Bahaya Dibalik Ideologi “Penghapusan / Pengampunan Dosa” maupun “Penebusan Dosa”
Seri Artikel Sosiologi bersama Hery Shietra
Question: Sekarang dan dewasa ini, hampir semua anggota masyarakat kita mengaku beragama, ber-Tuhan, dan rajin beribadah. Namun mengapa perilaku masyarakat kita di Indonesia begitu terbelakang watak dan mentalitasnya, bahkan tidak bisa disebut beradab (barbar, alias masih biadah), bahkan tega menyakiti ataupun melukai dan merugikan orang lain dengan alasan pembenar sedang buru-buru, seolah-olah terburu-buru menjadi justifikasi untuk menyakiti orang lain hingga tewas seperti cerminan miniatur kultur bangsa kita yang demi keluar dari stadiun sepak bola, para suporter tersebut tega menginjak-injak suporter lainnya hingga meninggal dunia? Singkatnya, mengapa mereka yang mengaku-ngaku ber-SQ tinggi justru “miskin empati”? Apa mungkin, seseorang dapat memiliki SQ tinggi bilamana EQ-nya memprihatinkan seperti itu? Saya jadi curiga, SQ bukanlah segala-galanya.
Brief Answer: Dahulu kala, ribuan tahun lampau, sebelum “agama
samawi” lahir, tiada penjahat ataupun pendosa yang yakin dirinya akan masuk
surga setelah “dewa pencabut nyawa” menghampirinya dan setelah segala kejahatan
yang diperbuat olehnya. Namun kini, saat ideologi “penghapusan / pengampunan
dosa” maupun “penebusan dosa” menguasai cara berpikir umat manusia, sebagai
agama mayoritas yang mendominasi dan menjelma hegemoni (diktatoriat yang
otoriter, lihat cerminan Negara Iran) itu sendiri, para pendosa dan penjahat
justru berbondong-bondong memproduksi dosa, mengoleksi dosa, mencetak dosa,
berkubang dalam dosa, menimbun dosa, dan disaat bersamaan menjadi pelanggan
tetap (pecandu) ideologi korup yang “too
good to be true” tersebut—berdosa, membuat dosa, pendosa, namun masih juga
mengharap masuk surga, ironis.
Penulis menyebutnya sebagai “Agama DOSA”, semata
karena mempromosikan dan mengkampanyekan “abolition
of sins”, rugi di korban dan untung bagi pelakunya. Bagi para pendosa,
bersikap ksatria selayaknya umat “Agama KSATRIA” yang ketika berbuat keliru
baik karena sengaja ataupun kelalaian maka sang ksatria akan memilih untuk
seketika mengambil tanggung-jawab dan bertanggung-jawab, namun bukan menjadi
opsi bagi para umat “Agama DOSA” yang dosa-dosanya telah menggunung menjelma “too big to fall”. Karenanya, kita
janganlah berdelusi dengan mengharap bahwa para umat “Agama DOSA” bersikap
humanis layaknya umat “Agama SUCI”.
PEMBAHASAN:
Saat ulasan ini disusun, sedang
hangat-hangatnya berita sensasional yang mewartakan kondisi ratusan penonton
sepak bola yang tewas akibat terinjak-injak penonton bola lainnya yang dengan
alasan panik atau terburu-buru hendak keluar stadiun sepak bola sesuai
pertandingan kedua kesebelasan, lalu memilih untuk menginjak sesama warga dan
sesama umat manusia, yang paling sedikit akibatnya sesama manusia yang
terinjak-injak akan mengalami luka-luka, patah tulang, hingga meninggal
dunia—pemberitaan mana bukan untuk kali pertamanya terjadi di republik yang
menurut sejumlah pihak, mental bangsanya masih primitif. Keluar secara tertib,
jauh lebih efisien mengalirkan arus massa untuk dapat keluar disamping tidak
mencederai siapapun, hal mana sebetulnya tidak perlu imbauan dari pihak
pengelola gedung.
Jangankah jauh-jauh sampai ke
situ, dalam keseharian hingga hampir separuh abad usia penulis lahir dan tumbuh
besar di Indonesia, fenomena sosial serupa kerap penulis alami sendiri secara
langsung selama berada di luar kediaman, semisal ketika berada di tempat umum,
di jalan umum, di sebuah komunitas, dan dimanapun lingkungannya. Ilustrasi
sederhana berikut tampaknya juga pernah para pembaca alami sendiri secara
langsung, yakni dengan alasan buru-buru, malas, atau lain sebagainya,
pengendara kendaraan roda dua tega melawan arus dengan melajukan “banteng
besi”-nya secara melawan arus, merampas hak pengguna jalan lainnya,
sampai-sampai penulis yang seorang pejalan kaki harus melompat ke badan jalan
dengan resiko tertabrak oleh pengendara lain di belakang penulis, agar tidak
ditabrak oleh “banteng besi” yang melaju melawan arus.
Apapun alasannya, terlebih demi
sekadar alasan tidak terpuji seperti “sedang buru-buru”, lantas memilih untuk
melukai, merugikan, dan menyakiti individu lainnya, sungguh cerminan mentalitas
“miskin empati”. Baru-baru ini di satu ruas jalan perumahan, penulis berjalan
kaki di sisi kiri, dari arah seberang terdapat kendaraan roda empat yang sedang
melintas, dan hanya menyisakan sedikit ruang pada sisi kiri jalan yang cukup
hanya untuk satu orang pejalan kaki untuk melintas. Namun, kendaraan roda dua
yang berada di belakang mobil dari arah seberang penulis, tampak tidak mau
bersabar, lalu memilih untuk melawan arus dengan memutas gas akselerasi dimana penulis
harus seketika itu juga melompat ke rerumputan di pinggir jalan agar tidak
terkena tabrak pengendara motor yang melawan arus tersebut.
Tidak takut dosa, pengendara tega
merugikan (merampas hak pejalan kaki, betapa serakahnya disamping tidak malu),
melukai (mengancam akan terluka bila terkena tabrak), dan menyakiti (siapa yang
suka menjadi korban tabrak lari?), maka dapat penulis pastikan bahwa dirinya
adalah seorang umat “Agama DOSA” yang dalam keseharian beribadah menyembah
ideologi korup bernama “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”.
Motto mereka satu-satunya ialah, “BUAT
DOSA, SIAPA TAKUT?!” Jangankan di jalan umum beraspal, di trotoar bahkan di
atas jembatan penyeberangan orang pun penulis kerapkali harus segera menepi ke
sisi pagar jembatan agar tidak terkena tabrak pengendara kendaraan roda dua
yang melaju “tanpa rasa dosa” di atas jembatan penyerangan orang. Jangankan merasa
berdosa, malu pun mereka tidak, bahkan berani menatap mata penulis.
Lalu mengapa penulis memilih
untuk melompat menghindar, daripada “pasang badan” melawan para pengendara
“pelawan arus” tersebut? Semata karena penulis telah menyadari dan mengalami
sendiri, sejak masih duduk di bangku sekolah, bahwa masyarakat kita di
Indonesia adalah “agamais” tulen, namun semakin “agamais” dirinya—kerap
mengaku-ngaku ber-Tuhan, mengaku-ngaku beragama, memakai istilah-istilah
keagamaan, rajin beribadah, dan suka mengutip ayat-ayat Kitab agamanya, bahkan
berbusana dengan nuansa keagamaan tertentu—maka semakin tidak takut dosa
(menyakiti, merugikan, ataupun melukai individu lainnya) dan semakin tidak
bertanggung-jawab pula mereka jadinya.
Bagi mereka, bertanggung-jawab sama
artinya dengan “MERUGI” dan menyia-nyiakan “kabar baik bagi para pendosa”
bernama ideologi “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”. Kita
harus betul-betul melindungi diri kita secara sebaik yang kita mampu—jika perlu
kita mengalah saja agar tidak sampai terluka ataupun dirugikan—karena bila
sampai kita terluka atau tersakiti maupun dirugikan, dapat penulis pastikan
mereka tidak akan bertanggung-jawab sekalipun kita menuntut mereka. Mengetahui
betul bahwa masyarakat “agamais” kita dikenal tidak bertanggung-jawab, maka
tiada opsi lain bagi penulis selain menjaga diri baik-baik agar tidak sampai
terluka, tersakiti, ataupun terugikan. Berpuluh-puluh tahun mereka belajar
agama dan beribadah, namun perihal tanggung-jawab dan sikap bertanggung-jawab
saja, mereka begitu miskin dan kering.
Dapat penulis pastikan, kita
minta pertanggung-jawaban, maka mereka akan lebih galak daripada korbannya,
bahkan memakai budaya khas bangsa Indonesia, yakni “selesaikan segala
masalah dengan kekerasan fisik”. Sehingga, sejujurnya penulis sama sekali
tidak terkejut, ketika mendapati adanya pemberitaan bertajuk “Tragedi
Kemanusiaan : Ratusan Suporter Sepak Bola Tewas Terinjak-Injak oleh Suporter
Lainnya yang Berebutan Keluar Stadiun”—yang konon ditengarai akibat pihak
keamanan yang menembakkan gas air mata “kadaluarsa”, sekalipun “akal sehat
adalah SOP tertinggi” sekaligus membuktikan bahwa selama ini aparatur kita
lebih mengedepankan “common practice
(kebiasaan mengamankan pengunjuk rasa)” alih-alih “common sense” (kian panik mereka jadinya).
Kisah ekstrem berikut penulis
dengar dari seorang kenalan, yang perlu kita tarik pelajarannya sekaligus
mengenalkan kita pada watak asli bangsa “agamais” ini. Pada suatu pagi, pada
ruas jalan pemukiman, seorang warga berjalan kaki keluar rumahnya menuju pasar,
lalu melintas motor yang dikemudikan oleh ibu-ibu penjual sayur-mayur dalam
kondisi mengebut, dan menabrak sang warga hingga mengalami patah tulang. Ketika
sang pengemudi, ibu-ibu penjual sayur, dimintai pertanggung-jawaban oleh sanak
keluarga korban, sekadar untuk menggantikan biaya berobat (itu pun korban masih
tetap merugi bila sang pelakunya benar-benar mau bertanggung-jawab, karena
sekalipun berobat, korban tidaklah dapat pulih sepenuhnya seperti sedia kala),
suami sang ibu-ibu penjual sayur kemudian marah-marah, lebih galak, mengamuk,
bahkan mengancam-ancam keluarga korban. Kita harus betul-betul jaga diri ketika
berhadapan dengan manusia “Made in Indonesia”,
tiada ada nasehat yang lebih penting dan lebih jujur daripadai tu.
Bagi mereka, para pendosa
pemeluk ideologi “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa” untuk
lebih tepatnya, bertanggung-jawab artinya “MERUGI”, dan dapat berkelit dari
tanggung-jawab artinya “UNTUNG”. Kini para pembaca dapat memahami, mengapa
jargon “Agama DOSA” kerap membuat gimmick-marketing bahwa yang tidak memeluknya
ialah “kaum yang MERUGI”. Dari sudut pandang falsafah maupun ilmu anthropologi,
tiada yang lebih mengancam dan membahayakan eksistensi kemanusiaan dan
peradaban umat manusia daripada ideologi “korup” bernama “penghapusan /
pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”—dipeluk secara berjemaah,
alih-alih diperangi dan diberantas. Demikian kompromistik terhadap dosa dan
maksiat, namun disaat bersamaan demikian intoleran terhadap kaum yang berbeda
keyakinan.
Mereka memberi label “Agama
SUCI” pada label kemasan agamanya, namun esensinya ialah “Agama DOSA” yang
bersumber dari “Kitab DOSA” yang mengkampanyekan dan mempromosikan ideologi “penghapusan
/ pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”—dimana para pendosa menjadi terlena
dan dinina-bobokan, dimana para pendosa yang menjadi peminatnya
berbondong-bondong memeluknya “mati-matian”, dan meyakininya sebagai
“KEUNTUNGAN” tertinggi. Begitu kotor, tercela, sekaligus pengecutnya mereka,
tidak berani bertanggung-jawab, merasa senang berbuat dosa, namun masih juga
berdelusi akan masuk alam surgawi lengkap dengan pelayanan bidadari berupa “service selangkangan”. Jangankan dapat
disebut sebagai “suciwan”, bersikap “ksatria” saja mereka sama sekali tidak
lolos kriteria. Menjijikkan, namun berdelusi dirinya sebagai “suciwan”. Pendosa
hendak berceramah perihal hidup suci dan mulia? Itulah yang disebut sebagai
hipokrit, “munafik teriak munafik”.
Praktis, peradaban umat
manusia justru mundur menuju era kegelapan semenjak idelogi korup bernama “penghapusan
/ pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa” diperkenalkan kepada umat manusia.
Ada manusia pendosa, butuh “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan
dosa”—ada demand—maka ada tawaran
berupa iming-iming “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”—ada
supply. Sekadang dapat Anda pahami,
mengapa saat kini “Agama DOSA” justru mendominasi umat manusia, bahkan
memperbudak umat manusia dan menjajah kemanusiaan. Bagaimana dengan nasib “Agama
SUCI” maupun “Agama KSATRIA”? Kian sepi peminat bila tidak dapat disebut hampir
punah, atau setidaknya sekadar menjadi kaum minoritas.
Beberapa tahun lampau, sempat
penulis mendengar ceramah seorang pemuka “Agama DOSA” yang berkumandang lewat
speaker pengeras suara eksternal tempat ibadah mereka—suaranya bahkan masuk ke
dalam toilet kediaman penulis dengan sangat kerasnya, agama acapkali dinista
oleh aksi umatnya itu sendiri, dimana ayat-ayat agamanya membahana merembes
masuk ke dalam tong sampah bahkan ke dalam toilet berbagai kediaman milik warga
yang berada di sekitarnya—membuat ceramah yang mengajak para umatnya untuk
memilih, memilih antara “otak” ataukah memilih “iman” (seolah-olah “otak”
bukanlah anugerah ciptaan dan bukan pula pemberian Tuhan), dimana “otak harus
digadaikan demi iman setebal tembok beton yang bahkan tidak tembus oleh cahaya
ilahi manapun, dengan kutipan ceramah provokatif sebagai berikut:
“Ada tokoh agama lain yang
bilang, orang baik yang tidak beribadah seperti ibadah kita (kaum NON) pun bisa
masuk surga. Itu tidak benar! Kalau orang baik memang bisa masuk surga tanpa
beragama sekalipun, sebagai ateis, atau sebagai kaf!r, lalu untuk apa kita
setiap harinya harus lima kali dalam sehari beribadah pada Tuhan?
Sebaik-baiknya manusia, adalah lebih soleh dan soleha yang beribadah dan
beriman pada Tuhan.”
Mereka tidak mengetahui dan
tidak diajarkan, bahwa untuk memuliakan Tuhan bukanlah dengan cara menjadi
seorang “pendosa penjilat penuh dosa”, namun dengan menjadi manusia yang mulia—setidaknya
menjadi sorang “ksatria” bila tidak dapat menjadi seorang suci. Sejatinya,
pertanyaan sang penceramah di atas telah terjawab oleh pertanyaan sang pemuka
agama itu sendiri. Mereka juga tidak tahu dan tidak diajarkan, bahwa “alam
neraka merupakan monumen kegagalan Tuhan”, dimana ketika seorang umat manusia
memilih untuk menjadi “NON”, maka sejatinya Tuhan tidak lagi “Maha Kuasa”
terhadap dirinya. Alam neraka, merupakan wujud frustasi Tuhan yang
eksistensinya lenyap bilamana tiada umat penyembah.
Menurut Anda, manakah yang sejatinya
lebih beruntung, penjahat yang selalu berhasil melancarkan setiap niat
jahatnya, ataukah penjahat yang selalu gagal setiap kali mencoba melancarkan
setiap niat jahatnya? Jawaban dari kaum pemeluk “Agama DOSA” akan
bertolak-belakang dengan jawaban tegas dari kaum pemeluk “Agama SUCI” maupun
pemeluk “Agama KSATRIA”. Tiada yang dapat kita curangi dalam hidup ini, itulah pesan
dari Hukum Karma—karenanya, antara ajaran mengenai Hukum Karma dan ideologi “penghapusan
/ pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”, tidak berjalan secara linear,
namun saling menegasikan satu sama lainnya. Jujur, penulis sama sekali tidak
merasa nyaman hidup berdampingan dengan para pendosa yang setiap harinya
menyembah dan menikmati ideologi “penghapusan / pengampunan dosa” maupun
“penebusan dosa”. Bila tidak “kepalang tanggung” menguasai Bahasa dan mendalami
ilmu hukum di Indonesia, penulis sudah hijrah sebagai bekal / modal
keterampilan bertahan hidup.
Sebagai penutup, penulis akan
mengungkap watak otentik bangsa Indonesia—sebenarnya Anda pun dapat
mengamatinya sendiri sekalipun tanpa hijrah ke negara lain, karena semua orang
dapat menjadi seorang sosilog yang baik bilamana mampu melihat dan berpikir
secara jernih. Namun ibarat ikan, tidak tahu apa itu “air” bilamana selama ini
tinggal dan hidup di dalam “air”—dimana beberapa tahun lampau, saat berjalan
kaki menuju pulang ke kediaman, di sebuah ruas jalan pemukiman, mendadak dari
arah belakang seorang pengendara kendaraan bermotor roda dua mengklakson
kencang ke arah penulis, seolah-olah penulis tidak punya hak atas jalan umum,
seolah-olah dirinya “super sibuk” dan ada urgensi untuk “terburu-buru”
(mentalitas minta dihormati dan dihargai, namun disaat bersamaan tidak mau
menghormati ataupun menghargai warga lainnya).
Anda tahu apa yang kemudian
terjadi, beberapa meter di depan? Setelah penulis kembali melanjutkan
perjalanan, beberapa ratus meter kemudian penulis mendapati pengendara motor
yang sebelumnya mengklakson penulis dan mengebut tersebut, kini sedang
“nongkrong-nongkrong” bersama kawan-kawan di sebuah warung sekadar untuk
bersenda-gurau dan bicara “ngolor-ngidul” yang sama sekali tidak cerdas dan
tidak produktif. Kesemua fenomena sosial di atas, bukanlah anomali, karena selalu
penulis jumpai selama perjalanan hidup penulis dari usia bocah hingga dewasa
selama puluhan tahun menetap di Indonesia.
Pernah atau kenalkah Anda,
terhadap orang-orang yang selama ini meresahkan Anda, melukai Anda, merugikan
Anda, menyakiti Anda, dan Anda tahu betul perilakunya sangat jahat dan penuh
dosa serta cela, namun justru rajin beribadah, bahkan menjadi pemuka agama dan
penceramah? Seperti yang telah penulis kemukakan di muka, semakin “agamais”
seseorang, semakin mereka tidak takut berbuat dosa, dan semakin pula mereka
memandang diri mereka terjamin masuk surga—seolah-olah Tuhan lebih PRO terhadap
pendosa ketimbang memberi keadilan bagi korban-korban para pendosa tersebut.
Penulis tidak sedang menuduh, namun sekadar sebagai testimoni bagian dari anggota
masyarakat yang mengalami langsung kesemua fenomena sosial tersebut, di
Indonesia. Bagi seorang suciwan maupun kaum ksatria, wajar bila tidak merasa
cocok hidup di Indonesia, karena serigala hanya akur dan cocok tinggal bersama
serigala lainnya.
Tahukah Anda, alam surga
semacam apa yang mereka maksudkan itu? Tidak lain tiada bukan ialah, “dunia
manusia jilid kedua”, dimana antar pendosa yang menghuni surga saling
menyakiti, saling merugikan, dan saling melukai satu sama lainnya. Satu-satunya
faktor pembeda ialah, di surga tiada penjara ataupun hukuman pidana, semata
karena semua pemeluknya ialah pelanggan ideologi “penghapusan / pengampunan
dosa” maupun “penebusan dosa”. Mungkin, alam neraka adalah alam yang lebih
damai ketimbang alam surgawi, dimana para penghuninya (di alam surgawi) tidak
takut berbuat dosa, bahkan tiada hukum pidana atau sejenisnya untuk
memenjarakan para pendosa tersebut—mereka tidak memiliki faktor pembeda antara
kaum “hewan” dan “manusia”, yakni : malu dan takut berbuat jahat.
Meski begitu, penulis
menerapkan prinsip meritokrasi. Memang betul bahwa masih ada warga kita di Indonesia
yang tergolong baik dan tidak jahat. Ketika terdapat pengendara yang bersikap
sabar dan mau mengalah kepada pejalan kaki—selama ini pejalan kaki yang harus
bersabar dan mengalah kepada pengendara kendaraan bermotor—maka penulis
mendoakan pengemudinya agar selama sampai tujuan. Seyogianya kita takut “dikutuk”
oleh warga lain. Namun, sekali lagi, kaum “agamais” mana yang takut “dikutuk”? Jangankan
sekadar “kutukan”, dosa pun mereka tidak takut, bahkan “hidup dari dosa, dan
mati demi dosa”. Meski juga, pepatah telah berpesan, “Yang hidup dari pedang, akan
mati karena pedang.” Janganlah mengharap mereka berbuat kebaikan, kebaikan
paling mendasar seperti bersikap sabar saja, mereka gagal dan tidak sanggup. Menurut
Anda, siapa yang sebetulnya paling merugi dan sedang merugikan dirinya sendiri?
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.