Manusia ketika Lemah, Jinak. Ketika menjadi Kuat, Ganas dan Buas. ITULAH "NATURE" MANUSIA, Sejarah yang Selalu Berulang

Belum Beradab, Memegang Kekuasaan Kecil sudah Langsung Korup

Lord Acton, “Power tends to corrupt. Absolute power, corrupts absolutely.

Dalam kajian anthropologi pada kesempatan sebelumnya, penulis sempat menguraikan kiat menguji watak asli seseorang, yakni dengan memberikannya kekuasaan. Orang yang lemah tanpa kuasa cenderung pasif dan tidak berdaya, karenanya cenderung menyembunyikan dalam-dalam taring berbisa miliknya dan “play innocent”, pola yang penulis temukan selalu seperti itu. Namun, tatkala bandul berubah dan bergeser, dan dirinya kini memiliki kekuasaan, maka tabiat serta wataknya akan jauh berubah seratus delapan puluh derajat dari semula pendiam menjelma menjadi arogan serta tidak jarang menjurus otoriter. Monster beringas, seganas apapun saat dewasa dikala tubuhnya kuat, adalah menakutkan dan mengerikan. Namun, ibarat seekor harimau cilik, tampak tidak berbahaya dan “kalem” bahkan menggemaskan untuk dijadikan hewan peliharaan dan teman bermain.

Dalam kesempatan ini, penulis mengajak para pembaca untuk melihat secara langsung dan lebih dekat dalam keseharian kita pada kehidupan sehari-hari, atau bahkan bila perlu melakukan introspeksi serta bercermin diri, apakah kita selama ini mengidab sindroma “power tends to corrupt” ataukah justru dalam keseharian kerap menjadi korban perilaku “corrupt” oleh sesama anggota masyarakat lainnya dan bergesekan dengannya. Sebagai seorang pejalan kaki tulen dalam kegiatan sehari-hari diluar kediaman, penulis kerap menjadi korban perilaku arogan kalangan pengendara kendaraan bermotor yang mengemudi secara sewenang-wenang.

Baru sebatas mengendarai “kuda besi” maupun “banteng besi”, sudah bersikap “corrupt” dengan mengintimidasi pejalan kaki, merampas hak pejalan kaki, menuntut diberikan kesabaran, melukai pejalan kaki, melecehkan pejalan kaki, yang pada esensinya ialah bersikap “zolim” terhadap pejalan kaki yang selalu harus bersabar dan mengalah terhadap para kalangan pengendara. Pertanyaan yang hendak penulis ajukan untuk kita renungkan bersama dan amati fenomena sosialnya ialah, bagaimana bila anggota masyarakat kita diberi kesempatan untuk memegang kekuasaan lebih besar lagi daripada sekadar mengendari “banteng / kuda besi”?

Jawabannya sudah sangat jelas, sebagaimana kita dapat menemukan realita bahwasannya pengendara kendaraan bermotor roda dua besar (moge, “motor gede”) lebih cenderung arogan daripada pengendara kendaraan bermotor roda dua jenis motor “bebek”. Sama halnya, pengendara dengan knalpot “racing” hasil modifikasi cenderung lebih arogan terhadap pengendara motor rakitan asal pabrik. Pengendara kendaraan bermotor roda empat yang kecil relatif lebih santun berlalu-lintas ketimbang pengendara kendaraan bermotor roda empat ukuran besar. Kita baru berbicara perihal kekuasaan untuk mengendarai kendaraan bermotor, namun masyarakat kita telah ternyata gagal menguasai serta membatasi dirinya sendiri agar tidak “corrupt” terhadap sesama anggota masyarakat bahkan terhadap sesama anak bangsa.

Pernahkah para pembaca bertanya-tanya ataupun mengamati, bagaimana bila mereka, masyarakat kita di Indonesia, republik Tanah Air kita ini, diberi kewenangan berupa kekuasaan yang lebih besar daripada sekadar mengendarai kendaraan bermotor? Jujur, sudah sejak lama penulis menyadari akar penyebab masalah sosial di republik ini, seperti aksi korupsi berjemaah para pejabat negara, pungutan liar dan pemerasan oleh Aparatur Sipil Negara terhadap warga pemohon layanan publik, polisi yang arogan dan sewenang-wenang terhadap kewenangan monopolistiknya menyandang senjata api dan akses terhadap peradilan pidana, berbagai korporasi yang semakin “raksasa” justru kian represif terhadap pegawainya dan bahkan lebih serakah hendak mengeksploitasi pasar lewat praktik ilegal seperti monopoli maupun kartel harga, hakim yang memperjual-belikan keadilan, developer raksasa merampas hak-hak tanah warga lokal yang lebih miskin daripada sang developer, dan segala kejahatan lainnya yang melibatkan kekuasaan. Kesemua itu sejatinya merupakan fenomena sosial yang jejaknya masih dapat kita temukan dalam sejarah bahkan sejak Orde Lama maupun Orde Baru. Sejarah selalu berulang, bilamana kita gagal belajar dari pengalaman sejarah bangsa sendiri.

Jangankan kesemua contoh diatas, bahkan dua orang warga yang saling berteman berjalan bersama-sama lebih cenderung arogan dan tidak segan merampas hak pejalan kaki yang berjalan seorang diri—semisal melawan arus sembari berjalan bersisian bukan berjalan di depan dan di belakang. Jangankan pengendara kendaraan bermotor roda dua yang berjalan melawan arus di jalan umum ataupun di trotoar bahkan di atas jembatan penyeberangan orang (kesemua itu telah pernah dan kerap penulis hadapi sebagai pejalan kaki), sehingga merampas hak pejalan kaki yang dipaksa dan terpaksa mengalah daripada terancam terluka oleh “banteng besi” yang menyeruduk secara tidak bertanggung-jawab oleh pengemudinya, bahkan pengendara sepeda yang melawan arus pun harus penulis yang mengalah meski penulis berjalan di sisi paling kiri jalan (hak penulis) dengan bergeser ke badan jalan dengan resiko tertabrak oleh pengendara lain dari arah belakang sekalipun penulis tidak memiliki indera penglihatan di belakang kepala, sungguh tega dan dingin mimik wajah serta hati mereka menyerupai para “psikopat”, ataukah memang negeri bernama Indonesia ini dihuni oleh para warga “psikopat” yang berhati dingin dan tidak mengenal kata “manusiawi” dan berperilaku selayaknya “manusia” yang beradab?

Pernah pula terjadi, saat penulis mengikuti seminar, yang duduk persis disamping penulis ialah dua orang ibu-ibu yang sedari awal acara selalu sibuk sendiri mengobrol berdua-an sehingga kerap membuat penulis merasa terganggu karena tidak dapat fokus menyimak penuturan narasumber. Namun giliran penulis untuk kali pertamanya buka mulut untuk berdiskusi dengan narasumber, kedua ibu-ibu “corrupt” (semata karena menang jumlah) tersebut menghardik penulis sebagai, “BIKIN KAGET SAJA!”—padahal mereka sendiri yang sedari tadi sibuk sendiri saling mengobrol antar keduanya. Anda lihat, baru dari segi menang jumlah 2 banding 1 orang, sudah “tends to corrupt”. Pertanyaan menggelitik yang perlu kita pertanyakan ialah, bagaimana jika perbandingannya ialah 1.000 banding 1 orang, “corrupt absolutely”?

Karenanya, baik kuantitas maupun bobot / volume postur tubuh, juga “tends to corrupt”. Semasa kecil, penulis kerap menjadi korban “bullying” (perundungan) oleh sesama siswa, oleh senior yang lebih besar tubuhnya ataupun oleh seumuran namun berjumlah lebih dari satu orang. Tidak terkecuali bilamana seseorang dipersenjatai dengan senjata tajam, akan lebih cenderung “corrupt”, terhadap warga lain yang “tidak bersenjata”. Itulah sebabnya, kalangan preman pelaku aksi premanisme tergolong “corrupt”, semata karena mereka hanya berani terhadap korban bilamana mereka menang dalam segi jumlah, bobot tubuh, maupun persenjataan—kalangan preman di Indonesia tergolong pula sebagai “pengecut tulen”, dimana mereka selalu menjadikan warga yang lebih lemah dari diri mereka sebagai target “mangsa empuk”, semata karena sang preman menang dari segi jumlah setidaknya.

Apa yang hendak penulis kemukakan dalam kesempatan ini bagi para pembaca ialah, penulis menemukan sebuah postulat sosial, bahwasannya jangan pernah menguji watak asli orang lain dengan memberikan mereka kekuasaan lebih, sekalipun itu orangtua atau saudara kandung Anda sendiri—semata karena dapat penulis pastikan bahwa Anda akan dikecewakan, bahkan menjadi bumerang bagi kepentingan Anda sendiri, dimana Anda akan menemukan betapa “power” benar-benar “tends to corrupt”, bahkan hubungan pertalian kekeluargaan pun seolah terbutakan akibat “melenakannya kekuasaan”.

Mahasiswa, seidealis apapun pada mulanya, ketika tiba giliran mereka duduk di bangku kekuasaan, menikmati empuknya kursi tersebut akibat kekuasaan yang melekat pada kursi jabatan, maka juga akan menjelma kaum pragmatis yang sama dengan yang dahulu mereka kritik dan olok-olok saat mereka masih muda dan “hijau”. Sering pula penulis menyebutkan, kita bahkan perlu “mengerem” diri dan membatasi diri, semata agar tidak terjebak dalam “sindroma kekuasaan” yang melenakan, yang membuat kita terbutakan, mabuk kepayang, semata agar kita tetap “eling” dan “sadar”, demi kebaikan kita sendiri maupun demi melindungi orang-orang terdekat kita maupun orang-orang yang mengasihi kita.

Lihatlah si kerdil Korea Utara, semata karena menguasai teknologi hulu ledak nuklir, menjelma sewenang-wenang di kawasan Asia. Lihatlah Jepang saat Perang Dunia, sekalipun jumlah penduduknya minim, namun berani menjajah Asia hingga ke Benua Amerika, semata karena terlena oleh teknologi perangnya. Bukanlah masalah “the man behind the gun”, masalahnya ialah “the gun manipulate the man” sehingga “tends to corrupt”. Jerman, negara “mini” di Jerman, namun merasa adidaya untuk melancarkan Perang Dunia, akibat dimanipulasi teknologi perang yang “menggoda” Hitler, sang diktator.

Merampas hak orang lain, artinya berhutang kepada orang lain, yakni “hutang dosa”. Bagaimana mungkin, masyarakat kita dapat hidup dalam kebahagiaan yang tidak sehat, yakni kebahagiaan dengan penuh cela? Penulis menyebutnya sebagai “kebahagian yang dangkal”, “kekanakan”, disamping “semu”, akibat termakan oleh iming-iming “too good to be true” bernama ideologi “pengampunan / penghapusan dosa”, tidak terkecuali ideologi “penebusan dosa” seolah sang nabi yang harus menebus “dosa (berupa) hutang-hutang menggunung” umatnya dengan membayari hutang-hutang umatnya dengan merogoh kocek kantung sang nabi itu sendiri.

Masyarakat “agamais” kita di Indonesia, para pelanggan tetap yang mencandu ideologi “penghapusan / pengampunan / penebusan DOSA” (Agama DOSA), pastilah asing terhadap konsepsi “kebahagiaan ketanpa-celaan”. Apakah itu “kebahagiaan tanpa cela”, merujuk khotbah Sang Buddha dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, dengan kutipan:

Perumah tangga Anāthapiṇḍika mendatangi Sang Bhagavā … Sang Bhagavā berkata kepadanya: “Perumah tangga, ada empat jenis kebahagiaan ini yang dapat dicapai oleh seorang umat awam yang menikmati kenikmatan indria, bergantung pada waktu dan situasinya. Apakah empat ini? Kebahagiaan memiliki, kebahagiaan menikmati, kebahagiaan bebas dari hutang, dan kebahagiaan ketanpacelaan.

(1) “Dan apakah, perumah tangga, kebahagiaan memiliki? Di sini, seorang anggota keluarga telah memperoleh kekayaan melalui usaha penuh semangat, yang dikumpulkan melalui kekuatan tangannya, yang didapat melalui keringat di alis matanya, kekayaan benar yang diperoleh dengan cara yang benar. Ketika ia berpikir, ‘Aku telah memperoleh kekayaan melalui usaha penuh semangat … yang diperoleh dengan cara yang benar,’ ia mengalami kebahagiaan dan kegembiraan. Ini disebut kebahagiaan memiliki.

(2) “Dan apakah kebahagiaan menikmati? Di sini, dengan kekayaan yang diperoleh melalui usaha penuh semangat itu, yang dikumpulkan melalui kekuatan tangannya, yang didapat melalui keringat di alis matanya, kekayaan benar yang diperoleh dengan cara yang benar, seorang anggota keluarga menikmati kekayaannya dan melakukan perbuatan-perbuatan berjasa. Ketika ia berpikir, ‘Dengan kekayaan yang diperoleh melalui usaha penuh semangat ini … yang diperoleh dengan cara yang benar, aku menikmati kekayaanku dan melakukan perbuatan-perbuatan berjasa,’ ia mengalami kebahagiaan dan kegembiraan. Ini disebut kebahagiaan menikmati.

(3) “Dan apakah kebahagiaan bebas dari hutang? Di sini, seorang anggota keluarga tidak memiliki hutang pada siapa pun, apakah banyak atau sedikit. Ketika ia berpikir, ‘Aku tidak memiliki hutang pada siapa pun, apakah banyak atau sedikit,’ ia mengalami kebahagiaan dan kegembiraan. Ini disebut kebahagiaan bebas dari hutang.

(4) “Dan apakah kebahagiaan ketanpacelaan? Di sini, perumah tangga, seorang siswa mulia memiliki perbuatan jasmani, ucapan, dan pikiran yang tanpa cela. Ketika ia berpikir, ‘Aku memiliki perbuatan jasmani, ucapan, dan pikiran yang tanpa cela,’ ia mengalami kebahagiaan dan kegembiraan. Ini disebut kebahagiaan ketanpacelaan.

“Ini adalah ada keempat jenis kebahagiaan itu yang dapat dicapai oleh seorang umat awam yang menikmati kenikmatan indria, bergantung pada waktu dan situasinya.”

Setelah mengetahui kebahagiaan bebas dari hutang, seseorang harus mengingat kebahagiaan memiliki.

Menikmati kebahagiaan kenikmatan, seorang manusia melihat segala sesuatu dengan jelas melalui kebijaksanaan.

Sewaktu melihat segala sesuatu dengan jelas, seorang bijaksana mengetahui kedua jenis kebahagiaan.

Yang lain tidak ada seper enam belas bagian dari kebahagiaan ketanpa-celaan.

[NOTE Sumber Lain : “Beliau membagi jenis-jenis kebahagiaan dalam dua bagian. Tiga jenis pertama membentuk bagian pertama, kebahagiaan ketanpacelaan adalah satu bagian tersendiri. Kemudian ia melihat dengan kebijaksanaan dan mengetahui bahwa ketiga jenis kebahagiaan pertama secara keseluruhan adalah tidak ada seper enam belas bagian dari kebahagiaan ketanpa-celaan.”]

Demikianlah, untuk kerapkali kita renungkan, agar tidak menjerumuskan diri ke dalam tirani kekuasaan yang otoriter. Terdapat seseorang tokoh menyebutnya, “Setidaknya saya menyadari adanya watak psikopat dalam diri saya, namun mampu saya bendung dan batasi karena saya menyadarinya.” Penulis pun mengakui hal serupa, dimana bila penulis memiliki instrumen sakti semacam “DEATH NOTE” dalam anime / manga yang termasyur beberapa dekade lampau, maka dapat penulis pastikan separuh penduduk dunia ini akan penulis musnahkan demi menciptakan dunia yang lebih “damai” dan lebih “ideal”—kegilaan yang sama seperti idealisme tokoh utama dalam kisah fiktif dengan judul yang sama, “catatan yang mematikan”, seorang idealis yang berakhir menjadi seorang psikopat berdarah dingin. Batasi serta kendalikan diri kita, demi kebaikan diri kita sendiri, itulah “seni hidup”, sebelum kegilaan kita yang akan menghentikan dan mengakhiri riwayat diri kita dan orang-orang terdekat kita.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.