Pengadilan Hanya Mampu Mendekati Keadilan, Tiada Menegakkan
Keadilan Setegak-Tegaknya
Hakim di Pengadilan hanya Mengukur “Panjang X Lebar X Tinggi”, Tidak terhadap “Kedalaman” maupun “Bobot”, Rasa, dsb.
Mencari Keadilan, maka Pendekatannya ialah HUKUM
KARMA. Mencari Kepuasan Batin Dibalik Pertarungan, maka Pendekatannya ialah
HUKUM NEGARA
Baru-baru ini seorang Klien pengguna jasa konsultasi seputar hukum yang penulis selenggarakan, membuat penulis cukup lama merenungkan hakekat lembaga peradilan, terutama perihal pertanyaan “apakah pengadilan sungguh dapat diandalkan untuk menegakkan dan mencari keadilan bagi masyarakat yang mengajukan gugatan perdata?”—hal tersebut juga relevan pertanyaan yang sama dalam konteks perkara pidana bagi korban pelapor. Adakah keadilan di pengadilan? Apakah hakim yang mengadili, identik dengan keadilan?
Sekadar sebagai contoh, Anda
pilih yang mana, pelaku kejahatan yang telah membuat mata Anda mengalami
kebutaan karena disiram air keras, namun hanya diganjar beberapa tahun pidana
hukuman penjara oleh hakim di pengadilan, namun mata Anda tetap saja buta
permanen serta menderita kebutaan untuk seumur hidup Anda—akan tetapi pelakunya
tetap saja akan bebas dari masa hukuman penjara beberapa tahun kemudian dan
kembali menghirup udara segar serta beraktivitas kembali seperti sedia kala (business as usual di tengah masyarakat kita
yang cenderung permisif terhadap kriminil), ataukah lebih baik menyerahkan
penghukumannya (punishment) kepada mekanisme
Hukum Karma, lengkap dengan segala kekurangan Hukum Karma dari segi waktu ranum
dan berbuahnya, yang bisa jadi baru akan berbuah pada sang pelaku pada
kehidupan berikutnya?
Sang pelaku kejahatan dalam
contoh kasus di atas, ketika telah menjalani masa hukuman pidana di penjara,
dan bebas, dapat merasa berhak untuk berkata pada Hukum Karma, “Wahai Hukum Karma, saya baru saja telah
dihukum pidana oleh Hukum Negara dan telah menjalani masa hukumannya di penjara
sesuai vonis amar putusan hakim. Tentu saja, saya adalah seorang kriminil yang
cerdas, dengan seketika mengakui perbuatan saya kepada hakim dan tidak berbelit-belit
sehingga diberi keringanan hukuman oleh hakim. Bahkan saya yang datang sendiri
ke kantor polisi dan mengakui perbuatan saya dan minta dihukum. Artinya, korban
tidak berhak lagi mengadu pada Hukum Karma untuk melakukan ‘double jeopardy’
(penghukuman berganda) terhadap saya, karena itu sama artinya ‘nebis in idem’!
Adalah Hak Asasi Manusia untuk tidak dihukum dua kali atas perbuatan yang sama!”
Penulis jadi teringat pada
salah satu novel fiksi hukum karya John Grisham, yang dalam salah satu judul
novelnya mengangkat tema perihal “class
action” sekelompok warga yang sumber mata airnya tercemar oleh paparan
polutan akibat kegiatan usaha suatu industri. Telah ternyata dampaknya ialah
para warga setempat mengalami sakit gangguan kesehatan akibat mengonsumsi air
tanah di pemukiman mereka yang telah tercemar. Maka, sang warga diwakili oleh
seorang pengacara, mengajukan gugatan sekelompok warga terhadap pihak
pengusaha. Gugatan menghasilkan kemenangan “besar”, pengusaha bersedia membayar
ganti-kerugian dan warga merasa “menang” dan mendapatkan “keadilan”.
Namun, itu temporer saja
sifatnya, beberapa tahun kemudian, telah ternyata dampak akibat pencemaran air
tersebut tidaklah seringan yang dirasakan pada mulanya, para warga kini ada
yang tewas akibat efek jangka panjang pencemaran air di pemukiman mereka. Namun,
hukum acara perdata memiliki ketidak-sempurnaannya sendiri yang tidak dipahami
oleh para warga, yakni dengan telah dikabulkannya gugatan sebelumnya, dimana
pada saat itu warga hanya mengalami keluhan gejala sakit fisik, belum sampai
fase tewas meninggal dunia akibat terpapar pencemaran air, kini mereka tidak bisa
lagi mengajukan gugatan terhadap pihak pengusaha dengan alasan klise “nebis in idem”, larangan penghukuman
secara berganda, “non double jeopardy”,
sekalipun kerugian real yang para warga alami saat kini jauh lebih besar
ketimbang ganti-kerugian yang sebelumnya telah pernah mereka terima dalam
gugatan sebelumnya.
Anda lihat, kemenangan dalam gugatan
sebelumnya menjelma kerugian besar bagi kepentingan sang warga itu sendiri di
kemudian hari. Kita menilai segala sesuatu dengan memakai paradigma sempit
bernama “asumsi”, dan kita berdelusi bahwa kita menguasai masa lampau, masa
kini, maupun masa depan yang serba tidak pasti. Sekalipun, semuanya bersifat
tentatif saja, nisbi, tidak mutlak, tidak terkecuali perihal adil ataupun tidak
adil. Menjadi teringat pada salah satu artikel yang ditulis oleh Ajahn Brahm,
bahwa “Good or Bad, Who Knows?” Kita
sebetulnya sudah sering terkaget-kaget sendiri, betapa yang pada mulanya kita
duga sebagai “petaka” telah ternyata adalah “kemujuran”, dan begitu pula
sebaliknya.
Bahkan kemujuran pun dapat
berbuah petaka. Betapa tidak, bermodalkan buah Karma Baik yang ranum dan
melimpah namun disalahgunakan (mis-used),
seseorang memiliki akses menyerupai “jalan tol bebas hambatan” untuk melancarkan
apapun niat dan perbuatan yang dalam kehidupan masa kini, namun “tends to corrupt” sehingga alih-alih memacu
akselerasi ke “surga”, dirinya justru berakselerasi bebas hambatan menuju “neraka”
dengan selalu berhasilnya merealisasi segala niat jahat dirinya.
Sudah sejak lama penulis mengamati
berbagai fenomena sosial maupun fenomena yuridis dibalik praktik peradilan
pidana, dimana peradilan pidana sungguh dapat menjelma “as a tool of sin laundry” alias sarana untuk “cuci dosa”
bagi para pendosa dan para kriminil. Betapa tidak, rata-rata vonis hukuman di
republik kita bernama Indonesia ini, dengan mengatas-namakan alasan klise nan
pragmatis “penjara selalu overload
dan over-kapasitas” maka para hakim mulai dituntut untuk menerapkan kebijakan
diversi maupun meng-“korting” masa hukuman dan praktik “obral” remisi oleh
Kementerian Hukum yang mengepalai berbagai lembaga pemasyarakatan (lapas) yang
tersebar di Indonesia.
Bahkan sudah sejak dari usia
sangat muda penulis mendapati bahwa aparatur penegak hukum kita di Indonesia
tidak dapat diandalkan—lebih banyak menjadi kriminal itu sendiri, alias “preman
ber-‘pistol’” dan lebih banyak aduan / laporan korban yang diabaikan dan
ditelantarkan daripada yang ditindak-lanjuti dan diproses sekalipun kalangan
kepolisian bersama kejaksaan kita memonopoli akses peradilan pidana. Para “preman
pasar” setidaknya tidak digaji dari uang rakyat juga tidak tunduk pada sumpah
jabatan, namun para aparatur penegak hukum demikian digaji dari uang rakyat dan
disumpah jabatan akan tetapi justru “durhaka” kepada rakyat.
Jujur, penulis secara pribadi
lebih memilih untuk mengandalkan Hukum Karma untuk menegakkan keadilan bagi
penulis ketika menjadi korban akibat perbuatan disengaja maupun akibat lalainya
perbuatan orang lain—justru karena penulis tahu betul praktik hukum “law in concreto” di Indonesia karenanya
dapat membuat pernyataan demikian. Tidak terkecuali praktik gugatan perdata,
seorang pengusaha nakal bisa jadi menyalah-gunakan lembaga peradilan dengan memprovokasi
warga agar melakukan gugatan secepat mungkin, sebelum pencemaran alam akibat
kegiatan usaha sang pengusaha menimbulkan korban jiwa, ketika warga baru
merasakan gejala gatal-gatal pada kulit tubuhnya belum sampai pada komplikasi
seperti gagal organ dalam tubuh bahkan kematian.
Dengan mengandalkan keadilan
berupa buah Hukum Karma bagi sang pelaku, yang membunuh akan dibunuh, yang
menipu akan ditipu, yang menganiaya akan dianiaya, yang merampas akan dirampas,
yang mencuri akan dicuri, yang berdusta akan dibohongi, yang arogan akan
diperlakukan secara tidak ramah, yang ingkar janji akan dikecewakan oleh pihak
lain yang ingkar janji terhadap dirinya, yang curang akan dicurangi, yang
memeras akan diperas, yang memanipulasi akan diperalat, alias “mata balas
mata dan tangan balas tangan” akan tetapi eksekutornya bukan dengan tangan kita
sendiri—dan kita memang tidak perlu mengotori tangan kita untuk membalas
dendam.
Kita dapat tetap melanjutkan hidup sekalipun tidak
membalas dengan dengan tangan kita sendiri, itulah yang disebut dengan “positive thinking”. Keadilan cepat atau lambat
akan kita peroleh dan dapatkan, namun bukan lewat tangan kita. Memaafkan bukan
berarti tidak menuntut ataupun melepaskan hak kita akan keadilan, memaafkan
artinya melanjutkan hidup tanpa terpaku pada obsesi pembalasan dendam. Dimaafkan
juga bukan berarti sang pelakunya tidak akan memetik buah dari perbuatan buruknya
sendiri. Karenanya, kita sejatinya yang paling bertanggung-jawab atas hidup dan
masa depan kita sendiri, terutama terhadap perbuatan kita sendiri.
Kita pun tidak perlu
mengemis-ngemis keadilan yang memang sudah menjadi hak warganegara di hadapan
para anggota kepolisian yang khas memiliki watak “arogansi”—menyalah-gunakan
kewenangan monopolistiknya atas akses ke keadilan hukum pidana sehingga seolah-olah
daya tawar mereka lebih tinggi daripada masyarakat sipil—terlebih menjadi
korban untuk kedua kalinya yakni “korban perasaan” ketika menghadapi
sikap-sikap “arogan” anggota kepolisian. Kita dengan demikian, dapat menang
melawan kepolisian dengan semata berkata kepada mereka, “Saya tidak butuh Anda ataupun kalian, para
POLISI. Saya lebih memilih mengandalkan Hukum Karma.” Ketika kita
menyatakan demikian, maka kita telah menang melawan arogansi anggota
kepolisian. Ketika kita “butuh”, maka kita “kalah”. Ketika kita “tidak butuh”,
maka kita “menang”—itulah “politik”, hidup itu sendiri terkadang merupakan “politik”.
Sama seperti ketika seseorang
umat manusia berkata, “Saya tidak butuh
memohon kepada Anda, Tuhan. Saya lebih memilih untuk menanam sendiri
benih-benih Karma Baik untuk dapat saya petik sendiri dikemudian hari.”
Maka pada saat itu jugalah, kita telah menang menghadapi supremasi ataupun
“diktatoriat” Tuhan yang menurut pandangan dogmatis “agama samawi”
diilustrasikan menyalahgunakan kekuasaannya, bahkan pamer kuasa, semata agar
manusia tunduk dan menyerah terhadap siksaan dan derita yang dikirimkan oleh Tuhan
(baca : pemerasan), semata agar umat manusia menggadaikan martabatnya dengan
menjadi penyembah Tuhan dan melakukan ritual sembah-sujud (pemujaan, “waiting for Godot”).
Itulah sebabnya, alam neraka
merupakan “monumen kegagalan Tuhan”, bahwa Tuhan tidak sama sekali “Maha Kuasa”
terhadap umat manusia. Semudah itu, mengalahkan Tuhan. Sejatinya, memuliakan
Tuhan bukan dengan cara menyembah-sujud ataupun lewat ritual puja-puji, namun
dengan menjadi manusia yang mulia—hanya pendosa yang membutuhkan iming-iming “too good to be true” semacam ideologi
“penghapusan / pengampunan dosa” ataupun “penebusan dosa”. Karena itu jugalah,
agama dibagi menjadi tiga kategorisasi, yakni “Agama SUCI”, “Agama KSATRIA”,
dan “Agama DOSA”. Agama yang mengajarkan ideologi-ideologi iming-iming “penghapusan
/ pengampunan dosa”, sekalipun dikemas dengan merek “Kitab SUCI”, tetap saja
sejatinya merupakan “Agama DOSA”. Seorang ksatria maupun suciwan, tidak butuh
penghapusan dosa.
Kembali kepada kisah dan
pengakuan pengalaman personal sang Klien atas perkara hukum yang menimpa
dirinya selaku korban yang telah dirugikan oleh sesama anak bangsa, membuat penulis
merenung cukup lama, bahwa “kerugian immateriil” sang Klien telah ternyata
melampaui yang semua orang bisa duga, bahkan melampaui “kerugian materiil” yang
dituntut dalam gugatan yang ia ajukan, dimana mungkin hanya sang Klien itu
sendiri yang paling mengetahui betapa meruginya diri dan jiwa Beliau secara
moril akibat perbuatan Tergugat, disamping kerugian harta benda yang nyata-nyata
dapat dilihat.
Masalahnya, hakim tidak dapat
diharapkan untuk dapat memahami kondisi dan latar-belakang sang Klien, karena
hanya sang Klien itu sendiri yang menjalani hidup dan kehidupan Sang Klien
dalam keseharian, lengkap dengan segala latar-belakang, gejala, penyulit, serta
duka dan deritanya mengalami “kerugian immateriil” ini. Sungguh adalah sebentuk
penghakiman, ketika pihak lawan dalam gugatannya menghakimi Sang Klien sebagai
tidak merugi kesehatan ataupun kerugian psikis lainnya, karena mereka tidak
mengetahui apapun tentang riwayat hidup maupun keseharian hidup sang Klien yang
sudah sangat dibuat merugi secara fisik, psikis, maupun ekonomi. Karenanya,
mereka tidak punya hak untuk menghakimi, terlebih menghakimi pihak korban. Itu
sama artinya melukai kembali sang korban untuk kesekian kalinya. Menyepelekan perasaan
korban, merupakan ciri orang bermental “kriminil”.
Secara pribadi penulis pun
menyadari dan mengalami sendiri, betapa masyarakat kita tidak pernah mau
memahami bahwa melukai dan menyakiti bukan hanya dapat dilakukan secara fisik,
namun juga secara psikis lewat perkataan maupun sikap. Setelah merenungkan
kisah berisi kegundahan hati sang Klien, penulis mengirimkan pesan berikut
kepada Beliau : Perihal upaya menggugat kerugian, tampaknya kita terbentur dan
berbenturan dengan keterbatasan hakim untuk dapat memahami kondisi kejiwaan dan
kerugian moril yang melingkupi pihak Penggugat, dengan seketika memberikan
penilaian bahwa tuntutan “ganti-kerugian immateriel” yang bombastis nilainya
ialah tidak “reasonable”—sehingga
seketika dipandang “sebelah mata” oleh kalangan hakim.
Karenanya, mengandalkan
pengadilan untuk sepenuhnya bisa memulihkan kerugian Penggugat selaku korban,
baik “kerugian materiil” maupun “kerugian immateriil”, tampaknya harapan yang
terlampau utopis, karena hakim tidak memiliki “mata dewa” ataupun kemampuan
untuk membaca “Akashic Records” seseorang seperti kemampuan yang dimiliki para
indigo. Tampaknya sang Klien terpaksa harus “puas”, bahwa keadilan mungkin
tidaklah niscaya sifatnya, namun setidaknya tidak terlampau jauh dari keadilan
dan sebisa mungkin mendekati keadilan.
Sering penulis menuliskan, tes
semacam tes IQ ibarat penggaris yang pendek daya ukurnya, bagaimana mungkin
dapat menghakimi seseorang sebagai jenius atau bahkan sebagai bodoh? Sementara
itu seseorang dapat memiliki kedalaman tiga dimensi, bukan hanya panjang kali
lebar kali tinggi, namun juga terkandung kedalaman, bobot / berat jenis, gaya
gravitasi, daya magnetik, akselerasi, dan lain sebagainya yang tidak akan mampu
diminimalisir oleh alat uji “penggaris pendek” semacam tes IQ. Cobalah Anda ukur
dengan penggaris yang biasa dibawa anak sekolahan, bisakah Anda mengukur tinggi
sebuah gedung pencakar langit? Ibarat USG janin dalam kandungan, terdapat USG 2
dimensi, 3 dimensi, bahkan kini tersedia opsi USG 4 dimensi untuk ukur
temperatur, tekanan air ketuban, posisi janin dan plasenta, dsb. Sayangnya,
hakim di pengadilan dengan segala keterbatasan prosedur formalnya hanya mampu
mengukur “panjang X lebar X tinggi”, namun tidak untuk “kedalaman” maupun
“bobot”, rasa, dsb.
Secara anthropologi, seorang
jenius memiliki karakteristik unik (traits)
yang mudah dikenali dan terpola “khas” (semisal sarkastik, pemalu, pencemas, tidak
suka menulis pesan teks yang disingkat namun selalu memakai frasa formal yang
utuh, tidak pernah mandi dengan air panas meski pada kediaman keluarganya punya
pemanas air, pejalan kaki tulen meski punya kendaraan pribadi, serta “jomblo”
dan menderita gangguan “bipolar”), namun bisa jadi orang-orang yang “real” jenius tersebut tidak memiliki
skor tinggi dalam tes IQ.
Seringkali mereka yang jenius
punya nilai yang tidak tergolong berprestasi di sekolah. Sebaliknya, para
psikopat, yang konon 1% dari total populasi penduduk bersifat sifat psikopat
secara laten, kerap memiliki skor tinggi dalam tes IQ—konon juga disebutkan
oleh kajian literatur bahwa para psikopat tidak takut pada konsekuensi
perbuatan jahat yang mereka lakukan, cenderung “masa bodoh” pada masa depan.
Bagaimana mungkin, “menggali lubang kubur sendiri” (menanam Karma Buruk) dengan
melakukan kejahatan berdarah dingin, disebut sebagai “jenius”?
Sekali lagi, pengadilan dan
proses penegakan hukumnya bersifat penuh keterbatasan, terutama keterbatasan
dari segi “alat ukur”. Mengukur “kerugian materiil”, masih tergolong lebih
relatif mudah ketimbang mengukur “kerugian immateriil”. Ketika kerugian seorang
warga lebih besar dari segi “kerugian immateriil”, saran terbaik dari pribadi penulis
ialah, dapat dipertimbangkan untuk lebih baik serahkan proses peradilannya oleh
Hukum Karma, dimana Hukum Karma menjadi hakim sekaligus menjadi eksekutornya,
tanpa perlu membiarkan kita lebih merugi dari segi waktu, pikiran, maupun
tenaga, dan berfokus untuk tetap melanjutkan hidup sebisa dan sebaik yang kita sanggup
upayakan. Namun kesemuanya kembali pada pilihan hidup masing-masing, bukanlah hak
kita untuk menghakimi pilihan hidup masing-masing lengkap dengan segala
konsekuensinya.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.