MAKSIAT, Ilegal namun Tumbuh Subur di Ruang Temaram,
Negara Melarang namun Tidak Melindungi Rakyatnya yang Mencandu dan menjadi
Pelanggan Tetap MAKSIAT
MAKSIAT, Dibenci namun Dicintai, bahkan Perintah Larangan Tuhan lewat Nabi-Nya pun Gagal Total
Ulasan ini adalah sebuah wacana, namun niscaya meski akan mengundang kontroversi, tanpa bermaksud untuk mempromosikan “maksiat”, dimana konteksnya ialah hanya seputar isu sosial dan isu hukum bernama praktik “perjud!an”, sehingga mohon para pembaca tidak menariknya secara lebih melebar untuk konteks “maksiat-maksiat” lainnya yang lebih ekstrem seperti “lokalisasi” maupun legalisasi barang “madat” sumber candu obat-obatan terlarang—sekalipun “perjud!an” juga “memabukkan” dan “mencandu” akibat adiksi. Saat ulasan ini disusun, “hukum positif” di Indonesia masih menjadikan praktik “perjud!an” sebagai ilegal dan terlarang, berbeda dengan beberapa negara bagian di Amerika Serikat yang bahkan melegalkan “rumah jud!” bernama “kas!no” ataupun mesin-mesin “jack pot”.
Pertama-tama kita analogikan
praktik “untung-untungan” yang dilegalkan bernama “undian berhadiah”, dimana
penyelenggara undian berhadiah bahkan harus berizin dari pihak Kementerian,
dimana undian benar-benar diawasi sehingga pemenang undian adalah memang
benar-benar pemenang bukan rekayasa “by
system” untuk di-setting “siapa pemenangnya” dan “siapa dapat apa”. Dengan
kata lain, ada transparansi dan akuntabilitas dalam suatu praktik “undian
berhadiah”, pengawasan pemerintah mana agar masyarakat luas tidak menjadi
“korban” eksploitasi dan manipulasi iming-iming “undian berhadiah”, dimana
siapapun bisa benar-benar menang dan menjadi pemenang “undian berhadiah”.
Sebaliknya, praktik
“untung-untungan” yang lebih ekstrem seperti “perjud!an”, sama sekali tidak
diawasi pemerintah, sehingga warga yang selama ini menjadi “konsumen” /
“pelanggan” setia para bandar praktik “perjud!an” tidak memiliki perlindungan
apapun—sekalipun, kita ketahui bahwa bandar “perjud!an” ialah orang-orang jahat
yang kotor, tidak bermoral, jahat, licik, serakah, dan tidak takut berbuat
dosa, sehingga tiada bandar “perjud!an” yang bersedia “jual rugi” dengan
membiarkan yang menang “perjud!an” lebih banyak daripada yang kalah “perjud!an”,
sehingga terjadilah praktik suap-menyuap pengaturan skor pertandingan sepak
bola, agar pelanggannya yang lebih banyak bertaruh pada tim kesebelasan
tertentu mengalami kekalahan. Pada saat itulah, menang dan kalah bukan lagi di tangan
“Tuhan” Anda, namun di tangan sang bandar. Untuk apa juga Anda menyerahkan
nasib Anda ke tangan bandar busuk semacam itu?
Terlebih bila nomor undian yang
akan dikeluarkan sebagai nomor yang “kena angkanya”, semata ditentukan secara
sepihak oleh sang bandar “perjud!an”, itu lebih konyol lagi bilamana ada
anggota masyarakat kita yang bersedia mengeluarkan uang dari kantung saku
bajunya untuk bertaruh pada praktik “perjud!an” semacam itu—sudah jelas-jelas
bila sang bandar “perjud!an” mengkalkulasi dari sekian banyak nomor yang bisa
dibeli untuk pertaruhan, telah ternyata ada nomor yang paling sedikit yang
bertaruh pada nomor tersebut, maka dapat dipastiakn sang bandar akan menjadikan
nomor yang minim peminat tersebut yang akan diumumkan sebagai “angka”-nya. Ingat,
bandar kotor semacam itu murni “profit
oriented”, bukan pekerja sosial, mereka tidak bermoral karena menipu
pelanggannya adalah hal biasa bagi mereka.
Tiada sejarahnya ada bandar “perjud!an”
yang bangkrut, yang ada selama ini ialah pelanggan “perjud!an” yang bangkrut,
namun masyarakat kita tidak mau belajar dari pengalaman pahit mereka sendiri,
dengan berdelusi memandang “menang dua kali, kalah tiga kali, namun serasa
‘menang’”. Mereka, para pelanggan praktik “perjud!an”, bukanlah lagi disebut
sebagai “bodoh”, namun orang yang “tidak waras”, seperti kata Albert Einstein :
“Melakukan hal yang sama namun mengharap
hasil yang berbeda, IT IS INSANE!” Menjadi kaya raya, ialah lewat kerja
keras, bukan mengemis-ngemis peruntungan dari kalangan bandar yang jahat.
Adalah tuntutan yang berlebihan
mengharap dan berdelusi bahwa sang bandar “perjud!an” tempat mereka
mempertaruhkan uangnya adalah orang-orang yang jujur, transparan, dan
akuntabel. Polisi kita di Indonesia saja bisa dan tega begitu korup, kotor,
jahat, maka bagaimana dengan praktik kalangan mafia, preman, dan para
kriminalnya? Sikap rasional, adalah cerminan orang yang “cerdas” secara
intelektual maupun secara emosional tidak terkecuali secara spiritual—karena
kita menghargai otak pemberian Tuhan untuk berpikir, bukan untuk digadaikan.
Namun, “setidak waras” apapun masyarakat kita yang mengakunya “agamais” ini,
negara perlu hadir untuk mengatur dan mengelola serta melindungi masyarakatnya.
Untuk itu, kita terlebih dahulu
perlu membuat konsensus, apakah praktik “perjud!an” benar-benar dapat
diberantas dari muka Bumi ini atau setidaknya dari Tanah Air? Banyak kalangan
yang meski mengaku “agamais”, namun secara terbuka mengakui bahwa praktik
“maksiat” satu ini tidak akan bisa dimusnahkan dari Indonesia, karena puluhan nabi
yang selama ini mereka junjung pun telah ternyata gagal total memberantas
maksiat paling primitif apapun dari muka Bumi ini—betapa tidak, “maksiat”
dilarang namun disaat bersamaan kompromistis dan permisif terhadap “maksiat”
lewat iming-iming “penghapusan / pengampunan dosa”, serta disaat bersamaan pula
bersikap intoleran terhadap kaum yang berbeda keyakinan (lebih toleran terhadap
“maksiat”).
JIka begitu, bila tiada
diantara pemuka agama, pendidik, maupun anggota masyarakat kita yang meyakini
bahwa “maksiat” dapat dipunahkan serta mengakui kegagalan fungsi maupun peran
mereka, maka mengapa tidak kita sepakati saja bahwa praktik “perjud!an” memang tidak
dapat dimusnahkan, mengingat sifatnya selama ini praktik tersebut hanya dapat
direpresi dan disimpan di bawah permukaan fenomenanya, eksis namun aktif di
“pasar gelap”, karenanya tidak mendapat pengakuan maupun pengawasan ataupun
pengaturannya oleh negara, sehingga masyarakat terus saja berjatuhan
di-“bodoh”-i oleh para bandar “perjud!an”.
Beberapa tokoh yang tidak “sok
suciwan” melontarkan wacana agar praktik “perjud!an” dilegalkan saja oleh
negara dan secara hukum di Indonesia, agar tidak lagi menjadi objek “backing” para oknum kepolisian, sehingga
hanya membuat kotor lembaga kepolisian. Dimana dana untuk “setoran” kepada para
“oknum berjemaah” para anggota maupun pejabat kepolisian, lebih baik dijadikan
subjek wajib pajak oleh negara, dan disetorkan ke kas negara dengan pajak yang
tinggi untuk dijadikan sumber pendanaan subsidi bagi hajat hidup orang banyak.
Bila negara kita berani menjadikan barang madat seperti candu nikotin sebagai
barang legal bahkan disahkan sebagai “barang kebutuhan pokok” masyarakat,
alih-alih diperangi dan diberi label “maksiat”, negara tanpa malu-malu mengutip
cukai yang harus ditanggung oleh masyarakat para konsumennya, akan tetapi masih
juga secara lancang mewajibkan seluruh rakyatnya (disandera) membayar iuran Jaminan
Kesehatan Nasional.
Kini, mari kita berandai-andai.
Jika saja praktik “perjud!an” dilegalkan—sekadar catatan, penulis bukanlah
konsumen praktik “perjud!an” dan sama sekali tidak berminat menjadi konsumen
praktik “perjud!an”, hanya orang-orang “dungu” kurang kerjaan yang bersedia
membakar uangnya untuk menghisap asap bakaran tembakau maupun memperkaya bandar
“perjud!an”. Investasi yang paling jenius ialah, menanam benih Karma Baik dengan
menjadikan alokasi dana yang ada untuk didonasikan kepada pihak-pihak yang
jelas dan tepat bibit, bebet, dan bobotnya, alih-alih didonasikan kepada bandar
“perjud!an” yang kotor dan sudah lebih dari makmur—maka setidaknya ada sebentuk
perhatian dan regulasi “hukum perlindungan penjud!” yang diterbitkan oleh
negara.
Di negara-negara liberalis
tersebut, sekalipun “kas!no” dilegalkan, namun tidak juga begitu membuat
euforia dan penyakit “jud!” menjangkiti seluruh rakyatnya—konon, menurut
penuturan kisah seseorang yang pernah ke Singapura, kas!no di sana lebih banyak
dikunjungi oleh ibu-ibu “kesepian”. Sebaliknya, di Indonesia, meski tampaknya
praktik “perjud!an” di-tekan dan di-represi (seolah-olah demikian, karena ada “backing” pejabat tinggi kepolisian),
sehingga praktiknya berlangsung di ruang temaram dan di “pasar gelap”, namun
pelakonnya amat masif, dimana ironisnya justru orang-orang berlatar-belakang
ekonomi menengah-kebawah yang menjadi pelanggan tetapnya bahkan menyerupai menu
keseharian menjelma “empat sehat, lima sempurna, enam pamuncak”.
Begitu kentalnya nuansa
“maksiat” di republik ini, dimana “miras” (minuman keras) oplosan meraja-lela,
prostitus! meraja-lela (bahkan dijajakan di pinggir-pinggir jalan dengan
gerobak (daerah “angke” Jakarta Barat, lagi-lagi di-backing “oknum” berjemaah kepolisian), alat penghisap obat-obatan
terlarang digelar bebas dan terbuka di trotoar pusat perbelanjaan di Jakarta
(daerah pecinan Glodok, Jakarta Pusat, tidak jauh dari sentra penjualan
film-film “blue” dan “bajakan” yang
juga setoran kepada “oknum” kepolisian), hampir mayoritas penduduknya baik pria
maupun wanita bahkan kanak-kanak menjadi penghisap asap bakaran tembakau,
hingga praktik “perjud!an” mulai dari sambung-ayam, jud! t0gel, taruhan skor
sepak bola, jud! online, dan berbagai jenis “maksiat” lainnya. Bangsa Indonesia
mengaku “agamais”, namun survei membuktikan, separuh lebih remaja putri di
Indonesia sudah tidak “virgin”
(pergaulan bebas), meski busana mereka serba tertutup dan “agamais”.
Dengan dilegalkannya praktik “perjud!an”,
setidaknya para bandar akan dipaksa untuk mendaftarkan diri, dimonitor, dan
mendapatkan perizinan daripada harus “setoran” kepada “oknum” kepolisian,
dimana para bandar silahkan berdelusi menjadi “pahlawan” yang berkontribusi
membayarkan pajak bagi negara untuk pembangunan negeri ini, lembaga kepolisian
menjadi lebih “steril” dan lebih profesional, dan masyarakat konsumen ataupun
pelanggan praktik “perjud!an” menjadi terlindungi, karena seperti contoh nomor
“jud! pak0ng ataupun t0gel” (sudah ada sejak puluhan tahun lampau, dan
tampaknya akan tetap eksis hingga abad-abad dimana anak dan cucu Anda tumbuh
dewasa), nomor yang akan keluar sebagai pemenang sudah harus didaftarkan kepada
pemerintah selaku regulator beberapa hari sebelum nomor tersebut diumumkan
sebagai pemenangnya, sehingga yang menang dan yang kalah adalah murni
benar-benar menang ataupun kalah.
Beberapa negara telah
mempraktiknya dan melegalkan dengan cara seperti demikian, bahkan menjadi
sumber pendapatan pajak yang cukup lumayan bagi negara, dimana bandar bisa
berpotensi “bangkrut”, tidak semata masyarakat pelanggannya, meski peluangnya
tetap saja selalu lebih menguntungkan pihak bandar karena tidak sebanding
dengan resiko mengingat nomor yang dapat di-“pasang” pembelinya untuk
berspekulasi tidak sebanding dengan jumlah kelipatan kemenangannya, semisal bila
angka yang ditawarkan ialah dua digit, artinya peluang menang-nya ialah 10 x 10
= 1 : 100.
Namun, pemenang nomor hanya
dapat imbal-hasil 10 kali, artinya bandar “perjud!an” tetap lebih diuntungkan
dari segi ilmu matematika perihal “peluang” yang bahkan sudah diajarkan kepada
anak-anak kita di bangku Sekolah Dasar—ironisnya, guru sekolah mereka memasang
taruhan saat murid-muridnya belajar sendiri di kelas (menurut kisah seseorang
anak yang melihat ulah gurunya). Itu bila konteksnya legal, bagaimana jika
ilegal, dimana bandar yang selalu diuntungkan dengan semata menjadikan nomor
yang paling kecil dan paling sedikit yang bertaruh pada nomor tersebut yang
akan diterbitkan sebagai nomor yang menang. Menjadi dapat kita maklumi,
orang-orang jenius tidak akan pernah berminat untuk membakar uangnya pada
praktik “perjud!an”, dimana nasib pelanggannya diserahkan ke tangan sang bandar
meski mengakunya berpasrah diri kepada Tuhan.
Hanya orang-orang “bodoh” dan
“kurang kerjaan” atau yang memang terlampau banyak uang untuk dibuang-buang dan
dihamburkan yang berminat mengikuti praktik “perjud!an”. Itulah sebabnya, tidak
pernah ada sejarahnya bandar “perjud!an” mengalami kebangkrutan, yang ada
selalu sebaliknya. Orang “bodoh” memang layak “dibodohi”, namun masih juga
berdelusi dirinya beruntung menjadi “penjud!” sebagaimana si “dungu” terus saja
mencandu tembakau maupun obat-obatan terlarang meski tubuh fisik dan mentalnya
digerogoti hingga rusak dan terdegradasi hingga ke titik nadir, serta tetap
saja melekatinya tanpa menyayangi tubuh maupun uang yang dicari dan dikumpulkan
dengan susah payah. Mereka bukan hanya “dungu”, namun juga tidak menghargai
diri dan hidup maupun uangnya sendiri. Bukan lagi cerita baru, pasien yang paru-parunya
divonis dokternya mengidap kanker akut, tetap saja asyik menghisap bakaran
tembakau.
Tumbuh suburnya praktik
“maksiat” pada suatu negara, merupakan pertanda atau cerminan betapa warga
masyarakat pada bangsa tersebut tidaklah “happy”.
Ada survei beberapa tahun lampau yang menyebutkan, bahwa Bangsa Indonesia
tergolong sebagai bangsa yang paling berbahagia di dunia. Jika demikian,
mengapa para polisinya justru gemar dan kerap menjahati rakyat, dan rakyat
kerap menipu serta menyakiti dan merugikan sesama masyarakat, pejabatnya
mencuri hak-hak rakyat yang lebih miskin dari sang pejabat, dimana juga
rakyatnya kerap menjadi pelanggan “maksiat”? Mengapa level atau derajat
kesenangannya, begitu dangkal dan rendahan semacam “maksiat” yang sangat “hewanis”
layaknya seekor hewan?
Kebahagian untuk hidup
“produktif” dan kebahagiaan sebagai seseorang yang “bebas dari kejahatan”
(manusia yang”steril” dari dosa) adalah lebih tinggi, dimana bila kita telah
mencapai tataran tersebut, kita akan memandang remeh dan rendah kesenangan
dangkal semacam “maksiat”. Terlebih ketika kita telah mencapai kebahagiaan dari
praktik latihan “melepaskan” dan kebahagiaan “meditatif” (kebahagiaan surgawi),
maka bagaimana mungkin alam surgawi digambarkan sebagai alam dengan “kesenangan
duniawi” yang urusannya ialah kegiuran seputar “selangkangan”, sampai-sampai
seorang gadis di Iran dihukum penjara oleh otoriter penguasa di Iran karena sang
gadis menyebut “surga mirip rumah bord!l”?
Mereka yang belum sampai pada
tataran kebahagiaan yang lebih tinggi, akan cenderung berkubang dalam
kesenangan dangkal rendahan demikian, seperti kesenangan mengumpulkan harta
kekayaan dengan cara yang salah dan tercela sekalipun, yang dipandang remeh
oleh mereka yang telah merasakan langsung lewat pengalaman sendiri kebahagiaan
dari praktik latihan “melepaskan keserakahan”—bebas dari keserakahan, yang
dalam bahasa Ajahn Brahm, “freedom FROM
wanting” bukan “freedom TO wanting”.
Lihatlah kasus Ferdy Sambo,
Kepala Divisi PROPAM Mabes POLRI, punya gaji tinggi puluhan juta rupiah,
jabatan, kekuasaan, istri cantik, kekuasaan, namun hidupnya tetap saja tidak
puas, dan masih ingin merampas hak hidup orang lain. Lihatlah skandal hidup
Bill Gates, pendiri dan pemilik peranti lunak Microsoft, milioner yang tidak
tertandingi, namun penuh skandal urusan “selangkangan”. Bila Anda pikir bahwa
kekayaan adalah akhir dari segalanya dan tujuan puncak untuk dicapai, Anda keliru,
itu adalah delusi. Semakin melekat dan semakin terobsesi oleh keserakahan,
semakin mereka terbudaki oleh berbagai keinginan mereka sendiri yang tidak akan
pernah terpuaskan. Hidup adalah tidak terpuaskan, adalah “dukkha” itu sendiri.
Sebagai penutup, sekadar
mengutip penuturan kisah dari Ajahn Brahm, alkisah terdapat beberapa orang anak
saling berdiskusi. Anak pertama berkata, yang ia inginkan terwujud ialah agar
ia bisa makan coklat sepuasnya. Anak kedua berkata, bahwa impiannya ialah agar
ia punya pabrik coklat, sehingga ia bisa makan coklat untuk setiap harinya.
Anak ketiga berkata bahwa ia ingin menguasai industri coklat mulai dari hulu di
kebun coklat, hingga hilirnya pada pabrik coklat, sehingga ia tidak akan pernah
khawatir kekurangan coklat dan dapat membuat semua jenis citarasa coklat sesuai
keinginannya. Anak keempat berkata, jika ia boleh meminta sesuatu, maka yang ia
inginkan ialah “bebas dari keinginan”.
Namun demikian, tidak semua “pertaruhan”
dan “bertaruh” adalah “perjud!an”. Dahulu, saat penulis masih bekerja sebagai
karyawan di sebuah perusahaan, penulis telah pernah bertaruh dengan pihak
pemilik perusahaan, penulis akan menggugat Kementerian Agaraia / Badan
Pertanahan Nasional dalam rangka menguji-materiil salah satu regulasinya
terkait pertanahan, dimana biaya panjar untuk menggugat ditanggung oleh dana
pribadi penulis, namun jika upaya hukum penulis ternyata “menang”, maka
perusahaan harus membayar penulis 10 kali lipat dari biaya panjar yang telah penulis
tanggung dan keluarkan.
Penulis (secara rasional) yakin
akan kemampuan dan keterampilan maupun pengetahuan hukum yang penulis miliki,
maka dari itu penulis mempertaruhkan dana pribadi milik penulis untuk
mengajukan gugatan demi kepentingan kantor, dan ternyata menang serta berhasil.
Sama seperti semua jenis profesi, bisa “untung” (namun juga) bisa “buntung”,
namun sifatnya bukan seutuhnya spekulasi untung-untungan. Semua usaha punya
resiko usaha, masa depan tidak pasti, namun resiko dibalik “perjud!an” bersifat
ekstrem dan tidak terukur.
Pilihlah resiko usaha yang
sehat serta layak untuk kita tempuh dan pilih, jangan bersikap seolah-olah tidak
ada hiburan yang lebih produktif dan lebih inspiratif ketimbang menceburkan diri
ke dalam lembah “maksiat”. Sekalipun Tuhan memberikan kompromi bagi Anda untuk
menikmati maksiat, namun praktik latihan pengendalian diri adalah penting bagi
kebaikan perkembangan diri dan kejiwaan kita sendiri. Hidup adalah sebuah pilihan,
namun tidak semuanya perlu kita ambil dan “telan”. Hidup yang cerdas adalah
hidup yang “selektif”, selektif dalam apa yang kita konsumsi dan apa yang kita
perbuat terhadap diri kita sendiri.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.