Uang Paksa (Dwangsom) Tidak Berlaku terhadap Tindakan untuk Membayar Sejumlah Uang
Konsistensi Yurisprudensi DWANGSOM, UANG PAKSA
Question: Apakah semua jenis gugatan perdata di pengadilan, dapat menuntut “uang paksa” agar tergugat yang kalah dalam gugatan dan dihukum oleh hakim di pengadilan, mau patuh untuk cepat laksanakan isi amar putusan hakim sehingga tidak menjadi masalah baru bagi pihak penggugat yang menang gugatan?
Brief Answer: JIka pokok tuntutan dalam gugatan ialah berupa
perintah penghukuman untuk membayar sejumlah uang atau ganti-kerugian berwujud
uang, maka “dwangsom” tidak dapat
dituntut dalam gugatan perdata, namun dapat menuntut berupa “bunga”—sekalipun
itu tidak diperjanjikan, menurut preseden yang ada diatur bahwa menurut hukum
dan kepatutan “bunga” ialah 6% bila perihal “bunga” tidak diperjanjikan antara
kedua debitor dan kreditornya, sebagaimana preseden sebagaimana putusan
Mahkamah Agung RI Nomor 737 K/Pdt/2022 tanggal 5 April 2022:
“Bahwa hubungan hukum pokok
dalam gugatan a quo adalah utang piutang antara Penggugat dengan Tergugat dan
dari fakta-fakta persidangan terbukti Tergugat telah wanprestasi tidak membayar
utangnya kepada Penggugat sehingga Tergugat berkewajiban untuk membayar utang
pokok ditambah bunga 6% (enam persen) per tahun sejak perkara
didaftarkan di Pengadilan Negeri.”
Yurisprudensi telah melarang
tuntutan pembayaran “dwangsom” alias “uang
paksa” terhadap adanya tuntutan penggantian kerugian, sebagaimana rujukan
utamanya ialah kaedah preseden putusan Mahkamah Agung RI No. 791K/Sip/1972 yang
melarang tuntutan pembayaran uang paksa terhadap adanya tuntutan penggantian
kerugian. “Uang paksa” (dwangsom)
hanya dibenarkan dalam eksekusi riil, sedangkan pada eksekusi pembayaran
sejumlah uang tidak dimungkinkan untuk dibarengi tuntutan “uang paksa”.
PEMBAHASAN:
Belum terdapat petunjuk teknis
perihal “uang paksa”. Adapun secara sumir terdapat Surat Edaran Mahkamah Agung
Nomor 7 Tahun 2012 tentang “rumusan rapat pleno MA RI”, dalam sub-bab “Rumusan
Kamar TUN”, disinggung perihal “Uang Paksa” (dwangsom), dengan kutipan:
Rumusan : Apakah uang paksa
dapat dimintakan dalam gugatan dan diputus oleh hakim meskipun belum ada peraturan
pelaksananya?
Jawab :
a) Uang paksa dapat diminta dalam gugatan dan dapat dikabulkan serta
dimuat dalam amar putusan. Hal ini untuk mendorong pemerintah segera membuat
peraturan pelaksanaannya sebagaimana diperintahkan oleh undang-undang.
b) Agar setiap gugatan yang memuat tuntutan condemnatoir mencantumkan
uang paksa.
Untuk menjawab tantangan
tersebut di atas, tepat kiranya SHIETRA & PARTNERS merujuk norma
hukum bentukan preseden / yurisprudensi yang menjadi “best practice” praktik di pengadilan sebagai “law in concreto”-nya. Contoh kasus aktual yang pertama sebagaimana
putusan Pengadilan Negeri Batulicin register Nomor 1/Pdt.G.S/2020/PN.Bln.tanggal
24 Februari 2020, dimana Majelis Hakim membuat pertimbangan serta amar putusan
sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa berdasarkan
Pasal 606a Reglemen op de Burgerlijk Rechtsvoordering (RV) yang menyatakan
bahwa sepanjang suatu keputusan Hakim mengandung hukuman untuk sesuatu yang
lain dari pada membayar sejumlah uang, maka dapat ditentukan, bahwa
sepanjang atau setiap kali terhukum tidak memenuhi hukuman tersebut, olehnya
harus diserahkan sejumlah uang yang besarnya ditetapkan dalam keputusan Hakim,
dan uang tersebut dinamakan uang paksa;
“Menimbang, bahwa kemudian hal
tersebut ditegaskan pula dalam yurisprudensi Mahkamah Agung tanggal 26 Februari
1973 Nomor 791 K/Sip/1972 yang menyatakan bahwa uang paksa (dwangsom) tidak
berlaku terhadap tindakan untuk membayar uang, sehingga berdasarkan hal-hal
tersebut, maka beralasan bagi Pengadilan untuk menyatakan bahwa petitum angka 7
gugatan Penggugat patut untuk ditolak;
“MENGADILI:
1. Menolak eksepsi Tergugat II;
2. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
3. Menyatakan Tergugat I telah melakukan perbuatan cidera janji atau wanprestasi;
4. Menghukum Tergugat I untuk membayar sisa pinjamannya kepada Penggugat
sejumlah Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah);
5. Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya.”
Contoh konkret kedua dapat
merujuk putusan Pengadilan Negeri Cibadak Nomor 2/Pdt.G.S/2020/PN.Cbd tanggal 28
Mei 2020, dimana Majelis Hakim membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai
berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap
petitum Penggugat selebihnya dalam petitum angka 5 mengenai sita jaminan, oleh
karena kenyataannya tidak pernah diletakan sita jaminan, petitum angka 7
mengenai pengosongan objek yang ada dalam AJB, oleh karena jenis eksekusinya
adalah eksekusi pembayaran sejumlah uang dan bukanlah eksekusi rill, petitum
angka 8 mengenai dwangsom, oleh karena tidak memenuhi Pasal 606a RV jo Yurisprudensi
Mahkamah Agung, tanggal 26 Pebruari Tahun 1973, Nomor : 791 K/Sip/1972, yang
menyatakan bahwa uang paksa (dwangsom) tidak berlaku terhadap tindakan untuk
membayar uang;
“MENGADILI:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan para Tergugat telah melakukan wanprestasi / ingkar janji
kepada Penggugat;
3. Menyatakan bahwa Surat Pengkuan Hutang Nomor : ... tanggal 23/09/2014
berikut perubahan-perubahannya yang terakhir dengan Surat Pengakuan Hutang
Nomor : ... tanggal 23/09/2014 adalah sah dan berkekuatan hukum;
4. Menghukum Para Tergugat untuk membayar lunas seketika tanpa syarat seluruh
sisa pinjaman / kreditnya (Pokok + bunga) kepada Penggugat sebesar Rp. 75.828.618.
Apabila Para Tergugat tidak melunasi seluruh sisa pinjaman/kreditnya (pokok +
bunga) secara sukarela kepada Penggugat, maka terhadap agunan dengan bukti
kepemilikan AJB No. 19/2011 Luas 2.400 meter persegi Blok Cibadak atas nama
Suloh yang dijaminkan kepada Penggugat dilelang dengan perantara Kantor
Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) dan hasil penjualan lelang
tersebut digunakan untuk pelunasan pembayaran pinjaman/kredit Para Tergugat
kepada Penggugat;
5. Menghukum Para Tergugat untuk membayar seluruh biaya perkara yang timbul
yakni sebesar Rp. 641.000,-;
6. Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya.”
Selanjutnya ialah putusan Pengadilan
Negeri Purwodadi Nomor 3/Pdt.G.S/2018/PN.Pwd. tanggal 1 Oktober 2018, dimana Majelis
Hakim membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa bahwa tentang
uang paksa (dwangsom) dengan mempedomani yurisprudensi dari Putusan Mahkamah
Agung RI tanggal 26-2-1973 No. 791K/Sip/1972 yang menyatakan bahwa ‘uang
paksa (dwangsom) tidak berlaku terhadap tindakan untuk membayar uang’
sehingga permohonan menyangkut uang paksa dalam perkara ini ditolak;
“MENGADILI :
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan Tergugat melakukan perbuatan Wanprestasi;
3. Menyatakan sah dan mempunyai kekuatan hukum mengikat kepada Para Pihak,
Surat Pengakuan Hutang Nomor ... tanggal 30 November 2017, yang ditandatangani
oleh Tergugat;
4. Menghukum Tergugat untuk membayar lunas seketika tanpa syarat
seluruh sisa pinjaman / kreditnya kepada Penggugat sebesar Rp 39.470.000,-;
5. Menghukum Tergugat untuk membayar segala ongkos perkara yang timbul dalam
perkara ini sebesar Rp 436.000,-;
6. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya.”
Begitupula dapat kita jumpai
dalam putusan Pengadilan Tinggi Mataram nomor 131/PDT/2021/PT.MTR tanggal 14
Juli 2021, dimana Majelis Hakim membuat
pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa petitum angka
5 mengenai uang paksa (dwangsom) berdasarkan Putusan Mahkamah Agung tanggal 26
Februari 1973 Nomor 791 K/Sip/1972, uang paksa tidak berlaku terhadap tindakan
untuk membayar uang, maka petitum angka 5 harus ditolak;
“MENGADILI SENDIRI :
1. Mengabulkan gugatan Para Pembanding semula Para Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan Para Terbanding semula Para Tergugat telah melakukan wanprestasi
terhadap Para Pembanding semula Para Penggugat;
3. Menghukum kepada Para Terbanding semula Para Tergugat untuk mengembalikan
uang yang dipinjam dari Para Pembanding semula Para Penggugat sebesar Rp.
469.500.000,- ditambah dengan bunga sebesar Rp.150.000.000,- (seratus lima
puluh juta rupiah);
4. Menghukum Para Terbanding semula Para Tergugat untuk membayar biaya perkara
dalam kedua tingkat Peradilan yang dalam tingkat banding ditetapkan sejumlah
Rp. 150.000,00;
5. Menolak gugatan Para Pembanding semula Para Penggugat selain dan selebihnya.”
Senada dengan itu, kita jumpai
dalam putusan Pengadilan Negeri Pariaman Nomor 5/Pdt.G.S/2020/PN.Pmn. tanggal 16
November 2020, dimana Majelis Hakim membuat pertimbangan serta amar putusan
sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap
Petitum angka 9, tentang menghukum Tergugat untuk membayar uang paksa
(dwangsom) sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) atas setiap hari
keterlambatan dalam melaksanakan putusan perkara ini, dipertimbangkan di bawah
ini;
“Menimbang, bahwa dwangsom
tidak diatur dalam R.Bg, akan tetapi diatur dalam Pasal 606a dan 606b Rv,
dimana dalam penerapannya Hakim menetapkan suatu hukuman tambahan kepada
Tergugat untuk membayar uang paksa kepada Penggugat karena Tergugat tidak
memenuhi putusan tentang pokok perkaranya secara sukarela dan dapat diterapkan jika
pokok sengketa tidak menyangkut pembayaran sejumlah uang. Dengan kata lain larangan
menjatuhkan dwangsom untuk hukuman pokok pembayaran sejumlah uang. Dalam
perkara a quo adalah mengenai masalah pembayaran sejumlah uang (hutang-piutang),
maka permintaan dwangsom tidak dapat dikabulkan;
“MENGADILI:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebahagian;
2. Menyatakan demi hukum perbuatan Tergugat adalah Wanprestasi;
3. Menghukum Tergugat untuk membayar lunas seketika tanpa syarat
seluruh hutang Tergugat sebesar Rp125.004.000,00 kepada Penggugat;
4. Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara yang timbul dalam perkara
ini sejumlah Rp286.000,00;
5. Menolak gugatan penggugat selain dan selebihnya.”
Tidak terkecuali putusan Pengadilan
Negeri Purworejo Nomor 5/Pdt.G.S/2021/PN.Pwr tanggal 6 April 2021, dimana Majelis
Hakim membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Bahwa terhadap petitum ke-4
(empat) gugatan, Penggugat menuntut agar Tergugat membayar uang paksa
(dwangsom) sejumlah Rp.500.000,- (lima ratus ribu rupiah) setiap harinya
apabila Tergugat lalai melaksanakan putusan. Selanjutnya berdasarkan Pasal 606
A Rv (tentang dwangsom) dikaitkan Yurisprudesi Mahkamah Agung No. 791K/Sip/1972
tanggal 26 Februari 1973 yang pada pokoknya uang paksa (dwangsom) tidak
berlaku terhadap tindakan untuk membayar uang. Dengan demikian oleh karena Tergugat
I dan Tergugat II dihukum untuk membayar sejumlah uang kepada Penggugat,
dikaitkan dengan Yurisprudesi Mahkamah Agung No. 791K/Sip/1972 tersebut, maka
terhadap petitum ke-4 (empat) gugatan ditolak;
“MENGADILI:
1. Mengabulkan Gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan Tergugat I dan Tergugat II telah melakukan wanprestasi kepada
Penggugat;
3. Menghukum Tergugat I dan Tergugat II untuk membayar seluruh sisa pinjamannya
(pokok+bunga+denda) kepada Penggugat sejumlah Rp.181.199.435,40;
4. Menghukum Tergugat I dan Tergugat II untuk membayar biaya perkara sejumlah
Rp.293.000,-;
5. Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya.”
Konsisten pula ketika kita
merujuk putusan Pengadilan Agama Tuban Nomor 1643/Pdt.G/2013/PA.Tbn tanggal 31 Agustus
2017, dimana Majelis Hakim membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai
berikut:
“Menimbang, bahwa bahwa tentang
uang paksa (dwangsom) dengan mempedomani yurisprudensi dari Putusan Mahkamah
Agung RI tanggal 26-2-1973 No. 791K/Sip/1972 yang menyatakan bahwa ‘uang
paksa (dwangsom) tidak berlaku terhadap tindakan untuk membayar uang’
sehingga permohonan menyangkut uang paksa dalam perkara ini ditolak;
“MENGADILI:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan Tergugat melakukan perbuatan Wanprestasi;
3. Menghukum Tergugat untuk membayar lunas seketika tanpa syarat
seluruh sisa pinjaman / kreditnya kepada Penggugat sebesar Rp.142.331.844,-;
4. Menghukum Tergugat untuk membayar segala ongkos perkara yang timbul dalam
perkara ini sebesar Rp 236.000,-;
5. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.