukum jual-beli tanah, manakala si debitur tidak melunasi
utangnya. Syarat yang dikenal dengan nama milik beding ini sudah lama tidak
diperkenankan, terutama dalam suasana hukum adat.”
Preseden telah secara
konsisten, antara 6% (enam persen) hingga 12% (dua belas persen) sebagai “safety nett” atau “jaring pengaman”
perlindungan oleh negara bagi kalangan debitor dari potensi penghisapan oleh
kreditor yang tidak bertanggung-jawab dan memiliki itikad tidak baik,
sebagaimana juga dapat kita jumpai dalam kaedah yurisprudensi putusan Mahkamah
Agung No. 3393 K/Pdt/2012 tanggal 28 November 2014 ini menguatkan putusan judex factie dengan menetapkan bunga
yang layak dibebankan pada debitor ialah sebesar 6 % per tahun sehingga mengeliminir
ketentuan bunga dari kontrak sebesar 2,5 % per bulannya. Yang menarik dari perkara tersebut, pihak debitor membuat dalil argumentasi dengan
bunyi sebagai berikut:
“Bahwa ... Prof. Z. Asikin Kusumah Atmadja, S.H.,
dalam ulasan hukumnya mengenai ‘Pemberantasan Rentenir Sebagai Perwujudan
Pemerataan Keadilan’ dan dimuat dalam Varia Peradilan Tahun II, Nomor 17,
Februari 1987, beliau ada mengajukan tiga pertanyaan sebagai berikut:
a. Apakah kita sudah yakin bahwa
praktek rentenir harus diberantas karena tidak sesuai dengan kesadaran hukum
bangsa Indonesia?
b. Apakah hukum sebagai suatu
living institution mampu untuk memberantas praktek rentenir?
c. Apakah kita sanggup memberi isi
kepada hukum yang berlaku sehingga pada umumnya mampu mengayomi masyarakat dan
khususnya mampu untuk memberantas praktek rentenir?
“Prof. Asikin kemudian memberi jawabannya sebagai
berikut: ‘Kalau semua pertanyaan dijawab secara positif maka tidak ada
notaris yang akan membuat perjanjian yang bersifat rentenir, tidak ada
pengacara yang bersedia membela seorang rentenir dan Hakim selalu akan menolak
gugatan yang diajukan seorang rentenir.’ Dan senada dengan pendapat Prof.
Asikin diatas, Pasal 14 Undang-Undang Pelepas Uang (Stb. 1938 Nomor 523)
melarang Notaris membuat Akta Notaris atas pengakuan hutang dan mengeluarkan
grosse akta-nya untuk perjanjian hutang-piutang dengan seorang pelepas uang
(rentenir).”
Kaedah preseden serupa dapat
kita jumpai dalam Putusan Pengadilan Negeri Sleman No. 27/Pdt.G/2014/PN.Slmn
tanggal 9 September 2014, dalam pertimbangan hukumnya Majelis Hakim
menguraikan:[2]
“Menimbang, bahwa selanjutnya
menurut ketentuan Pasal 1339 KUHPerdata, suatu perjanjian tidak hanya mengikat
untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan dalam perjanjian, tetapi juga untuk
segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan (diwajibkan) oleh kepatutan,
kebiasaan dan undang-undang. Dengan demikian, setiap perjanjian
diperlengkapi dengan aturan-aturan yang terdapat dalam undang-undang, dalam
adat kebiasaan (di suatu tempat dan di suatu kalangan tertentu), sedangkan kewajiban-kewajiban
yang diharuskan oleh kepatutan (norma-norma kepatutan) harus juga diindahkan;
“Menimbang, bahwa selanjutnya
Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam Putusan Nomor 2818 K/Pdt/2000
tertanggal 29 Juli 2002 dalam putusannya memberikan pertimbangan pada pokoknya
sebagai berikut: ‘... walaupun masalah bunga antara pemohon kasasi dengan
termohon kasasi telah disepakati sebesar 5% per bulan, namun karena perjanjian
kredit tersebut mengandung unsur pemerasan / riba, maka sesuai
Undang-undang Riba Stbl.1938 No.523, Hakim karena Jabatannya berwenang
menentukan bunga yang pantas yaitu 2% per bulan.’
“Menimbang, bahwa berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas, menurut hemat Majelis Hakim bunga
pinjaman sebesar 1,35 % tiap bulan adalah masih dalam batas bunga pinjaman
wajar, akan tetapi untuk denda keterlambatan sebesar 0,5 % per hari dari
jumlah pembayaran yang terlambat adalah suatu bunga yang tidak wajar dan
melanggar kepatutan, sehingga dengan demikian Majelis Hakim berkesimpulan
menyatakan terhadap Perjanjian Hutang Piutang No.Ja.007/SP/08/2012 harus
dibatalkan dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
“Menimbang, ... Bahwa perbuatan
tersebut merupakan Perbuatan Melawan Hukum, karena dalam membuat perjanjian
dengan tidak mengindahkan ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata yang mewajibkan
untuk dilaksanakan perjanjian dengan itikat baik (tegoeder trouw), dan
melanggar norma kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang sebagaimana diatur
dalam ketentuan Pasal 1339 KUHPerdata;”
Sebagai penutup, pertanyaan
yang juga kerap ditanyakan oleh Klien dari SHIETRA & PARTNERS ialah :
“Apakah bank boleh menjual piutangnya
kepada kreditor perorangan, dimana kemudian kreditor pembeli cessie ini menagih
memakai “floating rate’?” Jika dari sejak awal sang debitor mengetahui
bahwa pihak bank akan menjual hak tagihnya kepada rentenir, bahkan kepada “rentenir
perorangan”, maka tiada debitor manapun yang berminat meminjam kredit /
berhutang dari “lembaga perbankan berizin OJK” demikian.
Lembaga perbankan diawasi oleh
OJK dan tunduk pada Undang-Undang Perbankan, dimana debitornya dilindungi oleh Undang-Undang
Perlindungan Konsumen, karenanya masih dimungkinkan “floating rate”. Kreditor perorangan, tidak diawasi oleh OJK.
Karenanya, Perjanjian Kredit yang menyertakan klausul “floating rate”, tidak dimungkinkan untuk “cessie” (peralihan
piutang) antara “BANK kepada RENTENIR PERORANGAN”. “Kreditor Perbankan” dan “Kreditor
Perorangan”, saling berbeda “nature”, sehingga peralihan piutang antara
keduanya tidak dimungkinkan, terlebih “Bank menjual hak tagih lengkap dengan agunan
jaminan pelunasan hutang kepada Kreditor RENTENIR Perorangan”.
Dipublikasikan dalam website
resmi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) : “Sumber
data Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) yang dipublikasikan di website OJK adalah
dari laporan bank secara online melalui Aplikasi Pelaporan Online OJK
(APOLO) ... Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) digunakan sebagai dasar penetapan
suku bunga kredit yang akan dikenakan oleh bank kepada nasabah.”[3]
Konsekuensi logisnya, RENTENIR PERORANGAN tidak dimungkinkan membeli piutang
dari perbnkan tanpa seizin maupun tanpa persetujuan debitor.
Hanya lembaga keuangan
perbankan dan lembaga keuangan nonperbankan (leasing) dengan izin operasional
serta diawasi OJK dan BI yang diperkenankan “floating rate”, karena mereka ikut suku bunga kredit acuan yang
ditetapkan pemerintah serta melaporkan kebijakan “floating rate” mereka. Bila “kreditor pembeli cessie” (kreditor
perorangan) dimaknai hanya dapat membebankan bunga dengan “fixed rate”, faktanya tidak akan pernah ada kesepakatan ataupun
persetujuan antara sang debitor dan “kreditor perorangan pembeli cessie” mengenai
besaran rate bunga “fixed”—kecuali cessie
terjadi atas kehendak dan seizin / persetujuan sang debitor.
Disamping itu, adalah tidak
logis disamping tidak mengindahkan “etika berbisnis”, bilamana bank justru
menjual piutangnya secara “diskon” (pemangkasan perhitungan total tagihan)
kepada “kreditor pembeli cessie” alih-alih menawarkan “diskon” serupa kepada
debitornya sebagai “win win solution”.
Lembaga Keuangan seperti perbankan, diawasi OJK serta suku bunga acuan kredit
mengacu pada “BI rate” maupun
ketentuan LPS. Sementara itu “kreditor perorangan” DILARANG menerapkan “floating rate”, mengingat tiada
tolak ukur yang jelas, dapat tagih “sesuka dan sekehendak hati” (moral hazard RENTENIR), sehingga bagi
“kreditor perorangan” dalam praktik yurisprudensi di Mahkamah Agung RI, hanya
diperkenankan “fixed rate”
yakni sebatas bunga 6—12% per tahun.
Adapun komponen pembentuk suku
bunga pinjaman pada perbankan, terdiri atas tiga komponen, yaitu (i) biaya
bunga dana (biaya yang dibayarkan perbankan terhadap dana masyarakat, baik
berupa tabungan, giro, dan deposito), (ii) biaya operasional (overhead), dan
(iii) marjin keutungan (profit margin). Karenanya, tiada urgensi ataupun
justifikasi bagi RENTENIR PERORANGAN menerapkan “floating rate”. Bila bank tidak merasa merugi, menjual piutangnya
secara “diskon” kepada “kreditor pembeli cessie”, mengapa bank merasa merugi
menerima tawaran pelunasan hutang dari debitornya secara “diskon”?
Biasanya, sebagaimana tidak
jarang dijumpai SHIETRA & PARTNERS dalam praktik di lapangan, bank
terlibat “sindikat gelap” berupa “mafia tanah” serta “mafia lelang”, dengan
kedok / penyalah-gunaan instrumen hukum “cessie” dan lelang eksekusi Hak
Tanggungan—law as a tool of crime.
Jangan pernah mengharap negara aktif melindungi masyarakatnya selaku debitor
dari praktik jahat demikian, dimana bank notabene ber-jargon “diawasi OJK”,
namun faktanya berbagai kejahatan berlangsung dibalik segala opersional berizin
kalangan perbankan maupun kalangan “kreditor perorangan” yang tidak berizin dan
tidak diawasi otoritas.
Sehingga, kalangan debitor yang
“terzolimi” harus berjuang seorang-diri menghadapi sindikat kuat demikian di
meja hijau, untuk menuntut keadilan yang menjadi haknya, dimana pihak otoritas
justru lepas tanggung jawab atas pengabaian ataupun penelatarannya melindungi
dan mengawasi praktik perbankan maupun lembaga pembiayaan di Tanah Air. Lebih
baik preventif dan memitigasinya, mengingat kuratif selalu menyisakan nestapa
yang tidak menguntungkan kalangan debitor manapun, disamping pertimbangan
minimnya pengetahuan kalangan aparatur penegak hukum maupun hakim di peradilan
atas kompleksitas hukum perkreditan di Indonesia.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.
[1]
Tidak ada sejarahnya “RENTENIR PERORANGAN” dibenarkan oleh praktik peradilan
(preseden) manapun itu untuk membebani “floating
rate” kepada debitornya. Karenanya, antara “BANK” dan “RENTENIR PERORANGAN”
adalah saling berbeda “nature”—tidak
dapat saling ditukar kedudukannya sehingga Cesssie atau peralihan piutang dari “kreditor penjual piutang” kepada “kreditor
pembeli piutang” tidak dimungkinkan dalam konteks demikian.
[2]
Perkara gugatan “perbuatan melawan hukum”
meski bermula dari hubungan hutang-piutang yang tersangkut praktik “rentenir”,
bahwa penerapan kontrak yang melanggar kepatutan, ialah “Perbuatan Melawan
Hukum”.
Dalam perkara tersebut,
Penggugat meminta pengadilan agar akta perjanjian hutang-piutang dibatalkan
dengan alasan terjadi praktik rentenir. Perjanjian Hutang-Piutang yang dibuat
dibawah tangan serta Akta Otentik Pengakuan Hutang, mengatur, bila Penggugat
tidak membayar angsuran beserta bunganya, maka penggugat dikenakan denda sebesar 0,5% per hari dari jumlah
pembayaran yang terlambat pembayarannya—hakim menilainya sebagai “bunga
terselubung”.
Penggugat mengakui mempunyai
pinjaman tersebut, namun Penggugat memohon pengadilan agar pinjaman Penggugat
kepada Tergugat dilakukan restrukturisasi ulang sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan sesuai dengan ketentuan bunga bank pada
umumnya. Bunga yang disepakati dalam
perjanjian ialah sebesar 1,35 % per bulan, sementara denda sebesar 0,5 % per
hari dari jumlah pembayaran yang terlambat.
[3]
Sumber kutipan : https: // www. ojk. go.id /id/kanal/perbankan/Pages/Suku-Bunga-dasar.aspx