Memahami Legalisir Dokumen Publik dengan Apostille, Latar Belakang, Tujuan, dan Contoh

Legalisir Dokumen Publik dengan Apostille, Makna dan Aplikasinya secara Sederhana

Question: Bisakah dijelaskan dan diterangkan dalam bahasa yang mudah dipahami oleh orang awam, apa maksud dan tujuan legalisasi dengan memakai legalisir apostille?

Brief Answer: “Apostille” sebenarnya merupakan nama konvensi berisi perjanjian internasional berbagai negara yang bersepakat menerima dan mengakui suatu dokumen berlegalisir dari negara-negara lain peserta konvensi. “Apostille” kemudian dalam implementasinya di negara masing-masing yang ikut serta pada konvensi, menjadi suatu peristilahan “generik” yang merujuk teknik legalisir yang disederhanakan terhadap “dokumen publik” yang diterbitkan oleh negara penerbit “dokumen publik” (simplified legalisation for foreign public documents), agar “laku” dan “berharga” di negara lain yang juga sama-sama sebagai negara yang telah meratifikasi ataupun meng-aksesi Apostille Convention—teknik legalisasi dengan versi yang lebih sederhana daripada mekanisme maupun prosedur legalisasi “dokumen publik” konvensional pada umumnya.

Yang pertama-tama perlu diketahui apakah negara asing tujuan sang warga pemohon layanan legalisir dengan mekanisme “apostille” akan tuju, juga merupakan negara yang telah meratifikasi Apostille Convention. Indonesia sendiri baru-baru ini (tahun 2022) meratifikasi Apostille Convention (the HCCH 1961), dimana bahkan negara-negara ASEAN lainnya banyak yang belum turut meratifikasinya, meski tren kedepannya tampaknya akan diberlakukan secara umum dan meluas di semakin banyak negara. Prinsip yang sama berlaku sebaliknya, bila Anda atau seorang warga yang bermukim di negara asing yang juga peserta Apostille Convention, dapat membawa dokumen yang dilegalisir dengan cara “apostille” ke Indonesia dan akan diakui serta berharga di mata pemerintahan maupun institusi swasta di Indonesia.

Semisal, Warga Negara Indonesia maupun Warga Negara Asing yang sedang bermukim di Indonesia, melahirkan anak di teritori Negara Indonesia, maka ketika akta kelahiran anaknya hendak dipakai di luar negeri, maka legalisir asli maupun salinan akta kelahiran sang anak dapa menggunakan mekanisme teknik “apostille”—sekali lagi, sepanjang kedua negara sama-sama telah meratifikasi dan tunduk pada Apostille Convention. Dokumen-dokumen publik lain pun dapat diterapkan dengan logika berpikir yang sama dengan contoh di atas, dimana lalu-lintas pergerakan, mobilitas, serta perpindahan warga antar negara kian “borderless”.

Pada prinsipnya, legalisasi “dokumen publik” dengan mekanisme apostille, hanya berlaku bilamana antara negara kita, Indonesia, dan negara asing yang dituju penggunaan “dokumen publik” yang didapat dari Indonesia, juga merupakan negara yang telah sama-sama meratifikasi Apostille Convention. Legalisasi “dokumen publik” itu sendiri bermakna, agar “dukumen publik” tersebut menjadi bersifat “bernilai dan berharga” di mata negara asing dimana “dukumen publik” tersebut akan kita gunakan dan akan diterima oleh pihak otoritas negara setempat, semisal izasah dan transkrip nilai kesarjanaan dari Universitas di Indonesia, bagi mahasiswa yang hendak mengikuti program studi Pasca Sarjana pada Universitas di luar negeri.

Tanpa legalitasi “dokumen publik”, maka dokumen-dokumen asli maupun salinannya yang akan kita bawa ke luar negeri tidak akan “laku” dan tidak “berharga” di mata negara-negara asing manapun, karena memang bukan negara mereka yang menerbitkan dokumen-dokumen publik tersebut. Dengan demikian, dengan telah diratifikasinya Apostille Convention oleh kedua negara, “negara penerbit dokumen publik” dan “negara yang menerima dokumen publik dari negara penerbit dokumen publik”, tidak perlu lagi membuat perjanjian bilateral kedua negara terkait legalisasi dokumen publik yang dipergunakan lintas negara—karena Apostille Convention mengandung kesepakatan secara internasional mengenai standarisasi legalisasi dokumen publik, yakni legalisir model “apostille”.

Lebih singkatnya lagi untuk memudahkan memahaminya, legalisir semacam “fotokopi sesuai asli” oleh kalangan notaris dalam negeri seperti yang lumrah kita lakukan untuk berbagai kepentingan aktivitas di dalam negeri, sifatnya hanya “laku dan berharga” di mata warga maupun instansi pemerintah lokal (dalam negeri). Untuk menjadi “laku dan berharga” di mata negara lain dimana kita memiliki kepentingan baik itu untuk belajar, menetap, bekerja sebagai warga asing, maka perlu ada legalisasi dengan mekanisme “apostille” oleh pihak otoritas negara asal kita terhadap dokumen-dokumen yang kita bawa tersebut saat menjadi warga negara asing di luar negeri.

PEMBAHASAN:

Secara singkat, layanan legalisir lewat mekanisme “apostille” dapat dimaknai sebagai pengesahan tanda tangan pejabat, pengesahan cap dan/atau segel resmi pada dokumen publik melalui pencocokan dengan spesimen melalui satu instansi negara asal. Di Indonesia, yang menjadi otoritas yang berwenang (competent authority) melegalisir dokumen publik dengan mekanisme “apostille”, ialah Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) RI. Bila legalisasi dokumen publik tanpa mekanisme apostille, maka warga pemohon legalisir harus mendaftarkan permohonan secara manual maupun secara daring ke Kementerian Luar Negeri RI.

Sejauh ini, sebagian dokumen yang dimohonkan oleh warga untuk dilegalisir ialah berupa dokumen notaris berkenaan dengan kegiatan bisnis lintas negara, dokumen pendidikan seperti ijazah dan transkrip nilai, serta dokumen kependudukan bagi warga yang hendak belajar di luar negeri maupun yang hendak menetap di negara lain. Adapun Negara Indonesia telah meratifikasi “Konvensi Apostille 5 Oktober 1961” per pada tanggal 5 Oktober 2021 melalui Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2021 tentang Pengesahan Convention Abolishing the Requirement of Legalisation for Foreign Public Documents (Konvensi Penghapusan Persyaratan Legalisasi Terhadap Dokumen Publik Asing).

Semangat dibalik konvensi internasional “apostille” ini ialah, dilatar-belakangi kebutuhan untuk memangkas birokrasi lewat penyederhanaan proses legalisasi dokumen luar negeri menjadi cukup satu tahap melalui mekanisme “apostille”. Pemerintah mengklaim, mekanisme legalisasi dokumen publik secara “apostille” mampu memangkas rantai birokrasi legalisasi dokumen menjadi cukup satu langkah, dimana saat kini di Indonesia mekanisme “apostille” diatur lebih rinci lewat Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor 6 Tahun 2022 tentang Layanan Legalisasi Apostille pada Dokumen Publik.

Disebutkan, mekanisme legalisasi dokumen publik secara “apostille” dapat memudahkan masyarakat untuk bisa memperoleh dokumen berlegalisir yang mana saat kini setidaknya terdapat 66 jenis dokumen publik yang menjadi standar dalam pengajuan visa dan pendaftaran pernikahan, pendidikan, dan pelatihan di luar negeri, serta dokumen publik lainnya. Untuk ke-66 jenis dokumen yang bisa dilakukan legalisasi melalui mekanisme “apostille”, saat ulasan ini disusun dapat berlaku lebih dari 120 negara pihak Konvensi Apostille, dengan harapan mengefisienkan proses “lalu lintas” dokumen publik antarnegara.

Bagi masyarakat umum yang membutuhkan layanan legalisir dokumen publik untuk dipergunakan ke luar negeri, layanan secara “apostille” dapat diakses melalui portal resmi di Indonesia yakni “apostille .ahu. go.id”. Adapun beberapa syarat dan ketentuan umum dalam prosedur legalisasi dokumen melalui skema “apostille”. Pertama, legalisir dengan mekanisme “apostille” hanya “laku dan berharga” di mata negara-negara manapun yang mengakui sertifikat Apostille. Kedua, pindai dokumen publik yang diterbitkan di Indonesia yang hendak digunakan di luar negeri. Ketiga, memastikan kembali jenis dokumen yang bisa diajukan legalisasi atau dikeluarkan “sertifikat Apostille”-nya.

Adapun manfaat konsensus berskala internasional dalam Konvensi Apostille, meski belum semua negara di dunia maupun di kawasan Asia meratifikasinya—dimana saat kini Indonesia sudah meratifikasinya—ialah dalam rangka memangkas panjangnya rantai prosedural maupun birokrasi proses legalisasi dokumen publik, baik asli maupun fotokopinya yang akan kita bawa saat ke luar negeri, negara asing mana juga merupakan negara yang meratifikasi Konvensi Apostille, sekalipun tanpa adanya perjanjian bilateral terkait legalisasi dokumen publik ini antar kedua negara.

Diberitakan, setelah layanan legalisasi dirilis secara resmi dan mulai dapat diakses oleh masyarakat Indonesia secara perdana per tanggal 4 Juni 2022 lalu oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, tercatat sudah masuk 2.918 permohonan layanan legalisasi dengan teknis “apostille”, dimana Indonesia meratifikasi “Konvensi Apostille 5 Oktober 1961” pada tanggal 5 Oktober 2021 melalui Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2021 tentang Pengesahan Convention Abolishing the Requirement of Legalisation for Foreign Public Documents (Konvensi Penghapusan Persyaratan Legalisasi Terhadap Dokumen Publik Asing). Angka di atas telah ternyata jauh lebih tinggi bila kita bandingkan dengan permohonan layanan legalisasi konvensional di tahun sebelumnya (2021) yang rata-rata hanya mencapai 1.913 permohonan dalam 10 hari—dimana kemudahan berbanding lurus dengan minat masyarakat luas.

Kemenkumham merencanakan untuk ke depannya layanan legalisasi dokumen publik secara “apostille”, yang semula bersifat permohonan manual akan menjadi layanan berbasis elektronik atau e-Apostille.

Keberlakuan layanan ini di Indonesia juga dipandang dapat mendatangkan minat investor asing dari luar negeri untuk masuk ke Indonesia, baik menanamkan modalnya atau untuk berkegiatan usaha dan bisnis—dimana selama ini kegiatan investasi dipandang sarat prosedur legalisasi dokumen yang kompleks, penuh lika-liku teknis yang sukar dipahami kalangan umum, memakan waktu, disamping memakan biaya cukup besar, dimana kini dipangkas menjadi lebih cepat dan efisien lewat mekanisme legalisasi dokumen publik berbasis “apostille”.

Indonesia yang meski terlambat dalam mengaksesi Konvensi Apostille, namun diharapkan dapat menjadi langkah awal bagi pemerintah agar melirik manfaat dari berbagai konvensi internasional lainnya yang berada dibawah naungan Hague Conference on Private International Law (HCCH), wadah internasional dibidang pengembangan hukum perdata internasional dalam rangka menjawab segala tantangan global. Berita melansir, Direktur Otoritas Pusat dan Hukum Internasional AHU (Administrasi Hukum Umum) Kementerian Hukum dan HAM RI Tudiono menguraikan kiat bagi warga saat melakukan pengajuan permohonan legalisasi lewat “apostille”, agar bisa dapat dilaksanakan dengan lancar, menghindari penolakan-penolakan.

Pertama-tama, setelah memastikan negara yang akan kita tuju menerima dan mengakui dokumen publik yang berlegalisir “apostille”, pastikan dokumen apa saja yang kita perlukan untuk tujuan kita ke luar negeri. Biasanya, diperlukan dokumen asli dan/atau dokumen fotokopi bagi instansi penerima dokumen di luar negeri. Menjadi penting untuk terlebih dahulu memastikan hal tersebut dengan menghubungi instansi atau lembaga penerima di luar negeri. Dokumen asli biasanya hanya dilihat atau diverifikasi, tanpa diambil untuk disimpan oleh instansi penerima. Sedangkan dokumen fotokopi biasanya diambil untuk disimpan oleh instansi penerima di sana.

Langkah kedua, pastikan dokumen fotokopi telah dilegalisir / disahkan. Dalam hal ini, dokumen fotokopi wajib dilegalisir atau disahkan terlebih dahulu. Meski untuk meminta legalisir atau pengesahan dapat menghubungi instansi penerbit dokumen, legalisir juga dapat dilakukan oleh kalangan notaris. Ketiga, legalisasi dengan mekanisme “apostille”, dimana kita perlu pastikan dokumen yang diunggah sesuai dengan yang diperlukan. Jika dokumen asli yang perlu di-“apostille”-kan, maka yang perlu di-upload (diunggah) adalah dokumen asli. Demikian halnya jika fotokopi terlegalisir atau tersahkan yang perlu di-“apostille”-kan, maka yang di-upload ialah dokumen fotokopi terlegalisir / tersahkan tersebut, bukan dokumen aslinya.

Keempat, pastikan dokumen yang dibawa saat pengambilan “sertifikat apostille” saling sesuai. Dokumen yang dimohonkan wajib dibawa saat mengambil “sertifikat apostille”, sebab “sertifikat apostille” akan dilekatkan pada dokumen tersebut. Jika yang dimohonkan adalah dokumen asli, maka bawalah dokumen asli. Sama halnya dengan permohonan untuk dokumen fotokopi terlegalisir / tersahkan, maka yang dibawa ialah dokumen fotokopi terlegalisir / tersahkan pula. Informasi yang tidak kalah penting, pastikan bawa atau perlihatkan surat kuasa apabila proses permohonannya dikuasakan kepada orang lain yang menyurusnya seperti ketika hendak mengambil “sertifikat apostille”.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.