Resiko Dibalik Mendebatkan yang Tidak Perlu Didebatkan dan Mendebat yang Tidak dapat Diperdebatkan
Ada yang perlu kita kerjakan, namun ada juga hal-hal yang tidak perlu kita kerjakan. Ada hal-hal yang perlu kita katakan, namun ada juga berbagai banyak hal yang tidak perlu kita utarakan. Ada yang layak kita perjuangkan, dan ada pula hal-hal yang perlu kita lepaskan dan relakan. Tidak terkecuali, begitu pula ada hal-hal yang perlu kita kritisi, namun ada begitu banyak pula hal-hal yang tidak perlu kita perdebatkan. Kita perlu membiasakan disiplin diri, salah satunya ialah disiplin mengontrol, mengendalikan, dan membatasi diri, demi kebaikan diri kita sendiri maupun orang-orang di sekitar kita. Kita bebas memilih dan beraspirasi, namun jangan sampai kebebasan kita justru mencelakai kepentingan dan kebaikan kita sendiri. Disiplin diri artinya, membatasi dan membuat pagar pembatas dari dan untuk kebaikan diri kita sendiri.
Dalam kesempatan ini, penulis
akan mengangkat sebuah ilustrasi konkret yang baru-baru ini terjadi saat ulasan
ini disusun. Seorang Klien yang menggunakan jasa “drafting surat gugatan” yang
penulis sediakan, menggugat menggunakan draft surat gugatan yang penulis susun
dan rancang secara berkolaborasi dengan sang Klien. Sang Klien notabene merupakan
korban tindak pidana penggelapan atas modal usaha pinjaman miliknya yang
diinvestasikan kepada seorang pelaku usaha, namun telah ternyata diselewengkan
dan akibatnya dipidana penjara sekian tahun lamanya atas laporan sang korban. Sang
korban kini mengajukan gugatan perdata ke hadapan Pengadilan Negeri, dengan harapan
kerugiannya dapat dipulihkan setelah selama bertahun-tahun dana miliknya
digelapkan tanpa dikembalikan.
Draft surat gugatan dibangun
dengan konstruksi model “gugatan Perbuatan Melawan Hukum”, mengingat pelakunya
(pihak Tergugat) bukan lagi murni sekadar “ingkar janji” (wanprestasi)
mengembalikan modal usaha serta bagi hasil usaha yang telah diperjanjikan,
namun telah pernah terbit putusan pidana “penggelapan” yang berkekuatan hukum
tetap (inkracht) terhadap sang
pelakunya atas laporan pihak korban (Penggugat). Perkembangan ilmu hukum
kontemporer baik di Indonesia maupun praktik hukum yang lebih modern di Belanda,
sudah tidak lagi membuat disparitas atau dikotomi yang kontras antara “wanprestasi”
dan “perbuatan melawan hukum”.
Sekalipun sudah penulis
sertakan hampir sepuluh buah preseden / yurisprudensi paling aktual yang
menggambarkan pendirian hakim baik di Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi,
hingga Mahkamah Agung di Indonesia, bahwa sengketa kontraktual ataupun
perjanjian bisa bermuara pada sengketa gugat-menggugat “perbuatan melawan
hukum”—dimana Penggugat dapat menuntut ganti-rugi baik “materiil” maupun “immateriil”
disamping tuntutan bunga / bagi hasil usaha—tetap saja kuasa hukum (pengacara /
advokat) pihak Tergugat mengajukan sanggahan yang klise, “bahwa gugatan Penggugat rancu dan kabur, gugatan disusun dengan dalil ‘Perbuatan
Melawan Hukum’ meskipun sengketa terkait ingkar janji dalam melaksanakan isi surat
perjanjian.”
Tetap saja, dalam proses
jawab-menjawab dan sanggah-menyanggah, kuasa hukum pihak Tergugat mendalilkan
bahwa gugatan Penggugat hanya boleh dirumuskan dengan kriteria “gugatan
Wanprestasi”, bukan “Perbuatan Melawan Hukum” (PMH), karenanya meminta hakim
agar gugatan Penggugat dinyatakan sebagai “tidak dapat diterima” (niet onvantkelijke verklaard, “N.O.”). Dalam
surat sanggahan-balik oleh pihak Penggugat, penulis mewacanakan argumetasi
retorik, bahwasannya adalah irasional ketika kuasa hukum pihak Tergugat mendalilkan
bahwa “penggelapan diatur dan disepakati di dalam surat perjanjian”. Jelas bahwa
penipuan maupun penggelapan tidak dikehendaki oleh salah satu pihak di dalam
suatu perjanjian, dan tidak ada yang meng-hendaki menjadi korban penipuan
ataupun penggelapan.
Karenanya, bukanlah sebuah
tuduhan ketika penulis dalam dalam surat bantahan-balik menyatakan bahwa kuasa
hukum pihak Tergugat adalah “rabun” dan sudah “pikun”—bagaimana tidak, yang
eksis (putusan pidana penggelapan yang sudah “inkracht”, berkekuatan hukum tetap) namun dikatakan sebagai “mengada-ngada”.
Yang sudah terang dan jelas, disebut “rancu” dan “kabur”. Namun, tetap saja,
seluruh proses sanggah-menyanggah yang diajukan pihak kuasa hukum Tergugat,
hanya berkutat pada argumentasi dangkal bahwa gugatan Penggugat semestinya
disusun dengan konstruksi sebagai “wanprestasi”, alih-alih “PMH”.
Terlebih ekstrem ialah, sang kuasa
hukum Tergugat membuat analogi yang merendahkan martabat Penggugat dengan tujuan
untuk melecehkan, bahwa wanita semestinya memasuki kamar mandi bagi kaum
wanita, bukan justru secara sengaja memasuki kamar mandi yang diperuntukkan
khusus untuk kalangan pria. Untuk menenangkan batin Klien selaku pihak
Penggugat, penulis mengutarakan bahwa tidaklah penting apa yang kata
Tergugat maupun kuasa hukumnya. Kita hanya perlu perduli apa kata dan yang akan
menjadi putusan hakim di pengadilan.
Pertimbangkanlah aspek psikologis
berikut : selalu ada resiko dibalik mendebatkan sesuatu yang sudah
terang-benderang dan tidak lagi perlu diperdebatkan, dimana sang Klien ternyata
tidak lama kemudian meng-share kepada
penulis sebuah video berisi kisah inspiratif yang sangat relevan untuk itu, dengan
transkrip cerita sebagai berikut:
Keledai berkata kepada harimau,
“Rumput warnanya biru.”
Harimau tidak mau kalah,
menjawab, “Bukan, rumput warnanya hijau!”
Diskusi ini mulai menjadi
sengit, keduanya akhirnya sepakat meminta putusan hakim.
Maka, mereka meminta pendapat
singa, sang hakim.
Saat menghadap singa yang duduk
di singgasananya, keledai berteriak : “Yang Mulia Hakim, betul dong rumput
warnanya biru?”
Singa menjawab :”"Kalau
kamu yakin begitu, maka rumput itu biru.”
Keledai lalu merangsek ke depan
dan menuntut sengit sebagai reaksinya : “Harimau tidak setuju dengan saya,
menantang saya, mengkengkelkan saya. Hukumlah dia!”
Singa lalu bersabda : “Harimau
patut dihukum. Harus puasa bicara selama tiga hari.”
Demikian putusannya.
Keledai lalu pergi dengan rasa
puas. Ia berseru berulang-ulang : “Rumput warnanya biru! Rumput warnanya biru!”
Secara pribadi, harimau
kemudian melangkah mendekati dan bertanya kepada singa : “Yang Mulia, mengapa
saya dihukum? Bukankah sebenarnya rumput memang benar berwarna hijau?”
Sang Singa pun menjawab, “Kamu
kan tahu, dan bisa berpikir sendiri, bahwa rumput warnanya memang hijau.”
Harimau menjadi bingung lalu
mengajukan penjelasan lebih terperinci, “Jadi, mengapakah Yang Mulia memberikan
hukuman kepada saya?”
Jawab sang singa, “Hal itu
tidak ada hubungannya dengan warna rumput, hijau atau biru. Hukuman itu
karena sangat konyol untuk makhluk seperkasa dan sepandai engkau,
membuang-buang waktu berdebat dengan yang bodoh.”
Harimau terdiam, berdiri terpaku
di tempatnya.
“Tambah parah lagi,” sambung
sang singa, “engkau nekat mengganggu aku hanya untuk meminta pembenaran
sesuatu yang sudah kamu ketahui kebenarannya.”
Membuang waktu sia-sia terjadi
saat berdebat dengan yang bodoh dan fanatik, yang tidak perduli akan kebenaran
maupun kenyataan, yang selalu menganggap hanya pendapatnya, keyakinannya, atau
hayalannya yang benar. Tidak perlu membuang-buang waktu berdebat dengan yang
tidak ada manfaatnya.
Ada orang-orang yang walaupun buktinya sudah jelas, tidak
bisa menerima. Mereka bahkan tidak mau
mengerti, hanya mau berdebat.
Ada orang-orang dibutakan oleh ego, kebencian, atau
praduga. Yang mereka inginkan hanya
pengakuan bahwa mereka benar, walaupun sebenarnya tidak benar.
Biarlah ego mereka menggonggong, nalar tetap berjalan
sesuai track-nya.
Keledai menggonggong, perantau
berjalan terus.
Dalam tanggapan akhir pihak
Penggugat, penulis merumuskan pernyataan berikut yang diperuntukkan khusus bagi
pihak kuasa hukum Tergugat : “Sebagai
penutup, bilamana dalam putusannya Majelis Hakim mengabulkan serta menyetujui
bahwa gugatan a quo berpilar pada ‘PMH yang bersumber dari pidana PENGGELAPAN
modal usaha milik Penggugat’, bukan murni wanprestasi, maka itu menjadi bukti
bahwa selama ini kuasa hukum Para Tergugat (para pria) memasuki dan memakai
toilet khusus wanita—‘maniac’, mengerikan!”
Ingatlah selalu pesan berikut
dari penulis, selalu ada resiko dibalik mendebatkan sesuatu yang tidak perlu
lagi diperdebatkan—terlebih bila Anda mengganggu hakim hanya untuk itu. Tidak
penting apa dalil ataupun dalih mereka, yang terpenting ialah apa kata hakim
jika Anda sedang bersengketa gugat-menggugat di pengadilan, atau setidaknya apa
kata nalar, nurani, dan kata pengalaman hidup personal pribadi internal Anda sendiri.
Reputasi Anda dipertaruhkan ketika Anda memilih untuk “rewel” mendebatkan
sesuatu yang dangkal dan tidak perlu lagi diperdebatkan—tampak tidak cerdas,
sehingga wajar seketika “dipandang sebelah mata” oleh pihak hakim yang membaca
surat bantahan / sanggahan “sampah” demikian.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.