Hubungan antara Profesionalisme dan Otoritatif
Seni Pikir dan Tulis bersama Hery Shietra
Makna profesional bukanlah patuh atau tidaknya suatu pengemban profesi pada Sumpah Jabatan maupun Kode Etik Profesinya, namun melakukan suatu tugas pokok dan fungsi-nya secara optimal dan bertanggung-jawab, kenal maupun tidak kenal terhadap sang warga masyarakat pemakai jasa ataupun sipil ketika memohon pelayanan publik ataupun juga terhadap sesama anggota korps yang bersangkutan—dengan demikian, kata kuncinya ialah “kenal maupun tidak kenal”, tetap bertugas dan melaksanakan kewajibannya secara optimal serta bertanggung-jawab, tanpa tebang pilih, tanpa pilih kasih, tanpa mengistimewakan, juga tanpa menganak-emaskan segelintir pihak dan menganak-tirikan pihak-pihak lainnya.
Kerap penulis melihat langsung dengan
mata, telinga, serta kepala sendiri, para petugas pada kantor-kantor pemerintahan
acapkali membuat pengecualian ataupun mengistimewakan pihak-pihak tertentu yang
mereka kenal atau memiliki relasi kekeluargaan, pertetanggaan, atau lain
sebagainya—terlebih yang memberikan “uang pelicin”, sehingga timbul keserakahan
di benak serta pada budaya Aparatur Sipil Negara kita bahwasannya warga pemohon
layanan publik akan secara sengaja mereka persulit bila tidak memberikan “uang
pelicin” serupa, sehingga kini lahirlah semboyan tidak tertulis khas kalangan mereka
: “JIka bisa dipersulit, mengapa
dipermudah?”
Tengoklah berbagai kantor
kepolisian, dalam pengurusan segala jenis kepentingan publik, tetap saja
berbagai “biaya siluman” akan kita hadapi, atau kita akan berurusan dengan arogansi
khas aparatur kepolisian “pengecut” yang hanya berani kepada sipil tidak bersenjata—yang
terang-terangan melanggar sumpah jabatan maupun kewajibannya untuk menegakkan
hukum serta memberantas kejahatan namun justru melakukan kejahatan, lebih
preman daripada preman. Hampir seluruh instansi pemerinathan, polanya senada
dan sebangun, kultur bangsa kita itu sendiri.
Dalam suatu kesempatan lama
sebelum ini, penulis telah pernah berkenalan dengan seorang pegawai pada
instansi pemerintahan, yang bertugas rangkap jabatan pada divisi “Kepatuhan Internal”,
semacam divisi yang bertugas mengawasi dan memastikan kepatuhan karyawan / Pegawai
Negeri Sipil, semacam Inspektorat Jenderal yang biasa ada di masing-masing kementerian.
Masih segar dalam ingatan, ketika sang petugas pada divisi “Kepaturan Internal”
ini bertutur kepada penulis, “Gimana ya
rasanya, sungkan mau menegur ataupun menertibkan pegawai pada instansi kami,
mau bagaimana lagi, karena sesama karyawan dan sama-sama kenal. Paling jauh
hanya berani memberi imbauan saja agar mereka lebih taat pada peraturan kantor.”
Dalam berbagai kesempatan pada berbagai
instansi pemerintahan lainnya, ketika penulis mengeluhkan pelayanan publik yang
berbelit-belit dan tidak “masuk diakal”, telah ternyata pihak superintenden
lembaga pemerintahan bersangkutan ketika melakukan turun ke lapangan dan “menindak”
para aparaturnya, juga menampilkan corak yang serupa, yakni alih-alih menegur
secara tegas aparatur pada lembaganya atau memberi surat peringatan ataupun
sanksi tegas lainnya, sang superintenden atau pengawas justru bersikap penuh ramah-tamah
dan sangat amat santun terhadap rekan-rekan sejawatnya (semangat korps), semata
karena mereka saling kenal dan karenanya saling akrab alih-alih bersikap tegas
dalam menindak tanpa pandang bulu—sangat kontras dengan praktik hukum di negara
Tiongkok, dimana hukum benar-benar ditegakkan secara “komun!stik” namun warga
merasa terlindungi dan kepastian hukum dapat diandalkan dan menjamin
kelangsungan hidup para rakyatnya.
Penulis mendapati adanya rasa “sungkan”
pada benak ataupun sikap sang pengawas / superintenden terhadap sesama pegawai
yang notabene “kenal” dan “teman”. Ia lupa, bahwa definisi “profesionalisme”
artinya, tegak setegak-tegaknya dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi,
terhadap siapapun tanpa pandang bulu, kenal ataupun tidak kenal, teman ataupun
bukan teman, rekan sejawat ataupun bukan rekan sejawat. Sudah sejak lama
penulis mengamati dan mendapati, bangsa Indonesia sungguh jauh dari jiwa
ataupun budaya profesionalistik, dalam artian luas, sebagai sesama warga dalam
satu lingkungan Rukun Tetangga / Rukun Warga, sebagai bagian dari organisasi
semacam sekolah, kampus, tempat kerja, ataupun ketika berbangsa dan bernegara.
Tidak perlu jauh-jauh, orangtua
kita besar kecenderungannya untuk menganak-emaskan salah satu diantara anak-anak
kandungnya sendiri, sementara akan ada yang dianak-tirikan. Guru di sekolah
atau di kampus pun demikian, tidak jauh berbeda. Perusahaan tempat kita
bekerja, masyarakat tempat kita berkarya, negara tempat kita mengabdi,
kesemuanya menampilkan corak atau pola sebangun dan senada, yang dihargai bukanlah
dari segi prestasi, namun dari segi “sosok individu”-nya, kenal atau tidak kenal,
ada anasir kedekatan atau tidaknya, dan lain sebagainya. Tidak terkecuali pemuka
agama di tempat ibadah, pada praktiknya semua itu menjurus kepada satu pola
sosial yang seragam.
Secara pribadi, penulis
merupakan seorang pengamat anthropologi yang kerap menemukan pola-pola sosial di
tengah-tengah masyarakat kita, yang entah mengapa jarang disadari oleh masyarakat
kita itu sendiri, sekalipun kesemua itu amat kasat-mata, dekat dengan keseharian
kita, serta masif-berjemaah sifatnya. Sudah bukan rahasia, namun sudah
merupakan rahasia umum, para Ketua Rukun Tetangga maupun Rukun Warga kita kerap
hanya mendahulukan kepentingan kenalan atau sanak-keluarganya ketika ada program-program
pemerintah seperti insentif bagi “jumantik” (juru pemantau jentik nyamuk),
bantuan sosial uang yang di-“sunat” dan semata diperuntukkan bagi kenalan sang Ketua
RT/W. Yang tidak kenal, semiskin dan sebutuh apapun sang warga, akan disisihkan
dan seolah tidak eksis sehingga hanya menjadi penonton atas berbagai bantuan
sosial pemerintah. Pemenang tender pengadaaan barang dan jasa, kerapkali ialah orang-orang
“kenalan” pejabat pembuat komitmen pada pemerintah daerah pengguna anggaran.
Itulah sebabnya, selalu penulis
utarakan bahwasannya “POLITIK memiliki ‘nature’
ANTI TERHADAP PROFESIONALISME”. Politik selalu mendahulukan siapa yang ia
kenal, siapa yang punya kepentingan, dan siapa yang punya hubungan istimewa,
bukan melihat faktor-faktor lain diluar itu. Semakin banyak dan masif jejaring
perkenalan dan pertemanan yang ia himpun, semakin ia kuat dalam catur per-politik-an.
Karena itu jugalah, politik jauh dari sikap-sikap profesional, terlebih
memiliki haluan ideologi profesionalisme. Terkotak-kotak antara partai politik koalisi
dan partai oposisi, semua itu hanya melihat dari segi bendera partai, bukan
lagi semangat sebagai sesama anak bangsa, bendera yang satu yakni bendera
merah-putih.
Sama halnya, sifat
nasionalisme, juga adalah cerminan sikap tidak profesionalisme itu sendiri,
oleh sebab bila kita sepakat bahwa kita semua para penghuni Planet Bumi ini
adalah sesama penguhuni “global village”,
maka tidak perlu ada lagi istilah-istilah segregasi dikotomi antara Barat dan Timur,
Liberal!stik ataukah Komun!stik, kita semua harus mengutuk aksi penjajahan
bangsa yang satu terhadap bangsa yang lain apapun haluan ideologinya. Lebih
sempit lagi bila seseorang dibedakan semata dari segi etnik, suku, ras, agama,
dsb.
Egaliter dan egalitarianisme,
merupakan ekses dari sikap profesional dan profesionalisme seseorang anggota masyarakat
maupun anggota suatu organisasi, dimana seseorang ditimbang, dilihat, dan
dinilai dari segi prestasi serta kontribusi nyatanya, bukan dari aspek “kenal
atau tidak kenal” ataupun seperti “dari daerah asal kelahiran dan marga yang
sama atau tidaknya”. Karenanya, skema “reward
and punishment” yang tegas, hanya dikenal pada masyarakat dengan budaya egaliter,
yang biasanya diberlakukan pada negara-negara yang telah tergolong lebih
beradab daripada Bangsa Indonesia.
Ikatan dan terikat, adalah beban
itu sendiri di mata orang-orang yang lebih mengedepankan sikap profesionalisme
dalam prinsip dan semangat egalitarianisme. Ikatan, hanya menjadi beban karena membuat
“sungkan” penegakan proses yang semestinya diberlakukan, terjadi penyimpangan,
pengecualian, pengistimewaan, penihilan, dan berbagai pengalihan lainnya,
sehingga tidak lagi “on the track”. Para
Aparatur Sipil Negara kita perlu belajar dari para robot yang saat kini mulai
menggantikan banyak petugas pelayanan di negara-negara maju, yang mampu
bersikap profesional dalam bekerja karena faktor profesionalisme sehingga tidak
memandang “kenal atau tidak kenal” terhadap siapapun yang sang robot layani—sehingga,
terdapat sebentuk “standar” yang konsisten sifatnya.
Kebijakan internal berbagai Aparatur
Sipil Negara maupun regulasi terkait lembaga keuangan perbankan sebenarnya
sudah mencoba mengimbangi / memitigasi peluang sikap kurang profesional
aparaturnya dengan melakukan “rolling”
penempatan kantor dinas secara berkala, semisal pada perbankan ialah empat
tahun sekali setiap aparaturnya di-“rolling”
ke kantor cabang lainnya, dan begitu seterusnya setiap kelipatan empat tahun,
semata agar tidak tercipta “kedekatan yang terlampau dekat” antara sang
aparatur / petugas dengan masyarakat / nasabah, agar tidak tercipta “abuse of power” ataupun sebaliknya “negligence of power”.
Itulah sebabnya serta alasannya,
untuk melaporkan sikap sewenang-wenang ataupun sikap abai aparatur anggota
kepolisian, tidaklah tepat secara falsafah bilamana divisi semacam “Propam” ditempatkan
dibawah institusi Kepolisian—namun seharusnya didudukkan pada institusi aparatur
penegak hukum lainnya, semisal Kejaksaan, agar efektif tugas dan fungsinya
dalam menegakkan sikap dan etika para personel Kepolisian. Sehingga, Kejaksaan
tidak akan sungkan menindak anggota Kepolisian yang dilaporkan atau diduga dan
terindikasi melakukan penyalahgunaan kekuasaan ataupun karena mengabaikan tugas
dan tanggung-jawabnya. Lihatlah organisasi advokat di Indonesia, carut-marut
oleh sebab Komisi Etik-nya dipegang oleh organisasi advokat itu sendiri. Memang,
mereka yang lebih memahami profesi kalangan internal mereka, namun mereka
melupakan kultur masyarakat di Indonesia ialah cenderung “sungkan” menindak
yang dianggap sebagai kenalan, teman, rekan sejawat, dsb.
Sama halnya, tidaklah tepat Pengadilan
Kemiliteran ada di bawah satu atap yang sama dengan lembaga Ketentaraan kita,
mengingat semangat korps yang begitu kental kerap membuat kalangan internal mereka
saling melindungi dan saling men-tolerir satu sama lainnya antar rekan sejawat—terbukti,
berbagai putusan pidana militer terhadap anggota militer yang melakukan tindak
pidana, kerap rendah hukumannya sekalipun masyarakat yang terdampak langsung
sebagai korban menilai oknum militer pelakunya telah melakukan pelanggaran
berat terhadap hak asasi manusia. Indonesia merupakan negeri yang salah-kaprah
dalam pengurusan dan pengelolaan berbagai lembaga pemerintahannya, semata
karena penyusun kebijakannya tidak memahami watak budaya bangsa mereka sendiri,
dimana faktor “kenal atau tidak kenal” menjadi penentu jatuh-terperangkap atau
tidaknya pada sikap “kompromistik atau tidaknya”.
Dalam kajian Buddhistik, profesionalisme
melambangkan otoritas serta menjadi simbolisasi otoritatif penghormatan
terhadap moralitas (ada ataupun tidak ada serta sempurna atau tidaknya Kode
Etik Profesi), kesungguhan hati (konsentrasi dan sikap penuh tanggung jawab
dalam mengemban tugas menjalankan kewajibannya), serta membangun diri diatas
pilar kebijaksanaan (bukan dari relasi pertalian “kenal ataupun tidak kenal”)—dimana
moralitas saja tidak cukup, tanpa dibarengi oleh kesungguhan hati (konsentrasi)
serta kebijaksanaan.
Selengkapnya dapat kita jumpai khotbah
Sang Buddha dalam “Aṅguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang
Buddha”,
Judul Asli : “The Numerical Discourses of
the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa
Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra
Anggara, dengan kutipan:
“Para bhikkhu, ada empat jenis
orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? [137]
(1) “Di sini, para bhikkhu,
seseorang tidak menghargai perilaku bermoral dan tidak menjadikan perilaku
bermoral sebagai otoritas, tidak menghargai konsentrasi dan tidak
menjadikan konsentrasi sebagai otoritas, dan tidak menghargai
kebijaksanaan dan tidak menjadikan kebijaksanaan sebagai otoritas.
(2) “Seseorang lainnya
menghargai perilaku bermoral dan menjadikan perilaku bermoral sebagai otoritas,
tetapi tidak menghargai konsentrasi dan tidak menjadikan konsentrasi sebagai
otoritas, dan tidak menghargai kebijaksanaan dan tidak menjadikan kebijaksanaan
sebagai otoritas.
(3) “Seseorang lainnya
menghargai perilaku bermoral dan menjadikan perilaku bermoral sebagai otoritas,
menghargai konsentrasi dan menjadikan konsentrasi sebagai otoritas, tetapi
tidak menghargai kebijaksanaan dan tidak menjadikan kebijaksanaan sebagai
otoritas.
(4) “Seseorang lainnya
menghargai perilaku bermoral dan menjadikan perilaku bermoral sebagai otoritas,
menghargai konsentrasi dan menjadikan konsentrasi sebagai otoritas, dan
menghargai kebijaksanaan dan menjadikan kebijaksanaan sebagai suatu otoritas.
“Ini adalah keempat jenis orang
itu yang terdapat di dunia.”
Sayangnya dan patut kita sayangkan,
masyarakat kita belum menjadikan moralitas, konsentrasi, maupun kebijaksanaan sebagai
otoritas bagi mereka, namun dari segi yang jauh lebih dangkal seperti adanya
hubungan istimewa, kedekatan, “uang pelicin”, saling mengenal, kawan dekat,
saudara, rekan sejawat, satu partai, satu suku, satu bahasa, satu warna kulit,
satu agama, dan polarisasi lainnya. Penulis bahkan memiliki pengalaman nyata, saat
membawakan sesi konsultasi hukum kepada seorang Klien yang bercerita bahwa asosiasi
appraisal yang menaungi berbagai praktik Kantor Jasa Penilai Publik, menolak
untuk dihadirkan ke persidangan untuk memberi kesaksian atas keganjilan cara
penilaian yang dilakukan oleh pihak appraisal yang disewa secara sepihak (sponsored) oleh pihak perbankan atas
agunan milik sang Klien selaku debitor yang akan dilelang eksekusi—semata
karena faktor “teman sejawat” dengan appraisal yang diadukan oleh sang Klien,
maupun pihak pengurus asosiasi itu sendiri yang selama ini juga kerap melakukan
penilaian atas aset properti secara “sponsored”
sehingga akan menyerupai “jeruk mengadili jeruk”, karena “jeruk akan cenderung
saling mentolerir dan kompromistis terhadap sesama jeruk”. Pada akhirnya,
penulis dengan sangat terpaksa memberikan rekomendasi bagi sang Klien agar
mencari dan menghadirkan keterangan ahli dari latar-belakang profesi lainnya
yakni auditor indendepen dalam menghadapi sang kreditor yang menagih secara
serampangan sebagai strategi alternatifnya.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.