Ketika Hukum Tuhan Dinegosiasikan dan Dikompromikan = “Hukum KONSENSUS”, Bukan lagi “Hukum Tuhan”

Hukum Agama yang Aslinya, Mencuri DIBUNUH (HUKUM MATI) Bukan POTONG TANGAN

Ketika antar Dogma Internal Keyakinan Keagamaan saling KONTRADIKTIF Tanpa Konsistensi, Ideologi PLIN-PLAN

Jika kita sepakat dan meyakini bahwa “Tuhan (adalah) Maha Tahu”, maka umat manusia tidak perlu dan tidak boleh membantahnya ataupun mencoba meminta toleran maupun kompromistik, dimana reputasi Tuhan menjadi ajang taruhannya. Begitupula ketika seorang nabi adalah memang adalah “rasul (utusan) Tuhan”, maka suara yang pertama dikeluarkan oleh sang nabi yang lebih “otentik” sebagai wahyu Tuhan—ketimbang suara ataupun pendapat hasil negosiasi dan kompromistik dengan umat manusia lainnya. Negosiasi maupun kompromi, merupakan genus “konsensus”, bukanlah “wahyu” dogmatik.

Sebagai contoh paling representatif ialah, masyarakat “agamais” kita di Indonesia, ataupun pada negara-negara dengan berbasis ideologi keagamaan tertentu (nonsekuler), menyatakan bahwa “mencuri maka pencurinya harus dihukum POTONG TANGAN sebagai penegakan hukum agama”—namun, benarkan demikian, benarkah itu wahyu Tuhan yang sesungguhnya atau justru hasil distorsi subjektif sang nabi (bias perspektif pribadi sang nabi hasil kompromistik dengan umat manusia lainnya)?

Tuhan “Maha Tahu”, karenanya tidak perlu lagi didebat ataupun dimintakan sebentuk kompromi hasil negosiasi dengan umat manusia, terlebih memohon ataupun merengek-rengek untuk dinyatakan lain—terlebih-lebih membutuhkan “konsesus publik”. Sama irasionalnya ketika sang umat berdoa memohon ini dan itu, mengeluhkan ini dan itu, menangiskan ini dan itu, meminta ini dan itu, seolah-olah Tuhan butuh “diberi tahu” oleh sang umat manusia. Kini, mari kita rujuk sumber asli yang paling valid dari “hukum agama” perihal “mencuri maka (konon) dihukum POTONG TANGAN (bukan jari tangan, namun organ tangan)”, antara lain dapat kita jumpai dalam:

Partial Translation of Sunan Abu-Dawud, Book 33: Prescribed Punishments (Kitab Al-Hudud) Book 33, Number 4396:

Narrated Jabir ibn Abdullah:

A thief was brought to the Prophet (peace_be_upon_him). He said: Kill him. The people said: He has committed theft, Apostle of Allah! Then he said: Cut off his hand. So his (right) hand was cut off. He was brought a second time and he said: Kill him. The people said: He has committed theft, Apostle of Allah! Then he said: Cut off his foot.

So his (left) foot was cut off.

He was brought a third time and he said: Kill him.

The people said: He has committed theft, Apostle of Allah!

So he said: Cut off his hand. (So his (left) hand was cut off.)

He was brought a fourth time and he said: Kill him.

The people said: He has committed theft, Apostle of Allah!

So he said: Cut off his foot. So his (right) foot was cut off.

He was brought a fifth time and he said: Kill him.

So we took him away and killed him. We then dragged him and cast him into a well and threw stones over him.

Hukum (buatan) manusia yang beradab, mengenal konsepsi “hak asasi manusia”, sehingga hukuman mati sekalipun eksekusinya secara manusiawi tanpa merendahkan martabat kemanusiaan sang terpidana mati—maka mengapa Tuhan yang semestinya “Tuhanis”, kalah terhadap manusia yang dapat lebih “humanis” ketika menghukum? Manusia “pencuri” yang diperintahkan untuk dibunuh oleh sang nabi, notabene adalah sesama manusia ciptaan Tuhan—diciptakan dengan kondisi watak demikian secara “apa adanya” dan “bukan salah bunda mengandung” (tentunya), mengapa harus dibunuh seolah-olah Tuhan hendak cuci tangan dan menyingkirkan kegagalan proses penciptaannya dengan dicampakkan ke “tong sampah” bernama neraka ataupun untuk di-“BUNUH”?

Misi misionaris seyogianya dan semestinya berbasis pendekatan tanpa kekerasan (ahimsa), memuliakan disamping memanusiakan manusia, dan memperbaiki mentalitas serta moralitas umat manusia, bukan justru sebaliknya, mem-“promote” pertumpahan darah, merampas hak hidup milik orang lain pemberian Tuhan—bersikap seolah-olah hanyalah “BUNUH” satu-satunya solusi mengatasi anomali sosial. Seorang nabi semestinya seperti figur seorang guru dan orangtua, yakni meluruskan murid yang “bengkok” dan menyimpang, dengan cara mendidik dan meng-“gugu” agar ditiru atau setidaknya memberi inspirasi yang menggugah, menebarkan kebaikan dan kebajikan yang seharum semerbak melati yang indah dan hangat, penuh welas asih dan cinta kasih yang benar-benar “Maha Pemurah” alih-alih “haus darah”.

Ketika hari raya keagamaan mereka, bahkan hewan ternak besar yang disembelih sebagai korban, bukan ikan ataupun udang yang disembelih sebagai hewan kurban, semata karena alasan—penulis dengan dengan telinga kepala milik penulis pribadi, dari suara speaker pengeras suara eksternal tempat ibadah mereka yang menyiarkan ceramah pemuka agama mereka—hewan-hewan seperti ikan dan udang tidak mengeluarkan dan memuncratkan darah ketika disembelih. Sungguh “haus” mereka akan pertumpahan darah, adegan berdarah-darah yang bahkan dipromosikan dan dikampanyekan secara vulgar.

Pada berbagai kesempatan kerap penulis menguraikan, bahwa alam neraka merupakan “monumen kegagalan proses penciptaan Tuhan”, dimana sekalipun umat manusia sudah sama tua-nya dengan umur Planet Bumi ini, namun Tuhan diilustrasikan masih juga mencobai umat manusia tanpa mau belajar dari cobaan-cobaan sebelumnya dengan harga yang terlampau mahal untuk dibayarkan—sekalipun Einsten telah berpesan, “Melakukan (percobaan) hal yang sama, namun mengharapkan hasil yang berbeda, ialah INSANE!”, dan sekalipun iklan “jingle” sebuah pariwara beberapa dekade lampau pernah mengumandankan, “Untuk anak sendiri, kok dicoba-coba?”. Kembali pada perihal hukum “potong-memotong tangan”, dalam versi lain yang senada:

Narrated Jabir ibn Abdullah: A thief was brought to the Prophet Muhammed (saw). He said: Kill him. The people said: He has committed theft, Messenger of Allah! Then he said: Cut off his hand. So his (right) hand was cut off.

He was brought a second time and he said: Kill him. The people said: He has committed theft, Messenger of Allah! Then he said: Cut off his foot. So his (left) foot was cut off.

He was brought a third time and he said: Kill him. The people said: He has committed theft, Messenger of Allah! So he said: Cut off his hand. (So his (left) hand was cut off.)

He was brought a fourth time and he said: Kill him. The people said: He has committed theft, Messenger of Allah! So he said: Cut off his foot. So his (right) foot was cut off.

He was brought a fifth time and he said: Kill him. So we took him away and killed him. We then dragged him and cast him into a well and threw stones over him. (Abu Dawud: Book 38, Number 4396)

Other sources:

Sunan Abu Dawud, 4410.

Sunan Abu Dawud, Vol. 5, Book of Prescribed Punishments (Kitab Al-Hudud), Hadith 4396.

Sunan Abu Dawud, Book of Prescribed Punishments (Kitab Al-Hudud), Hadith 4396

Berbuat keliru adalah “manusiasi”, terlebih bilamana seseorang mencuri karena faktor keterpaksaan akibat desakan ekonomi dan perut yang lapar dan dijerat kemiskinan (disparitas dan kesenjangan ekonomi yang lebar, antara si kaya dan si miskin, diciptakan oleh Tuhan), bukan karena faktor kemalasan ataupun keserakahan sang pelaku pencurian. Karenanya, dalam hukum yang lebih beradab, yakni “hukum negara”, terutama hukum acara pidana, mengakomodasi didengarnya keterangan maupun pembelaan dari pihak Terdakwa, dalam agenda acara didengarkannya “keterangan Terdakwa” di hadapan Majelis Hakim pemeriksa dan pemutus perkara.

Telah ternyata pula, sang nabi itu sendiri tidak luput dari dosa-dosa tidak ubahnya pencuri (pendosa) yang ia perintahkan “KILL” (hukum mati) ataupun “POTONG TANGAN”, sebagaimana dapat kita buktikan dengan merujuk pada sumber otentik berikut:

Aisyah bertanya kepada Rasulullah SAW, mengapa suaminya sholat malam hingga kakinya bengkak. Bukankah Allah SWT telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang dulu maupun yang akan datang? Rasulullah menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?” [Bukhari Muslim]

Hanya pendosa, yang butuh “pengampunan dosa”, semestinya malu dan di-tabu-kan alih-alih berbangga diri. Takut dan malu berbuat jahat, merupakan gerbang moralitas manusia yang membedakan manusia dari hewan, itulah sabda Sang Buddha. Mengapa terhadap dosa-dosa sang nabi, kita tidak berseru lantang dengan standar yang sama, yakni “KILL HIM!”—namun justru amat kompromistik terhadap dosa-dosa (maksiat-maksiat ataupun kejahatan-kejahatan) sang nabi dengan membenarkan penghapusan dosa-dosa sang nabi? Sang nabi, dan kisah pencuri yang dipotong tangannya tersebut di atas, adalah sama-sama ciptaan Tuhan, Tuhan mana notabene “Maha Adil” sehingga tidak mungkin meng-anak-emas-kan manusia yang satu dan disaat bersamaan meng-anak-tiri-kan manusia yang lain.

Namun umat manusia pada dasariahnya memang kerap menerapkan “standar ganda”—sebagai contoh, “pelangi adalah indah, ciptaan Tuhan”, namun disaat bersamaan berbagai tumpukan sampah yang berbau busuk maupun manusia-manusia yang penuh kekotoran batin tidak pernah disebut sebagai “ciptaan Tuhan”, akan tetapi sebagai “ciptaan Iblis”. Kembali pada konteks utama kita, hukuman bagi seorang pencuri, baik hukuman potong tangan maupun hukum mati (“KILL HIM!”, bahkan terhadap anak-anak yang sedang menapak usia nakal-nakalnya yang kerap iseng, sebagaimana masa kecil “penulis-bocah” yang juga tidak luput dari keisengan akibat akal budi yang belum berkembang sempurna), pertanyaan utamanya sebagai “uji moril” ialah : Mengapa hukumannya tidak manusiawi, bahkan hukum matinya pun tidak mencerminkan sifat “Tuhanis”?

Jangankan “Tuhanis”, “humanis” pun tidak, namun “hewanis” yang kerap memangsa bak predator yang “haus darah”. Hukum negara (Made in Manusia) yang lebih beradab, mengenal apa yang disebut sebagai “asas legalitas”—yang bermakna, tiada seorang warga pun yang dapat dihukum pidana, tanpa didahului oleh suatu peraturan yang ditetapkan otoritas dan dipublikasikan secara luas sebelum perbuatan hukum tersebut terjadi, berisi larangan ataupun perintah disertai ancaman sanksi hukumannya bagi subjek hukum yang melanggarnya. “Asas legalitas”, pada sejarah pembentukannya, merupakan reaksi gerakan kaum humanis terhadap “hukum raja”, dimana suara dan keputusan raja ialah hukum itu sendiri sehingga cenderung sewenang-wenang dimana rakyat menjadi rentan karena tidak memiliki perlindungan “safety nett” apapun, dimana itu identik dengan perintah “KILL HIM” sebagaimana diriwayatkan sebagai “hukum agama’ di atas.

Adapun keberatan paling utama kaum humanis ialah, tiadanya teladan atau cerminan sikap “fair trial” terhadap sang tertuduh yang dituduh telah mencuri, namun seketika dijatuhi vonis hukuman (menghakimi secara sewenang-wenang tanpa pertimbangan yang jernih dan tidak parsial), “KILL HIM! KILL HIM! KILL HIM!”, dimana sang tertuduh bahkan sama sekali tidak diberi kesempatan untuk didengar keterangannya, serta tidak diberi kesempatan untuk membela diri, dimana bahkan juga tidak mengakomodir konsepsi yang “humanis” bernama “hak asasi manusia”—itulah sebabnya, kontras dengan itu, Buddhisme yang konsisten pada ajaran dan teladan “ahimsa” (silahkan bila ada diantara para pembaca yang berniat mencoba mencari-cari “kesalahan moril” atau “cela” dari teladan hidup ataupun ajaran Sang Buddha), para umatnya tidak perlu membuang-buang waktu belajar konsep “hak asasi manusia”, mengingat Buddhisme ialah “hak asasi manusia” itu sendiri.

Salah satu ciri hukum negara modern ialah, proses hukum acara pembuktiannya yang menekankan prinsip-prinsip peradilan yang adil dan berimbang, salah satunya ialah mengeliminir distorsi yang berpotensi besar diciptakan oleh saksi-saksi “de auditu”—yakni saksi-saksi yang sekadar “katanya, katanya, katanya”. Kembali pada riwayat pencuri yang dipotong tangannya sebagaimana diulas di muka, pelapor yang melaporkan kepada sang nabi, tidak menerapkan prinsip-prinsip “fair trial” seperti mendengarkan dan hanya memberi bobot terhadap saksi-saksi yang objektif dan netral sehingga patut didengar keterangannya / kesaksiannya dibawah sumpah, serta melihat ataupun mendengar dan mengalami langsung peristiwa hukum yang dituduhkan kepada sang tersangka. Namun seketika memakan dan menelan mentah-mentah tuduhan sang pelapor, dan “KILL HIM!” Jelaslah bahwa, “trial trial” merupakan antinomi dari “hukum agama”, alias menegasikan satu sama lainnya.

Begitupula dalam kasus “hukum agama mengenai perzinahan”, disebutkan adalah di-rajam sebagai hukumannya, namun kita pun perlu kembali bertanya, itu betul “hukum agama” berisi wahyu Tuhan, ataukah hasil kompromistis dengan keberatan umat manusia—wahyu asli dari Tuhan ialah “KILL” (“BUNUH”)—atau mungkin juga sebaliknya, memang disebutkan “rajam”, namun patut kita sayangkan bahwa umat manusia tidak mengajukan protes ataupun keberatan secara berulang-ulang sehingga hukumannya hanya sekadar tepukan lembut di pipi (“kiss”, cepika-cepiki, cium pipi kanan dan cium pipi kiri).

Sebagai contoh, mengapa umat agama yang bersangkutan, tidak mengajukan komplain ataupun protes atas nama kemanusiaan, terhadap “wahyu” berikut ekstrem penuh pertumpahan darah seolah “haus darah” berikut yang mana jelas-jelas bertolak-belakang dari konsepsi “hak asasi manusia” sehingga antara hukum perihal “hak asasi manusia” tidak dapat eksis disaat bersamaan dengan penerapan “hukum agama” : [terhadap maksiat, kompromistis lewat pengampunan dosa. Namun terhadap pemeluk keyakinan yang berlainan, tiada toleransi]

Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan ‘TIDAK ADA TUHAN SELAIN ALLAH DAN BAHWA MUHAMMAD RASUL ALLAH’, menghadap kiblat kami, memakan sembelihan kami, dan melakukan shalat dengan kami. Apabila mereka melakukan hal tersebut, niscaya kami diharamkan MENUMPAHKAN DARAH dan MERAMPAS HARTA mereka.” [Hadist Tirmidzi No. 2533]

Mengapa segala sesuatunya dan segala masalah, harus diselesaikan dengan cara “BUNUH”, “BUNUH”, dan “BUNUH”, seolah tidak ada cara korektif yang lebih kreatif dan lebih memanusiakan manusia? Bila hakimnya ialah “hewanis” yang “haus darah”, bagaimana mungkin hendak memanusiakan umat manusia?—kerancuan mana menyerupai seorang pendosa (konsumen dan pelanggan tetap ideologi “penghapusan dosa”) yang hendak berceramah perihal hidup suci dan mulia. Sampai-sampai umat mereka kerap menampilkan budaya “primitif” ala “barbar” seperti sikap-sikap yang seolah berkata, “Masih untung kamu hanya kami aniaya, tidak sampai kami BUNUH!

Mengapa misi misionaris tidak diwartakan dengan cara-cara penuh “kesejukan”, kedamaian, keharmonisan, demokratis, kerelaan, keihklasan, maupun pendekatan manusiawi lainnya, alih-alih “memerangi” manusia? Mengapa harus “memerangi” seolah-olah “Tuhan berperang dengan ciptaannya sendiri”? Manusia diciptakan apa adanya, sebagai kaum agama tertentu ataupun sebagai “NON”, salah siapa? Ingat, tiada apapun yang terjadi tanpa rencana, kuasa, maupun seizin Tuhan, tidak terkecuali menjadi seorang “NON”, adalah memang sudah kehendak Tuhan—sehingga membunuh atau menyakiti kaum “NON”, sama artinya melawan kehendak Tuhan. Secara tidak konsisten, bagai “standar ganda”, kita jumpai “kabar gembira bagi para pendosa” berikut, yang saling menegasikan dengan ancaman sebelumnya di atas, dimana dua “wahyu” Tuhan eksis disaat bersamaan dan saling meniadakan satu sama lainnya:

“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar telah menceritakan kepada kami Ghundar telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Washil dari Al Ma’rur berkata, “Aku mendengar Abu Dzar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Jibril menemuiku dan memberiku kabar gembira, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga.” Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzina? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzina’.” [Shahih Bukhari 6933]

Disebutkan bahwa “maksiat” adalah “dosa”, namun disaat bersamaan dinegasikan kembali oleh ideologi internal keyakinan keagamaan bersangkutan, bahwasannya “BUAT DOSA, SIAPA TAKUT?!”—semata karena mereka mempromosikan serta mengkampanyekan iming-iming “too good to be true” secara vulgar (bahkan lewat speaker pengeras suara, tanpa malu-malu, terlebih dijadikan “tabu”) bernama “penghapusan / pengampunan dosa” ataupun “penebusan dosa” (aboliton of sins); sekalipun kita ketahui betul, bahwa hanya seorang pendosa yang membutuhkan penghapusan dosa (atau apapun itu istilahnya yang mencerminkan sikap ksatria yang bertanggung-jawab atas setiap perbuatannya).

Menjadi ironis, terhadap maksiat demikian kompromistis akibat kampanye dan promosi “penghapsuan / penebusan dosa” bagi para pendosa penuh dosa, namun disaat bersamaan demikian tidak intoleran terhadap kaum yang berbeda keyakinan bahkan terhadap agama yang sama namun berbeda sekte aliran. Dalam berbagai kesempatan, penulis kerap menjabarkan tiga kategorisasi besar agama, yakni : “Agama SUCI” yang hanya mempromosikan kebaikan dan memiliakan Tuhan dengan cara menjadi manusia yang mulia (suciwan) bersih dan bebas dari kejahatan sekecil apapun, “Agama KSATRIA” dimana bisa jadi berbuat keliru dan salah, namun tanpa perlu dituntut akan seketika tampil untuk mempertanggung-jawabkan perbuatannya kepada para korban para ksatria tersebut, dan “Agama DOSA” dimana para pemeluknya (pendosa) berlomba-lomba mengoleksi dan menimbun serta berkubang dalam kubangan dosa, produktif dalam dosa, dengan mindsetRUGI dan MERUGI, bila menyia-nyiakan janji-janji pengampunan dosa”—tanpa mau menyadari betapa promosi demikian bersifat “too good to be true”, kabar gembira bagi pendosa selalu merupakan kabar buruk bagi korban-korban para pendosa tersebut.

Yang disebut sebagai misi misionaris yang murni, ialah suatu kondisi dimana ada atau tidak adanya umat pengikut, banyak atau sedikitnya umat pengikut, sang nabi tetap hidup selibat, makan satu kali sehari, hanya memiliki harta berupa jubah bekas yang dikenakan di badan, tanpa kepemilikan harta kekayaan, tidur di alas yang sederhana, dan melepaskan alih-alih menghimpun dan menguasai kepemilikan. Bahkan, sang nabi pada mulanya tidak berminat mengajarkan umat manusia yang tebal kekotoran batinnya, sampai kemudian dimohonkan oleh makhluk dari alam Brahma agar khotbah dibabarkan kepada umat manusia demi kebahagiaan dan kebaikan para makhluk di segenap alam kehidupan (silahkan rujuk sutta mengenai pemutaran roda Dhamma).

Otak, merupakan anugerah paling utama pemberian Tuhan, dan hati nurani merupakan suara hati hasil resonansi frekuensi “Ketuhanan”. Keyakinan kegamaan yang tidak “toxic” (tidak beracun), tidak menistakan fungsi nurani maupun otak untuk berpikir, mencerna, dan menilai (mengkritisi dan menelaah mana yang baik dan mana yang buruk)—terlebih menggadaikannya demi “iman” setebal tembok tebal yang tidak tembus oleh cahaya ilahi manapun. Ciri “wahyu” yang sejati ialah, KONSISTEN antar ajaran sang nabi itu sendiri, KONSISTEN antar khotbah sang nabi itu sendiri, serta KONSISTEN antara ucapan dan perbuatan sang nabi itu sendiri. Secara konsisten pada berbagai sutta pada Tipitaka, Sang Buddha bersabda: [silahkan Anda bantah, itu pun bila Anda sanggup menemukan cacat cela dalam Tipitaka maupun riwayat hidup Sang Buddha]

Aku tidak mengajar untuk menjadikanmu sebagai murid-Ku.

Aku tidak tertarik untuk membuatmu menjadi murid-Ku.

Aku tidak tertarik untuk memutuskan hubunganmu dengan gurumu yang lama.

Aku bahkan tidak tertarik untuk mengubah tujuanmu,

karena setiap orang ingin lepas dari penderitaan.

Cobalah apa yang telah Kutemukan ini,

dan nilailah oleh dirimu sendiri.

Jika itu baik bagimu, terimalah.

Jika tidak, janganlah engkau terima.

[Digha Nikaya 25; Patika Vagga; Udumbarika-Sihanada Sutta]

Bila “Agama POTONG TANGAN” diberi definisi sebagai “kepatuhan secara MUTLAK”, maka simbolisme Buddhisme sangat kental nuansa “hak asasi manusia”, yakni hak untuk memilih dan memeluh keyakinan yang bersifat personal tanpa dapat diganggu-gugat oleh otoritas sekalipun, yaitu “ehipassiko” yang bermakna “datang, lihat, dan buktikan sendiri”. Tiada yang lebih memuliakan otak pemberian Tuhan, daripada kampanye intelektual yang dikumandangkan oleh Sang Buddha, dimana fungsi otak dimanusiakan, diberdayakan, serta dikelola sehingga manusia dapat lebih beradab, lebih manusiawi, serta lebih mulia—memuliakan Tuhan bukanlah dengan menjadi “pendosa penjilat penuh dosa”, dengan dengan menjadi “manusia yang mulia”.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.