KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Asas-Asas Hukum saling Berkonflik, Ketidakpastian Hukum dalam Ilmu Perundang-Undangan

Kajian Hukum yang Paling Di-tabu-kan para Akademisi Hukum di Fakultas Hukum : Antar Asas Hukum Saling Tumpang-Tindih, Deadlock dalam Ilmu Peraturan Perundang-Undangan

Question: Apakah mungkin saja terjadi, asas-asas dalam ilmu peraturan perundang-undangan saling berbenturan satu sama lainnya? Entah mengapa saya merasa ada yang luput dari pengamatan dan tidak saya sadari meski dapat saya rasakan ada yang kurang jelas di sini, namun seakan sengaja tidak dibahas oleh dosen saya di kampus hukum.

Brief Answer: Peluang terjadinya konflik antar asas dalam ilmu peraturan perundang-undangan sebenarnya sudah merupakan masalah klasik yang tampaknya tidak akan pernah terpecahkan secara teoretis, dan bukan sekadar wacana imajiner, yang tampaknya memang tidak berani disentuh oleh kalangan akademisi di Tanah Air, mengingat sifatnya laten, abstrak, serta menjadi momok itu sendiri serta melahirkan perdebatan yang tiada berkesudahan. Contohnya ialah Undang-Undang Cipta Kerja—yang diberi gelar Undang-Undang “Sapu Jagat”—sejatinya bersifat “lex generalis” namun dapat menyimpangi keberlakuan asas “lex spesialis derogat legi generalis”, dengan mengatas-namakan keberlakuan asas “lex posterior derogat legi priori”.

Bahkan, kita dapat menjumpai berbagai Peraturan Pemerintah yang menjadi peraturan pelaksana dari Undang-Undang Cipta Kerja, dapat menyimpangi norma hukum yang terkandung dalam Undang-Undang sektoral lainnya, alias dikangkanginya asas “lex superior”, sekalipun berbagai Peraturan Pemerintah turunan Cipta Kerja tersebut mengandung “norma hukum baru”. Sehingga, sejatinya kondisi “rimba belantara norma hukum” di Indonesia sungguh telah menjelma carut-marut yang “kusut”, kekusutan mana sesungguhnya tidak diperlukan bilamana pemerintah bersama legislatif pembentuk peraturan perundang-undangan taat terhadap asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik serta lebih transparan dan demokratis.

Hukum, idealnya dibentuk secara demokratis dan ditegakkan secara komun!stik, bukan sebaliknya, atau bahkan dibentuk secara tidak demokratis namun diterapkan secara otoriter alias “tangan-besi”. Bagaimanapun, baik asas-asas hukum maupun norma peraturan perundang-undangan, masuk dalam ranah “law in abstracto”. Implementasinya di lapangan, termasuk di ruang peradilan, ialah apa yang disebut sebagai “best practice”, konvensi, ataupun preseden, suatu “law in concreto”—yang lebih kita kenal sebagai “yurisprudensi”. Konteks “judge made law” disini, bukan dimaknai hakim mengisi kekosongan hukum, namun menentukan asas manakah yang akan diberi supremasi diatas asas-asas lainnya secara kasuistik kasus per kasus sesuai karakter perkaranya tanpa menggeneralisasi.

Bisa jadi dalam jenis perkara yang satu, asas “lex superior” yang akan diberi legitimasi, sementara itu dalam lain jenis perkara asas “lex generalis” (omnibus law) maupun “lex posterior” yang akan diberi legitimasi keberlakuannya dengan mengeliminir asas lainnya. Hukum pada prinsipnya tidak dapat dibiarkan tanpa kepastian, dimana keadilan tidak dapat terjamin bilamana tiada kepastian hukum paling minimum yang ditawarkan oleh negara. Merupakan domain peradilan untuk membentuk preseden / yurisprudensi, ketika antar asas peraturan perundang-undangan saling “bentrok” satu sama lainnya.

Itulah juga sebabnya, kepastian hukum lebih dapat ditawarkan oleh sistem hukum “Common Law” (yang menjadikan norma hukum bentukan preseden sebagai sumber formil hukum yang utama bersanding dengan norma peraturan perundang-undangan) ketimbang “Civil Law” (yang semata mengkaji norma peraturan perundang-undangan), dimana kiblat sistem hukum Indonesia ialah sistem hukum Belanda, sekalipun sistem hukum Belanda sendiri sudah sejak beberapa saat lampau telah resmi berpindah haluan dari “Civil Law” menjelma “Common Law” murni.

PEMBAHASAN:

Dalam ilmu peraturan perundang-undangan di Indonesia, setidaknya dikenal tiga asas yang paling utama, yang menjadi pilar penopang keberluan seluruh peraturan perundang-undangan yang berlaku secara umum, yang mana secara teoretik masing-masing asas bersifat setara satu sama lainnya dan diasumsikan berdiri secara linear tidak saling “bergesekan”, yakni:

- lex spesialis derogat legi generalis (yang bermakna peraturan yang mengatur materi yang spesifik / khusus pada bidang hukum tertentu, menutup keberlakuan peraturan pada tingkat hierarkhi yang sama namun bersifat lebih umum);

- lex posterior derogat legi priori (yang bermakna peraturan yang diterbitkan paling terbaru, menutup keberlakuan peraturan pada tingkat hierarkhi yang sama yang diterbitkan lebih lama); dan

- lex superior derogat legi inferiori (yang bermakna peraturan yang lebih tinggi derajat hierarkhinya, menutup keberlakuan peraturan pada hierarkhi yang lebih rendah derajatnya).

Secara sepintas, ketiga asas di atas tampaknya tidak saling tumpang-tindih satu sama lainnya. Namun, terkandung ketidak-selarasan laten diantara antar asas di atas. Untuk memudahkan pemahaman, SHIETRA & PARTNERS akan menguraikannya dalam ilustrasi contoh sederhana. Sekadar sebagai pengandaian contoh kasus, Undang-Undang tentang Tindak Pidana Korupsi diterbitkan pada tahun 1999, namun saat kini di tahun 2023 telah terbit Undang-Undang (satu hierarkhi yang sama) bernama Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)—yang mana salah satu pasal di dalamnya mengatur tindak pidana korupsi, sehingga menjadi “overlaping” dengan pengaturan norma hukum dalam pasal-pasal di dalam Undang-Undang Tipikor yang bersifat lebih “khusus”.

Pertanyaannya ialah, peraturan manakah yang berlaku saat kini, ketika seorang koruptor dihadapkan ke persidangan menghadapi tuntutan Jaksa Penuntut Umum akibat melakukan aksi korupsi, memakai pasal-pasal dalam KUHP ataukah merujuk pada Undang-Undang Tipikor sebagai dasar dakwaan serta ancaman maksimum hukumannya? Terciptalah simpang-siur, inkonsistensi pendapat antar sarjana hukum maupun akademisi hukum menyikapi problematik demikian, manakah yang lebih legitimatif, apakah keberlakuan asas “lex posterior derogat legi priori” ataukah asas “lex spesialis derogat legi generalis”? Jangankan orang awam hukum, penulis yang notabene sarjana hukum pun tidak mampu menjawabnya selain perlu menunggu terciptanya norma hukum bentukan preseden sebagai “judge made law” alias “law in concreto”, apakah KUHP ataukah Undang-Undang Tipikor yang akan diberlakukan kepada sang Terdakwa kasus korupsi.

Dalam isu hukum perihal “tunjangan nafkah bagi mantan istri oleh mantan suami”, kita pun akan menjumpai problematika serupa akibat “overlaping” antar asas hukum ilmu peraturan perundang-undangan. Pengaturan perihal “tunjangan nafkah bagi mantan pasangan” di Indonesia, kita jumpai salah satunya dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan : “Pengadilan dapat mewajibkan kepada mantan suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi mantan isteri.”—ambigu serta rancu, sampai kapan perintah pengadilan tersebut berlaku, apakah sampai mantan istri menikah kembali, meninggal, atau sampai sang mantan memiliki kemandirian secara finansial. Rumusan pasal yang demikian karena terkait sampai kapan kewajiban mantan suami pasca perceraian terhadap mantan istri, terbentur pada isu keragaman hukum berdasarkan agama subjek hukum yang terlibat, antara muslim dan non-muslim.

Pasal 225 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) mengatur bahwa bila suami atau istri, yang atas upaya gugat-menggugatnya dinyatakan “perkawinan putus karena perceraian”, tidak mempunyai penghasilan yang mencukupi untuk biaya penghidupan, maka pengadilan akan menetapkan sejumlah nominal yang menjadi kewajiban bagi mantan pasangannya untuk dibayarkan secara rutin setiap bulannya, sebagai tunjangan nafkah. Bertolak-belakang dengan ketentuan umum tersebut, secara lebih khusus (bagi kaum Muslim) ialah merujuk pada hukum Islam yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), penentuan kewajiban “tunjangan nafkah bagi mantan pasangan” telah ternyata berbasiskan gender, yakni sebatas diberlakukan bagi pihak suami, karena tunjangan nafkah pasca perceraian yang mencakup nafkah ‘iddah dan mut’ah menjadi beban pihak mantan suami (Pasal 149 dan Pasal 158 KHI).

Lebih lanjut ketentuan bagi kalangan Muslim, ialah Pasal 149 KHI yang mengatur bahwa apabila perkawinan putus karena cerai-talak, maka mantan suami wajib: a) memberikan mut’ah yang layak kepada mantan istri, kecuali mantan istri belum dicampuri, dan b) nafkah, maskan, dan kiswah kepada mantan istri selama dalam masa iddah, kecuali mantan istri telah dijatuhi talak bain atau nusyuz, dan dalam keadaan tidak hamil. Selanjutnya Pasal 158 KHI menentukan bahwa mut`ah wajib diberikan oleh mantan suami dengan syarat: a) belum ditetapkan mahar bagi isteri yang telah dicampuri, dan b) perceraian itu atas kehendak suami.

Dengan demikian bagi kalangan Muslim, kewajiban pembayaran “tunjangan nafkah bagi mantan pasangan” yang dipikul oleh pihak mantan suami hanya terbatas pada nafkah selama dalam masa “iddah”, kurang lebih selama tiga kali suci atau 90 hari atau sampai melahirkan jika mantan istri dalam kondisi hamil, dan mut’ah. Kontras ketika kita membuat perbandingan dengan kembali merujuk pengaturan dalam Pasal 225 KUHPerdata yang mengatur bahwa bila suami atau istri yang terlibat gugat-cerai, tidak mempunyai penghasilan yang mencukupi untuk biaya penghidupan, maka pengadilan negeri akan menetapkan pembayaran, tunjangan nafkah hidup baginya sebagai beban kewajban pihak mantan pasangan—kewajiban mana berlangsung sampai dengan kematian mantan suami atau istri (Pasal 227 KUHPerdata), serta menurut kaedah Pasal 329b Undang-Undang yang sama, penetapan mengenai tunjangan nafkah tersebut dapat diubah nominalnya atau dicabut oleh hakim lewat gugatan dikemudian hari oleh mantan suami ataupun mantan istri.

Sampai sejauh itu, semua tampak baik-baik saja, “on the track” sebagaimana asas-asas ilmu peraturan perundang-undangan yang telah kita ulas di muka. Namun, hukum dalam praktik tidaklah pernah sesederhana ini, dimana dinamika nyata masyarakat begitu kompleks serta dinamis, tidak selalu berjalan secara linear sebagaimana asumsi para regulator pembentuk Undang-Undang. Kini, kita masuk pada bahasan yang lebih konkret dalam kompleksitas masyarakat, salah satunya terkait tuntutan pembagian porsi tertentu dari gaji mantan suami yang notabene seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau Aparatur Sipil Negara (ANS), apabila terjadi perceraian antara pasangan suami-istri yang beragama Islam—terdapat dua anasir di sini, yakni mantan suaminya ialah PNS / ASN dan keduanya ialah Muslim yang tundak pada hukum islam.

Dimulailah, kebekuan dan kebuntuan asas-asas ilmu peraturan perundang-undangan yang semula tampak “baik-baik saja”, kini mulai saling “mengkanibalisasi” satu sama lainnya. Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil serta perubahannya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990, mengatur bahwa bilamana perceraian atas kehendak PNS bergender pria, maka ia wajib menyerahkan sebagian gajinya untuk penghidupan mantan istri dan anak-anaknya, dengan aturan pembagian poris gaji sebagai berikut : sepertiga untuk sang PNS pria, sepertiga untuk mantan istrinya, dan sepertiga untuk anaknya. Bilamana dari selama masa perkawinan mereka terlah ternyata tidak terdapat anak kandung, maka bagian porsi gaji yang wajib diserahkan oleh PNS pria kepada mantan isterinya ialah setengah dari gajinya, sampai dengan mantan isteri Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan menikah kembali dengan pria lainnya.

Dengan demikian, “hukum positif” di Indonesia mengatur kewajiban menyerahkan sebagian gaji bagi mantan istri dibebankan kepada PNS pria, sementara pemberian porsi tertentu dari gaji mantan suaminya kepada mantan istri pasca perceraian sampai mantan istri menikah lagi. Meski demikian, seorang tokoh yang berlatar-belakang profesi hakim di Pengadilan Agama memiliki pandangan, kaedah bagi PNS pria sebagaimana norma di atas sifatnya sangatlah problematis, terutama bagi suami PNS yang beragama Islam, karena kewajiban yang bersangkutan kepada mantan istri pasca perceraian hanya terbatas kepada nafkah iddah dan mut’ah sebagaimana diatur dalam KHI—yang notabene berjenis Undang-Undang, sehingga lebih tinggi derajat hierarkhirnya ketimbang Peraturan Pemerintah. Dapat mulai para pembaca maklumi, bahwa “law in concreto” tidaklah pernah sesederhana itu, namun bisa menjelma sangat kompleks dan multi-faset.

Perihal “tunjangan nafkah bagi mantan pasangan” sebagaimana dimaksud Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 maupun Pasal 24 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, tidak berlaku secara “serta-merta” secara hukum, melainkan berdasarkan tuntutan dalam gugatan perceraian dan diakomodir lewat putusan pengadilan yang berupa amar “MENGHUKUM...”, akan tetapi kaedah hukum terkait “tunjangan nafkah bagi mantan pasangan” dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah perihal PNS berlaku tanpa harus ada putusan pengadilan—alias berlaku secara serta-merta. Menjadi dapat kita saksikan sendiri, terdapat ketidak-selarasan laten antar ketentuan hukum dalam sebuah sistem hukum di Indonesia terkait dengan “tunjangan nafkah bagi mantan pasangan”.

Sang tokoh hakim pada Pengadilan Agama menyimpulkan : “Oleh karena itu, dalam hal ini perlu dilakukan harmonisasi hukum, dan juga dapat diterapkan asas ‘lex superior derogate legi inferiori’, bukan asas ‘lex specialis derogate legi generali’, karena terdapat ketidak-selarasan antar ketentuan hukum dalam sebuah sistem hukum.”—namun, tiada asas ataupun norma hukum manapun yang menyatakan asas yang satu adalah lebih “legitimate” ketimbang asas lainnya. Kesemua itu perlu diejawantahkan atau dikonkretkan ke dalam “law in concreto” berupa konvensi praktik peradilan bernama “preseden” atau “yurisprudensi”.

Kemelut serta dilematika asas “lex superior” ditantang kembali ketika kita bandingkan dengan ketentuan pembagian gaji akibat perceraian bagi anggota TNI dan POLRI, ternyata terdapat perbedaan dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 8 PP Nomor 10 Tahun 1983 maupun perubahannya dalam PP Nomor 45 Tahun 1990. Adapun pada lingkungan POLRI, berlaku Peraturan Kepala Kepolisian Negara Nomor 9 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pengajuan Perkawinan, Perceraian, dan Rujuk Bagi Pegawai Negeri Pada Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang mengatur bahwa suami wajib memberikan nafkah kepada istri dan anak selama proses sengketa gugat-perceraian masih sedang berlangsung, dengan memberikan nafkah kepada istri paling sedikit 1/3 dari gaji sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Selanjutnya kewajiban mantan suami memberikan nafkah secara permanen kepada istri setelah perceraian, baru dapat ditetapkan setelah ada putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.

Tanpa mengurangi penghargaan kita, penulis tidak sepenuhnya sejalan dengan pendapat sang tokoh hakim pada Pengadilan Agama yang menyebutkan : “Berdasarkan perbandingan dengan beberapa peraturan yang berlaku di lingkungan POLRI dan TNI ternyata juga terdapat perbedaan terkait pelaksanaan kewajiban alimony. Kondisi yang demikian tentu akan menimbulkan disparitas dalam penerapan hukum dan ketidak-selarasan antar ketentuan hukum dalam sebuah sistem hukum terkait dengan alimony. Oleh karena itu, perlu dilakukan pendekatan kompromi untuk menjembatani perbedaan yang ada karena perbedaan hukum agama dan harmonisasi hukum terkait dengan hukum alimony di Indonesia.”

Faktanya, secara falsafah hukum, ketidak-harmonisan antar norma hukum sektoral bukanlah hal yang menjadi momok dan tidak melahirkan “deadlock”, bilamana asas-asas ilmu peraturan perundang-undangan tidak menyimpan bahaya laten dibaliknya, sehingga membuka segala ruang wacana, perdebatan, diskursus, dan dialektik yang penuh ketidak-pastian. Kini dapat para pembaca maklumi, bahwa ilmu hukum bukanlah ilmu yang sempurna, namun penuh ketidak-sempurnaan abadi akibat cacat konseptual ilmu perundang-undangan—dimana saat kini peraturan perundang-undangan dipandang sudah relatif “mapan” sehingga para pemangku kepentingan terhadap proses pembentukan peraturan perundang-undangan merasa tidak perlu mengambil resiko besar untuk melakukan revolusi besar-besaran terhadap falsafah peraturan perundang-undangan yang menjadi pilar penopangnya. Seperti apapun kita berupaya memoles dan mempercantik atap sebuah bangunan, namun bila pilar fondasinya rapuh, sama artinya kita perlu siap menunggu hingga datangnya “tremor” mengguncang praktik berhukum kita.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.