HAK SAKSI Vs. HAK TERSANGKA, Banyak yang Mana?

Prinsip EQUALITY BEFORE THE LAW Vs. KUHAP, manakah yang Lebih Suprematif?

Perbedaan COMMON PRACTICE Vs.COMMON SENSE

Tersangka maupun Saksi, adalah Sama-Sama Warganegara, dimana Sesama Warganegara Seharusnya Setara dan Sederajat Dihadapan Hukum

Question: Sebenarnya yang namanya dipanggil sebagai saksi oleh polisi untuk datang ke kantor polisi untuk diperiksa (lebih tepatnya ialah “dimintai keterangan”), apa juga punya “hak untuk diam” maupun “hak untuk didampingi pengacara” seperti hak-hak seorang tersangka pada umumnya menurut hukum?

Brief Answer: Modus menetapkan seseorang “tersangka” dengan dipanggil menghadap untuk dimintai keterangan, bukan dengan status sebagai “tersangka”, namun sebagai “saksi” seolah-olah dibutuhkan “keterangan saksi”, merupakan modus klasik kalangan aparatur penegak hukum. Bila kita sepakat, bahwa setiap warganegara, tanpa terkecuali, adalah memiliki hak untuk diperlakukan secara sederajat di hadapan hukum, maka tidaklah dapat suatu norma hukum acara pidana dimaknai sebagai “hak-hak Tersangka maupun Terdakwa” lebih tinggi atau lebih banyak daripada “hak-hak warganegara yang bukan Tersangka ataupun Terdakwa” (semisal dipanggil untuk menghadap sebagai saksi dalam rangka dimintakan keterangan oleh pihak penyidik maupun ketika dimintakan kesaksian di hadapan hakim persidangan).

Prinsip “equality before the law” demikian, menurut sejarah evolusi “negara hukum berdasarkan konstitusi”, untuk kali pertamanya dicetuskan dalam Revolusi Amerika yang melahirkan semangat kemerdekaan paska “perang saudara” yang penuh “pertumpahan darah”, dimana kemudian menjadi konvensi baru ketatanegaraan bersejarah yang revolusioner, bahwa kasta “kelas buruh / budak”, “kulit putih” dan “kulit hitam”, maupun bangsa jajahan, dihapuskan setingga setiap warganegara menjadi sejajar suara maupun kedudukannya di mata hukum, tidak terkecuali untuk memilih maupun dipilih dalam pemilihan umum.

Justru bila kita mengupasnya secara falsafah maupun “uji moril” yang dapat dipertanggung-jawabkan secara nalar, yakni bilamana dimaknai sebaliknya, menjadi aneh bilamana seorang (terduga) kriminil (Tersangka ataupun Terdakwa pelanggar hukum) justru diberi dan memiliki hak-hak yang jauh lebih banyak daripada warga lainnya yang patuh terhadap hukum (sebatas dihadirkan / dipanggil sebagai seorang saksi). Bagaimana mungkin, warga yang patuh terhadap hukum, justru hak-haknya lebih sedikit daripada hak-hak seorang kriminil pelanggar hukum, semata karena yang satu diberi label status “saksi’ dan yang satunya lagi diberi gelar sebagai “Tersangka / Terdakwa”?

Berangkat dari falsafah tersebut sebagaimana di atas saja, jelas bahwa “common practice” selama ini yang menjadi praktik pada berbagai profesi penyidik, entah itu penyidik pada kantor Kepolisian, Kejaksaan, maupun seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, yang hanya memberi hak untuk diam (“right to remaint silent”) maupun hak untuk “didampingi penasehat hukum”—hak-hak mana bersumber dari norma bentukan preseden dari Amerika Serikat, yang lebih dikenal dengan julukan “Miranda Rule Principle”—mencerminkan betapa paradigma berpikir aparatur penegak hukum kita di Indonesia masihlah bersifat terbelakang dan orthodoks, alias miskin “akal sehat” (common sense).

PEMBAHASAN:

Dalam kesempatan ini, penulis akan membahas falsafah dibidang hukum pidana, yang tampaknya tidak pernah disentuh oleh praktisi maupun akademisi hukum dibidang asas-asas hukum pidana, asas mana sejatinya sangat mendasar, namun karena sifatnya yang mendasar itulah menjadi kerap “dipandang sebelah mata” ataupun diabaikan dan diremehkan sifat pentingnya. Sebagaimana kita ketahui, asas-asas hukum pidana merupakan pilar atau fondasi penopang dari segala jenis dan segala bentuk norma-norma hukum pidana baik itu norma materiil pemidanaan maupun norma hukum acara pidana. Ulasan ini juga sekaligus memperlihatkan, betapa aparatur penegak hukum di republik bernama Indonesia ini masih kental menonjolkan watak “common practice”—namun miskin “common sense”.

Mereka tidak pernah mau masuk untuk menyentuh apa yang menjadi hakekatnya, yakni sebuah pertanyaan yang utamanya ialah mengapa hak-hak seseorang yang dijadikan sebagai Tersangka, justru dinyatakan lebih banyak dari pada hak-hak seorang warga yang dipanggil sebagai seorang saksi? Apakah kita selaku warga, harus terlebih dahulu melanggar hukum, barulah akan diberikan hak-hak lebih banyak dari negara? Mengapa warga yang baik dan patuh terhadap hukum, justru diberi “dis-insenstif” oleh hukum acara pidana berupa tidak diberi kesempatan untuk “didampingi penasehat hukum”, juga tidak diberi kebebasan untuk “memilih diam”? Bukankah asas tertinggi bangsa beradab ialah, semangat “equality before the law”, sehingga mengapa hak-hak seorang warga yang patuh hukum justru kalah banyaknya dengan hak-hak seorang Tersangka / Terdakwa?

Pasal 54 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memiliki pengaturan “blunder” dengan kutipan sebagai berikut, “Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini.” Secara akal sehat, norma hukum acara sebagaimana diatur secara eksplisit dalam Pasal 54 KUHAP di atas, secara implisit harus dibaca sebagai berikut, mengingat tidak dapat dimaknai lain bahwa regulator pembentuk Undang-Undang dapat dipastikan sejak semula bermaksud atau memiliki maksud hati untuk membuat rumusan sebagai berikut:

Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa (juga / tetap) berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini—(sehingga tidak statusnya sebagai tersangka ataupun terdakwa tidak mengurangi hak-hak ke-warganegara-annya dan tidak mengamputasi diperlakukan sederajat di hadapan hukum sebagaimana warga lainnya yang dijadikan saksi).”

Pasal berisi norma hukum acara di atas, bukan dan tidak dapat dimaknai sebagai pemberian hak oleh negara kepada seorang Tersangka ataupun Terdakwa, namun sifatnya penegasan bahwa ada hak-hak ke-warganegara-annya selaku warganegara, untuk tidak dirampas hak untuk “remaint silent” maupun “hak untuk didampingi penasehat hukum” sebagaimana hak-hak warga pada umumnya tanpa terkecuali. Kembali pada falsafah hukum, hukum negara pada dasariahnya tidak bersifat memberi hak kepada warga—justru sebaliknya, merampas hak rakyatnya.

Sebagai contoh, sebelum hukum negara dibentuk dalam wujud Undang-Undang ataupun peraturan perundang-undangan, setiap warganegara bebas “main hakim sendiri” maupun untuk menyandang senjata api ataupun senjata tajam. Namun, ketika hukum negara dibentuk, hak-hak publik umum tersebut dirampas dan menjadi hak monopolistik aparatur penegak hukum untuk mempidanakan seseorang warganya yang dinilai melanggar hukum. Sebelum Undang-Undang tentang Lalu Lintas diterbitkan negara, sebagai ilustrasi, setiap pengendara bebas melajukan kendaraannya di lajur kiri maupun kanan. Namun kini setelah Undang-Undang tersebut diterbitkan, hak untuk melaju di lajur kanan telah dirampas oleh negara dan hanya menyisakan hak untuk melaju di lajur kiri bagi kalangan pengendara tersebut.

Dahulu kala, sebelum Undang-Undang tentang Perlindungan Anak diterbitkan, nama seorang anak adalah hak prerogatif orangtua untuk menentukan. Kini, setelah Undang-Undang tersebut diterbitkan, hak untuk menentukan nama merupakan “hak asasi anak”. Sebelum Undang-Undang tentang Perkawinan diterbitkan oleh negara, setiap anggota masyarakat bebas menikahkan putera-puterinya sekalipun masih di bawah umur. Kini, negara telah menetapkan ambang batas usia tertentu sebagai kedewasaan atau kecakapan hukum untuk menikah, sekalipun masih ada pengecualian tertentu untuk diberi dispensasi namun tetap dengan ambang batas usia minimum tertentu.

Dahulu, sebelum Undang-Undang tentang Pajak diterbitkan negara, setiap warga bebas untuk tidak membayar pajak kepada negara. Namun sejak Undang-Undang Pajak disahkan pemerintah, setiap warga menjadi subjek wajib pajak. Sehingga, secara kajiah falsafah, norma hukum, tidak terkecuali hukum acara, tidak pernah dapat dimaknai sebagai “pemberian”, justru sebaliknya sebagai pembatasan dan perampasan hak lewat segala macam bentuk norma perintah, kebolehan, ataupun larangan. Alhasil, hak-hak yang masih melekat pada masing-masing individu rakyat, adalah “hak residu”—disebut demikian, karena masih belum dirampas hak-hak rakyat bersangkutan oleh negara dan menjadi monopolistik negara lewat otoritasnya.

Singkatnya, norma hukum acara pidana diatas hanya lolos “uji moril”, bila dimaknai sebagai berikut : bahkan seorang Tersangka dan seorang Terdakwa saja masih diberikan atau masih memiliki “hak untuk didampingi penasehat hukum” serta “hak untuk diam”, terlebih-lebih seorang warga yang dimintakan keterangan sebagai saksi?—dengan demikian, kita barulah dapat memahami serta memaklumi, bahwa sejatinya sebagai seorang warga yang baik dan patuh terhadap hukum, kita akan memiliki / mendapat “reward” berupa hak-hak yang jauh lebih banyak daripada seorang Tersangka ataupun Terdakwa. Sebaliknya, akan menjelma “moral hazard”, bilamana menjadi warganegara yang baik dan patuh terhadap hukum, justru diberikan “dis-insenstif” berupa hak-hak yang lebih sedikit daripada hak-hak seorang Tersangka maupun Terdakwa.

Sebenarnya tiada norma hukum tertulis yang jelas sejelas-jelasnya, semua medium bahasa, lisan maupun tertulis, tidak sempurna adanya, sehingga selalu berpotensi ruang interpretasi dan penyimpangan ataupun pembiasan disamping distorsi saat di-interpretasi atau ditafsirkan dan diberi makna (pemaknaan) oleh masing-masing pembacanya. Sebagai contoh, alat bukti berupa sertifikat hak atas tanah terbitan Badan Pertanahan Nasional (BPN) disebut bersifat “kuat” pembuktiannya, namun kemudian pemerintah lewat Peraturan Pemerintah berdalih, berkelit dengan menyatakan bahwa “memang sertifikat tanah yang diterbitkan oleh negara ialah ‘kuat’ buktinya, namun tidak ‘sempurna’.” Sempurna, namun tidak mutlak. Mutlak, namun tidak absolut. Absolut, namun tidak utuh. Utuh, namun tidak bulat. Selalu dapat kita “pelintir” norma hukum tertulis, sebagaimana ketidak-sempurnaan medium komunikasi bahasa lisan maupun tertulis, dengan membuat “kalimat ekor” yang berantai dan sambung-menyambung (long tail words).

Pasal KUHAP di atas, mendapat bantuan hukum pun tidak selalu dimaknai “mendampingi” saat Tersangka / Terdakwa diperiksa oleh pihak penyidik ataupun penuntut, namun bisa sebatas “briefing pra-pemeriksaan” sebagaimana dalam penyidikan terhadap tersangka di kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ditafsirkan pula, hanya tersangka yang diberi hak untuk mendapat bantuan hukum dari penasehat hukum, namun “saksi sekalipun itu bakal calon tersangka)” tidak punya hak serupa, sehingga pihak penyidik kerap “mengakalinya” dengan tidak kunjung menaikkan status pihak tersebut sebagai Tersangka, namun tetap sebgai saksi, untuk di-eksploitasi keterangannya.

Perhatikan cuplikan dialog berikut, seorang warga bernama (sebut saja inisialnya sebagai) “SIBerlinang AirMata” yang mendapat “surat cinta” panggilan polisi untuk menghadap ke kantor polisi dalam rangka dimintakan keterangan sebagai saksi. Setibanya di kantor polisi, SIBerlinang AirMata dihadapkan pada seorang penyidik kepolisian bernama (kita sebut saja inisialnya sebagai) Pak Sambo SiPsiko—mengingat arogansinya khas ala Fredy Sambo, tauladan tertinggi POLRI, Kepala Divisi Propam—dengan dialog sebagai berikut.

SIBerlinang AirMata : “Ada apa Pak Polisi, panggil-panggil saya ke kantor polisi? Sebetulnya Pak Polisi ataukah saya yang kurang kerjaan harus buang-buang waktu seperti ini, seolah tidak punya pekerjaan lain? Kan, Pak Polisi yang butuh keterangan dari saya, mengapa harus saya yang harus merepotkan diri datang ke kantor Bapak? Mestinya ‘yang butuh’ yang mendatangi, bukan sebaliknya! Buat apa semala ini saya bayar pajak untuk menjadi sumber gaji Bapak?

Sembari menyemburkan asap bakaran tembakau dari mulutnya kepada sang warga penghadap, Pak Sambo SiPsiko bertanya dengan gaya bak menginterogasi : “Saya tanya kamu, kamu kenal dengan SiBanyakBacot, SiTukangGosip, dan SiSukaNgibul, atau tidak?

SIBerlinang AirMata hanya terpaku diam pada kursinya, tanpa menjawab sepatah kata pun dari mulutnya yang hanya tertutup rapat sembari menahan batuk dan sesak pada pernafasannya.

Mendadak Pak Sambo SiPsiko menggebrak mejanya, membuat kopi dalam gelas di atas meja berhamburan. “KALAU DITANYA, (MAKA) JAWAB!!!” bentak Pak Sambo SiPsiko, dengan sorotan mata seperti seekor harimau hendak menerkam mangsa empuknya.

SIBerlinang AirMata kemudian menanggapi secara ringan dan santai saja : “Saya punya hak untuk diam dan hak untuk tidak menjawab.

Pak Sambo SiPsiko tidak mau kalah sengit untuk berdebat dengan sang warga (sipil) penghadap, “Aha, Anda mau adu ilmu (pengetahuan hukum acara pidana) dengan saya rupanya, ya!? Akan saya berikan Anda pelajaran! Anda mau mengetes kesabaran saya juga, ya?! Hak untuk tetap diam adalah hak seorang TERSANGKA. Anda dipanggil dengan status sebagai SAKSI, bukan TERSANGKA! Ayo jawab, Anda kenal dengan nama-nama tersebut atau tidak, JAWAB SAYA! Kalau tidak menjawab, akan saya buat Anda menyesali sikap Anda itu dengan mempersulit Anda!!

Sebagai warga yang cerdas dan “melek hukum”, mengingat SIBerlinang AirMata telah membekali diri dengan ilmu dari konsultan hukumnya, maka tiada pilihan lain selain harus menanggapi interogasi sang Bapak Penyidik, namun dengan jawaban yang cerdas, “Kalau begitu, Bapak Polisi anggap saja saya sebagai tersangka. Sekarang saya mau diam membisu, Bapak Polisi mau buang-buang waktu sampai kapan lagi?

Dalam kejadian terpisah, seorang warga, kita sebut saja namanya dengan inisial “SiSemangat BerapiApi” yang dipanggil menghadap penyidik kepolisian di sebuah kantor polisi. SiSemangat BerapiApi pun tiba pada hari yang telah ditentukan pada “surat cinta”, didampingi serta seorang pengacara sebagai penasehat hukumnya, bernama “Man-In-Black SiPenggembira”. Singkatnya, kini sang saksi berhadap-hadapan pada sang penyidik kepolisian bernama “Arogannya AmitAmit”, dengan cuplikan dialog sebagai berikut:

Hari ini Anda diundang untuk dimintakan keterangannya ke dalam berita acara pemeriksaan sebagai saksi,“ Arogannya AmitAmit memulai dari balik laptopnya yang sudah penuh oleh kerak asap bakaran tembakau, sebelum kemudian mendelik pada Man-In-Black SiPenggembira, “Eh itu kamu, siapa kamu? Kamu siapa, ada di ruangan ini?

Man-In-Black SiPenggembira menanggapi dengan wajah tegang dan kaku, atau memang sudah dari “orok”-nya wajahnya memang kaku dan monoton tanpa mimik wajah, “Saya penasehat hukum Bapak SiSemangat BerapiApi.”

Arogannya AmitAmit tidak mau kalah berdebat dengan seorang pengacara, “Menurut KUHAP, hanya seorang tersangka ataupun terdakwa yang berhak didampingi penasehat hukum. Ayo, kamu keluar sana dari ruangan ini!!!

Pak Polisi sudah siap menggebrak meja, namun meja tersebut mendadak gontai secara sendirinya akibat salah satu kaki mejanya telah rapuh akibat terlampau sering menerima gebrakan dari majikannya, sehingga sang Pak Polisi kemudian mengurungkan niatnya. “Kamu mau Klien kamu saya tingkatkan statusnya dari saksi menjadi TERSANGKA!” ancam Arogannya AmitAmit sembari menyeringai menang.

Man-In-Black SiPenggembira sudah siap mengangkat bokongnya dari kursi untuk keluar ruangan. Namun, SiSemangat BerapiApi, selaku warga yang telah paham dan dibekali pengetahuan perihal hukum acara pidana, bahwa untuk dapat dijadikan sebagai Tersangka (kasus pidana umum maupun tindak pidana korupsi) minimum penyidik sudah punya “modal” berupa dua buah alat bukti dengan ancaman dapat digugat praperadilan jika syarat tersebut tidak terpenuhi, kemudian angkat bicara, “Kalau begitu, silahkan Bapak tingkatkan saja status saya sebagai Tersangka, agar nanti Bapak bisa saya gugat praperadilan setelah berita acara pemeriksaan hari ini selesai, dengan tetap didampingi penasehat hukum saya. Kini, saya menempatkan diri dan menganggap diri saya sebagai seorang TERSANGKA lengkap dengan penasehat hukum yang punya hak untuk mendampingi saya!

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.